Senin

Syarah Kailani Matan ‘Izzi

Pembagian Fi’il

 

 Fi’il (kata kerja) adalah kalimat (Bahasa Indonesia: kata) yang memiliki arti pada dirinya sendiri dan berhubungan dengan waktu, yaitu waktu Maadhi (lampau) Haal (sekarang) dan Istiqbaal (akan datang).



Kailani, 2


ثُمَّ الْفِعْلُ اِمَّا ثُلاَثِيٌّ وَاِمَّا رُباَعِيٌّ وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا اِمَّا مُجَرَّدٌ أَوْ مَزِيْدٌ فِيْهِ وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهَا إِمَّا سَالِمٌ أَوْ غَيْرُ سَالِمٍ


Kemudian Fi’il itu, satu sisi: ada yang berbangsa tiga huruf (Tsulatsiy), dan pada sisi yang lain: ada yang berbangsa empat huruf (Ruba’iy). Dan masing-masing dari kedua bangsa itu, adakalanya Mujarrad atau adakalanya Mazid. Dan tiap-tiap satu dari semuanya, baik ada yang Salim atau ada yang Ghair Salim.

Kailani, Pembagian Fi'il
PEMBAGIAN FI'IL

Keterangan:


(1). Fi’il Tsulatsiy, yaitu Fi’il yang asal huruf-hurufnya adalah tiga. seperti ضَرَبَ dha-ra-ba, arti: memukul.
(2). Fi’il Ruba’iy, yaitu Fi’il yang asal huruf-hurufnya adalah empat. seperti دَحْرَجَ da-kh-ra-ja, arti: menggelincirkan.
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa semua Asal huruf-huruf Fi’il itu terfokus hanya kepada dua pembagian Fi’il tsb yaitu Tsulatsiy dan Ruba’iy. Sebagai patokan bahwa tidak ada asal huruf Fi’il itu kurang dari tiga, atau lebih dari empat. Ketetapan ini sudah diakui merupakan pengkajian dari kalam Arab.


» Dan masing-masing dari kedua bangsa itu, adakalanya Mujarrad atau adakalanya Mazid.

(1). Mujarrad, artinya sepi dari tambahan pada asal huruf-hurufnya.
(2). Mazid, artinya ada penambahan pada asal huruf-hurufnya, baik tambahan satu huruf atau lebih, seperti: أَضْرَبَ a-dh-ra-ba arti: mendiami. dan تَدَحْرَجَ ta-da-kh-ra-ja arti: tergelincir.


» Dan tiap-tiap satu dari semuanya, baik ada yang Salim atau ada yang Ghair Salim.

(1). Salim, artinya selamat pada Asal huruf-hurufnya daripada terdiri dari huruf Illat, Hamzah, dan Tadh’if .
Contoh: ضَرَبَ دَحْرَجَ
(2). Ghair Salim, artinya tidak selamat pada asal huruf-hurufnya daripada terdiri dari huruf Illat, Hamzah, dan Tadh’if .
Contoh:  وَعَدَ زَلْزَلَ

Definisi Sharaf

 

 

Sharaf atau dibaca Shorof adalah salah satu nama cabang Ilmu dalam pelajaran Bahasa Arab yang khusus membahas tentang perubahan bentuk kata (Bahasa Arab: kalimat). Perubahan bentuk kata ini dalam prakteknya disebut Tashrif. Oleh karena itu dinamakan Ilmu Sharaf (perubahan; berubah), karena Ilmu ini khusus mengenai pembahasan Tashrif (pengubahan; mengubah).

Kailani, 1


اِعْلَمْ، اَََنَّ التَّصْرِيْفَ فِي اللُّغَةِ: التَّغْيِيْرُ، وَفِي الصَّنَاعَةِ: تَحْوِيْلُ اْلأَصْلِ الْوَاحِدِ إِلَى أَمْثِلَةٍ مُخْتَلِفَةٍ لِمَعَانٍ مَقْصُوْدَةٍ لاَ تَحْصُلُ اِلاَّ بِهَا.


Ketahuilah, bahwasanya yg dinamakan Tashrif menurut Bahasa adalah: pengubahan. Sedangakan menurut Istilah adalah: pengkonversian asal (bentuk) yang satu kepada contoh-contoh (bentuk) yang berbeda-beda, untuk (tujuan menghasilkan) makna-makna yang dimaksud, (yg mana) tidak akan berhasil tujuan makna tersebut kecuali dengan contoh-contoh bentuk yang berbeda-beda itu.
Keterangan:

Asal bentuk kalimat adalah Masdar, ini menurut pendapat Ulama Bashrah. Pendapat ini lebih banyak mendapat dukungan. Sedangkan menurut Ulama Kufah, asal bentuk kalimat adalah Fi’il Madhi.
Asal bentuk adalah Masdar, dikonversikan ke sampel-sampel yang lain misalnya: Fi’il Madhi, Fi’il Mudhari’, Fi’il Amar, Fi’il Nahi, Isim Fa’il, Isim Maf’ul, Isim Zaman, Isim Makan, Isim Alat, Isim Murrah, Isim Hai’ah, Isim Nau’, Isim Tafdhil, Shighat Mubalaghah dan lain-lain. Perubahan ke sampel-sampel tersebut, tujuannya untuk menghasilkan makna yang diinginkan, tanpa mengubah ke sampel-sampel  tersebut maka kita tidak akan berhasil mencapai kepada makna yang kita inginkan.
Contoh:

Asal kalimat adalah Masdar: ضَرْبٌ dibaca: Dharbun, bermakna: Pukulan.
Dirubah ke sampel Fi’il Madhi menjadi: ضَرَب dibaca: Dharaba, bermakna: Telah memukul.
Dirubah ke sampel Fi’il Mudhari’ menjadi: يَضْرِبُ dibaca: Yadhribu bermakna: Akan memukul.
Dirubah ke sampel Fi’il Amar menjadi:  اِضْرِبْ dibaca: Idhrib bermakna: Pukullah! Dan sebagainya.
Contoh tersebut di atas dikatakan Tashrif, yaitu pengubahan asal bentuk yang satu kepada sampel-sampel bentuk yang lain untuk menghasilkan makna yang dimaksud. Sekian pembahasan Tashrif menurut Bahasa dan Istilah.

Mu’tal » terjemah Tashriful-’Izzi تصريف العزي Hamisy Syarah Al-Kailaniy

فَصْلٌ فِي الْمُعْتَلِّ

FASHAL didalam menerangkan fi’il mu’tal.

الْمُعْتَلُّ: هُوَ مَاكَانَ أَحَدُ أُصُوْلِهِ حَرْفَ عِلَّةٍ, وَهِيَ: الْوَاوُ, وَالْيَاءُ, وَالْأَلِفُ, وَتُسَمَّى: حُرُوْفُ الْمَدِّ وَالَلِّيْنِ. وَالْأَلِفُ حِيْنَئِذٍ تَكُوْنُ مُنْقَلِبَةً عَنْ وَاوٍ أَوْيَاءٍ.

Fi’il mu’tal adalah : fi’il yang salah-satu huruf asalnya berupa huruf illah (huruf penyakit) yaitu: waw, ya’, dan alif, dinamakan juga huruf mad atau huruf lien. Dan alif dalam hal ini merupakan pengganti dari waw atau ya’.

وَأَنْوَاعُهُ سَبْعَةٌ

Macam-macam fi’il Mu’tal ada 7 tujuh
MU’TAL FA’ / BINA’ MITSAL

الْأَوَّلُ: الْمُعْتَلُّ الْفَاءِ. وَيُقَالُ لَهُ : الْمِثَالُ؛ لِمُمَاثَلَتِهِ الْصَّحِيْحَ فِيْ احْتِمَالِ الْحَرَكَاتِ.

Fi’il Mu’tal yang pertama adalah : Mu’tal Fa’ (huruf illah ada di Fa’ Fi’ilnya) disebut juga bina’ Mitsal (serupa) karena keserupaannya dengan bina’ Shahih dalam hal dapat menerima harakat,
MU’TAL FA’ WAWI /  BINA’ MITSAL WAWI

أَمَّا الْوَاوُ. فَتُحْذَفُ مِنَ الْفِعْلِ الْمُضَارِعِ الَّذِيْ عَلَىَ يَفْعِلُ, بِكَسْرِ الْعَيْنِ, وَمِنْ مَصْدَرِهِ الَّذِيْ عَلَىَ فِعْلَةٍ, بِكَسْرِ الْفَاءِ, وَتُسَلَّمُ فِيْ سَائِرِ تَصَارِيْفِهِ, تَقُوْلُ: وَعَدَ يَعِدُ عِدَةً, وَوَعْدًا, فَهُوَ وَاعِدٌ, وَذَاكَ مَوْعُوْدٌ, وَالْأَمْرُ: عِدْ, وَالنَّهْيُ: لاَتَعِدْ. وَكَذَلِكَ وَمِقَ يَمِقُ مِقَةً, فَإِذَا أُزِيْلَتْ كَسْرَةُ مَا بَعْدَهَا. أُعِيْدَتِ الْوَاوُ الْمَحْذُوفَةُ؛ نَحْوُ: لَمْ يُوْعَدْ

Adapun waw (mu’tal fa’ wawi/mitsal wawi) maka dibuang pada fi’il mudhari’nya yang mengikuti wazan YAF’ILU –dengan kasrah ‘ain fiilnya, juga pada isim mashdarnya yang mengikuti waza FI’LATAN –dengan kasrah fa’ fiilnya. Dan selamat pada sisa tashrifannya yg lain. contoh kamu mengatakan: WA’ADA – YA’IDU – ‘IDATAN -wa- WA’DAN -fahuwa- WAA’IDUN -wadzaaka- MAW’UUDUN – ID, dan bentuk fi’il nahinya: LAA TA’ID. demikian juga contoh: WAMIQA – YAMIQU – MIQATAN. Bilamana harakat Kasrah pada huruf setelah waw dihilangkan, maka waw yang dibuang tsb dikembalikan. contoh: LAM YUU’AD.

وَتَثْبُتُ فِيْ يَفْعَلُ بِالْفَتْحِ؛ كَوَجِلَ يَوْجَلُ, وَالْأَمْرُ مِنْهُ: ايْجَلْ أَصْلُهُ: اِوْجَلْ, قُلِبَتِ الْوَاوُ يَاءً؛ لِسُكُوْنِهَا وَانْكِسَارِ مَاقَبْلَهَا. فَإِنِ انْضَمَّ مَاقَبْلَهَا, عَادَتِ الْوَاوُ, فَتَقُوْلُ: يَا زَيْدُ ايْجَلْ, تُلْفَظُ بِالْوَاوِ, وَتُكْتَبُ بِالْيَاءِ

Wawu itu tetap (tidak dibuang) didalam fi’il mudhari wazan YAF’ALU dengan fathah ‘ain fi’ilnya; seperti WAJILA-YAUJALU, dan bentuk fi’il amarnya adalah IYJAL asalnya: IWJAL waw diganti ya’ karena waw sukun dan huruf sebelumnya berharakat kasrah, dan jika huruf sebelumnya berharakat dhommah, maka waw-nya dikembalikan, contoh kamu mengatakan YAA ZAIDU-WJAL “hai zaid hati-hatilah!” dilafazhkan dengan waw dan ditulis dengan ya.

وَتَثْبُتُ أَيْضًا فِيْ يَفْعُلُ بِالْضَّمِّ؛ كَوَجُهَ يَوْجَهُ, وَالْأَمْرُ: أُوْجُهْ, وَالْنَّهْيُ: لاتَوْجُهْ.

Demikian juga wawu itu tetap (tidak dibuang) didalam fi’il mudhari wazan YAF’ULU dengan harakat dhommah ‘ain fi’ilnya; seperti WAJUHA-YAUJAHU, bentuk fi’il amarnya adalah UWJUH, bentuk fi’il nahinya adalah LAA TAWJUH.

وَحُذِفَتِ الْوَاوُ مِنْ يَطَأُ, وَيَسَعُ, وَيَضَعُ, وَيَقَعُ, وَيَدَعُ, وَيَهَبُ؛ لِأَنَّهَا فِيْ الْأَصْلِ يَفْعِلُ, بِالْكَسْرِ, فَفَتَحَتِ الْعَيْنُ؛ لِحَرْفِ الْحَلْقِ بَعْدَ حَذْفِ الْفَاءِ.

Wawu fa’ fi’il juga dibuang pada fi’il mudhari’: YATHA’U, YASA’U, YADHA’U, YAQA’U dan YAHABU; karena sesungguhnya lafazh-lafazh tsb pada asalnya mengikuti wazan YAF’ILU –dg kasrah ‘ain fi’ilnya. Setelah wawu fa’ fi’ilnya dibuang, kemudian ‘ain fiilnya difathahkan karena ada huruf Halaq.

وَحُذِفَتْ مِنْ يَذَرُ؛ لِكَوْنِهِ بِمَعْنَى يَدَعُ, وَأَمَاتُوْا مَاضِيَ يَدَعُ وَيَذَرُ. وَحَذْفُ الْفَاءِ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّهُ وَاوِيٌّ

Wawu fa’ fi’il juga dibuang pada fi’il mudhari’: YADZARU, karena alasan searti dengan lafazh YADA’U, mereka (orang arab) tidak mengindahkan fi’il madhinya lafazh YADA’U dan YADZARU, adapun pembuangan fa’ fi’il, merupakan bukti bahwasanya yang dibuang adalah huruf wawu (mitsal wawi).
MU’TAL FA’ YA-I/  BINA’ MITSAL YA-I

وَأَمَّا الْيَاءُ. فَتَثْبُتُ عَلَىَ كُلِّ حَالٍ؛ نَحْوَ: يَمُنَ يَيْمُنُ, وَيَسَرَ يَيْسِرُ, وَيَئِسَ يَيْأَسُ, وَتَقُوْلُ فِيْ أَفْعَلَ مِنَ الْيَائِيِّ: أَيْسَرَ يُوْسِرُ إِيْسَارًا, فَهُوَ مُوْسِرٌ, وَذَاكَ مُوْسَرٌ, فَقُلِبَتِ الْيَاءُ مِنْهَا وَاوًا؛ لِسُكُوْنِها وَانْضِمَامِ مَا قَبْلَهَا

Adapun YA (mu’tal fa’ ya-i/mitsal ya-i) maka ia tetap (tanpa dibuang) pada semua keadaan (baik harakat ‘ain fiil mudhari’nya dhommah, kasrah atau fathah) contoh “YAMUNA YAYMUNU”, “YASARA YAYSIRU”, “YA-ISA YAY-ASU”. Dan contoh kamu berkata untuk wazan AF’ALA (ruba’i): “aysaro YUUSIRU iisaaron” (asalnya YUYSIRU) fahuwa “MUUSIRUN” (asalnya MUYSIRUN), wadzaaka “MUUSARUN” (asalnya MUYSARUN) huruf YA-nya diganti wawu, karena ia sukun dan sebelumnya ada huruf berharakat dhommah.
MU’TAL FA’ WAWI/YA’I atau  BINA’ MITSAL WAWI/YA-I DALAM MENGIKUTI WAZAN AF’ALA

وَفِيْ افْتَعَلَ مِنْهُمَا تُقْلَبَانِ تَاءً, وَتُدْغَمَانِ فِيْ تَاءِ افْتَعَلَ؛ نَحْوُ: اِتَّعَدَ يَتَّعِدُ اِتِّعَادًا, فَهُوَ مُتَّعِدٌ, وَذَاكَ مُتَّعَدٌ, وَاتَّسَرَ يَتَّسِرُ اِتِّسَارًا, فَهُوَ مُتَّسِرٌ, وَذَاكَ مُتَّسَرٌ, وَقَدْ يُقَالُ: اِيْتَعَدَ يَاتَعِدُ, فَهُوَ مُوْتَعِدٌ, وَذَاكَ مُوْتَعَدٌ. وَايْتَسَرَ يَاتَسِرُ, فَهُوَ مُوْتَسِرٌ, وَذَاكَ مُوْتَسَرٌ بِهِ, وَهَذَا مَكَانٌ مُوْتَسَرٌ فِيْهِ

Dan contoh untuk wazan IFTA’ALA (khumasi) dari keduanya (mu’tal fa –mitsal wawi/yai) : maka waw/ya’ diganti ta’ kemudian di-idghamkan pada ta’nya IFTA’ALA.
Contoh:
“ITTA’ADA” (asalnya IWTA’ADA), “YATTA’IDU” (asalnya YAWTA’IDU), “ITTI’AADAN” (asalnya IWTI’AADAN) fahuwa “MUTTA’IDUN” (asalnya MUWTA’IDUN) wadzaaka “MUTTA’ADUN” (asalnya MUWTA’ADUN). Dan contoh: “ITTASARO – YATTASIRU – ITTISAARON fahuwa MUTTASIRUN wadzaaka MUTTASARUN” (asalnya sebanding dg ITTA’ADA).
Terkadang juga diucapkan :
“IITA’ADA – YAATA’IDU fahuwa MUUTA’IDUN wadzaaka MUUTA’ADUN” dan “IITASARO – YAATASIRU fahuwa MUUTASIRUN wadzaaka MUUTASARUN BIHI wa hadza makaanun MUUTASARUN FIIHI. (waw/ya sukun, diganti alif karena jatuh sesudah fathah, diganti ya karena jatuh sesudah kasrah dan diganti waw karena jatuh sesudah dhamma).
BINA’ MITSAL + MUDHA’AF

وَحُكْمُ وَدَّ يَوَدُّ, كَحُكْمِ عَضَّ يَعِضُّ, وَتَقُوْلُ فِيْ الْأَمْرِ: اِيْدَدْ, كإِعْضَضْ

Sedangkan ketetapan lafazh “WADDA – YAWADDU” (mu’tal fa’-mudho’af/mitsal+mudha’af) juga diberlakukan seperti ketetapan pada lafazh “‘ADHDHO – YA’IDHDHU” (dalam hal wajib idgham, jaiz idgham, dilarang idgham dll, –lihat bab mudho’af/bab idgham pada perlajaran lalu). contoh di dalam fi’il amarnya : “IIDAD” berlaku hukum separti “I’DHADH” (jaiz idham).

الْثَّانِيْ: الْمُعْتَلُّ الْعَيْنِ, وَيُقَالُ لَهُ: الْأَجْوَفُ, وَذُو الثَّلاَثَةِ ؛ لِكَوْنِ مَاضِيْهِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحْرُفٍ, إِذَا أَخْبَرْتَ عَنْ نَفْسِكَ؛ نَحْوُ: قُلْتُ وَبِعْتُ,

Fi’il Mu’tal yang kedua adalah : Mu’tal ‘Ain (huruf illah ada di ‘Ain Fi’ilnya) disebut juga bina’ Ajwaf (berlubang) atau disebut juga Dzu Tsalaatsah (si empunya 3 huruf) karena pada fi’il madhinya tetap tiga huruf saat kamu mengabari tentang dirimu contoh: “QU.L.TU” (qof, lam, ta) dan “BI.’.TU” (ba, ‘ain, ta).

فَالْمُجَرَّدُ مِنْهُ تُقْلَبُ عَيْنُهُ فِي الْمَاضِيْ أَلِفًا, سَوَاءٌ كَانَ وَاوًا أَوْ يَاءً؛ لِتَحَرُّكِهِمَا, وَانْفِتَاحِ مَا قَبْلَهُمَا؛ نَحْوُ: صَان وَبَاعَ

Maka bentuk fi’il mujarradnya (tsulatsi mujarrad) ‘ain fi’il madhinya diganti alif, baik berupa Waw atau Ya, karena ia berharakat dan huruf sebelumnya berharakat fathah, contoh: SHOONA dan BAA’A.

فَإِنْ اتَّصَلَ بِهِ ضَمِيْرُ الْمُتَكَلِّمِ, أَوْ الْمُخَاطَبِ أَوْ جَمْعِ الْمُؤَنَّثَةِ الْغَائِبَةِ. نُقِلَ فَعَلَ مِنَ الْوَاوِيِّ إِلَى فَعُلَ, وَمِنَ الْيَائِيِّ إِلَى فَعِلَ؛ دَلَالَةً عَلَيْهِمَا, وَلَمْ يُغَيَّرْ فَعُلَ, وَلَا فَعِلَ إِذَا كَانَا أَصْلِيَّيْنِ, وَنُقِلَتِ الضَّمَّةُ, وَالْكَسْرَةُ إِلَى الْفَاءِ, وَحُذِفَتِ الْعَيْنُ؛ لِالْتِقَاءِ الْسَّاكِنَيْنِ, فَتَقُوْلُ: صَانَ صَانَا صَانُوْا, صَانَتْ صانَتَا صُنَّ, صُنْتَ صَنْتُما صُنْتُمْ, صُنْتِ صَنْتُمَا صُنْتُنَّ, صُنْتُ صُنَّا. وَتَقُوْلُ فِي الْيَائِيِّ: بَاعَ بَاعَا بَاعُوْا, بَاعَتْ بِاعَتَا بِعْنَ, بِعْتَ بِعْتُمَا بِعْتُمْ, بِعْتِ بِعْتُمَا بِعْتُنَّ, بِعْتُ بِعْنَا.

Jika (fi’il madhi mu’tal ‘ain/bina’ ajwaf tsb) bersambung dengan dhamir mutakallim atau mukhotob atau jama’ muannats ghaib, maka bina’ ajwaf wawi yang ikut wazan FA’ALA (fathah ain fiil) dipindah dulu ke wazan FA’ULA (dhommah ain fi’il) dan untuk bina’ ajwaf ya’i dipindah dulu ke wazan FA’ILA (fathah ain fi’il) demikian ini sebagai penunjukan atas kedua huruf tsb (WAW atau YA). Dan tidak ada pemindahan wazan FA’ULA ataupun FA’ILA, apabila wazannya memang asli demikian. Selanjutnya harakat Dhammah atau Kasrah tersebut, dipindah ke Fa’ Fi’ilnya kemudian ‘ain fi’ilnya dibuang karena bertemu dua huruf mati, contoh tashrif kamu berkata: SHOONA – SHOONAA – SHOONUU – SHOONAT – SHOONATAA – SHUNNA – SHUNTU – SHUNTUMAA – SHUNTUM – SHUNTI – SHUNTUMAA – SHUNTUNNA – SHUNTU – SHUNNAA. Dan untuk contoh tashrif ajwaf Ya’i: BAA’A – BAA’AA – BAA’UU – BAA’AT – BAA’ATAA – BI’NA – BI’TA – BI’TUMAA – BI’TUM – BI’TI – BI’TUMAA – BI’TUNNA – BI’TU – BI’NAA.

وَإِذَا بَنَيْتَهُ لِلْمَفْعُوْلِ. كَسَرْتَ الْفَاءُ مِنَ الْجَمِيْعِ, فَقُلْتَ: صِيْنَ.. إِلَى آَخِرِهِ, وَإِعْلاَلُهُ بِالنَّقْلِ وَالْقَلْبِ. وَبِيْعَ, وَإِعْلاَلُهُ بِالنَّقْلِ.

Apabila dibentuk mabni maf’ul (mabni majhul), maka fa’ fiilnya diharakati kasrah untuk semuanya. Contoh tashrif SHIINA… dan seterusnya, I’lalnya dengan Naql (pemindahan: harakat ‘ain fiil ke fa’ fiil) dan Qolb (pergantian: Wawu ke Ya). Dan untuk contoh tashrif BII’A… dst, cukup di-I’lal dengan Naql (pemindahan) saja.

وَتَقُوْلُ فِيْ الْمُضَارِعِ: يَصُوْنُ, وَيَبِيْعُ, وَإِعْلَالُهُمَا بِالنَّقْلِ. وَيَخَافُ, وَيَهَابُ, وَإِعْلَالَهُما بِالْنَّقْلِ وَالْقَلْبِ

Dan kamu berkata untuk contoh fi’il mudhari’nya: “YASHUUNU dan YABII’U”, keduanya di-I’lal dengan Naql saja. Sedangkan contoh “YAKHOOFU dan YAHAABU”, keduanya di-I’lal dengan Naql dan juga Qalb.

Makna-makna Istifham: Taswiyah, Nafi, Inkar, Amar, Nahi, Tasywiq, Tahqir

معاني صيغ الإستفهام

MAKNA-MAKNA BENTUK ISTIFHAM

وقدْ تَخْرُجُ ألفاظُ الاستفهامِ عنْ معناها الأصليِّ لمعانٍ أُخَرَ تُفْهَمُ منْ سياقِ الكلامِ

Terkadang lafazh-lafazh Istifham itu keluar dari makna asal (pertanyaan/menuntut tashowwur atau tashdiq) kepada makna lain yg dapat difahami dari siyaq kalam/konteks kalimat:

كالتسويةِ، نحوُ سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ

1. Taswiyah (menyamakan):
SAWAAUN ‘ALAIHIM A ANDZARTAHUM AM LAM TUNDZIRHUM
sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan

والنفيِ، نحوُ هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلاَّ الْإِحْسَانُ

2. Nafi (meniadakan):
HAL JAZAAUL-IHSAANI ILLAL-IHSAANU
Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).

والإنكارِ، نحوُ أَغَيْرَ اللَّهِ تَدْعُونَ، أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ

3. Inkar (mengingkari):
A GHAIRO-LLAAHI TAD’UUNA
Apakah kamu menyeru (tuhan) selain Allah
A LAISA-LLAAHU BIKAAFIN ‘ABDAHU
Apakah Allah tidak cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya

والأمْرِ، نحوُ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ، ونحوُ أَأَسْلَمْتُمْ، بمعنى: انتَهُوا، وأَسْلِمُوا.

4. Amar (memerintah):
FA HAL ANTUM MUNTAHUUNA
maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)
A ASLAMTUM
Masuk Islam-lah kamu
Bermakna INTAHUU = berhentilah. Dan ASLIMUU = masuk islam-lah.

والنهيِ، نحوُ أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَوْهُ

5. Nahi (melarang):
A TAKHSYAWNA HUM FALLAAHU AHAQQU AN TAKHSYAW HU
Janganlah kamu takut kepada mereka, maka Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti

والتشويقِ، نحوُ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

6. Tasywiq (memberi rangsangan, surprise)
HAL ADULLUKUM ‘ALAA TIJAAROTI TUNJIIKUM MIN ‘ADZAABIN ALIIM
sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih

والتعظيمِ، نحوُ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

7. Ta’zhim (meng-agungkan)
MAN DZAL-LADZII YASYFA’U ‘INDAHUU ILLAA BI IDZNIHI
Gerangan siapa yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya

والتحقيرِ، نحوُ أَهَذَا الذي مَدَحْتَهُ كثيرًا

8. Tahqir (merendahkan):
A HADZA ALLADZI MADAHTA HU HATSIRAAN
Cuma segini kau bilang banyak
DAN SEBAGAINYA disebutkan dalam kitab yg lebih besar.

Misteri Kitab Al Amsilah Tashrifiyah ( Ilmu Shorof )

Kitab tashrif sudah umum dan gamblang di gunakan oleh para kalangan santri, terlebih santri yg berbasis akan salaf sebagai salah satu patokan tuk menguasai ilmu gramatika arab, tashrif disebut juga ilmu shorof ( ibunya ) illmu, sedang bapaknya Ilmu itu ( nahwu ).
Dmnakah misterinya? Coba kita perhatikan diawal kitab fi’I'll mujarrod.
Bab 1 : Nasoro yg berarti ( tolong ), nah, kita sbg santri atau orang yg dikatakan menuntut ilmu itu sudah ditolong oleh ortu kita atau saudara2 kita yg membiayai kita tuk bisa merasakan n mencicipi bangku pendidikan umum dan agama. Lalu coba kita truskan ke bab 2.
Bab 2 : Doroba ( pukul ) dipukul maksudnya kita itu di gembleng dididik secara baik oleh kita punya guru. Disaat kita salah guru kan membenarkan, disaat qt melanggar kita kan di ta’zir ( dihukum ) dg sepantasnya. Stelah kita di gembleng lalu kita masuk ke bab 3.
Bab 3 : fataha ( buka ) stelah digembleng di ajari bolak balik, lalu kita dibuka oleh Allah, apanya yg dibuka? Ya pengetahuannya, pengetahuan yg kita dapat dari guru2 kita. Stelah di buka pengetahuannya lalu kita masuk ketingkatan bab 4.
Bab 4 : Alima ( mengerti, tahu ) nah, dsinilah kita mncapai tingkat yg sngat baik stelah mlewati bab 1 dan bab 2, yaitu menjadi orang yg serba tahu, alim alamah. Lalu kita masuk ke bab 5.
Bab 5 : Hasuna ( bagus, baik ) inilah tingkatan yg sangat baik dimna ilmu yg kita dapat diamalakan, baik itu dari akhlak yg kita dapat dari ilmu2 akhlak yg kita pelajari. Dan ilmu2 yg lainnya yg bermanfaat. Krena ilmu tanpa akahlak bagaikan sayur tanpa garam. Stelah itu kita kan memasuki tingkatan terakhir yaitu bab 6.
Bab 6 : Hasiba ( hitung ) nah, krena kita sudah menjadi orang yg mngrti, alim, baik budi pekertinya maka yg tadinya kita di bab 2 ( pukul ) di gembleng oleh guru2 kita, di absen kehadiran masuk mengikuti sekolah kita n mengaji . stelah mncapai bab 6 ini kita kan menghitung jumlah murid atau santri yg kan kita miliki. Krena dsisnilah lahan tuk manebar benih2 al ilmu nafi ( ilmu yg bermanfaat ).
Itulah salah satu misteri di kitab tashrif, makanya para ulama2 islam itu kalo buat kitab gag sembarngan bnyak terakatnya, buktinya nih satu misteri dah terungkap. Coba deh antum buka kitab tashrifnya karangan Alim Alamah Syekh Mas’sum bin Ali Jawa Tengah…