A. Pengertian Lughawi (Secara Bahasa).
Kata “اَلتَّوَكُّلُ” berasal dari kata “وَكَلَ”. Dikatakan,
“ِوَتَوَكَّلَ عَلَيْهِ وَاتَكَّلَ وَكَلَ باللهِ” berarti berserah
diri kepada-Nya.[1] Juga, “وَكَلَ إِلَيْهِ َاْلأَمْرَ وَكْلاً
وَوَكُوْلاً” yang berarti menyerahkan dan meninggal-kannya.[2]
Serta, “رَجُلٌ وَكَلٌ وَوُكَلَةٌ” semisal dengan kata “humazah” dan
“tukalatun” yang berarti orang lemah yang mewakilkan urusannya kepada
orang lain sekaligus bersandar padanya.[3] Al-Azhari mengatakan:
رَجُلٌ وُكَلَةٌ إِذَا كَانَ يَكِلُ أَمْرَهُ إِلَى النَّاسِ
“Seseorang disebut ‘Wukalatun,’ jika dia menyerahkan urusannya kepada orang lain.”[4]
Dan kalimat, “وَفَرَسٌ وَاكِلٌ” berarti bersandar pada penunggangnya dalam melompat dan memerlukan pukulan.
Dan kata “اَلْوَكِيْلُ” berwazan fa’iil yang berarti maf’ul, yaitu
orang yang diserahi urusan oleh pemilik urusan tersebut. Al-Azhari
mengatakan, “Disebut ‘وَكِِيْلُ’, karena pemilik urusan itu telah
melimpahkan (mewakilkan) wewenang kepadanya untuk menyelesaikan
urusannya dan ia disebut sebagai [5] ‘مَوْكُوْلٌ إِلَيْهِ’”
Sebagian dari mereka menafsirkan kata “اَلْوَكِيْلُ” sebagai
“اَلْكَافِلُ” yaitu pihak yang memberi jaminan. Ar-Raghib mengatakan,
“Kata ‘اَلْوَاكِيْلُ’ lebih umum, karena setiap kafiil itu pasti wakiil,
tetapi tidak setiap wakiil itu sebagai kafiil.” [6]
Kata “اَلتَّوْكِيْلُ” berarti, jika Anda bersandar kepada orang lain dan Anda jadikan ia sebagai wakil bagi diri Anda.
Kata “تَوَكُّلٌ” berwazan “تَفَعُّلٌ”dari kata “اَلْوَكَلَةُ” atau
“وِكَلَةٌ” yang berarti memperlihatkan ketidak mampuan dan bersandar
pada orang lain[7]. Dan isimnya adalah [8] “اَلتِّكْلاَنُ”.
Ibnul Atsir mengatakan, “Dikatakan ‘تَوَكُّلُ بِالأَمْر’, jika
pelaksanaan sebuah urusan ditanggung. ‘وَكَّلْتُ أَمْرِيْ إِلَى
فُلاَنٍ’, berarti saya berlindung sekaligus bersandar kepadanya dalam
urusan itu. Dan juga menyerahkan pelaksanaan urusan itu sendiri [9]. Dan
terkadang keduanya bersatu.
Ar-Raghib al-Ashfahani mengatakan, “Kata ‘اَلتَّوَكُّلُ’ dikatakan
pada dua sisi. Dikatakan, ‘تَوَكَّلْتُ لِفُلاَنٍ’, yang berarti aku
serahi kekuasaan padanya. Dan dikatakan pula, ‘وَكَّلْتُهُ فَتَوَكَّلَ
لِيْ’ yang berarti saya serahkan urusan kepadanya sehingga dia mewakili
diri saya. Dan kata ‘تَوَكَّلْتُ عَلَيْهِ’ berarti saya bersandar
kepadanya.” [10]
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka yang dimaksudkan dengan kata اَلْوَكَالَةُ ada dua:
Pertama: اَلتَّوْكِيْلُ, yaitu mewakilkan sekaligus menyerahkan.
Kedua: اَلتَّوَكُّلُ yang berarti menjalankan tugas berdasarkan perwakilan yang diberikan oleh si pemberi hak tersebut.[11]
Demikianlah itu beberapa makna kata ini. Dan masih ada beberapa
makna lainnya, dan di sini sengaja tidak saya sampaikan karena tidak
adanya kaitan dengan apa yang dimaksudkan di sini.
B. Pengertian secara Istilah.
Adapun makna istilah kata “تَوَكُّلٌ” (Tawakkul), maka dilihat dari
posisinya yang mengungkapkan salah satu dari keadaan hati yang sulit
untuk diterka pada batasan tertentu. Karenanya, muncul berbagai
penafsiran para ulama dalam bermacam bentuk. Ada di antaranya yang
menafsirkannya secara lazimnya dan ada juga yang menafsirkannya dengan
menggunakan sebab-sebab dan faktor-faktornya, atau dengan nilai atau
sebagian dari maknanya, sebagai-mana yang menjadi kebiasaan para ulama
Salaf dalam penafsiran mereka.
Di antara sebab perbedaan itu adalah bahwa keadaan dan amal
perbuatan hati itu sulit sekali diterka secara pasti dan pengungkapannya
(pembatasannya) dengan kata-kata. Oleh karena itu, mengenai tawakkal
ini. Al-Ghazali mengungkapkan, “… Tidak jelas dari segi makna dan sulit
dari segi amal.”[12]
Sebagaimana mereka tidak mengarahkan pengertian-pengertian itu
dengan pengertian istilah yang hakiki, tetapi mereka hanya bermaksud
untuk menjelaskan pentingnya kriteria ini atau memelihara keadaan orang
yang mengatakan atau bahkan sampai pendengar sekalipun atau sebab-sebab
lainnya.
Oleh karena itu, muncul berbagai penafsiran mereka dan seakan-akan
lahiriyahnya tampak ada suatu perbedaan dan perubahan, yang pada
hakikatnya ia terdiri dari beberapa bagian makna umum dari kata tawakkal
itu sendiri atau dari kelaziman, pengaruh, dan nilainya.
Di antara yang terpenting dari penafsiran-penafsiran itu adalah:
1. Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengatakan,“Yaitu, percaya sepenuhnya kepada Allah [13]".
2. Imam Ahmad mengatakan, “Tawakkal berarti memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk [14]."
Dan dia juga mengatakan, “Kata tawakkal berarti penyerahan urusan
kepada Allah Jalla Tsanuhu sekaligus percaya sepenuhnya hanya
kepada-Nya.” [15]
3. ‘Abdullah bin Dawud al-Khuraibi [16] mengatakan, “Saya melihat
tawakkal sebagai husnuzhan (prasangka baik) kepada Allah.” [17]
4. Syaqiq bin Ibrahim [18] mengatakan, “Tawakkal berarti ketenangan
hati pada apa yang dijanjikan oleh Allah Azza wa Jalla.” [19]
5. Al-Hasan pernah ditanya tentang tawakkal, maka dia menjawab, “Yaitu, ridha pada Allah Azza wa Jalla ”
6. Setelah ditanya tentang tawakkal, ‘Ali bin Ahmad al-Busyanji [20]
mengatakan, “Melepaskan diri dari daya dan kekuatanmu serta daya dan
kekuatan orang sepertimu.” [21]
7. Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan dari sebagian mereka, “Yaitu
penyerahan urusan kepada Allah, sebagai bentuk kepercayaan penuh pada
kebaikan pengelolaan-Nya.” [22]
8. Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Yaitu, bersandarnya hati
dengan sebenarnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam memperoleh
kemaslahatan dan menolak mudharat dari urusan dunia dan akhirat secara
keseluruhan.” [23]
9. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Ada yang mengatakan, ‘Yaitu,
memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah disiapkannya sebab.’”
[24]
10. Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil Wahhab mengatakan,
“Yaitu tindakan seorang hamba menyandarkan urusannya kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala semata, yang tiada sekutu bagi-Nya dalam semua
urusannya, baik urusan agama maupun urusan duniawinya.” [25]
11. Mungkin definisi yang paling dekat yang mungkin dapat
menggabungkan berbagai bagian di atas adalah dengan mengatakan, “Yaitu
keadaan hati yang berasal dari pengetahuannya pada Allah, iman pada
keesaan-Nya dalam menciptakan, mengendalikan, memberi mudharat dan
manfaat, memberi dan menolak. Apa yang Dia kehendaki, pasti akan terjadi
dan apa yang tidak dikehendaki, pasti tidak akan pernah terjadi.
