Minggu

Ayat-Ayat Ilahiyat

MUKADIMAH

Iman dan Islam merupakan anugerah yang telah Allah Subhanahu wata’ala berikan kepada setiap manusia sejak dirinya lahir (fitrah).[1] Akan tetapi fitrah ini tidak ada jaminan akan kekal dan abadi pada diri manusia. Bahkan fitrah ini terkesan mudah hilang dan sirna apabila tidak dirawat dengan baik. Fitrah ibarat tunas. Terlalu dibiarkan akan kalah dengan benalu dan tanaman liar lainnya, dan terlalu dikekang fitrah akan menjadi kerdil. Upaya paling bijak agar fitrah tumbuh berkembang dan selamat dari segala pengaruh lain adalah dengan mengembangkan dan merawatnya melalui sarana yang telah Allah berikan kepada setiap manusia.

Upaya ini tentu merupakan hal paling utama. Karena iman merupakan hal yang murni pemberian Allah Subhanahu wata’ala. Tidak seorang pun bisa menanam benih iman di hati orang lain kecuali Allah Subhanahu wata’ala semata. Bahkan Rasulullah sekalipun tidak mempunyai otoritas untuk hal itu. Hal ini bisa dilihat dari kisah Abu Thalib pada saat menjelang ajal. Rasulullah minta agar Abu Thalib mengucapkan kalimat, dimana jika ia mau mengucapkannya Rasulullah akan menjadi pembelanya kelak di hadapan Allah Subhanahu wata’ala. Kalimat dimaksud adalah kalimat syahadat.[2] Akan tetapi Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

(إنك لا تهدي من أحببت ولكن الله يهدي من يشآء وهو أعلم بالمهتدين).

Artinya, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”[3]

DUA PERANGKAT, DUA MEDIA

Untuk mengembangkan dan merawat akidah ini, Allah Subhanahu wata’ala telah memberi dua bekal dan dua sarana kepada setiap manusia. Sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak mengenali Tuhannya. Lebih dari itu, setiap manusia telah dibekali iman sejak dirinya dilahirkan. Tak heran jika Rasulullah bersabda bahwa semua manusia dilahirkan dalam kondisi fitrah. Sehingga, semua orang sejatinya telah memiliki potensi untuk beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala secara benar, yaitu beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala yang Maha Esa dan beragama Islam. Orang menjadi Yahudi, Nasrani, Majusi, atau agama lainnya karena arahan orang tua atau pengaruh lainnya.[4] Sehingga, memperkuat akidah dan iman adalah sebagai upaya mengembalikan manusia kepada fitrahnya.

Dua bekal dan sarana dimaksud sudah diisyaratkan Allah Subhanahu wata’ala dalam Alqur’an,

(الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والارض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك وقنا عذاب النار).

Arinya, “Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, atau duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.”[5]

Dua perangkat dimaksud adalah hati dan pikiran, sedangkan dua medianya adalah Allah dan alam ciptaanNya (makhluk). Yang perlu kita cermati, dua perangkat dan dua media ini merupakan modal yang tidak boleh salah dalam memposisikan. Masing-masing mempunyai tugas yang berbeda. Hati untuk mengingat, sedangkan pikiran untuk mengembangkan potensi iman. Jika salah dalam menggunakan, bukan iman yang didapat, tapi justru sesat yang mendekat.

Sesuai isyarat ayat di atas, hati manusia dimaksudkan untuk mengingat dan Allah Subhanahu wata’ala hanya menyediakan satu media yang berhak untuk diingat dalam rangka merawat fitrah iman tadi, yaitu mengingat Allah Subhanahu wata’ala. Artinya, apabila hati digunakan untuk mengingat kepada selain Allah Subhanahu wata’ala, bukan iman yang tumbuh subur tapi hati justru akan disesaki dengan hal-hal yang diingat tersebut. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

(ومن أعرض عن ذكري فإن له معيشة ضنكا ونحشره يوم القيامة أعمى).

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku (ingat kepadaku), maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”[6]

Dengan kata lain, orang yang menggunakan hatinya untuk mengingat kepada selain Allah Subhanahu wata’ala, ia akan semakin jauh dari fitrahnya, hatinya akan menjadi buta dan imannya akan semakin gersang.

Allah Subhanahu wata’ala sengaja mempersiapkan hati hanya untuk mengingat kepadaNya. Ini tidak lain karena hati adalah sebaik-baik organ tubuh, dan Allah Subhanahu wata’ala adalah sebaik-sebaik seluruh wujud yang ada. Sehingga sudah semestinya organ terbaik untuk wujud terbaik. Dari sini hati kemudian menjadi pengendali seluruh kegiatan organ tubuh. Rasulullah pernah bersabda,

(...ألا وان في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب).

Artinya, “Ingat, sungguh terdapat di dalam tubuh segumpal darah, apabila ia baik, seluruh (organ) tubuh akan baik, dan apabila ia buruk, seluruh (organ) tubuh akan buruk. Ingat, ia adalah hati.”[7] Jika hati digunakan untuk mengingat kepada selain Allah Subhanahu wata’ala, ibarat kita memberi asupan kepadanya tidak sesuai dengan jenis makanan yang semestinya.

Dalam surat Ali Imran di atas, Allah Subhanahu wata’ala tidak membatasi bentuk dan waktu tertentu untuk berzikir atau mengingat kepadaNya. Manusia boleh berzikir kepada Allah Subhanahu wata’ala dalam keadaan apa saja; berdiri, duduk, bekerja maupun apa saja. Karena dalam mengingat Allah Subhanahu wata’ala target utamnya adalah agar manusia terbiasa mengingat Allah Subhanahu wata’ala tanpa terputus. Bahkan dalam suluk tarekat dikatakan bahwa semua bentuk dan jenjang zikir yang diajarkan adalah untuk membiasakan manusia agar terlatih untuk selalu ingat kepada Allah Subhanahu wata’ala. Oleh karena itu Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

(يا أيها الذين أمنوا اذكروا الله ذكرا كثيرا..).

Artinya, “Hai orang-orang beriman, berzikirlah (kepada) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.”[8] Dengan kata lain, di dalam berzikir tidak ada istilah kebanyakan yang kemudian menjadikan orang tersebut kehilangan atau gersang imannya. Akan tetapi jika yang diingat selain Allah Subhanahu wata’ala, sangat mungkin iman yang ia miliki akan semakin gersang.

Namun demikian, apabila upaya seseorang untuk memperkokoh fitrah imannya hanya melalui zikir, imannya tidak akan memiliki basic yang kuat. Imannya akan sangat labil dan rentan tercerabut. Dalam salah satu hadisnya Rasulullah bersabda,

تفكر ساعة خير من عبادة سنة

“Berpikir sesaat (suatu waktu) lebih baik dibanding ibadah satu tahun.”[9] Kendati ibadah juga melibatkan organ fisik yang lain, kehendak hadis ini adalah aktifitas hati, yaitu ingat kepada Allah. Karena dalam rangka itulah ibadah disyariatkan. Oleh karena itu, disamping iman harus dikawal melalui hati, iman juga harus tumbuh dikembangkan melalui berpikir dan berwacana. Untuk mengembangkan inilah Allah Subhanahu wata’ala membekali manusia dengan akal pikiran.

Hal yang juga perlu diketahui, jika tugas hati adalah untuk mengingat Allah Subhanahu wata’ala, maka tugas akal adalah untuk memikirkan kepada selain Allah Subhanahu wata’ala. Akal harus diberanikan menyusuri dan mengenali ayat-ayat kebesaran Allah Subhanahu wata’ala. Dengan lebih banyak mengenali tanda kebesaran Allah Subhanahu wata’ala, manusia akan sadar bahwa dirinya hanyalah bagian kecil dari makhluk ciptaan Allah Subhanahu wata’ala yang lain. Jika pun manusia mampu berpikir banyak tentang penciptaan makhluk, manusia hanya mampu sebatas itu. Tidak ada kemampuan sedikit pun bagi manusia untuk membuat apa yang ia pikirkan. Jangankan membuat seluruh apa yang ia pikirkan, membuat sebutir biji yang ia makan pun ia tidak mampu. Dengan menyadarkan diri melalui hal-hal seperti ini, manusia telah menumbuh-kembangkan keimanannya yang telah Allah Subhanahu wata’ala anugerahkan kepadanya.

Melalui isyarat ayat di atas, akal pikiran tidak dibenarkan memikirkan tentang Allah Subhanahu wata’ala. Jika di atas disebutkan hati hanya untuk mengingat Allah Subhanahu wata’ala, maka di sini sebaliknya. Akal pikiran tidak sekalipun dibenarkan untuk berpikir tentang Allah Subhanahu wata’ala. Dalam hal ini Rasulullah bersabda,

تفكروا في خلق الله ولا تتفكروا في الله

“Berpkirlah kalian tentang makhluk Allah, dan jangan kalian berpikir tentang Allah.”[10] Jika porsi ini terbalik, hanya binasa yang akan terjadi.

Dapat dipahami, akal tidak sekali pun mampu mengambil kesempatan untuk mengenali Tuhan. Hal maksimal yang bisa dicapai adalah kemampuannya untuk mengenali segala alam ciptaanNya. Dari perkenalan ini hal paling normal adalah lahirnya kesadaran akan keterbatasan dirinya dan meyakini segala keagungan Tuhannya. Pada dimensi ini akal manusia akan menemukan puncak pencapaiannya. Dengan kata lain, fase ini adalah merupakan puncak pencapaian tertinggi perjalanan akal, yang sekaligus menandai perkenalannya dengan Sang Khaliq. Rasulullah bersabda,

من عرف نفسه فقد عرف ربه

“Barangsiapa mengenali dirinya, sungguh ia mengenali Tuhannya.”[11]

Melalui gambaran tugas hati dan akal di atas, Allah Subhanahu wata’ala membuat contoh konkrit dalam Alqur’an melalui kisah Nabi Ibrahim Alaihissalam, baik pada saat ia mengembangkan iman melalui akalnya, maupun meneguhkan iman dalam hatinya.

Ketika Nabi Ibrahim Alaihissalam berpikir keras tentang bagaimana Tuhan kelak menghidupkan kembali orang mati, Allah Subhanahu wata’ala segera memberi jawaban agar Ibrahim Alaihissalam memotong empat burung merpati. Kemudian burung-burung tersebut diperintahkan untuk diremukkan dan diletakkan di tempat yang terpencar. Setelah itu Ibrahim Alaihissalam diperintahkan untuk memanggil burung-burung tersebut, maka segeralah burung-burung tersebut beterbangan menuju ke arahnya.[12]

Dari kisah ini dapat kita ambil teladan, kita harus berani memacu akal untuk berpikir lebih banyak sekaligus mencari jawaban-jawabannya. Jika hal ini tidak kita lakukan, maka sama saja kita tidak memperkokoh fondasi iman kita untuk lebih jauh berkenalan dengan Tuhan.

Hal yang perlu diketahui, akal tidak dibenarkan untuk dibiarkan mencari jawaban sendiri. Akal harus dikawal dengan hati karena akal sering mengalami keterbatasan. Ketika dalam kondisi terbatas inilah akal tidak dibenarkan untuk dipaksakan mengambil keputusan sendiri. Dengan kata lain, akal berhak berkembang namun tidak berhak untuk memutuskan. Karena keputusan ini selalu berada dalam otoritas hati.

Teladan yang sama tentang hal ini juga dialami oleh Ibrahim Alaihissalam dalam kisah laih, yaitu ketika ia dilemparkan ke kobaran api. Secara nalar pikiran, Ibrahim Alaihissalam harus hangus oleh api yang berkobar, namun Ibrahim Alaihissalam menolak pikiran itu. Ia kini berpihak pada hati untuk menyerahkan segalanya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Dan terbukti, Ibrahim Alaihissalam selamat dari kobaran api kendati ia harus melawan hukum akal.[13]

Dua contoh ini cukup kiranya sebagai teladan, bahwa disamping akal harus terus di pacu, hati juga harus disiagakan agar iman tidak lepas darinya.

Dari urian di atas rincian tabelnya bisa kita pilah sebagai berikut:

No  bekal    media       keterangan
1.     hati    Allah         benar
2.    hati     makhluk    salah
3.     akal    Allah         salah
4.     akal    makhluk     benar


Untuk mengawal kiprah akal dan tugas hati, para ulama kemudian membuat beberapa kerangka teori dalam ilmu kalam. Ilmu ini oleh sebagian orang disebut hal baru yang tidak diajarkan oleh Rasulullah (bid’ah). Yang perlu kita ketahui, bukan teori apa yang harus kita pakai, tapi sejauh mana teori itu mampu mengenalkan kita kepada Tuhan, apapun namanya. Melalui teori tersebut para ulama berharap agar orang yang ingin sampai kepada Allah tidak tersesat. Bagi para sahabat dan masa awal kehadiran Islam, teori ini tentu belum diperlukan, karena setiap hal yang belum mereka ketahui bisa langsung mereka tanyakan kepada Rasulullah.

Namun bukan berarti setiap hal yang belum dikenal pada masa itu, sekarang harus diklaim sesat. Karena teori akan dianggap sesat apabila ada teks sarih yang memberi larangan terhadap teori tersebut.

IKRAR KALIMAT SYAHADAT

Kendati manusia mampu mengantarkan hatinya untuk mengenali Tuhannya, hal tersebut masih memerlukan tahapan berikutnya. Alqur’an menghendaki agar manusia mau mengikrarkan keyakinannya tersebut. Karena, ada sementara kalangan yang mengaku muslim namun tidak bersedia mengikrarkan, atau ada yang bersedia mengikrarkan namun belum mampu meyakini. Tentu realitas ini memiliki konsekwensi hukum tersendiri menurut Alqur’an.

Alqur’an hanya mengakui seseorang sebagai muslim apabila ia bersedia mengikrarkan dua kalimat syahadat sebagai fondasi akidahya. Bahkan kalimat tersebut dalam Islam sebagai rukun Islam pertama. Namun ikrar kalimat tersebut belum dianggap sah kecuali memenuhi beberapa syarat. Jika salah satu syarat tidak dipenuhi, orang tersebut belum dianggap muslim, sehingga tidak ada satu ajaran Islam pun yang mengikat padanya, dan tidak ada satu pun penghormatan yang berhak ia terima.

Inilah yang Alqur’an kehendaki, agar orang yang terikat dengan ajaran Islam tidak membebani orang-orang di luarnya, dan kehormatan yang berhak ia dapat juga jangan sampai diberikan kepada orang yang tidak mengikrarkannya. Dengan ikrar tersebut seseorang tidak berhak dikenai jizyah, atau pajak, atau hal-hal lain yang terkait lainnya. Ia juga berhak di salatkan, dimandikan, dikafani, dido’akan, dan hal-hal lain kelak ketika meninggal.[14] Demikian Alqur’an memposisikan manusia sesuai dengan proporsi iman dan agamanya.

Secara singkat, syarat tersebut terbagi menjadi dua, pertama cara mengucapkannya dan kedua redaksi kalimatnya. Mengenai syarat pertama, ada dua hal yang yang harus dipenuhi.

Pertama; Orang yang mengakui syahadat sebagai dasar akidahnya, ia harus mengikrarkan kalimat tersebut secara lisan. Orang yang hanya yakin atas kebenaran kalimat tersebut namun tidak mau mengikrarkan secara lisan, orang tersebut belum menjadi muslim. Contoh klasik paling terkenal adalah kisah Abu Thalib, paman Rasul yang paling berjasa dalam membela dakwah Rasulullah. Keyakinannya terhadap Rasulullah tidak diragukan lagi. Ungkapan syairnya nyata menyiratkan keyakinan hatinya. Ia berkata,

ولقد علمت بأن دين محمد * من خير أديان البرية دينا

“Sungguh aku yakin agama Muhammad adalah sebaik-baik agama untuk seluruh umat manusia.”[15]

Namun karena hingga akhir hayatnya Abu Thalib tidak mau mengikrarkan dua kalimat tersebut, statusnya tetap belum menjadi muslim. Secara tegas Allah firmankan bahwa Abu Thalib adalah hamba yang tidak sempat mendapatkan hidayahNya. Penegasan ini Allah tuangkan dalam firmanNya,

(إنك لا تهدي من أحببت ولكن الله يهدي من يشآء وهو أعلم بالمهتدين).

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”[16]

Kedua; Orang yang mengikrarkan kalimat syahadat harus yakin atas kebenaran kalimat tersebut. Tidak ada sekutu bagi Allah, baik Dzat, Sifat maupun segala Af’alNya. Orang yang meragukan, walaupun hanya salah satu dari tiga hal tersebut, ia belum menjadi muslim, walaupun lisannya sudah mengikrarkan. Dalam hazanah Islam, orang tersebut biasa disebut munafik, yaitu orang yang aktifitas lahiriyahnya seperti orang Islam namun hatinya tetap ingkar. Orang-orang seperti ini di hadapan Allah tetap dianggap kafir, walaupun secara hukum dunia mereka tidak bisa dikenai sanksi hukuman seperti orang kafir.

Baik di dunia maupun di akhirat, orang seperti ini adalah orang yang paling tidak berstatus. Karena secara hukum dunia mereka harus menaati seluruh aturan Islam, sedangkan di akhirat kelak mereka tetap digolongkan sebagai orang-orang kafir. Tentang isi hati orang munafik ini Allah berfirman,

(مذبذبين بين ذالك لآإلى هؤلآء ولآ إلى هؤلآء ومن يضلل الله فلن تجد له سبيلا).

“Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir), tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir). Barangsiapa yang disesatkan Allah maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.”[17]

Tak heran, jika sanksi hukumanagi orang-orang munafik kelak berupa siksa yang paling pedih dibanding sanksi untuk yang lain. Karena status kekafiran mereka selama di dunia tidak bisa dikenai sanksi hukum. Allah berfirman,

(إن المنافقين في الدرك الأسفل من النار ولن تجد لهم نصيرا).

Artinya, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.”[18]

Begitu juga kesaksian terhadap Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dalam bersaksi, orang harus yakin bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah Rasul terakhir yang diutus Allah. Sehingga seluruh ajaran yang ia bawa adalah benar adanya. Semua ajaran yang ia bawa adalah demi menyelamatkan seluruh umat manusia, baik untuk kehidupan dunia maupun di akhirat.

Oleh karena itu, ragu atas kenabian Muhammad adalah ragu terhadap seluruh ajaran yang dibawanya. Orang yang meragukan, membenci, atau bahkan memusuhi, sangat jauh dari rasa yakin atas kerasulannya, sehingga sudah tentu mereka bukan termasuk golongan umat Islam.

Kebanyakan orang munafik yang tadi sudah disinggung, seringnya adalah orang-orang yang ragu atas kenabian Muhammad ini. Banyak di antara mereka yang mengakui keesaan Tuhan dengan segala sifat kebesaranNya, namun mereka enggan mengakui kenabian Muhammad. Ini terbukti karena fenomena munafik baru terjadi setelah Rasul di Madinah. Ini tidak lain karena latar belakang agama penduduk asli Madinah kebanyakan adalah Yahudi, ahlul kitab. Mereka adalah orang-orang yang telah mengesakan Allah SWT, namun mereka meyakini bahwa dirinya lebih berhak mendapat wahyu dibanding Muhammad. Sehingga, mereka tidak mau meyakini atas kebenaran ajaran yang dibawa Muhammad.[19]

Atas sikapnya ini, Allah menggolongkan mereka sebagai orang kafir. Terbukti, ketika Rasulullah menyalatkan ‘jenazah’ Abdullah bin Ubay bin Salul, pimpinan kaum munafik Madinah, Allah seketika menegurnya. Karena, bagi Allah Abdullah tetap orang kafir yang tidak berhak mendapat kehormatan dan rahmat apapun setelah dirinya meninggal.

Allah berfirman,

(ولا تصل على أحد منهم مات أبدا ولا تقم على قبره إنهم كفروا با الله ورسوله وماتوا وهم فاسقون).

“Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.”[20]

REDAKSI KALIMAT SYAHADAT

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada redaksi syahadat, setidaknya ada dua hal yang paling utama.

Pertama; Dua kalimat syahadat tidak boleh dikurangi. Orang yang hanya mengucapkan satu kalimat syahadat, walaupun dengan penuh yakin, orang tersebut belum menjadi Islam. Fenomena ini banyak ditemui pada pemeluk agama selain Islam. Mereka meyakini bahwa tuhan mereka adalah Maha Kuasa, Maha Besar dan Maha Segelanya. Sehingga secara tidak langsung mereka telah memiliki ketauhidan. Ketidak-mauan mereka mengakui kerasulan Muhammad dan mengikuti ajarannya hanyalah soal pilihan cara dalam mendekatkan diri kepada Sang Khaliq. Mereka yakin apa yang mereka tempuh tujuannya sama dengan apa yang ditempuh Muhammad, yaitu mendekatkan diri kepada Allah.

Allah berfirman,

(...والذين اتخذوا من دونه أوليآء ما نعبدهم إلا ليقربونا الى الله زلفى ..).

“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’.”[21]

Qatadah berkata, “Ketika ditanyakan kepada mereka, siapa tuhan kalian dan siapa yang menciptakan kalian? Siapa yang menciptakan langit dan bumi dan siapa yang menurunkan hujan dari langit?” Mereka serempak menjawab ‘Allah’. “Kenapa kamu menyembah berhala?” Mereka menjawab, “Agar mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya dan memberi syafaat kepada kami di sisiNya.”[22]

Bahkan di antara mereka ada yang telah meyakini kenabian Muhammad, hanya saja mereka tidak mau ikrar untuk mengikutinya. Bagi mereka, jika tujuannya sudah sama, kenapa mesti harus mengakui kenabian Muhammd. Mengakui kenabian Muhammad hanya akan mengikat dirinya harus mengikuti segala ketentuan yang disyariatkan Muhammad.

Untuk masyarakat di Indonesia, kita sering mendengar adanya aliran kebatinan. Kita juga mendengar mereka adalah orang-orang yang mengesakan Tuhan dan telah mengakui segala kebesaranNya.[23] Namun karena mereka tidak mengakui kerasulan Muhammad, akhirnya mereka memilih cara tersendiri. Cara inilah yang kemudian membedakan pengertian esa yang mereka maksud dengan Esa yang dibawa Nabi Muhammad, maha besar yang mereka yakini berbeda dengan Maha Besar yang dikehendaki Muhammad. Dan akhirnya, tauhid yang mereka yakini juga bukan tauhid yang diyakini umat Islam.

Begitu juga apabila ada orang mengakui kenabian Muhammad, tetapi tidak mau mengakui keesaan Allah. Orang tersebut juga bukan dianggap umat Islam. Sebab kenabian Muhammad tidak pernah mengajarkan tauhid kecuali tauhid yang mengesakan Tuhan. Kenabian Muhammad menempatkan syahadat tauhid sebagai kalimat pertama dalam syahadat. Sehingga orang yang mengakui kenabian Muhammad namun menuhankan selain Allah Yang Maha Esa, ia tetap bukan bagian dari umat Islam.

Allah berfirman,

(قل هو الله أحد ألله الصمد لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوا أحد).

“Katakanlah, ‘Dia-lah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”[24]

Dalam contoh klasik penulis belum menemukan komunitas ini, namun dalam catatan akhir bukunya, Constan Georgio menuliskan isi keyakinannya sebagai orang yang meyakini kenabian Muhammad, kendati ia tetap memilihi Kristen. Ia katakan, “Saya yakin atas kebenaran segala ajaran yang dibawa Muhammad dan saya sangat mengaguminya. Namun, saya tahu Muhammad sangat menghormati Isa al-Masih dan Ibunya, sehingga saya juga ingin mengikuti orang yang sangat dihormati Muhammad itu.”[25]

Pernyataan ini ingin mengakui kenabian Muhammad kendati ia tidak ingin mengikuti ajarannya. Karena dengan mengikuti orang yang dihormati Muhammad, ia merasa sudah mengikuti Muhammad. Ia pun merasa tidak perlu merubah ‘tauhid’ yang telah ia yakini. Di sinilah letak kekeliruan itu. Karena tauhid yang ia yakini tidak sama dengan tauhid orang yang sangat dihormati Muhammad. Isa al-Masih tidak memerintahkan tauhid trinitas, sedangkan kaum Kristiani sekarang bertauhid trinitas. Jika ia komitmen ingin mengikuti Isa, tauhidnya juga harus sama dengan tauhid Isa al-Masih, yaitu Tuhan Maha Esa, tiada tuhan kecuali Allah.

Orang yang sedemikian dalam kerangka teologi Alqur’an tetap belum dianggap sebagai muslim. Allah berfirman,

(لقد كفر الذين قالوا إن الله ثالث ثلاثة وما من إله الا إله واحد..).

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang berkata, ‘Bahwasannya Allah salah satu dari yang tiga’, padahal sekali-sekali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa.”[26]

Apabila mengurangi salah satu kalimat syahadat seseorang belum dianggap muslim, maka apabila tidak mengakui dua-duanya nyata-nyata ia bukan seorang muslim.

Kedua; Dua kalimat syahadat tidak boleh ditambah. Bagi orang yang sudah bersyahadat secara sempurna, namun ia menambah syahadatnya dengan kalimat lain, maka hukumnya bisa dipilah sebagai berikut.

Apabila seseorang meyakini bahwa tambahan tersebut sebagai bagian dari rukun Islam, maka syahadatnya tidak diterima, walaupun tambahan tersebut secara substansi tidak salah, atau sesuai dengan kenyataan. Hal ini seperti yang terjadi pada sebagian penganut paham Islam tertentu.[27]

Apabila tambahan tersebut tidak diyakini sebagai rukun Islam dan isinya juga tidak salah dari ketentuan Islam, syahadat tersebut tidak membuat orang yang membaca keluar dari Islam. Hal seperti ini terjadi di sebagian masyarakat Indonesia yang biasa membaca manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jilani. Mereka biasa menembahkan kalimat “Syekh Abdul Qadir adalah waliyullah”. Kalimat seperti ini tidak menjadi masalah dalam kerangka akidah, selama orang-orang yang membaca tidak meyakini bahwa kalimat ini sebagai bagian dari rukun syahadat.

Apabila kalimat yang ditambahkan tidak sesuai dengan ketentuan Islam, pelakunya bisa dianggap berdosa atau bahkan keluar dari Islam. Dalam contoh di sini, Syekh Abdul Qadir adalah memang benar sebagai seorang waliyullah. Sehingga mengakui seorang waliyullah sebagai wali adalah hal yang sah-sah saja.

Hal ini berbeda apabila tambahan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Islam. Misalnya dalam penambahan tersebut dikatakan, Syekh Abdul Qadir Nabiyyullah. Tentu penambahan seperti ini membuat orang yang bersangkutan imannya menjadi rusak.

Begitu juga orang yang menambahkan nama-nama lain dalam syahadatnya yang nama-nama tersebut ia anggap sebagai Rasul Allah. Misalnya, setelah dua kalimat syahadat ia tambahkan bahwa si fulan, si Ahmad, si Shodiq, atau lainnya sebagai utusan Allah.[28]

No




Ketiga; Dua kalimat syahadat ini tidak boleh diganti. Orang yang mengganti dua kalimat syahadat, baik mengganti salah satunya atau dua-duanya, syahadatnya tidak jadi dan tidak diterima. Untuk syahadat tauhid, sejak nabi Adam Alaihissalam hingga nabi Muhammad semuanya sama. Karena semua kerasulan membawa misi tauhid yang sama.[29]

Akan tetapi, di dalam syahadat nabi setiap umat memiliki syahadat yang berbeda, sesuai dengan nabi yang diutus untuk mereka. Umat Nabi Ibrahim Alaihissalam, kalimat syahadatnya tentu memberi kesaksian bahwa nabi Ibrahim Alaihissalam adalah Rasul Allah. Begitu juga umat Nabi Musa Alaihissalam, nabi Isa Alaihissalam dan nabi-nabi yang lain. Namun untuk umat Muhammad, kalimat syahadat Rasul selamanya tidak akan berubah. Karena Rasulullah adalah nabi terakhir yang diutus. Umat Muhammad yang merubah, mengurangi atau menambahkan syahadat Rasul, apapun tambahan yang dicantumkan dalam syahadat tersebut, orang tersebut hukumnya sudah keluar dari wadah ajaran Muhammad, selama tambahan tersebut diyakini sebagai bagian dari rukun iman.

POLA ISTINBAT PASCA RASULULLAH

Setelah Nabi Muhammad Saw. tiada, pola istinbat umat Islam terhadap Alqur’an maupun sunah mengalami pergeseran-pergeseran. Para ulama merasa perlu untuk mencari kerangka teori guna memahami hal-hal yang sudah diwariskan Rasulullah. Sebagian besar menjalankan misinya secara sungguh-sungguh, dan sebagian yang lain tumbuh dari sifat munafik yang sejak zaman Rasul masih tersisa. Maka lahirlah beragam penafsiran dalam memahami ayat-ayat Alqur’an dan sunah nabawi. Rasul sudah mengisyaratkan bahwa kelak umat Islam akan mengalami sekian banyak perbedaan paham akibat perbedaan penafsiran.[30]

Namun satu hal yang harus dipedomani, bahwa dari sekian banyak pemahaman yang berkembang hanya satu yang esensi, yaitu kembali pada Alqur'an dan Sunah nabawi serta sunah Khulafaurrasyidin.[31] Rasul bersabda, barangsiapa berpegang teguh pada dua hal ini, niscaya ia tak akan tersesat selamanya.[32] Makna hadis ini jelas, di dalam berteologi, bertutur, berprilaku, maupun berpikir, umat Islam harus selalu berpegang pada dua ajaran ini. Orang yang secara kontinu mampu mempertahankan cita-cita ini biasa disebut dengan ulama, dan merekalah yang kemudian menjadi pewaris para nabi.[33]

Kendati mereka disebut pewaris para nabi, ada satu hal yang membedakan antara mereka dengan para Rasul. Perbedaan ini karena Rasulullah adalah orang yang menerima wahyu, sehingga dialah orang yang paling tahu tentang maksud dan kehendak wahyu tersebut. Sementara para ulama -umatnya secara umum- adalah orang yang diperintahkan untuk memahami dan mengikuti wahyu tersebut.

Dengan perbedaan ini, para rasul memiliki kewajiban yang berbeda dengan umatnya. Para rasul dilarang menyembunyikan satu pun ajaran yang telah Allah wahyukan kepadanya. Jika hal ini terjadi, seorang rasul belum dianggap menunaikan kewajibannya untuk menyampaikan wahyu. Allah berfirman,

(يا أيها الرسول بلغ ما أنزل إليك من ربك فان لم تفعل فما بلغت رسالته والله يعصمك من الناس إن الله لا يهدي القوم الكافرين).

Artinya, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan kamu tidak menyampaikan amanatnya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”[34] Hal ini dimaksudkan agar rasul tidak sedikit pun mengurangi ajaran yang telah diturunkan kepadanya demi kepentingan umat manusia.

Berbeda dengan kewajiban para umatnya. Umat Islam tidak dibenarkan menyampaikan segala ajaran yang ia ketahui, selama ia belum bisa menjelaskan. Sebab hal tersebut bisa menimbulkan petaka dan fitnah di tengah kehidupan umat Islam. Jika ada orang sudah bisa memahami suatu ajaran, namun belum bisa menjelaskan, hal itu cukup diamlakan untuk dirinya sendiri. Sebab menimbulkan kerancuan dan keraguan di tengah kehidupan masyarakat akibat penjelasan agama yang tidak memadai, hukumnya sama dengan membuat fitnah bagi umat Islam.

ILHAM DALAM KERANGKA ISTINBAT

Satu indikasi utama bahwa seseorang dianggap kembali kepada ajaran yang diwariskan Rasul adalah orang yang tidak pernah mengklaim bahwa dirinya mendapat ajaran langsung dari Tuhan. Baik itu melaui ilham, wangsit, bisikan, atau klaim-klaim yang lain. Penulis tidak menafikan adanya ilham dari Allah kepada umat Islam, karena hal itu memang sudah disabdakan oleh Rasulullah.[35] Namun, yang perlu kita batasi, bahwa ilham adalah pemberian Tuhan yang bersifat pribadi, bukan untuk konsumsi publik. Seseorang tidak dibenarkan mengambil keputusan hukum yang menyangkut kepentingan publik berdasarkan ilham ini.[36] Jika pun ada ilham yang memuat indikasi kebenaran, hal tersebut harus dicarikan sandaran dalil yang sarih, baik dari Alquran maupun sunah nabawi. Sehingga hukum yang kemudian diambil bukan bersandarkan ilham, tapi melalui ajaran Rasulullah Sallahu alaihi wa sallam tersebut.

Fenomena yang berkembang banyak orang mengaku mendapat ajaran langsung dari Tuhan, terlebih hal-hal yang menyangkut teologi. Ini tidak lain karena teologi dianggap wilayah yang sangat prifat, sehingga ia pun merasa berhak untuk mendapatkan ajaran melalui hal yang sangat prifat juga. Persoalannya adalah apakah isi ajaran itu. Jika semua tidak melampaui ketentuan Alqu’ran dan Sunah, kita bisa alihkan klaim tersebut dengan mencarikan sandarannya melalui Alqur’an dan Sunah.

Hal yang ironis adalah sikap sebagian ‘figur’ masyarakat yang sering menyandarkan statement hukumnya melalui ilham atau wangsit. Ilham oriented ini bisa dipastikan sebagai indikator bahwa orang tersebut adalah orang malas atau ego. Malas karena ia tidak melacak dengan beristinbat melalui dalil-dalil yang telah diwariskan Alqur’an dan Sunah Rasulullah Saw. Jika apa yang ia yakini adalah hal yang benar, pasti Rasulullah atau para ulama sebelum sudah menyampaikan hal itu. Karena tidak ada kebenaran baru dalam Islam kecuali ia telah diajarkan Rasulullah, dan tidak satu pun ajaran Rasulullah yang bertentangan dengan kebenaran.

Disamping orang semacam itu tidak memiliki kompetensi, ia juga hanya orang ego yang mengklaim dirinya sebagai orang yang memiliki otoritas menentukan ajaran. Padahal di dalam beragama semua asumsi dan interpretasi hanyalah indikator. Kebenaran final hanyalah keyakinan yang datang dari para nabi dan rasul.

Pembatasan seperti ini merupakan pola penegakan hukum yang sangat agung. Sebab jika tidak dibatasi, setiap orang akan mengklaim bisikan hatinya sebagai ajaran agama. Hal ini justru akan meresahkan masyarakat, karena masing-masing orang hanya akan beragama sesuai dengan hasil bisikan masing-masing. Bahkan tidak menuntup kemungkinan, mereka akan meyakini bahwa apa yang mereka dapatkan harus diterima oleh masyarakat. Padahal jika pun hal tersebut memuat kebenaran, hal itu hanya bersifat pribadi.

Sikap seperti ini tentu akan menular kepada yang lain. Pola hubungan sesama umat beragama akan menjadi rentan. Masing-masing akan mengklaim bahwa ilham yang mereka miliki lebih afdal. Sehingga sesama umat Islam akan bersikap tak acuh terhadap muslim yang lain. Tentu hal ini sangat bertentangan dengan cita-cita Rasulullah agar sesama muslim saling mengasihi dan bersikap santun.[37]

Untuk masa sekarang, penegasan pola istinbat seperti ini menjadi sangat penting, sebab manusia kini telah hidup di zaman yang menuntut serba realistis. Jika asumsi masyarakat kini menghendaki setiap sesuatu harus bisa dipahami secara terbuka dan rasional, di dalam beragama pun kita juga harus mampu menjawab harapan itu. Jika tidak, agama hanya akan dianggap sebagai ajaran masa lalu yang kini bisa berubah dan lahir dari sembarang orang. Padahal otoritas ajaran tetaplah harus merujuk pada petunjuk Rasul.

Pendekatan yang diyakini sebagai alternatif pamungkas ini jangan sampai tercemari oleh pola-pola yang tidak wajar. Kita harus mampu menampilkan pendekatan ini sebagai alternatif penghujung. Jika tidak, pilar-pilar agama ini nanti akan ditinggalkan oleh para pemeluknya. Dan jika hal ini sampai benar-benar terjadi, tentu ini bukan salah masyarakat awam. Kesalahan paling prinsipil terletak pada para tokoh masyarakat yang menyandarkan keputusan hukumnya melalui kerangka yang bernuansa irrasional. Hal ini sudah pasti akan mengajak masyarkat memasuki lorong gelap yang tak berkesudahan. Pada gilirannya masyarakat awam akan turut mengaku bahwa dirinya juga mendapatkan ajaran yang layak dipedomani. Maka lahirlah para nabi palsu dan para pembohong, naudzubillah.

Penutup

Seorang ulama atau tokoh masyarakat hendaknya selalu menyelesaikan persoalan umat dengan gambaran yang lebih rasional dan didasarkan kepada dalil-dalil yang Rasulullah wariskan. Sebab orang yang tadinya merasa belum mengetahui dalil, mereka akan dengan lapang menerima pengetahuan yang baru ia dapatkan tersebut. Untuk kondisi sekarang, prinsip ini sudah pasti harus menjadi solusi pilihan. Sebab hanya dengan dalil yang jelas dan uraian yang rasional inilah masyarakat akan merasa terobati. Jika masyarakat kini dibuat putus asa oleh para elit penguasa yang tak pernah transparan dalam mengambil kebijakan, kenapa pemuka agama menempuh cara yang sama dalam menyampaikan ajaran agama. Jika dalam beragama putus asa merupakan salah satu dosa besar, betapa besar dosa orang yang membuat orang lain menjadi putus asa.

Wallahu A'lam Bil Shawab.

[1]. Sembilan Imam hadis meriwayatkan, kecuali An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ad-Darimi. Dan hanya Imam At-Tirmizi yang menggunakan kata millah, sedangkan yang lain menggunakan kata fitrah. Al-Bukhari: 1296, Muslim: 4803/ 4805, Abu Dawud: 4091, At-Tirmidzi: 2064, Musnad Ahmad bin Hambal: 6884, Al-Muwattha’ Imam Malik: 507.

[2]. Shahih Al-Bukhari: 6187.

[3]. Al-Qashash: 56

[4]. Shahih Al-Bukhari: 1296

[5]. Ali Imran: 191

[6]. Thaha: 124

[7]. Shahih Al-Bukhari: 50

[8]. Al-Ahzab: 41

[9]. Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, (Bairut: Dar al-Fikr, 2005), jld. 2, vol. 4, hal. 241.

Riwayat lain menyebutkan, “Tidak ada ibadah melebihi berpikir,” namun Ibnu al-Jauzi menyebutkan bahwa hadis kedua ini riwayatnya adalah maudhu’. Hasan Al-Bashri pernah berkata, “Berpikir sesaat lebih baik dari qiyamullail.” Dan banyak riwayat lain yang menyebutkan keutamaa berpikir ini.

[10]. Ibid., hal. 241.

[11]. Ismail bin Muhammad Al-Ajluni, Kasyful Khafa, (Bairut: Darul Kutub Al-Ilmiyah), 2/262.

Ibnu Taimiyah mengomentari sebagai hadis maudhu’ dan Imam Nawawi mengatakan bahwa hadis ini tidak valid. Terlepas dari komentar ini, Al-Mawardi meriwayatkan dalam Adab ad-Dunya wad-Din bahwa Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, “Siapakah orang yang paling tahu tentang Rabbnya?” Rasul menjawab, “Yaitu orang yang paling tahu tentang dirinya.”

[12]. “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, ‘Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati’. Allah berfirman, ‘Belum yakinkah kamu’? Ibrahim menjawab, ‘Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)’. Allah berfirman, ‘(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah) semuanya olehmu.’ (Allah berfirman), ‘Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka dating kepadamu dengan segera’. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” ( Al-Baqarah: 260).

[13]. Kisah tertuang dalam Alqur’an surat Al-Anbiyaa’ ayat 69. Allah berfirman, “Kami berfiman, ‘Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.” Dikisahkan, bahwa Ibrahim berada di dalam kobaran api selama tujuh hari dan tidak seorang pun yang bisa mendekat. Namun begitu kobaran api selesai dan orang-orang mendekat, Ibrahim ditemui dalam keadaan shalat. Minhal bin Amr berkata, “Ibrahim berkata,’ Aku tidak pernah merasakan kenikmata di dunia melebihi saat di bakar dalam kobaran api.”Lihat Alqurtubi: 6/ 171.

[14]. Salah satu kisah bahwa mereka tidak berhak didoakan adalah kisah Abdullah bin Ubay bin Salul, gembong munafik yang kisahnya nanti akan disinggung di bawah.

[15]. Lihat Alqurtubi dalam menafsirkan surat Al-An’am: 26. Allah berfirman, “Mereka melarang (orang lain) mendengarkan Alqur’an dan mereka sendiri menjauhkan diri daripadanya, dan mereka hanyalah membinasakan diri mereka sendiri, sedang mereka tidak menyadari.”

[16]. Al-Qasas: 56.

[17]. An-Nisaa’: 143.

[18]. An-Nisaa’: 145.

[19].

[20]. At-Taubah: 84.

[21]. Az-Zumar: 3.

[22]. Al-Qurtubi: 8/172.

[23]. Komunitas kejawen atau samin yang tersebar di beberapa daerah di Jawa, seperti Pati, Trenggalek, Blitar dan beberapa kawasan lainnya adalah orang-orang yang secara nyata menyebut dirinya beriman pada yang Esa, tapi bukan pengikut Muhammad.

[24]. Al-Ikhlas: 1-4.

[25]. Klaim bahwa apa yang ia lakukan sama seperti yang dialami oleh beberapa tamu Rasulullah dari Ethiopia, Najran dan Syam ketika mereka berlinang air mata setelah Rasul bacakan sebagian ayat Alqur’an adalah tidak benar. Karena janji surga yang Allah katakan pada ayat berikutnya adalah untuk mereka yang kemudian beriman kepada Rasullullah, bukan mereka yang tetap memeluk keyakinan lamanya sebagai ahlul kitab. Lihat tafsir surat Al-Maidah, ayat 82-85.

[26]. Al-Maidah: 73.

[27]. Dari Baghdad penulis sering mendengarkan radio Teheran, dan setiap adzan selalu terdengan tambahan kalimat أشهد أن عليا ولي الله yang dibaca setelah syahadat nabi. Kalimat tersebut secara substansi tidak salah. Oleh karena itu, jika kalimat ini tidak diyakini sebagai rukun Islam, membaca bacaan tersebut tidak menjadi masalah.

[28]. Satu hal yang agak misteri adalah kasus Ahmadiyah. Para pengikut Ahmadiyah mengklaim bahwa mereka sama dengan komunitas Islam secara umum. Mereka meyakini bahwa di akhir zaman Allah akan kembali menurunkan Nabi Isa ke bumi ini. Prinsip ini memang tidak beda dengan mayoritas umat Islam, karena hal ini memang direkomendasi oleh hadis-hadis sahih. Tak heran jika mereka juga beristinbat melalui hadis Al-Bukhari dan hadis-hadis sahih lainnya. Yang menjadi pemisah adalah, apakah Mirza Ghulam Ahmad itu nabi Isa yang dijanjikan? Ahmadiyah mengatakan iya, sedangkan mayoritas umat Islam meyakini bukan.

[29]. Al-Baqarah: 132-133.

[30]. Abu Dawud: 3980, dan beberapa hadis hasan atau hadis sahih yang lain.

[31]. At-Tirmidzi: 2600, Abu Dawud: 3991, Ibnu Majah: 42/43, Musnad Ahmad bin Hanbal: 16519, Ad-Darimi: 95.

[32]. Al-Muwattha’: 1395.

[33]. Al-Bukhari, Bab Al-Ilmu qabla al qaul wa al-amal, At-Tirmidzi: 2606, Abu Dawud: 3157, Ibnu Majah: 219, Musnad Imam Ahmad: 20723, Ad-Darimi: 346.

Bukan hanya mewarisi ajaran, tapi juga sirah dan prilakunya. Sebagai contoh, pertama kali hal yang ditanyakan rahib tentang kenabian Muhammad adalah para pengikutnya. Ketika sang rahib mendapat jawaban bahwa pengikut fanatik Muhammad adalah masyarakat awam, rahib seketika meyakini bahwa dialah seorang nabi untuk masanya. Seorang ulama juga harus mampu menangkap indikator-indikator sirah seperti ini.

[34]. Al-Maidah: 67

[35]. Setiap isyarat baik yang diberikan Allah kepada hambanya yang beriman adalah ilham. Hal ini ditegaskan di dalam banyak ayat Alqur’an, misalnya isyarat yang diberikan kepada Maryam, Asiah, atau ibunya nabi Musa. Lihat Tafsir Ibnu Katsir dalam surat Al-Maidah: 111.

[36]. Zaki Abdul Barr, Taqnin Ushul Fiqh, (Dar At-Turats: Cairo, 1989), hal. 95.

[37]. Sahih Al-Bukhari: 5552, Muslim: 4685, Ahmad bin Hambal: 17648.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar