Selasa

SEJARAH SINGKAT LAHIRNYA SHOLAWAT WAHIDIYAH


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِى اٰتَانَـــا بِـالْوَاحِـدِيَّةِ بِفَـضْلِ رَبِّـنَا
الْحَمْدُ لِلهِ الصَّلاَةُ وَالسَّـلامْ عَلَيْكَ وَالاَلِ أَيَا خَــيْرَ الاَنَامْ
رَبٌّ كَرِيْمٌ وَأَنْتَ ذُو خُلْقٍ عَـظِيمْ فَاشْـفَعْ لَنَا فَاشْـفَعْ لَنَا عِنْدَ الْكَرِيمْ
يَآ أَيُّهَا الْـغَوْثُ سَـلاَمُ اللهْ عَـلَيْكَ رَبِّــنِي بِـإِذْنِ اللهْ
وَانْظُرْ إِلَيَّ سَـيِّدِى بِنَظْرَةْ مُــوْصِلَةٍ لِلْـحَضْرَةِ الْـعَلِيَّةْ
يَارَبَّـنَا اللهُمَّ صَـلِّ سَـلِّمِ عَلَى مُحَمَّدٍ شَـفِيْعِ الاُمَــمِ
والاَلِ وَاجْعِلِ الآنَامَ مُسْرِعِيْنَ بالواحِـدِيَةِ لِرَبِّ العَـالَمِيْنَ
ياربَّنَا اغْفِرْ يَسِّر افْتَحْ وَاهْدِنَا قَـرِّبْ وَأَلِّـفْ بَيـْنَنَا يَارَبَّنَا
أَمَّا بَعْدُ ؛
Pada kira-kira awal bulan Juli 1959, Hadrotul Mukarrom Mbah Kyai Haji Abdoel Madjid Ma’roef Qs wa Ra Pengasuh Pondok Pesantren Kedunglo - Desa Bandar Lor Kota Kediri, menerima suatu alamat ghoib dalam keadaan terjaga dan sadar, bukan dalam mimpi. Maksud dan isi alamat ghoib tersebut ialah “SUPAYA MENGANGKAT MASYARAKAT”. Yang dimaksud adalah ikut serta memperbaiki/membangun mental masyarakat, khususnya lewat “Jalan batiniyah”. Mental masyarakat, terutama mental kesadaran kepada Allah wa Rasulihi SAW.
Sesudah menerima alamat ghoib tersebut beliau sangat prihatin dan kemudian me-ngetog/ memusatkan kekuatan batin bermujahadah (istilah Wahidiyah) munajat ber-depe-depe/ mendekatkan diri kehadirat Allah SWT, memohon bagi kesejahteraan umat dan masyarakat, terutama bagi perbaikan ahklaq dan mental masyarakat. Diantara do’a-do’a yang beliau amalkan paling banyak adalah Do’a Shalawat. Shalawat Badawiyah, Shalawat Nariyah, Shalawat Munjiyat, Shalawat Masyisyiyah dan masih banyak lagi. Boleh dikatakan hampir seluruh do’a-do’a shalawat beliau amalkan demi memenuhi maksud adanya alamat ghoib tersebut. Tidak ada waktu yang terbuang tidak dipergunakan membaca shalawat oleh beliau. Bahkan amalan beliau sebelum datangnya alamat ghoib tersebut yang paling banyak adalah do’a shalawat kepada junjungan kita kanjeng Nabi Muhammad SAW. Jika beliau bepergian dengan naik sepeda memegang stir dengan tangan kini, sedangkan tangan kanan dimasukkan dalam saku bajunya, ternyata memutar tasbih didalam saku baju tersebut. Amalan do’a Shalawat Nariyah misalnya, berkali-kali beliau hatamkan 4444 kali dalam waktu kurang lebih satu jam. Dengan penuh ketekunan dan prihatin yang sangat mendalam beliau tidak henti-hentinya bermujahadah dan melakukan riyadloh-riyadloh seperti puasa sunnah dan sebagainya demi melaksanakan maksud alamat ghoib tersebut, dan tidak seorangpun dan keluarganya yang mengetahui bahwa beliau sedang melaksanakan suatu tugas yang sangat berat. Tugas yang harus dilaksanakan bukan untuk kepentingan umat dan masyarakat bidang ilmiyah lahiriyah saja, melainkan untuk kepentingan perbaikan mental dan akhlaq umat manusia yang beraneka warna laku dan tingkahnya.
Pada kira-kira awal tahun 1963, beliau Qs wa Ra menerima alamat ghoib lagi seperti kejadian pada tahun 1959. Alamat ghoib yang kedua ini bersifat peringatan terhadap alamat ghoib yang pertama supaya cepat-cepat ikut berusaha memperbaiki mental masyarakat melalui saluran batiniyah. Maka beliaupun terus lebih meningkatkan lagi mujahadah-mujahadah berdepe-depe kehadirat Allah SWT, sampai-sampai kondisi fisik jasmani beliau qs wa Ra seringkali terganggu. Namun demikian batiniyah beliau tidak terpengaruh oleh kondisi jasmani, terus senantiasa berdepe-depe kehadirat Allah SWT. Memohonkan bagi perbaikan mental dan akhlaq umat masyarakat. Tidak lama sesudah menerima alamat ghoib yang kedua tahun 1963 itu, beliau Qs wa Ra menenima alamat ghoib dari Allah SWT untuk yang ketiga kalinya dan yang sekarang ini lebih kéras sifatnya daripada yang kedua. “Malah kulo dipun ancam menawi mboten enggal-enggal berbuat dengan tegas”. (Malah saya diancam kalau tidak cepat-cepat berbuat dengan tegas). Demikian kurang lebih keterangan yang beliau Qs wa Ra jelaskan. “Saking kerasipun peringatan / ancaman, kulo ngantos gemeter sak bakdonipun meniko (Karena kerasnya peringatan dan ancaman, saya sampai gemetar sesudah itu)” tambah beliau Qs wa Ra. Selanjutnya beliaupun menjadi lebih prihatin lagi dan terus meningkatkan mujahadah berdepe-depe lebih dekat memohon kehadirat Allah SWT. dalam situasi batiniyah yang senantiasa mengarah kepada Allah wa Rasulihi SAW. itu beliau Qs wa Ra kemudian mengarang suatu do’a shalawat. “Kulo damel oret-oretan” (istilah beliau Qs wa Ra, “Saya membuat coret-coretan”), maka tersusunlah shalawat “ALLAHUMMA KAMAA ANTA AHLUH...... “sak derengipun kulo inggih mboten angen - angen bade nyusun shalawat”. (Sebelumnya saya tidak ada angan-angan menyusun shalawat). Beliau menjelaskan : “Malah anggein kulo ndamel oret-oretan, namung kaliyan nggeloso”. (Malah saya dalam menyusun itu sambil tiduran). Kemudian shalawat “ALLOOHUMMA KAMAA ANTA AHLUH ...” yang baru lahir dari kandungan batiniyah yang bergetar dengan frekwensi tinggi kepada Allah wa Rasulihi SAW, batiniyah yang dikerumuni oleh rasa tanggung jawab dan prihatin memikirkan umat dan masyarakat itu, disuruh mencoba untuk diamalkan oleh beberapa orang yang dekat pada beliau waktu itu. Jika tidak keliru ada tiga orang yang beliau sebut sebagai pengamal percobaan, yakni Bapak Abdul Jalil (almarhum), termasuk tokoh tua dari desa Jamsaren kota Kediri, Kemudian saudara Mukhtar, pedagang dari desa Bandar Kidul Kediri dan saudara Dahlan santri dari Demak Semarang (pada waktu itu masih remaja). Alhamdulillah ketiga-tiganya melaporkan bahwa setelah mengamalkan “ALLAHUMMA KAMAA ANTA AHLUH” dikaruniai rasa tentrem dalam hati, tidak ngongso-ongso dan lebih banyak ingat kepada Allah SWT. Selanjutnya dicoba lagi beberapa santri disuruh mengamalkan dan hasilnya alhamdulillah juga sama seperti yang dialami oleh ketiga orang tersebut diatas, yang kemudian shalawat “ALLAHUMMA KAMAA ANTA AHLUH.....” ini disebut “SHALAWAT MA’RIFAT”. Kami mohon keikhlasan para pembaca untuk tabarukan dengan membaca fatihah satu kali dan Shalawat Ma’rifat satu kali.
ALFAATIHAH...............1X.
ALLOHUMMA KAMAA ANTA AHLUH; SHOLLI WASALLIM
WABAARIK ‘ALAA SAYYIDINAA WAMAULAANAA, WASYAFII‘INAA. WAHABIIBINAA, WAQURROTI A’YUNINAA MOHAMMADIN SHOLLALLAHU ‘ALAIHI WASALLAMA KAMAA HUWA AHLUH; NAS-ALUKALLAHUMMA BIHAQQIHI ANTUGHRIQONAA FII LUJJATI BAHRIL WAHDAH. HATTA LAA NARO, WA LAA NASMA’A, WA LAA NAJIDA, WA LAA NUHISSA, WA LAA NATAHARROKA, WA LAA NASKUNA ILLA BIHAA. WATARZUQONAA TAMAAMA MAGHFIROTIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA NI’MATIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA MA’RIFATIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA MAHABBATIKA YAA ALLOH, WATAMAAMA RIDWAANIKA YAA ALLOH. WASHOLLI WASALLIM WABAARIK ‘ALAIHI WA ‘ALA ALIHI WASHOHBIH, ‘ADADA MAA AHAATHO BIHI ‘ILMUKA WA AHSHOOHU KITAABUK; BIROHMATIKA YAA ARHAMARROOHIMIN WALHAMDU LILLAHI ROBBIL ‘ALAMIN.
Beberapa waktu kemudian tersusun lagi oleh beliau Qs wa Ra shalawat yang pertama dalam LEMBARAN WAHIDIYAH, yaitu “ALLOHUMMA YAA WAHIDU YAA AHAD, YAA WAAJIDU YAA JAWAAD, SHOLLI WASALLIM WABAARIK ‘ALA SAYYIDINAA MOHAMMADIN WA ‘ALA ALI SAYYIDINAA MOHAMMAD, FII KULLI LAMHATIN- WANAFASIN BI’ADADI MA’LUUMAATILLAHI WA FUYUUDLOOTIHI WA AMDAADIH”.
Shalawat ini dicoba diamalkan oleh beberapa orang, dan alhamdulillah hasilnya lebih positif lagi, yaitu dikaruniai Allah SWT ketenangan batin yang lebih mantap. Berturut-turut santri Pondok Pesantren Kedunglo banyak yang mengamalkannya dan sementara itu shalawat “ALLOHUMMA YAA WA HIDU YAA AHAD......” ini mulai diijazahkan secara umum. Tamu-tamu yang berziarah kepada beliau Mbah Yahi Qs wa Ra diberi ijazah untuk mengamalkan shalawat ini, disamping itu beliau Qs wa Ra menyuruh untuk menulis shalawat ini kepada beberapa santri, yang selanjutnya tulisan itu dikirim kepada para Ulama’/ Kyai yang diketahui alamatnya dengan surat pengantar yang ditulis oleh beliau Qs wa Ra sendiri agar bisa diamalkan oleh masyarakat setempat. Sebegitu jauh tidak ada jawaban dari para Ulama’ / Kyai yang dikirimi. Dari hari kehari makin banyak orang yang datang minta diberi ijazah amalan shalawat tersebut. Ijazah mengamalkan yang beliau Qs wa Ra berikan adalah “ijazah mutlak”, artinya disamping diamalkan sendiri supaya ditularkan / disampaikan kepada orang lain.
Pada waktu itu beliau Mbah Yahi Qs wa Ra memberikan pengajian Kitab Al-Hikam sebagai pengajian rutin seminggu sekali pada setiap Kamis malam Jum’at yang diikuti oleh santri-santri Kedunglo dan beberapa Kyai sekitar kota Kediri. Pada suatu malam Jum’at didalam majelis Pengajian Kitab Al-Hikam tersebut dituliskan Shalawat Ma’rifat “ALLOHUMMA KAMAA ANTA AHLUH...” kemudian diterangkan oleh beliau Qs wa Ra dan diijazahkan untuk diamalkan disamping shalawat “ALLOHUMMA YAA WA HID U YAA AHAD....”
Seorang ulama dan desa Pagu Kediri yaitu Bapak KH. Ridwan yang biasanya mengikuti pengajian Al-Hikam di Kedunglo, ketika melihat tulisan shalawat “ALLOHUMMA KAMAA ANTA AHLUH” yang pertama kali di papan tulis tersebut, beliau memandang dengan penuh keheranan / takjub terhadap susunan bahasa shalawat tersebut.
“Sungguh luar biasa ampuhnya shalawat ini”, demikian kata-katanya sambil menggelengkan kepala.
Demikian seterusnya berjalan dari hari kehari makin banyak orang yang minta ijazah shalawat WAHIDIYAH dan shalawat MA’RIFAT. Untuk memenuhi kebutuhan yang bertambah banyak itu seorang pengamal shalawat Wahidiyah dari Tulungagung yakni Bp. KH. Mukhtar yang juga seorang ahli khot tulis Arab, membuat Lembaran shalawat Wahidiyah, “ALLOHUMMA YAA WAAHIDU YAA AHAD..... dan ALLOHUMMA KAMAA ANTA AHLUH...” dengan distensil yang sangat sederhana atas biaya sendiri dan dibantu oleh beberapa orang pengamal shalawat Wahidiyah dari Tulungagung.
Pengajian kitab al-Hikam yang diadakan setiap Kamis malam Jum’at itu kemudian atas usul dari peserta pengajian yang menjadi pegawai negeri, pengajian dirubah hari Minggu pagi hingga sekarang. Yang juga didahului dengan berjama’ah sholat tasbih dan mujahadah shalawat Wahidiyah. Penjelasan dalam pengajian tersebut menggunakan istilah-istilah / kata-kata populer yang mudah difahami dan mudah diterapkan dalam hati pendengarnya. Adapun keterangan- keterangan yang diberikan oleh beliau Mbah Yahi Qs wa Ra dalam mengulas kitab al-Hikam itu diintegrasikan dalam fatwa amanatnya dan dalam Buku Kuliah Wahidiyah.
Soal-soal yang prinsip dan paling pokok bagi kehidupan manusia meliputi bidang akhlaq, tauhid, bidang mental, adab, bidang kemasyarakatan diuraikan dengan contoh-contoh dan dengan i’tibar-i’tibar yang mudah difahami. Sehingga mudah diterapkan dalam hati sanubari para pengikut pengajian. Penguraian ajaran-ajaran Wahidiyah seperti LILLAH BILLAH dan sebagainya disajikan dengan sistematis, sepadan dengan situasi dan kondisi para pengikut pengajian. Contoh-contoh diambilkan dari pengalaman-pengalaman hidup sehari-hari di dalam masyarakat.
Disaat beliau Qs wa Ra menerangkan soal-soal hakekat wujud, ketika sampai pengertian dan pengetrapan “BIHAQIQOTIL MUHAMMADIYYAH”, selanjutnya kemudian disempurnakan dengan penerapan LIRRASUL BIRRASUL, tersusun pulalah shalawat yang ketiga yaitu : “YAA SYAFI’AL KHOLQIS SHOLATU WASSALAM ....... dst,“ yang dalam pengamalannya dirangkaikan menjadi satu rangkaian amalan yang didahului dengan bacaan al-Fatihah bagi junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW dan bagi beliau Ghoutsi Hadzaz Zaman Ra dan seterusnya. Untuk tabarrukan, mari kita baca :
AL FAATIHAH.............1 X.
...............................
...............................
# YAA SYAAFI’AL KHOLQIS SHOLAATU WASSALAAM,
# ‘ALAIKA NUUROL KHOLQI HAADIYAL ANAAM.
# WA ASHLAHU WA RUUHAHU ADRIKNII,
# FAQOD DHOLAMTU ABADAN WA ROBBINII
# WA LAISA LII YAA SAYYIDII SIWAAKA,
# FA-IN TARUDDA KUNTU SYAKHSHON HAALIKA.
AL-FAATIHAH.............1X
Rangkaian ketiga shalawat termasuk bacaan Fatihahnya tersebut diberi nama “SHALAWAT WAHIDIYAH”.
Kata Wahidiyah diambil dan dari tabarrukan (mengambil barokah) dari salah satu Asm’ul A’dhom yang terdapat didalam shalawat yang pertama yaitu “WAAHIDU” artinya “SATU / ESA”. Satu tiada terpisah-pisahkan lagi mutlak satu, aslan wa abadan. Sifat SATU / ESA bagi Allah SWT, tidak seperti satunya makhluk. Diantara khawas / rahasia-nya Asma “WAAHIDU”, seperti disebutkan dalam kitab Sa’adatud Daroini, Rasulullah SAW bersabda yang artinya kurang lebih “AL-WAAHIDU, termasuk asma Allah yang agung (Asmaa’ul A’dhom) yang barang siapa berdo’a dengan kalimah itu mudah diijabahi”.
Para ulama ahli hikmah mengatakan: “Bahwa diantara khawasnya (khasiatnya) Asma “AL-WAAHIDU, yaitu menyembuhkan rasa kebingungan, rasa rupek (jiwa terhimpit), rasa gelisah dan kesusahan”. Barang siapa membacanya dengan sepenuh hati dan hudlu’ sebanyak 1000 kali, maka dia dikaruniai Allah SWT tidak mempunyai rasa takut dan khawatir kepada makhluk, dimana takut kepada makhluk itu adalah sumber dari pada balak bencana di dunia dan akhirat. Dia hanya takut kepada Allah dan tidak takut kepada selain Allah.
Pada kira-kira akhir tahun 1963 diadakan pertemuan silaturrohmi diantara para tokoh dan Ulama’ / Kyai yang sudah mengamalkan Shalawat Wahidiyah dari Kediri, Tulungagung, Blitar, Jombang dan Mojokerto bertempat di langgar (mushalla) Bp. KH. Abdul Djalil (almarhum) Jamsaren Kediri. Pertemuan silaturrohmi tersebut langsung dipimpin oleh beliau Hadrotul Mukarrom Mbah Yahi Qs wa Ra sendiri. Diantara hasil musyawarah tersebut ialah susunan redaksi kata-kata yang kemudian ditulis di dalam lembaran-lembaran Shalawat Wahidiyah, sebagai petunjuk cara pengamalan Shalawat Wahidiyah, termasuk kata-kata jaminan / garansi, yang insya Allah redaksi asli dari pada “Jaminan” tersebut diusulkan oleh Hadrotul Mukarrom Mbah Kyai sendiri didalam musyawarah tersebut dan disetujui. (periksa lembaran Shalawat Wahidiyah th. 1964 terlampir).
Kemudian pada tahun 1964 menjelang peringatan ulang tahun lahirnya Shalawat Wahidiyah yang pertama dalam bulan Muharrom tahun tersebut, seorang pengamal Shalawat Wahidiyah dari Surabaya yakni bapak KH. Mahfudz dari Ampel Surabaya dengan dibantu beberapa kawan, mengusahakan klise Shalawat Wahidiyah yang petama dan mencetaknya sekali sebanyak kurang lebih dua ribu lima ratus lembar diatas kertas HVS putih atas biaya Almarhumah Ibu H. Nur AGN Surabaya. Pada tahun 1964 sesudah peringatan Ulang Tahun Shalawat Wahidiyah yang pertama, diadakan Asrama Wahidiyah di Kedunglo dan diikuti tokoh-tokoh dan para Kyai yang sudah menerima Shalawat Wahidiyah, dari daerah Kediri, Madiun, Tulungagung, Blitar, Malang, Jombang, Mojokerto dan Surabaya. Asrama diadakan selama tujuh hari tujuh malam, dan kuliah-kuliah Wahidiyah langsung diberikan oleh Hadrotul Mukarrom Mbah KH. Abdul Madjid Qs wa Ra - Mu’allif Shalawat Wahidiyah sendiri. Didalam asrama itulah lahirnya kahimat nida’ “YAA SAYYIDII YAA RASUULALLAH”.
Sebagai pelengkap untuk menyempurnakan dan meningkatkan amalan Shalawat Wahidiyah yang sudah ada, maka didalam lembaran Shalawat Wahidiyahpun kemudian ditambahkan kalimat tersebut. (periksa terlampir “Lembaran Shalawat Wahidiyah” yang ditulis pada tahun 1964).
Pada kira-kira awal tahun 1965, beliau menerangkan hal-hal mengenai Ghoutsu Hadzaz Zaman Ra. Didalam fatwanya tersebut (dalam suatu asrama Wahidiyah yang kedua) di Kedunglo, lahirlah dari kandungan fatwanya :
# YAA AYYUHAL - GHOUTSU SALAAMULLOH,
# ‘ALAIKA ROBBINII BI-IDZNILLAH.
# WANDHUR ILAYYA SAYYIDII BINADHROH,
# MUUSHILATIL - LILHADLROTIL ‘ALIYYAH.
Aurod ini, merupakan suatu jembatan emas yang menghubungkan tepi jurang pertahanan nafsu disuatu fihak dan tepi kebahagiaan kesadaran kepada Allah wa Rasulihi SAW, dilain fihak. Sebagian pengamal Shalawat Wahidiyah menyebutnya “ISTIGHOTSAH” dalam Wahidiyah. Istighotsah ini tidak langsung dicantumkan kedalam rangkaian Shalawat Wahidiyah dalam lembaran-lembaran yang diedarkan kepada masyarakat, tetapi dianjurkan banyak diamalkan oleh mereka yang sudah agak lama mengamalkan Shalawat Wahidiyah, terutama dalam mujahadah-mujahadah khusus. Begitu juga kalimah nida’ “FAFIRRUU ILALLAH” pada waktu itu belum dicantumkan dalam rangkaian pengamalan Shalawat Wahidiyah, tetapi dibaca bersama-sama oleh imam dan makmum pada akhir tiap-tiap do’a. Dan pada waktu itu “WAQUL JAA-AL HAQQU WA ZAHAQOL BAATHIL INNAL BAATHILA KAANA ZAHUUQOO” juga belum dijadikan rangkaian dengan “FAFIRRIUU ILALLAH” seperti sekarang. Tentulah ini suatu kebijaksanaan yang mengandung berbagai macam hikmah dan sirri-sirri yang kita tidak mampu menguraikannya atau tegasnya tidak mengetahuinya. Demikianlah dalam masa-masa sesudah tahun 1965, beberapa waktu lamanya “LEMBARAN SHALAWAT WAHIDIYAH” yang diedarkan kepada masyarakat tetap seperti semula yaitu sampai pada “YAA SAYYIDII YAA RASUULALLAH”.
Perhatian masyarakat makin hari makin terus bertambah-tambah terhadap Shalawat Wahidiyah. Permintaan-permintaan lembaran Shalawat Wahidiyah makin bertambah-tambah, sekalipun disana sini ada sebagian masyarakat yang tidak mau menerimanya dan bahkan memberikan reaksi terhadap Shalawat Wahidiyah. Kontras-kontras terhadap Shalawat Wahidiyah tersebut, ternyata dikemudian hari mengandung hikmah dari Allah SWT. Yakni merupakan saluran tarbiyah Allah SWT bagi peningkatan kesadaran kepada Allah wa Rasulihi SAW.
Suatu ketika, wakil pengamal dari suatu daerah pernah melaporkan kepada beliau Mbah Yahi Qs wa Ra, bahwa didaerahnya terjadi pengontrasan yang sangat agresif. Dengan ramah dan senyuman beliau memberikan jawaban : “Mestinipun kito rak matur kasuwun dateng mereka, jalaran kito lajeng mindak / mempeng anggen kito mujahadah”. (Mestinya kita kan harus berterima kasih kepada mereka, sebab menjadikan kita makin giat bermujahadah).
Dalam suatu fatwa amanatnya dalam mujahadah Kubro sesudah tahun 1970, beliau Hadrotul Mukarrom Mbah Yahi Qs wa Ra memberikan suatu pandangan dan sikap perjuangan Wahidiyah terhadap adanya kontras-kontras tersebut, bahwa para pengontras terhadap Wahidiyah itu sesungguhnya besar sekali jasanya terhadap Wahidiyah. Mereka - mereka itu adalah “KAWAN SETIA DALAM PERJUANGAN WAHIDIYAH” yang harus kita syukuri.
Pada kira- kira mulai tahun 1968, mulailah dimasukkan ke dalam rangkaian Shalawat Wahidiyah yang disebarkan kepada masyarakat, ialah redaksi :
# YAA AYYUHAL GHOUTS SALAMULLOH
# ‘ALAIKA RABBINI BI IDZNILLAH.
# WANDZUR ILAYYA YA SAYYIDII BINADZROH.
# MUSHILATIN LILHADLROTIL ‘ALIYYAH.
Dan redaksi :
# YAA ROBBANALLOHUMMA SHOLLI SALLIMI
# ‘ALA MOHAMMADIN SYAFII’IL UMAMI,
# WAL ALI WAJ-‘ALIL ANAAMA MUSRI’IIN
# BIL-WAAHIDIYYATI LIROBBIL ‘ALAMIIN
# YAA ROBBANAGH-FIR YASSIR IFTAH WAHDINAA
# QORRIB WA ALLIF BAINANAA YAA ROBBANAA
Kemudian menjelang tahun 1971 menjelang pemilihan umum dinegara kita, ditambah lagi dengan :
# YAA SYAAFI’AL KHOLQI HABIIBALLAHI
# SHOLAATUHU ‘ALAIKA MA’ SALAAMIHI
# DLOLLAT WA DLOLLAT HILATII FII BALDATII
# KHUDZ BIYADII YAA SAYYIDII WAL UMMATI
Demikian berturut-turut, Shalawat Wahidiyah semakin hari semakin disempurnakan seirama dengan peningkatan Ajaran Wahidiyah yang diberikan oleh Beliau Hadrotul Mukarrom Mbah Yahi Qs wa Ra kepada kita dan disesuaikan dengan kebutuhan situasi dan kondisi didalam masyarakat umat manusia baik didalam maupun diluar negeri.
Pada tahun 1972 dilengkapi dengan do’a permohonan :
“ALLOHUMMA BAARIK FIIMA KHOLAQTA WAHAADZIHIL BALDAH”.
Tahun 1973 dilengkapi dengan do’a nida’ :
“BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIIM. ALLOHUMMA BIHAQQISMIKAL A’DHOM WABIJAAHI SAYYIDINAA MOHAMMADIN SHOLLALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM WABIBAROKATI GHOUTSI HAADZAZ ZAMAN WA A’WAANIHI WA SAAIRI AULIYAAIKA YAA ALLOOH, YAA ALLOOH, YAA ALLOOH, RODLIYALLAHU TA’ALA ‘ANHUM (3X). BALLIGH JAMII’AL ‘ALAMIIN NIDAA ANAA HAADZA WAJ-‘AL FIIHI TAKTSIIRON - BALIIGHO (3X) FAINNAKA ‘ALAA KULLI SYAI-IN QODIIR WABIL IJAABATI JADJIR (3X).
FAFIRRUU TLALLAH!
WAQUL JAA-AL HAQQU WAZAHAQOL BAATHIL INNAL BAATHILA KAANA ZAHUUQOO!
Ditambah dengan nida’ “FAFIRRUU ILALLAH” dengan berdiri menghadap empat penjuru.
Tahun 1978 dilengkapi dengan do’a “ALLOHUMMA BAARIK FII HAADZIHIL MUJAAHADAH YAA ALLOH.
Tahun 1980 dalam Shalawat Ma’rifat diwaktu pembaca sudah sampai pada “WATARZUQONA TAMAAMA MAGHFIROTIKA” ditambah “YAA ALLOOH” demikian juga “WATAMAAMA NI’MATIKA” dan seterusnya sampai dengan “WATAMAAMA RID WANIKA” ditambah dengan “YAA ALLOOH”.
Tahun 1981 do’a “ALLOHUMMA BAARIK FIIMA KHOLAQTA WAHADZIHIL BALDAH” ditambah “YAA ALLOOH”, dan do’a “ALLOHUMMA BAARIK FII HAADZIHIL MUJAHADAH YAA ALLOOH”, menjadi “WA FII HAADZIHIL MUJAHADAH YAA ALLOOH”, sehingga menjadi rangkaian do’a “ALLAOOHUMMA BAARIK FIIMA KHOLAQTA WAHADZIHIL BALDAH YAA ALLOH, WA FII HAADZIHIL MUJAHADAH YAA ALLOH”.
Demikian secara kronologis/ urutan lahirnya amalan Shalawat Wahidiyah yang mengalami penyempurnaan di setiap periode. Semua dari masing-masing penyempurnaan itu, sudah barang tentu memiliki sirri-sirri yang kita sekalian tidak mengetahui maknanya. Hanya kadang-kadang ada beberapa pengamal ditunjukkan secara bathiniyah sirri-sirri tersebut.
Disamping itu penyempurnaan dari seluruh pengamalan Shalawat Wahidiyah, seirama dengan peningkatan Ajaran Wahidiyah yang diberikan beliau kepada kita, dan sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi didalam masyarakat, baik diIndonesia maupun di Luar Negeri.
Semoga Allah SWT memberikan barokah terhadap Shalawat Wahidiyah dan memberikan balasan yang sebanyak-banyaknya kepada beliau muallifnya, Hadrotul Mukarrom Mbah KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs wa Ra ilaa yaumil qiyaamah. Amiin.
- AL - FAATIHAH..................................................................... 1X
- YAA SYAFI’AL KHOLQIS SHOLAATU WASSALAAM 3X
- YAA SAYYIDII YAA RASUULALLOH. .......................... 7X
- YAA AYYUHAL GHOUTSU SALAAMULLOH............... 3X
- AL - FAATIHAH................................................................ 1X

 .

Sabtu

Pembagian Mazhab menurut Islam


Kasih Sayang Rasulullah dalam Masalah Jihad




“Muhammad telah menyiapkan untuk umatnya sebab-sebab kekuatan, kemuliaan, dan keperkasaan” (Jawaharal Nehru; Pemimpin India yang terkenal)
“Laporan Departemen Pertahanan AS menegaskan bahwa 4% polisi wanita mengalami pelecehan seksual dari pimpinan dan komandan pasukan. Jumlah ini berkali-kali lipat dibandingkan dengan pelanggaran susila yang terjadi dalam kehidupan rakyat sipil di AS. Ditambah lagi 52% dari polisi wanita ini menghadapi gangguan moral dan seksual dengan tingkat yang berbeda-beda.” (Laporan dari Majalah “Muslim Soldier” Kuwait, Februari 2003).

Inilah kondisi mereka, namun Islam adalah berbeda!
            Pertama-tama, mungkin sebagian orang akan heran melihat judul pembahasan ini. Yang mengherankan adalah bagaimana ada yang membayangkan bahwa dalam jihad masih ada rasa kasih sayang.
            Gambaran itu mungkin saja benar apabila berkaitan dengan peradaban atau hukum selain peradaban dan hukum Islam. Dan, mungkin saja anggapan ini benar apabila mereka berhadapan dengan pemimpin atau komandan selain Rasulullah saw.
            Kasih sayang Rasulullah dalam medan jihad sangat tampak, baik kepada kaum muslimin maupun kepada non muslim. Adapun kasih sayang beliau kepada non muslim akan ada pembahasan lain di akhir pembahasan ini, insya Allah. Kali ini kita akan membahas kasih sayang beliau kepada sesama muslim.
Mungkin ada yang heran dengan adanya pembahasan kasih sayang dalam jihad, padahal kasih sayang itu khusus dalam perkara ibadah. Mereka mengira bahwa ibadah itu hanya terbatas pada shalat, zakat, puasa, haji, dan bentuk ritual lainnya. Mereka tidak melihat ibadah dalam konteks yang luas dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Allah berfirman:
 “Katakanlah, ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam’.” (Al-An’âm: 162).
Dari sini jihad menjadi ibadah. Bahkan menjadi ibadah yang paling tinggi nilainya dalam Islam. Lihatlah percakapan antara Rasulullah dan Mu’adz bin Jabal yang menunjukkan kedudukan banyak ibadah dalam Islam, di antaranya adalah jihad.
Mu’adz bin Jabal berkata, “Saya bersama Nabi saw dalam sebuah perjalanan. Suatu hari saat berjalan saya berada di dekat beliau. Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, beritahu saya amal yang akan memasukan saya ke surga dan menjauhkan saya dari neraka.’ Beliau bersabda, ‘Engkau telah bertanya tentang masalah yang besar. Namun itu adalah perkara yang mudah bagi siapa yang dimudahkan oleh Allah SWT. Engkau harus menyembah Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan apapun, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah.’ Kemudian beliau bersabda, ’Maukah kamu aku tunjukkan pintu-pintu kebajikan? Puasa adalah perisai, sedekah memadamkan dosa sebagaimana air memadamkan api, dan shalat di tengah malam.’ Kemudian beliau membaca ayat:
"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa-apa rezeki yang Kami berikan. Tak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang mata sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan." (As-Sajdah 16-17).
Kemudian beliau bersabda kembali, ’Maukah kalian kuberitahu pangkal agama, tiangnya, dan puncak tertingginya?’ Aku menjawab, ’Mau, wahai Rasulullah.’ Rasulullah saw bersabda, ’Pokok urusan adalah Islam, tiangnya adalah sholat, dan puncak tertingginya adalah jihad.’ Kemudian beliau melanjutkan, ’Maukah kalian kuberitahu tentang kendali bagi semua itu?’ Saya menjawab, ’Mau, wahai Rasulullah.’ Beliau lalu memegang lidahnya dan bersabda, ’Jagalah ini.’ Saya bertanya, ’Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa karena ucapan-ucapan kita?’ Beliau menjawab, ’Celaka kamu. Bukankah banyak dari kalangan manusia yang tersungkur ke dalam api neraka dengan mukanya terlebih dahulu (dalam riwayat lain dengan lehernya terlebih dahulu) itu gara-gara buah ucapan lisannya?’.”[1]
Jihad tidak sekedar ibadah, ia juga merupakan puncak tertinggi keislaman. Hadits-hadits tentang keutamaannya amat sulit dihitung. Walaupun jihad begitu penting dan umat ini sangat memerlukannya untuk mempertahankan negeri dan kehormatannya serta mengembalikan kemuliaan dan mencegah kezaliman, namun Rasulullah berinteraksi dengan para mujahid dan seluruh umat secara umum dengan perasaan kasih sayang.
Beliau memahami kondisi mereka, memudahkan urusan mereka, menyayangi mereka, dan berlaku lembut terhadap mereka, padahal dalam situasi seperti ini sulit—dalam pandangan banyak orang—untuk berlaku lembut dan penuh kasih sayang.
Hal indah yang bisa kita temui dalam kehidupan beliau berkaitan dengan masalah ini adalah tidak keluarnya beliau dalam seluruh pertempuran. Beliau keluar pada sebagian perang, yang dalam sejarah dikenal dengan ghazwah, dan tidak ikut dalam sebagian lainnya, yang dalam sejarah dikenal dengan sarâyâ.
Mengapa beliau tidak keluar dalam seluruh peperangan, padahal keinginan beliau begitu kuat untuk berkorban dan berjuang di jalan Allah? Rasulullah sendiri yang menjawabnya dengan ucapan beliau:
والَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْلاَ أَنَّ رِجَالاً مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ لاَ تَطِيْبُ أَنْفُسُهُمْ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنِّي وَلاَ أَجِدُ مَا أَحْمِلُهُمْ عَلَيْهِ مَا تَخَلَّفْتُ عَنْ سَرِيَّةٍ تَغْزُو فِي سَبِيلِ اللهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوَدِدْتُ أَنِّي أُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللهِ ثُمَّ أُحْيَا، ثُمَّ أُقْتَلُ، ثُمَّ أُحْيَا، ثُمَّ أُقْتَلُ، ثُمَّ أُحْيَا، ثُمَّ أُقْتَلُ.
”Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalau bukan karena sebagian orang beriman ada yang tidak senang hati untuk meninggalkanku (tidak ikut serta berperang bersamaku) sedangkan aku tidak mendapatkan bekal untuk mereka, maka aku tidak akan meninggalkan satu pun pasukan yang berjuang di jalan Allah. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku ingin terbunuh di jalan Allah kemudian dihidupkan lagi, kemudian terbunuh, kemudian dihidupkan lagi, kemudian terbunuh, kemudian dihidupkan lagi, kemudian terbunuh.”[2]
Lihatlah kasih sayang beliau kepada kaum muslimin yang dituntut untuk melaksanakan jihad. Beliau ingin menghilangkan kesusahan mereka yang timbul apabila beliau selalu ikut keluar berperang. Sebab, mereka akan memaksakan diri untuk keluar bersama beliau. Beliau mengambil keputusan untuk tidak keluar—padahal beliau sangat ingin untuk melaksanakan hal itu—karena kasih sayang beliau kepada mereka.
Beliau juga menolak bila ada orang yang lemah ingin ikut perang, padahal jumlah kaum muslimin sedikit. Beliau tidak ingin menyusahkan mereka walaupun mereka berkeinginan untuk itu. Kecuali bila mereka memaksa dan beliau melihat ada sedikit kemampuan untuk itu.
Dalam pembahasan tentang haji, kita melihat bagaimana beliau menolak permintaan Ummul Mukminin, Aisyah, yang berkaitan dengan permasalahan jihad. Hal ini karena rasa sayang beliau kepada kaum wanita. Kita juga sudah melihat bagaimana beliau menolak anak-anak untuk ikut berperang. Begitu pula kita telah melihat beliau menyuruh pulang beberapa pemuda yang memiliki tugas dan tanggung jawab merawat orang tua mereka.
Kisah beliau dengan Amr bin Jamuh dan anak-anaknya juga menunjukan luasnya kasih sayang, bukan hanya dari satu sisi melainkan dari berbagai sisi yang berbeda.
Ketika Rasulullah mendorong orang-orang untuk ikut ke Badar, Amr bin Jamuh ingin turut serta keluar bersama mereka. Namun ia ditahan oleh anak-anaknya atas perintah Rasulullah karena kakinya yang pincang. Ketika perang Uhud, ia berkata kepada anak-anaknya, “Dulu kalian melarangku untuk keluar dalam perang Badar. Maka jangan melarangku untuk keluar dalam perang Uhud.” Mereka berkata, “Sesungguhnya Allah telah memaafkanmu.” Ia mendatangi Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak-anakku ingin menahanku untuk pergi berperang bersamamu. Demi Allah saya ingin menginjak surga dengan kakiku yang pincang ini!” Rasulullah bersabda, “Engkau sudah diberi keringanan oleh Allah dan tidak ada kewajiban jihad bagimu.” Beliau juga bersabda kepada anak-anak Amr, “Kalian tidak boleh melarangnya. Semoga Allah memberinya anugrah mati syahid.” Ia kemudian mengambil senjatanya dan berangkat sambil berdoa, “Ya Allah karuniakanlah syahid kepadaku dan jangan engkau kembalikan aku kepada keluargaku dalam keadaan merugi.” Ketika beliau syahid di perang Uhud, istrinya, Hindun binti Amr, bibi dari Jabir bin Abdullah datang untuk membawanya. Ia juga membawa saudaranya, Abdullah bin Amr bin Haram. Mereka dimakamkan dalam satu kuburan. Rasulullah saw bersabda,”Demi jiwaku yang ada di tangannya, sungguh saya melihat dia menginjak surga dengan kakinya yang pincang.”[3]
Di sini sangat jelas bahwa kasih sayang itu bersusun-susun dan beraneka ragam.
Pada awalnya, beliau sangat sayang kepadanya. Beliau tidak ingin adanya kesusahan yang ia rasakan selama berjihad karena kakinya yang pincang. Beliau memaafkannya dengan memberi keringanan untuk tidak berjihad, bahkan melarangnya untuk ikut. Dalam waktu yang sama, beliau juga merasa sayang kepada keluarganya agar tak terkejut dengan berita kematiannya. Khususnya karena empat orang anaknya telah keluar untuk berjihad. Tinggallah ia seorang yang mengurus keperluan rumah tangganya.
Ketika beliau mendapati keinginannya yang kuat untuk berjihad, beliau merasa peduli terhadap keinginan dan kerinduannya ini. Beliau menghargai sikapnya, memahami perasaannya, dan menerimanya untuk ikut berjihad. Bahkan beliau menengahi di antara anak-anaknya dan menenangkan mereka. Ketika Amr bin Jamuh gugur, beliau menyampaikan berita gembira tentang tempatnya, agar anak-anaknya tidak menjadi sedih dan tidak merasa menyesal atas kepergiannya.
Sungguh kasih sayang beliau datang secara berturut-turut, padahal perkaranya berhubungan dengan masalah jihad dan peperangan.

[1] HR Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan Hakim.
[2] HR Bukhari (2644), Muslim (1876), Nasa’i (3098), Ibnu Majah (2753), dan Ahmad (7157).
[3] Usudul Ghabah, 3/702.



Atas besarnya kasih sayang di dalam pribadi Rasulullah, beliau juga mengkhawatirkan kondisi pasukannya dari kelelahan yang sangat. Hal ini sebagaimana yang beliau lakukan pada saat fathu Makkah yang terjadi pada bulan Ramadhan. Saat itu Rasulullah saw dan orang-orang beriman sedang puasa. Ketika selesai shalat ashar, beliau mendengar bahwa orang-orang merasakan kepenatan karena puasa. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah?
            Jabir bin Abdullah bercerita, ”Rasulullah keluar pada saat fathu Mekah ke Mekah pada bulan Ramadhan. Beliau dan kaum muslimin berpuasa. Ketika tiba di Kura’ Al-Ghamim, beliau meminta segelas air dan mengangkatnya hingga semua orang melihatnya. Kemudian beliau minum. Ada yang berkata kepada beliau setelah itu, ’Di antara orang-orang masih ada yang puasa.’ Beliau berkata, ’Mereka adalah orang yang bermaksiat, mereka adalah orang yang bermaksiat.’[1]
Alangkah besarnya kasih sayang beliau!
Beliau tidak ingin memberikan izin kepada orang-orang untuk berbuka sementara beliau sendiri masih puasa. Hal ini agar tidak menimbulkan beban kesusahan di hati mereka. Beliau sendiri akhirnya yang pertama-tama membatalkan puasa dan berbuka dengan air, agar menjadi contoh bagi mereka. Sebagian besar tentara turut berbuka. Namun ada sekelompok orang yang ingin tetap berpuasa. Ketika beliau mendengar hal ini, beliau berkata, "Mereka adalah orang yang bermaksiat."
Beliau menyatakan hal ini karena mereka tidak menyayangi diri sendiri dan tidak mengikuti yang menjadi pemimpin mereka dalam hal ini. Atau paling tidak beliau merasa susah karena berbuka di hadapan orang yang berpuasa. Kasih sayang beliau ini berlaku kepada seluruh tentara. Beliau ingin memberikan mereka ketenangan dengan tidak mengumpulkan antara lelahnya berpuasa dan lelahnya berjihad.
Anda sudah tahu, bahwa semua itu dilakukannya setelah shalat ashar. Maka Anda dapat melihat sejauh mana kasih sayang beliau yang tidak mau membiarkan mereka untuk menunggu waktu yang tersisa ini. Semua itu karena rasa sayang beliau terhadap umatnya.
Beliau memperhatikan korban terluka dari pasukannya dan berusaha mengobati mereka bila mampu. Ketika Saad bin Muadz terkena panah di bagian lengannya, beliau berusaha mengobatinya dengan besi panas (agar darahnya tidak mengucur), tapi kemudian membengkak, sehingga beliau obati untuk kedua kalinya.
Ketika korban luka-luka sudah banyak berjatuhan sementara Rasulullah tidak mampu berbuat sesuatu, beliau menyerahkan pengobatannya kepada Rufaidah yang terkenal pandai dalam pengobatan. Beliau memberikan sebuah tempat di masjid dan beliau biasa mengunjunginya.[2]
            Beliau sedih apabila di antara para shahabatnya ada yang mendapatkan luka atau gugur. Beliau menangisi mereka walapun mereka adalah para syuhada dan beliau sendiri adalah seorang kepala negara. Orang-orang menjadi terkesan dengan tangisan ini.
            Anas bin Malik meriwayatkan bahwa beliau telah memberitahukan kabar kematian Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah sebelum datangnya berita tentang mereka. Beliau bersabda:
أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيْبَ، ثُمَّ أَخَذَهَا جَعْفَرٌ فَأُصِيْبَ، ثُمَّ أَخَذَهَا عَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيْبَ، وَإِنَّ عَيْنَيْ رَسُوْلِ اللهِ r لَتَذْرِفَانِ، ثُمَّ أَخَذَهَا خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ مِنْ غَيْرِ إِمْرَةٍ فَفُتِحَ لَهُ.
”Zaid yang membawa bendera pasukan telah gugur, kemudian Ja’far mengambil dan dia pun gugur, kemudian Abdullah bin Rawahah mengambilnya dan dia pun gugur. Air mata Rasulullah bercucuran. Kemudian bendera pasukan diambil oleh Khalid bin Walid tanpa perintah hingga akhirnya diberikan kemenangan melaui dia.”[3]
Beliau juga berusaha memberikan ketenangan jiwa kepada para pasukan. Beliau memberikan ketenangan kepada keluarga mereka saat pasukan menuju medan perang. Beliau mendidik dan mengajar umatnya untuk memperhatikan keluarga yang ditinggal berjuang di jalan Allah. Rasulullah bersabda:
مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللهِ فَقَدْ غَزَا، وَمَنْ خَلَفَهُ فِي أَهْلِهِ بِخَيْرٍ فَقَدْ غَزَا
"Siapa yang menyiapkan perlengkapan orang yang berjihad di jalan Allah maka ia telah berjihad dan barang siapa yang menjaga keluarganya dengan baik maka ia telah berjihad.”[4]
Beliau sendiri yang menanggung urusan keluarga para syuhada dan mujahid. Hal ini agar orang-orang yang pergi berjihad merasa bahwa bila mereka gugur kelak, akan ada orang yang memerhatikan dan memelihara keluarganya. Anas bercerita bahwa ketika Nabi saw berada di Madinah, beliau tidak masuk rumah selain rumah istri-istrinya, kecuali rumah Ummu Sulaim. Ketika ditanyakan kepada beliau, beliau menjawab, "Saya sayang kepadanya karena seorang saudaranya terbunuh bersamaku.”[5]
            Rasulullah juga masuk ke rumah Ummu Sulaim karena ia adalah bibi beliau, baik karena susuannya atau karena nasab. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Namun kedua-duanya merupakan penyebab bolehnya berkhalwat dengannya.[6]
Demikianlah kasih sayang Rasulullah meliputi para pejuang dan keluarganya sehingga sangat berpengaruh dalam meringankan beban perjuangan.
Saya ingin mengakhiri pembahasan ini dengan sebuah kisah yang luar biasa dan menunjukkan kasih sayang yang amat langka di dunia ini, yaitu kasih sayang Rasulullah kepada orang-orang yang melarikan diri dari perjuangan.
Sebagaimana sudah diketahui bahwa lari dari medan pertempuran termasuk dosa besar. Rasulullah bahkan dengan jelas menyebutkan, ”Hindarilah tujuh hal yang membinasakan...” dan di antara tujuh hal tersebut adalah lari dari medan perang.[7]
Walaupun demikian, beliau membedakan antara orang yang biasa lari dari medan perang dan orang yang kebetulan melakukan hal ini dan diperkiraan tidak akan terulang lagi. Untuk kelompok yang kedua ini beliau berlaku sayang dan lembut kepada mereka dan tidak melihat sisi negatifnya.
Pernah terjadi beberapa orang dari kaum muslimin melarikan diri pada perang Uhud. Tidak disebutkan dalam kitab-kitab sunnah atau sirah adanya celaan dari nabi untuk mereka. Bahkan beliau mendorong dan menyemangati mereka untuk keluar pada hari kedua setelah perang Uhud guna mengusir orang-orang musyrik. Beliau tidak memperbolehkan selain pasukan Uhud untuk ikut bersamanya.
Inilah yang menjadi tanda bahwa beliau percaya kepada mereka dan mengetahui bahwa apa yang terjadi kemarin di Uhud adalah sebuah kelalaian dan kesalahan yang takkan berulang. Oleh karena itu, beliau menyuruh seseorang untuk mengumumkan bahwa tidak ada yang boleh ikut bersama kami kecuali yang hadir pada pertempuran kemarin.[8]
Demikian pula pada perang Mu’tah. Pasukan kaum muslimin yang berada di bawah komando Khalid bin Walid mengundurkan diri, sebab kekuatan mereka sama sekali tidak seimbang. Bala tentara Romawi berjumlah enam puluh kali lipat dibandingkan jumlah pasukan kaum muslimin.
Abdullah bin Umar meriwayatkan mengenai kondisi saat mereka mundur itu dan bagaimana reaksi penduduk Madinah dan sikap Rasulullah saw. Ia berkata, ”Kami diutus oleh Rasulullah dalam sebuah pasukan. Pasukan pada saat itu mundur dan berlari. Aku termasuk orang yang berlari itu. Kami berkata, ’Apa yang dapat kami lakukan? Kami telah lari dari peperangan dan ditimpa kemarahan.’ Kemudian kami berkata, ’Bagaimana kalau kita kembali ke Madinah dan bermalam disana.’ Kami berkata, ’Bagaimana bila kita menyerahkan diri kepada Rasulullah. Alangkah baiknya apabila masih ada kesempatan untuk bertobat, kalau tidak ada lagi kita pergi.’ Kami pun mendatangi beliau sebelum shalat shubuh. Beliau berkata, ’Siapa ini?’ Kami menjawab, ’Kami adalah orang-orang yang melarikan diri.’ Beliau menjawab:
لاَ بَلْ أَنْتُمُ الْعَكَّارُوْنَ، وَأَنَا فِئَتُكُمْ.
’Tidak, kalian adalah pasukan yang akan kembali berperang lagi dan aku adalah bagian dari pasukan kalian’.”[9]
Rasulullah memahami kondisi mereka, memaafkan, dan merasa sayang kepada mereka. Bahkan tidak cukup dengan itu, beliau juga memuji mereka.
Adakah sejarah pernah melihat kasih sayang sebesar ini? Apakah ada seorang panglima yang membangkitkan semangat anak buahnya—walaupun mereka kalah perang dan lari dari medan laga—seperti yang dilakukan oleh Rasulullah?
Sungguh benar apa yang difirmankan oleh Rabb kita:
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam." (Al-Anbiyâ’: 107).
****

[1] HR Muslim (1114), Tirmidzi (710), Nasa'i (2263).
[2] Usudul Ghabah, 2/239.
[3] HR Bukhari (4014), Nasa’i (1878), Ahmad (1750), dan Thabrani (1460).
[4] HR Bukhari (2688), Muslim (1895), Tirmidzi (1628), Abu Daud (2509), Nasa’i (2180), Ibnu Majah (2759), Ahmad (17080), Darimi (2419), Ibnu Hibban (4630).
[5] HR Bukhari (2679) dan Muslim (2455).
[6] Syarh Shahîh Muslim, 10/16.
[7] HR Bukhari (2615), Muslim (89), Abu Daud  (2874), Nasa’i (3671), dan Ibnu Hibban (5561).
[8] Uyûnul Atsâr II/57, Sirah Ibnu Hisyam IV/52.
[9] Abu Daud (2647), Tirmidzi (1716), Ahmad (5384), dan Abu Ya’la (5781). Al-Albani menyatakan hadits ini dhaif dalam Dhaif Sunan Tirmidzi IV/215