Sehingga ada keharusan untuk bersandar kepadanya sekaligus menyerahkan
segala sesuatunya kepada-Nya sekaligus merasa tenang dan percaya diri
padanya. Juga yakin secara penuh pada kecukupan yang ada pada-Nya atas
apa yang dia sandarkan pada-Nya.” [26]
[Disalin dari kitab At-Tawakkul ‘alallaahi Ta’aalaa, Penulis Dr.
‘Abdullah bin ‘Umar ad-Dumaiji, Edisi Indonesia MEMAHAMI TAWAKKAL
Menyandarkan Semua Urusan kepada Allah Azza Wa Jalla, Penerjemah M.
Abdul Ghaffar E.M. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Rabi’ul Awwal 1426H
April 2005M]
_______
Footnote
[1]. Kitab Lisaanul ‘Arab (XI/734), karya Ibnu Manzhur: Jamaluddin
Muhammad bin Mukarram, wafat tahun 711 H. Cetakan tahun 1388,
diterbitkan oleh Daar Shaadir dan Daar Beirut. Materi: Wakala.
[2]. Kitab Al-Qaamuus al-Muhiith (IV/67), karya Fairuz Abadi:
Majduddin Muhammad bin Ya’qub. Cetakan kedua, tahun 1371 H, diterbitkan
oleh Maktabah dan Mathba’ah Mushthafa, al-Baabi al-Halabi. Materi:
Wakala.
[3]. Kitab Taajul Lughah wa Shihaah al-‘Arabiyah (V/1845), karya
al-Jauhari: Isma’il bin Hamad, wafat 393 H, diterbitkan oleh Maktabah
dan Mathba’ah Mushthafa, al-Baabi al-Halabi. Dan lihat juga kitab
Lisaanul ‘Arab (XI/734).
[4]. Kitab Tahdziib al-Lughah (X/371), karya al-Azhari: Abu Manshur
Muhammad bin Ahmad al-Azhari, wafat tahun 370 H. Tahqiq: ‘Abdussalam
Harun. Cetakan tahun 1384 H, dipublikasikan oleh ad-Daar al-Mishriyah
Lit-ta’liif wan Nasyr.
[5]. Ibid.
[6]. Kitab Al-Mufradaat fii Ghariib al-Qur-an, hal. 532, karya
ar-Raghib al-Ashfahani: Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad, wafat tahun
502 H. Tahqiq: Muhammad Sayyid Kailani. Terbitan Daar al-Ma’rifah,
Beirut, Libanon.
[7]. Kitab Mujmal al-Lughah (III/934), karya Abu al-Husain Ahmad bin
Faris, wafat tahun 395 H. Tahqiq: Zahir ‘Abdul Muhsin Khilkan. Cetakan
pertama 1404 H Muasasah. Materi: “Wakala”.
[8]. Kitab As-Shihhaah (V/185), karya al-Jauhari, Isma’il bin Hamad,
wafat tahun 393 H, tahqiq oleh Ahmad Abdul Ghafur Athar, cetakan
ketiga, 1404 H, Daar al-‘Ilm lil Malaayin. Materi: “Wakala”.
[9]. Kitab An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits wal Atsar (V/221),
karya Ibnul Atsir: Abu as-Sa’adah al-Mubarak bin Muhammad al-Jazari,
wafat tahun 606 H. Tahqiq: Thahir az-Zawi dan Mahmud ath-Thanahi.
Cetakan 1383 H. Distributor: al-Maktabah al-Islamiyyah. Materi:
“Wakala”.
[10]. Kitab Al-Mufradaat fii Ghariib al-Qur-an, hal 531, karya ar-Raghib al-Ashfahani.
[11]. Kitab Madaarijus Saalikiin baina Manaazil Iyyaaka Na’budu wa
Iyyaaka Nasta’iin, karya Ibnul Qayyim Muhammad bin Abi Bakar az-Zar’i,
wafat tahun 751 H. Tahqiq: Muhammad Hamid al-Faqi. Cetakan ketiga, 1393
H.
[12]. Kitab Ihyaa’ Uluumuddin (IV/243), karya Imam al-Ghazali Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad, wafat tahun 505 H. Dipublikasikan oleh
Darul Ma’rifah.
[13]. Kitab Zaadul Masiir fii ‘Ilmi at-Tafsiir (II/24), karya Ibnul
Jauzi Abul Faraj Jamaluddin ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad, wafat
tahun 597 H. Tahqiq: Muhammad bin ‘Abdirrahman ‘Abdillah, takhrij hadits
oleh: As-Sa’id bin Basyuni Zaghlul. Cetakan pertama, tahun 1407 H, Daar
al-Fikr.
[14]. Kitab Thabaqaat al-Hanaabilah (I/416), karya al-Qadhi Abul
Husain Muham-mad bin Abi Ya’la, wafat tahun 526 H. Didistribusikan oleh
Dar al-Ma’rifah.
[15]. Kitab Syu’abul Iimaan (II/57), karya al-Baihaqi Abul Husain
Ahmad bin al-Husain, wafat 458 H. Tahqiq: Muhammad as-Sayyid Ibnu
Basyuni Zaghlul. Cetakan pertama, tahun 1410. Didistribusikan Darul
Kutub al-‘Ilmiah.
[16]. Yaitu, ‘Abdullah bin Dawud bin Amir bin Rabi’, Imam panutan.
Ibnu Sa’ad mengatakan, Dia seorang yang dapat dipercaya dan taat
beribadah, wafat tahun 213 H. Biografinya ada di dalam kitab Siyar
A’laam an-Nubalaa’ (IX/346), karya adz-Dzahabi. Dan kitab Tadzkiratul
Huffaazh (I/337).
[17]. Kitab At-Tawakkul ‘alaallah (XXX/65), karya al-Hafizh Abu
Bakar bin Abid Dunya, wafat tahun 281 H. Tahqiq: Jasim al-Fuhaidi.
Cetakan pertama, 1407 H. didistribusikan oleh Daar al-Basyaa’ir. Juga
kitab Syu’abul Iimaan (II/97), karya al-Baihaqi. Serta kitab Siyar
A’laam an-Nubulaa’ (IX/349).
[18]. Yaitu, Syaqiq bin Ibrahim Abu ‘Ali al-Balkhi, termasuk seorang
ahli zuhud terkemuka. adz-Dzahabi mengatakan: “Dia termasuk salah
seorang mujahid terkemuka. Dan dia meninggal sebagai syahid dalam
peperangan Kaulan, tahun 194 H.” Kitab Miizaan al-I’tidaal (II/ 279).
[19]. Kitab Syu’abul Iimaan (II/98).
[20]. ‘Ali bin Ahmad bin Ibrahim al-Busyanji, seorang sufi, zuhud,
dan wara’, yang wafat pada tahun 347 H. Ada juga yang mengatakan, 348 H
di wilayah Naisabur. Biografinya ada di dalam kitab Hilyatul Auliyaa’
(X/379). Juga kitab al-Muntazhim (VI/391), karya Ibnul Jauzi. Serta
kitab Thabaqaat asy-Syafi’iyyah (III/344), karya as-Subki.
[21]. Kitab Syu’abul Iiimaan (II/99).
[22]. Kitab Zaadul Masiir (II/24). Lihat juga penafsiran seperti ini
dalam Syu’abul Iimaan (III/95), karya al-Baihaqi dan setelahnya. Juga
kitab Ihyaa’ Uluumuddin (IV/265) serta kitab Madaarijus Saalikiin
(II/116).
[23]. Kitab Jaami’ al-‘Uluum wal Hikam fii Syarhi Khamsiin Hadiitsan
min Jawaami’ al-Kalim, hal. 409, karya Ibnu Rajab al-Hanbali Abul Faraj
‘Abdurrahman bin Syihabuddin, wafat tahun 795 H. Didistribusikan oleh
Daar al-Ma’rifah.
[24]. Kitab Fat-hul Baari Syarhu Shahiih al-Bukhariy (III/449),
karya Imam al-Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-Asqalani, wafat tahun
852 H. Cetakan ketiga, tahun 1407 H. Didistribusikan oleh al-Maktabah
as-Salafiyah, Kairo.
[25]. Kitab Al-Kalimaat an-Naafi’ah fii al-Mukaffiraat al-Waaqi’ah,
hal 6-7, karya Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil Wahhab. Cetakan
kedua, tahun 1400 H. Diterbitkan oleh Maktabah as-Salafiyah, Kairo.
[26]. Lihat Kitab Madaarijus Saalikin (I/82). Dan lihat juga yang dekat darinya Tajriid at-Tauhiid, hal 28, karya al-Muqrizi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar