Di antara sekian banyak "asbab al-ikhtilaf" para ulama, saya kutipkan sebagiannya:
1. Perbedaan dalam memahami al-Qur'an.
Al-Qur'an adalah pegangan pertama semua Imam Mazhab dan ulama. Hanya
saja mereka seringkali berbeda dalam memahaminya, disebabkan:
a. Ada sebagian lafaz al-Qur'an yang mengandung lebih dari satu arti
(musytarak). Contoh lafaz "quru" dalam QS 2: 228. Sebagian mengartikan
dengan "suci"; dan sebagian lagi mengartikan dengan "haid". Akibat
perbedaan lafaz "quru" ini, sebagian sahabat (Ibnu Mas'ud dan Umar)
memandang bahwa manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg
ketiga, maka baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yg
lain, memandang bahwa dengan datangnya masa haid yang ketiga perempuan
itu selesai haidnya (meskipun belum mandi). Lihatlah, bahkan para
sahabat Nabi pun berbeda pendapat dalam hal ini. Ada ulama yang
berpendapat bahwa tampaknya Allah sengaja memilih kata "quru'" sehingga
kita bisa menggunakan akal kita untuk memahaminya. Soalnya, kalau Allah
mau menghilangkan perbedaan pendapat tentu saja Allah dapat memilih kata
yang pasti saja, apakah suci atau haid. Ternyata Allah memilih kata
"quru" yang mngandung dua arti secara bahasa Arab.
b. Susunan ayat Al-Qur'an membuka peluang terjadinya perbedaan
pendapat Huruf "fa", "waw", "aw", "illa", "hatta" dan lainnya mengandung
banyak fungsi tergantung konteksnya. Sebagai contoh, huruf "FA" dalam
QS 2:226-227 mengandung dua fungsi. Sebagian memandang huruf "FA" itu
berfungsi "li tartib dzikri" (susunan dalam tutur kata). Sebagian lagi
berpendapat bahwa huruf "FA" dalam ayat di atas berfungsi "li tartib
haqiqi" (susunan menurut kenyataan). Walhasil kelompok pertama
berpendapat bahwa suami setelah 'ila (melakukan sumpah untuk tidak
campur dengan isteri), harus campur dengan isteri sebelum empat bulan,
kalau sudah lewat empat bulan maka jatuh talak. Kelompok kedua
berpendapat bahwa tuntutan supaya campur dengan isteri (untuk
menghindari jatuhnya talaq) itu setelah lewat empat bulan.
c. Perbedaan memandang lafaz 'am - khas, mujmal-mubayyan,
mutlak-muqayyad, dan nasikh-mansukh. Lafaz al-Qur'an adakalanya
mengandung makna umum ('am) sehingga membutuhkan ayat atau hadis untuk
mengkhususkan maknanya. Kadang kala tak ditemui qarinah (atau petunjuk)
untuk mengkhususkannya, bahkan ditemui (misalnya setelah melacak asbabun
nuzulnya) bahwa lafaz itu memang am tapi ternyata yang dimaksud adalah
khusus (lafzh 'am yuradu bihi al-khushush). Boleh jadi sebaliknya,
lafaznya umum tapi yang dimaksud adalah khusus (lafzh khas yuradu bihi
al-'umum). Contoh yang pertama, Qs at-Taubah ayat 103 terdapat kata
"amwal" (harta) akan tetapi tidak semua harta terkena kewajiban zakat
(makna umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa jenis harta saja).
Contoh yang kedua, dalam QS al-Isra: 23 disebutkan larangan untuk
mengucapkan "ah" pada kedua orangtua. Kekhususan untuk mengucapkan "ah"
itu diumumkan bahwa perbuatan lain yang juga menyakiti orang tua
termasuk ke dalam larangan ini (misalnya memukul, dan sebagainya).
Nah, persoalannya, dalam kasus lain para ulama berbeda memandang
satu ayat sbb:lafaz umum dan memang maksudnya untuk umum, ataulafaz umum
tetapi maksudnya untuk khusus; danlafaz khusus dan memang maksudnya
khusus; ataulafaz khusus tetapi maksudnya umum.Begitu juga perbedaan
soal mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh, para ulama
memiliki kaidah yang mereka ambil dalam rangka untuk memahaminya (saya
khawatir pembahasan ini malah menjadi sangat tekhnis, karena itu untuk
jelasnya silahkan merujuk ke buku-buku ushul al-fiqh).
d. Perbedaan dalam memahami lafaz perintah dan larangan. Ketika ada
suatu lafaz berbentuk "amr" (perintah) para ulama mengambil tiga
kemungkinan:al-aslu fil amri lil wujub (dasar "perintah" itu adalah
wajib untuk dilakukan)al-aslu fil amri li an-nadab (dasar "perintah" itu
adalah sunnah untuk dilakukan)al-aslu fil amri lil ibahah (dasar
"perintah" itu adalah mubah untuk dilakukan) Contohnya lafaz "kulluu
wasyrabuu" (makan dan minumlah) menggunakan bentuk perintah, tetapi yang
dimaksud adalah mubah. Lafaz "fankihuu maa thaba lakum minn nisa'"
(nikahilah wanita-wanita yg kamu sukai) juga menggunakan bentuk
perintah. Nah, para ulama ada yg memandang bahwa itu adalah wajib
(mazhab Zhahiri), dan ada yg memandang sunnah (jumhur ulama).
Ini lanjutan dari email yang kemarin. Semoga bermanfaat dan dapat
memperjelas bahwa perbedaan pendapat dikalangan ulama itu bukan karena
mereka memang suka berbantah-bantahan seperti ahlul kitab, tetapi karena
teks nash sendiri memang membuka peluang timbulnya perbedaan pendapat.
Lanjutan sebab-sebab ulama berbeda pendapat:
2. Berbeda dalam memahami dan memandang kedudukan suatu hadis.
a. Kedudukan hadis
Para ulama sepakat bahwa hadis mutawatir itu merupakan hadis yang
paling tinggi kedudukannya. Hadis mutawatir adalah hadis shahih yang
diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mungkin berbohong. Masalahnya,
para ulama berbeda dalam memahami "orang banyak" itu. Sebagian
berpendapat jumlah "orang banyak" itu adalah dua orang, sebagian lagi
mengatakan cukup empat orang, yang lain mengatakan lima orang. Pendapat
lain mengatakan sepuluh orang. Ada pula yang mengatakan tujuh puluh
orang (Periksa M. Taqiy al-Hakim, "Usul al-'Ammah li al-Fiqh al-Muqarin,
h. 195).
Artinya, walaupun mereka sepakat akan kuatnya kedudukan hadis
mutawatir namun mereka berbeda dalam menentukan syarat suatu hadis itu
dikatakan mutawatir. Boleh jadi, ada satu hadis yang dipandang mutawatir
oleh satu ulama, namun dipandang tidak mutawtir oleh ulama yang lain.
Begitu pula halnya dalam memandang kedudukan hadis shahih. Salah
satu syarat suatu hadis itu dinyatakan shahih adalah bila ia
diriwayatkan oleh perawi yang adil. Hanya saja, lagi-lagi ulama berbeda
dalam mendefenisikan adil itu.
Nur al-Din 'Itr menyaratkan tujuh hal, Al-Hakim menyaratkan tiga
hal. Yang menarik, al-Hakim memasukkan unsur : tidak berbuat bid'ah
sebagai syarat adilnya perawi, namun Ibn al-shalah, Nur al-Din 'Itr,
Al-Syawkani tidak mencantumkan syarat ini. Hampir semua ulama, kecuali
al-Hakim, memasukkan unsur "memelihara muru'ah (kehormatan diri)"
sebagai unsur keadilan seorang perawi.
Artinya, walaupun para ulama sepakat bahwa salah satu syarat suatu
hadis dinyatakan shahih adalah bila hadis itu diriwayatkan oleh perawi
yang adil, namun mereka berbeda dalam meletakkan syarat-syarat adil itu.
Boleh jadi, satu hadis dinyatakan shahih karena perawinya dianggap adil
oleh satu ulama (sesuai dg syarat adil yang dia susun), tetapi tidak
dipandang adil oleh ulama yang lain (karena tidak memenuhi syarat adil
yg dia yakini).
Persoalan lain adalah, bagaimana melakukan tarjih (memilih mana
hadis yang paling kuat) diantara dua hadis yang saling bertentangan.
Boleh jadi, sebagian ulama mengatakan hadis yang satu telah menghapus
(nasikh) hadis yang satu lagi. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa
boleh jadi hadis yang satu bersifat umum, sedangkan hadis yang lain
bersifat mengecualikan keumuman itu.
Bagaimana bila teks hadis terlihat seakan-akan bertentangan dengan
teks Qur'an. Sebagian ulama langsung berpegang pada teks Qur'an dan
meninggalkan teks hadis (ini yang dilakukan mazhab Zhahiri ketika tidak
mengharamkan pria memakai cincin dari emas), akan tetapi sebagian lagi
mengatakan bahwa hadis merupakan penjelas maksud ayat, sehingga tidak
perlu meninggalkan salah satunya, tetapi menggabungkan maknanya (ini
yang dilakukan jumhur ulama ketika mengharamkan pria memakai cincin dari
emas).
b. makna suatu hadis
Hadis Nabi mengatakan, "La nikaha illa biwaliyyin" (tidak nikah
melainkan dengan wali). Namun mazhab Hanafi memandang bahwa huruf "la"
dalam hadis diatas itu bukan berarti tidak sah nikahnya namun tidak
sempurna nikahnya. Mereka berpandangan bahwa sesuatu perkara yang
ditiadakan oleh syara' dengan perantaraan "la nafiyah", haruslah
dipandang bahwa yang ditiadakannya itu adalah sempurnanya; bukan sahnya.
Sedangkan mazhab Syafi'i berpendapat adanya huruf "la nafiyah" itu
menunjukkan tidak sahnya nikah tanpa wali.
Contoh lain, apakah persusuan diwaktu dewasa juga menyebabkan status
mahram? Sebagian ulama mengatakan iya, karena berpegang pada hadis
Salim yang dibolehkan Rasul menyusu ke wanita yang sudah dewasa (padahal
si Salim ini sudah berjenggot!) sehingga terjadilah status mahram
antara keduanya. Namun, sebagian ulama memandang bahwa hadis ini hanya
khusus berlaku untuk Salim saja (sebagai rukhshah) bukan pada setiap
orang dewasa. Apalagi ternyata ditemukan hadis lain dari Aisyah yang
menyatakan bahwa persusuan yg menyebabkan kemahraman itu adalah disaat
usia kecil (karena bersifat mengenyangkan). Hanya saja, sebagian ulama
memandang cacat hadis Aisyah ini karena ternyata Aisyah sendiri tidak
mengamalkan hadis yang dia riwayatkan sendiri. Aisyah justru berpegang
pada hadis Salim.
Hal terakhir ini menimbulkan masalah lagi: jika suatu perawi
meriwayatkan suatu hadis, namun ia sendiri tidak mengamalkan apa yang
diriwayatkannya, apakah hadis itu menjadi tidak shahih ataukah hanya
perawinya sendiri yang harus disalahkan. Sebagian ulama memandang bahwa
hadis itu langsung cacat, sedangkan sebagian lagi memandang bahwa
hadisnya tetap shahih hanya perawinya saja yang bersalah karena tidak
mengamalkan hadis yang dia riwayatkan sendiri.
3. Perbedaan dalam metode ijtihad
A. Sejarah singkat
Sejak masa sahabat sudah ada dua "mazhab" di kalangan mereka.
Pertama, mereka yang lebih menekankan pada teks nash secara ketat.
Diantara mereka adalah Ali bin Abi Thalib dan Bilal. Kedua, mereka yang
menaruh unsur rasio dan pemahaman secara luas dalam memahami suatu nash.
Kelompok kedua ini diantaranya adalah Umar bin Khattab dan Ibnu Mas'ud.
Dalam perkembangan selanjutnya, kedua kelompok ini menyebar dan
memiliki pengaruh masing-masing. Kelompok pertama berkumpul di sekitar
daerah Hijaz, sedangkan kelompok kedua berkumpul di daerah Kufah.
Sejarah kemudian menceritakan kepada kita bahwa Imam Malik bin Anas
tinggal di Madinah (termasuk daerah Hijaz) dan Imam Abu Hanifah tinggal
di Kufah.
Imam Malik berada di lingkungan di mana masih banyak terdapat
sahabat Nabi. Sedangkan Imam Abu Hanifah, sebaliknya, tinggal di lokasi
di mana sedikit sekali bisa dijumpai sahabat Nabi. Fakta geografis ini
menimbulkan perbedaan bagi kedua Imam dalam merespon suatu kasus.
Imam Malik bukan saja lebih banyak menggunakan hadis Nabi (yang dia
terima melalui sahabat Nabi di Madinah) dibanding rasio, tetapi juga
menaruh amal penduduk Madinah sebagai salah satu sumber hukumnya. Imam
Abu Hanifah sangat membuka peluang penggunaan rasio dan sangat selektif
(artinya, dia membuat syarat yg amat ketat) dalam menerima riwayat hadis
(lebih-lebih sudah mulai berkembang hadis palsu di daerahnya). Sebagai
jalan keluar dari sedikitnya hadis yang ia terima, maka Imam Abu Hanifah
menggunakan Qiyas dan istihsan secara luas.
Imam Malik memiliki murid bernama Imam Syafi'i. Yang disebut
belakangan ini juga nanti memiliki murid bernama Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketiganya dapatlah disebut sebagai pemuka "ahlul hadis" di Hijaz.
Sedangkan Imam Abu Hanifah memiliki murid bernama Abu Yusuf dan Muhammad
(nanti Imam Syafi'i berguru juga pada muridnya Muhammad, namun Imam
Syafi'i lebih cenderung pada kelompok Hijaz). Kelompok Kufah kemudian
dikenal dengan sebutan "ahlur ra'yi".
Harus saya tambahkan bahwa mazhab dalam fiqh tidak hanya terbatas
pada empat Imam besar itu saja. Tetapi banyak sekali mazhab-mazhab itu
(konon sampai berjumlah 500). Hanya saja sejarah membuktikan bahwa hanya
empat mazhab itu yang bisa bertahan dan memiliki pengaruh cukup luas di
dunia Islam, ditambah sedikit pengikut mazhab Zhahiri dan mazhab
Ja'fari.
B. Metode Ijtihad
B.1. Imam Abu Hanifah Berpegang pada dalalatul Qur'an Menolak mafhum
mukhalafah Lafz umum itu statusnya Qat'i selama belum
ditakshiskanQiraat Syazzah (bacaan Qur'an yang tidak mutawatir) dapat
dijadikan dalil Berpegang pada hadis Nabi Hanya menerima hadis mutawatir
dan masyhur (menolak hadis ahad kecuali diriwayatkan oleh ahli
fiqh)Tidak hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat
matan-nya Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)
Berpegang pada Qiyasmendahulukan Qiyas dari hadis ahad Berpegang pada
istihsan.
B.2. Imam Malik bin Anas Nash (Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir)
zhahir Nash menerima mafhum mukhalafah Berpegang pada amal perbuatan
penduduk Madinah Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan
amal penduduk Madinah daripada hadis ahad) Qaulus shahabi
QiyasIstihsanMashalih al-Mursalah
B.3 Imam Syafi'i Qur'an dan Sunnah (artinya, beliau menaruh
kedudukan Qur'an dan Sunnah secara sejajar, karena baginya Sunnah itu
merupakan wahyu ghairu matluw). Inilah salah satu alasan yang membuat
Syafi'i digelari "Nashirus Sunnah". Konsekuensinya, menurut Syafi'i,
hukum dalam teks hadis boleh jadi menasakh hukum dalam teks Al-Qur'an
dalam kasus tertentu) Ijma'hadis ahad (jadi, Imam Syafi'i lebih
mendahulukan ijma' daripada hadis ahad) Qiyas (berbeda dg Imam Abu
Hanifah, Imam Syafi'i mendahulukan hadis ahad daripada Qiyas) Beliau
tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah
sebagai dasar ijtihadnya.
B.4. Imam Ahmad bin Hanbal An-Nushush (yaitu Qur'an dan hadis.
Artinya, beliau mengikuti Imam Syafi'i yang tidak menaruh Hadis dibawah
al-Qur'an)menolak ijma' yang berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan
dari Imam Syafi'i)menolak Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad
(kebalikan dari Imam Abu Hanifah)Berpegang pada Qaulus shahabi (fatwa
sahabat) Ijma' Qiyas.
Kalau kita susun empat Imam mazhab itu menurut banyaknya menggunakan
rasio maka urutannya adalah:Imam Abu Hanifah Imam Syafi'iI mam Malik
Imam Ahmad bin Hanbal.
Kalau disusun menurut banyaknya menggunakan riwayat:Imam Ahmad bin
Hanbal Imam Malik bin AnasImam Syafi'i Imam Abu Hanifah (Bagi yang ingin
mendalami metode ijtihad para ulama saya merekomendasikan Muhammad
Salam Madkur, "Manahij al-Ijtihad fi al-Islam", Kuwait, al-matba'ah
al-'Asriyah al-Kuwait, Jami'ah al-Kuwait, 1984).
Demikianlah sebab-sebab para ulama berbeda pendapat. Kalau saya
boleh menyimpulkan maka ada dua sebab utama : Sebab internal, yaitu
berbeda dalam memahami al-Qur'an dan Hadis serta berbeda dalam menyusun
metode ijtihad mereka. Sebab eksternal, yaitu perbedaan sosio-kultural
dan geografisPersoalannya sekarang, bagaimana kita mensikapi perbedaan
pendapat di antara ulama? Kalau kita sudah tahu bahwa keragaman pendapat
ulama itu juga merujuk pada al-Qur'an dan Hadis, maka silahkan anda
pilih pendapat yang manapun. Yang lebih penting lagi, janganlah cepat
berburuk sangka dengan keragaman pendapat di kalangan ulama.
Jangan sembarangan menuduh mereka sebagai ulama pesanan ataupun
ulama yang ditekan pemerintah. Juga jangan cepat-cepat menilai salah
fatwa ulama hanya karena fatwa tersebut berbeda dengan selera ataupun
pendapat kita.
Mengapa kita harus mengukur dalamnya sungai dengan sejengkal kayu?
Sayang, kita suka sekali mengukur kedalaman ilmu seorang ulama hanya
dengan sejengkal ilmu yg kita punya.
Di sisi lain, ulama pun tetap manusia biasa yang tidak lepas dari
kesalahan dan kekhilafan. Rasulullah sendiri mengakui bahwa akan ada
orang yang salah dalam berijtihad, namun Rasulullah mengatakan tetap
saja Allah akan memberi satu pahala bagi yang salah dalam berijtihad,
dan dua pahala bagi yang benar dalam ijtihad.
Masalahnya, Apakah kita punya hak untuk menilai salah-benarnya ijtihad ulama itu? Bukankah hanya Allah Hakim yang paling adil?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar