Sabtu

Pembagian Mazhab menurut Islam


Kasih Sayang Rasulullah dalam Masalah Jihad




“Muhammad telah menyiapkan untuk umatnya sebab-sebab kekuatan, kemuliaan, dan keperkasaan” (Jawaharal Nehru; Pemimpin India yang terkenal)
“Laporan Departemen Pertahanan AS menegaskan bahwa 4% polisi wanita mengalami pelecehan seksual dari pimpinan dan komandan pasukan. Jumlah ini berkali-kali lipat dibandingkan dengan pelanggaran susila yang terjadi dalam kehidupan rakyat sipil di AS. Ditambah lagi 52% dari polisi wanita ini menghadapi gangguan moral dan seksual dengan tingkat yang berbeda-beda.” (Laporan dari Majalah “Muslim Soldier” Kuwait, Februari 2003).

Inilah kondisi mereka, namun Islam adalah berbeda!
            Pertama-tama, mungkin sebagian orang akan heran melihat judul pembahasan ini. Yang mengherankan adalah bagaimana ada yang membayangkan bahwa dalam jihad masih ada rasa kasih sayang.
            Gambaran itu mungkin saja benar apabila berkaitan dengan peradaban atau hukum selain peradaban dan hukum Islam. Dan, mungkin saja anggapan ini benar apabila mereka berhadapan dengan pemimpin atau komandan selain Rasulullah saw.
            Kasih sayang Rasulullah dalam medan jihad sangat tampak, baik kepada kaum muslimin maupun kepada non muslim. Adapun kasih sayang beliau kepada non muslim akan ada pembahasan lain di akhir pembahasan ini, insya Allah. Kali ini kita akan membahas kasih sayang beliau kepada sesama muslim.
Mungkin ada yang heran dengan adanya pembahasan kasih sayang dalam jihad, padahal kasih sayang itu khusus dalam perkara ibadah. Mereka mengira bahwa ibadah itu hanya terbatas pada shalat, zakat, puasa, haji, dan bentuk ritual lainnya. Mereka tidak melihat ibadah dalam konteks yang luas dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Allah berfirman:
 “Katakanlah, ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam’.” (Al-An’âm: 162).
Dari sini jihad menjadi ibadah. Bahkan menjadi ibadah yang paling tinggi nilainya dalam Islam. Lihatlah percakapan antara Rasulullah dan Mu’adz bin Jabal yang menunjukkan kedudukan banyak ibadah dalam Islam, di antaranya adalah jihad.
Mu’adz bin Jabal berkata, “Saya bersama Nabi saw dalam sebuah perjalanan. Suatu hari saat berjalan saya berada di dekat beliau. Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, beritahu saya amal yang akan memasukan saya ke surga dan menjauhkan saya dari neraka.’ Beliau bersabda, ‘Engkau telah bertanya tentang masalah yang besar. Namun itu adalah perkara yang mudah bagi siapa yang dimudahkan oleh Allah SWT. Engkau harus menyembah Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan apapun, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah.’ Kemudian beliau bersabda, ’Maukah kamu aku tunjukkan pintu-pintu kebajikan? Puasa adalah perisai, sedekah memadamkan dosa sebagaimana air memadamkan api, dan shalat di tengah malam.’ Kemudian beliau membaca ayat:
"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa-apa rezeki yang Kami berikan. Tak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang mata sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan." (As-Sajdah 16-17).
Kemudian beliau bersabda kembali, ’Maukah kalian kuberitahu pangkal agama, tiangnya, dan puncak tertingginya?’ Aku menjawab, ’Mau, wahai Rasulullah.’ Rasulullah saw bersabda, ’Pokok urusan adalah Islam, tiangnya adalah sholat, dan puncak tertingginya adalah jihad.’ Kemudian beliau melanjutkan, ’Maukah kalian kuberitahu tentang kendali bagi semua itu?’ Saya menjawab, ’Mau, wahai Rasulullah.’ Beliau lalu memegang lidahnya dan bersabda, ’Jagalah ini.’ Saya bertanya, ’Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa karena ucapan-ucapan kita?’ Beliau menjawab, ’Celaka kamu. Bukankah banyak dari kalangan manusia yang tersungkur ke dalam api neraka dengan mukanya terlebih dahulu (dalam riwayat lain dengan lehernya terlebih dahulu) itu gara-gara buah ucapan lisannya?’.”[1]
Jihad tidak sekedar ibadah, ia juga merupakan puncak tertinggi keislaman. Hadits-hadits tentang keutamaannya amat sulit dihitung. Walaupun jihad begitu penting dan umat ini sangat memerlukannya untuk mempertahankan negeri dan kehormatannya serta mengembalikan kemuliaan dan mencegah kezaliman, namun Rasulullah berinteraksi dengan para mujahid dan seluruh umat secara umum dengan perasaan kasih sayang.
Beliau memahami kondisi mereka, memudahkan urusan mereka, menyayangi mereka, dan berlaku lembut terhadap mereka, padahal dalam situasi seperti ini sulit—dalam pandangan banyak orang—untuk berlaku lembut dan penuh kasih sayang.
Hal indah yang bisa kita temui dalam kehidupan beliau berkaitan dengan masalah ini adalah tidak keluarnya beliau dalam seluruh pertempuran. Beliau keluar pada sebagian perang, yang dalam sejarah dikenal dengan ghazwah, dan tidak ikut dalam sebagian lainnya, yang dalam sejarah dikenal dengan sarâyâ.
Mengapa beliau tidak keluar dalam seluruh peperangan, padahal keinginan beliau begitu kuat untuk berkorban dan berjuang di jalan Allah? Rasulullah sendiri yang menjawabnya dengan ucapan beliau:
والَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْلاَ أَنَّ رِجَالاً مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ لاَ تَطِيْبُ أَنْفُسُهُمْ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنِّي وَلاَ أَجِدُ مَا أَحْمِلُهُمْ عَلَيْهِ مَا تَخَلَّفْتُ عَنْ سَرِيَّةٍ تَغْزُو فِي سَبِيلِ اللهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوَدِدْتُ أَنِّي أُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللهِ ثُمَّ أُحْيَا، ثُمَّ أُقْتَلُ، ثُمَّ أُحْيَا، ثُمَّ أُقْتَلُ، ثُمَّ أُحْيَا، ثُمَّ أُقْتَلُ.
”Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalau bukan karena sebagian orang beriman ada yang tidak senang hati untuk meninggalkanku (tidak ikut serta berperang bersamaku) sedangkan aku tidak mendapatkan bekal untuk mereka, maka aku tidak akan meninggalkan satu pun pasukan yang berjuang di jalan Allah. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku ingin terbunuh di jalan Allah kemudian dihidupkan lagi, kemudian terbunuh, kemudian dihidupkan lagi, kemudian terbunuh, kemudian dihidupkan lagi, kemudian terbunuh.”[2]
Lihatlah kasih sayang beliau kepada kaum muslimin yang dituntut untuk melaksanakan jihad. Beliau ingin menghilangkan kesusahan mereka yang timbul apabila beliau selalu ikut keluar berperang. Sebab, mereka akan memaksakan diri untuk keluar bersama beliau. Beliau mengambil keputusan untuk tidak keluar—padahal beliau sangat ingin untuk melaksanakan hal itu—karena kasih sayang beliau kepada mereka.
Beliau juga menolak bila ada orang yang lemah ingin ikut perang, padahal jumlah kaum muslimin sedikit. Beliau tidak ingin menyusahkan mereka walaupun mereka berkeinginan untuk itu. Kecuali bila mereka memaksa dan beliau melihat ada sedikit kemampuan untuk itu.
Dalam pembahasan tentang haji, kita melihat bagaimana beliau menolak permintaan Ummul Mukminin, Aisyah, yang berkaitan dengan permasalahan jihad. Hal ini karena rasa sayang beliau kepada kaum wanita. Kita juga sudah melihat bagaimana beliau menolak anak-anak untuk ikut berperang. Begitu pula kita telah melihat beliau menyuruh pulang beberapa pemuda yang memiliki tugas dan tanggung jawab merawat orang tua mereka.
Kisah beliau dengan Amr bin Jamuh dan anak-anaknya juga menunjukan luasnya kasih sayang, bukan hanya dari satu sisi melainkan dari berbagai sisi yang berbeda.
Ketika Rasulullah mendorong orang-orang untuk ikut ke Badar, Amr bin Jamuh ingin turut serta keluar bersama mereka. Namun ia ditahan oleh anak-anaknya atas perintah Rasulullah karena kakinya yang pincang. Ketika perang Uhud, ia berkata kepada anak-anaknya, “Dulu kalian melarangku untuk keluar dalam perang Badar. Maka jangan melarangku untuk keluar dalam perang Uhud.” Mereka berkata, “Sesungguhnya Allah telah memaafkanmu.” Ia mendatangi Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak-anakku ingin menahanku untuk pergi berperang bersamamu. Demi Allah saya ingin menginjak surga dengan kakiku yang pincang ini!” Rasulullah bersabda, “Engkau sudah diberi keringanan oleh Allah dan tidak ada kewajiban jihad bagimu.” Beliau juga bersabda kepada anak-anak Amr, “Kalian tidak boleh melarangnya. Semoga Allah memberinya anugrah mati syahid.” Ia kemudian mengambil senjatanya dan berangkat sambil berdoa, “Ya Allah karuniakanlah syahid kepadaku dan jangan engkau kembalikan aku kepada keluargaku dalam keadaan merugi.” Ketika beliau syahid di perang Uhud, istrinya, Hindun binti Amr, bibi dari Jabir bin Abdullah datang untuk membawanya. Ia juga membawa saudaranya, Abdullah bin Amr bin Haram. Mereka dimakamkan dalam satu kuburan. Rasulullah saw bersabda,”Demi jiwaku yang ada di tangannya, sungguh saya melihat dia menginjak surga dengan kakinya yang pincang.”[3]
Di sini sangat jelas bahwa kasih sayang itu bersusun-susun dan beraneka ragam.
Pada awalnya, beliau sangat sayang kepadanya. Beliau tidak ingin adanya kesusahan yang ia rasakan selama berjihad karena kakinya yang pincang. Beliau memaafkannya dengan memberi keringanan untuk tidak berjihad, bahkan melarangnya untuk ikut. Dalam waktu yang sama, beliau juga merasa sayang kepada keluarganya agar tak terkejut dengan berita kematiannya. Khususnya karena empat orang anaknya telah keluar untuk berjihad. Tinggallah ia seorang yang mengurus keperluan rumah tangganya.
Ketika beliau mendapati keinginannya yang kuat untuk berjihad, beliau merasa peduli terhadap keinginan dan kerinduannya ini. Beliau menghargai sikapnya, memahami perasaannya, dan menerimanya untuk ikut berjihad. Bahkan beliau menengahi di antara anak-anaknya dan menenangkan mereka. Ketika Amr bin Jamuh gugur, beliau menyampaikan berita gembira tentang tempatnya, agar anak-anaknya tidak menjadi sedih dan tidak merasa menyesal atas kepergiannya.
Sungguh kasih sayang beliau datang secara berturut-turut, padahal perkaranya berhubungan dengan masalah jihad dan peperangan.

[1] HR Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan Hakim.
[2] HR Bukhari (2644), Muslim (1876), Nasa’i (3098), Ibnu Majah (2753), dan Ahmad (7157).
[3] Usudul Ghabah, 3/702.



Atas besarnya kasih sayang di dalam pribadi Rasulullah, beliau juga mengkhawatirkan kondisi pasukannya dari kelelahan yang sangat. Hal ini sebagaimana yang beliau lakukan pada saat fathu Makkah yang terjadi pada bulan Ramadhan. Saat itu Rasulullah saw dan orang-orang beriman sedang puasa. Ketika selesai shalat ashar, beliau mendengar bahwa orang-orang merasakan kepenatan karena puasa. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah?
            Jabir bin Abdullah bercerita, ”Rasulullah keluar pada saat fathu Mekah ke Mekah pada bulan Ramadhan. Beliau dan kaum muslimin berpuasa. Ketika tiba di Kura’ Al-Ghamim, beliau meminta segelas air dan mengangkatnya hingga semua orang melihatnya. Kemudian beliau minum. Ada yang berkata kepada beliau setelah itu, ’Di antara orang-orang masih ada yang puasa.’ Beliau berkata, ’Mereka adalah orang yang bermaksiat, mereka adalah orang yang bermaksiat.’[1]
Alangkah besarnya kasih sayang beliau!
Beliau tidak ingin memberikan izin kepada orang-orang untuk berbuka sementara beliau sendiri masih puasa. Hal ini agar tidak menimbulkan beban kesusahan di hati mereka. Beliau sendiri akhirnya yang pertama-tama membatalkan puasa dan berbuka dengan air, agar menjadi contoh bagi mereka. Sebagian besar tentara turut berbuka. Namun ada sekelompok orang yang ingin tetap berpuasa. Ketika beliau mendengar hal ini, beliau berkata, "Mereka adalah orang yang bermaksiat."
Beliau menyatakan hal ini karena mereka tidak menyayangi diri sendiri dan tidak mengikuti yang menjadi pemimpin mereka dalam hal ini. Atau paling tidak beliau merasa susah karena berbuka di hadapan orang yang berpuasa. Kasih sayang beliau ini berlaku kepada seluruh tentara. Beliau ingin memberikan mereka ketenangan dengan tidak mengumpulkan antara lelahnya berpuasa dan lelahnya berjihad.
Anda sudah tahu, bahwa semua itu dilakukannya setelah shalat ashar. Maka Anda dapat melihat sejauh mana kasih sayang beliau yang tidak mau membiarkan mereka untuk menunggu waktu yang tersisa ini. Semua itu karena rasa sayang beliau terhadap umatnya.
Beliau memperhatikan korban terluka dari pasukannya dan berusaha mengobati mereka bila mampu. Ketika Saad bin Muadz terkena panah di bagian lengannya, beliau berusaha mengobatinya dengan besi panas (agar darahnya tidak mengucur), tapi kemudian membengkak, sehingga beliau obati untuk kedua kalinya.
Ketika korban luka-luka sudah banyak berjatuhan sementara Rasulullah tidak mampu berbuat sesuatu, beliau menyerahkan pengobatannya kepada Rufaidah yang terkenal pandai dalam pengobatan. Beliau memberikan sebuah tempat di masjid dan beliau biasa mengunjunginya.[2]
            Beliau sedih apabila di antara para shahabatnya ada yang mendapatkan luka atau gugur. Beliau menangisi mereka walapun mereka adalah para syuhada dan beliau sendiri adalah seorang kepala negara. Orang-orang menjadi terkesan dengan tangisan ini.
            Anas bin Malik meriwayatkan bahwa beliau telah memberitahukan kabar kematian Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah sebelum datangnya berita tentang mereka. Beliau bersabda:
أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيْبَ، ثُمَّ أَخَذَهَا جَعْفَرٌ فَأُصِيْبَ، ثُمَّ أَخَذَهَا عَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيْبَ، وَإِنَّ عَيْنَيْ رَسُوْلِ اللهِ r لَتَذْرِفَانِ، ثُمَّ أَخَذَهَا خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ مِنْ غَيْرِ إِمْرَةٍ فَفُتِحَ لَهُ.
”Zaid yang membawa bendera pasukan telah gugur, kemudian Ja’far mengambil dan dia pun gugur, kemudian Abdullah bin Rawahah mengambilnya dan dia pun gugur. Air mata Rasulullah bercucuran. Kemudian bendera pasukan diambil oleh Khalid bin Walid tanpa perintah hingga akhirnya diberikan kemenangan melaui dia.”[3]
Beliau juga berusaha memberikan ketenangan jiwa kepada para pasukan. Beliau memberikan ketenangan kepada keluarga mereka saat pasukan menuju medan perang. Beliau mendidik dan mengajar umatnya untuk memperhatikan keluarga yang ditinggal berjuang di jalan Allah. Rasulullah bersabda:
مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللهِ فَقَدْ غَزَا، وَمَنْ خَلَفَهُ فِي أَهْلِهِ بِخَيْرٍ فَقَدْ غَزَا
"Siapa yang menyiapkan perlengkapan orang yang berjihad di jalan Allah maka ia telah berjihad dan barang siapa yang menjaga keluarganya dengan baik maka ia telah berjihad.”[4]
Beliau sendiri yang menanggung urusan keluarga para syuhada dan mujahid. Hal ini agar orang-orang yang pergi berjihad merasa bahwa bila mereka gugur kelak, akan ada orang yang memerhatikan dan memelihara keluarganya. Anas bercerita bahwa ketika Nabi saw berada di Madinah, beliau tidak masuk rumah selain rumah istri-istrinya, kecuali rumah Ummu Sulaim. Ketika ditanyakan kepada beliau, beliau menjawab, "Saya sayang kepadanya karena seorang saudaranya terbunuh bersamaku.”[5]
            Rasulullah juga masuk ke rumah Ummu Sulaim karena ia adalah bibi beliau, baik karena susuannya atau karena nasab. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Namun kedua-duanya merupakan penyebab bolehnya berkhalwat dengannya.[6]
Demikianlah kasih sayang Rasulullah meliputi para pejuang dan keluarganya sehingga sangat berpengaruh dalam meringankan beban perjuangan.
Saya ingin mengakhiri pembahasan ini dengan sebuah kisah yang luar biasa dan menunjukkan kasih sayang yang amat langka di dunia ini, yaitu kasih sayang Rasulullah kepada orang-orang yang melarikan diri dari perjuangan.
Sebagaimana sudah diketahui bahwa lari dari medan pertempuran termasuk dosa besar. Rasulullah bahkan dengan jelas menyebutkan, ”Hindarilah tujuh hal yang membinasakan...” dan di antara tujuh hal tersebut adalah lari dari medan perang.[7]
Walaupun demikian, beliau membedakan antara orang yang biasa lari dari medan perang dan orang yang kebetulan melakukan hal ini dan diperkiraan tidak akan terulang lagi. Untuk kelompok yang kedua ini beliau berlaku sayang dan lembut kepada mereka dan tidak melihat sisi negatifnya.
Pernah terjadi beberapa orang dari kaum muslimin melarikan diri pada perang Uhud. Tidak disebutkan dalam kitab-kitab sunnah atau sirah adanya celaan dari nabi untuk mereka. Bahkan beliau mendorong dan menyemangati mereka untuk keluar pada hari kedua setelah perang Uhud guna mengusir orang-orang musyrik. Beliau tidak memperbolehkan selain pasukan Uhud untuk ikut bersamanya.
Inilah yang menjadi tanda bahwa beliau percaya kepada mereka dan mengetahui bahwa apa yang terjadi kemarin di Uhud adalah sebuah kelalaian dan kesalahan yang takkan berulang. Oleh karena itu, beliau menyuruh seseorang untuk mengumumkan bahwa tidak ada yang boleh ikut bersama kami kecuali yang hadir pada pertempuran kemarin.[8]
Demikian pula pada perang Mu’tah. Pasukan kaum muslimin yang berada di bawah komando Khalid bin Walid mengundurkan diri, sebab kekuatan mereka sama sekali tidak seimbang. Bala tentara Romawi berjumlah enam puluh kali lipat dibandingkan jumlah pasukan kaum muslimin.
Abdullah bin Umar meriwayatkan mengenai kondisi saat mereka mundur itu dan bagaimana reaksi penduduk Madinah dan sikap Rasulullah saw. Ia berkata, ”Kami diutus oleh Rasulullah dalam sebuah pasukan. Pasukan pada saat itu mundur dan berlari. Aku termasuk orang yang berlari itu. Kami berkata, ’Apa yang dapat kami lakukan? Kami telah lari dari peperangan dan ditimpa kemarahan.’ Kemudian kami berkata, ’Bagaimana kalau kita kembali ke Madinah dan bermalam disana.’ Kami berkata, ’Bagaimana bila kita menyerahkan diri kepada Rasulullah. Alangkah baiknya apabila masih ada kesempatan untuk bertobat, kalau tidak ada lagi kita pergi.’ Kami pun mendatangi beliau sebelum shalat shubuh. Beliau berkata, ’Siapa ini?’ Kami menjawab, ’Kami adalah orang-orang yang melarikan diri.’ Beliau menjawab:
لاَ بَلْ أَنْتُمُ الْعَكَّارُوْنَ، وَأَنَا فِئَتُكُمْ.
’Tidak, kalian adalah pasukan yang akan kembali berperang lagi dan aku adalah bagian dari pasukan kalian’.”[9]
Rasulullah memahami kondisi mereka, memaafkan, dan merasa sayang kepada mereka. Bahkan tidak cukup dengan itu, beliau juga memuji mereka.
Adakah sejarah pernah melihat kasih sayang sebesar ini? Apakah ada seorang panglima yang membangkitkan semangat anak buahnya—walaupun mereka kalah perang dan lari dari medan laga—seperti yang dilakukan oleh Rasulullah?
Sungguh benar apa yang difirmankan oleh Rabb kita:
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam." (Al-Anbiyâ’: 107).
****

[1] HR Muslim (1114), Tirmidzi (710), Nasa'i (2263).
[2] Usudul Ghabah, 2/239.
[3] HR Bukhari (4014), Nasa’i (1878), Ahmad (1750), dan Thabrani (1460).
[4] HR Bukhari (2688), Muslim (1895), Tirmidzi (1628), Abu Daud (2509), Nasa’i (2180), Ibnu Majah (2759), Ahmad (17080), Darimi (2419), Ibnu Hibban (4630).
[5] HR Bukhari (2679) dan Muslim (2455).
[6] Syarh Shahîh Muslim, 10/16.
[7] HR Bukhari (2615), Muslim (89), Abu Daud  (2874), Nasa’i (3671), dan Ibnu Hibban (5561).
[8] Uyûnul Atsâr II/57, Sirah Ibnu Hisyam IV/52.
[9] Abu Daud (2647), Tirmidzi (1716), Ahmad (5384), dan Abu Ya’la (5781). Al-Albani menyatakan hadits ini dhaif dalam Dhaif Sunan Tirmidzi IV/215

Kasih Sayang Rasulullah dalam Urusan Haji Dan Umrah





“Orang-orang Yahudi menganggap bahwa berhaji ke Haikal Sulaiman yang ada di Al-Quds wajib bagi seorang yang sudah balig minimal sekali dalam setahun, menawarkannya kepada keluarga, menyalakan api, dan membaca beberapa bagian dari kitab suci.” (Dr. Usama al-Qaffash)

Ini adalah keadaan mereka, namun Islam berbeda!
Orang yang berhaji atau berumrah tentu akan merasakan kesulitan yang berbeda satu sama lain, dalam kondisi yang berbeda. Haji atau umrah adalah sesuatu yang berat. Rasulullah bahkan menjadikan haji seperti jihad bagi perempuan karena adanya perjuangan yang harus ia lakukan dalam melaksanakannya. Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, kami melihat bahwa jihad adalah amalan yang paling utama, kenapa kami tidak boleh ikut berjihad?” Beliau menjawab:
لاَ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ.
“Tidak, karena jihad yang paling utama (bagi kalian) adalah haji yang mabrur.”[1]
            Karena adanya kesusahan ini, Allah memperbesar pahala haji dan umrah serta berjanji akan memberika ganjaran pahala paling agung. Rasulullah bersabda:
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.
“Umrah satu ke umrah yang lain akan menghapuskan dosa di antara keduanya. Haji yang mabrur itu tidak ada balasannya melainkan surga."[2]
Walaupun demikian, seperti sudah kami sebutkan sebelumnya, tujuan ibadah ini bukan untuk menyiksa seorang muslim atau menyengsarakannya. Semua ini semata-mata ujian dari Allah. Allah memudahkan pelaksanaan ibadah ini agar kaum muslimin secara umum bisa melaksanakannya, kecuali siapa yang ditimpa uzur yang khusus.
Orang yang memiliki uzur tidak berkewajiban melaksanakan ibadah haji karena Allah menjadikan ibadah ini untuk orang yang mampu saja. Allah berfirman:
 “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Ali Imran: 97).
Dalam rangka memudahkan juga, Allah mewajibkan ibadah haji ini hanya sekali saja seumur hidup. Hal ini adalah sebuah kemudahan dan bukti kasih sayang yang besar serta sangat sesuai dengan kondisi manusia pada umumnya.
Kemudahan yang besar ditambah dengan sikap Rasulullah yang mengeluarkan perintah dengan penuh kasih sayang dan kelembutan membuat ibadah ini terasa lebih mudah.
            Suatu hari Rasulullah berkhutbah di hadapan manusia. Beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah mewajibkan kamu untuk berhaji maka berhajilah!" Seorang laki-laki berkata, “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” Rasulullah diam sampai laki-laki ini mengulangi pertanyaannya tiga kali. Beliau kemudian menjawab, “Seandainya aku katakan, ‘ya’ maka menjadi wajib melaksanakannya setiap tahun.” “Biarkanlah apa yang aku tinggalkan. Sesungguhnya yang membuat celaka orang-orang sebelum kalian adalah banyaknya pertanyaan mereka dan pembangkangan mereka terhadap rasul-rasul mereka. Apabila aku telah memerintahkan kalian dengan sesuatu maka laksanakanlah semampu kalian. Apabila aku melarang sesuatu maka tinggalkanlah,” lanjut beliau.[3]
            Rasulullah tentu mampu melaksanakan haji tiap tahun. Bahkan beliau pasti merindukan ibadah mulia seperti ini. Namun, beliau tidak ingin mengukur perkara ibadah dengan dirinya sendiri.
            Beliau ingin mengukur hal ini dengan kemampuan segenap kaum muslimin. Di antara kaum muslimin ada yang lemah, tua, perempuan, dan orang-orang yang sibuk atau tidak tertarik kepada ibadah ini.
            Laki-laki tadi bertanya dan mengulangi pertanyaannya, “Apakah setiap tahun wahai Rasulullah?” Rasulullah tidak mau menjawab dengan kata, ‘ya’ kecuali bila Allah menginginkan demikian. Beliau tahu—seperti sudah kami sebutkan sebelunya—apabila seorang bersikap terlalu keras terhadap dirinya, Allah akan keras terhadapnya.
            Oleh karena itu, Rasulullah memperingatkan mereka dengan apa yang telah menimpa umat-umat terdahulu. Mereka banyak bertanya tentang hal-hal yang tidak perlu. Rasulullah menyayangi umat ini dan ingin menyelamatkan mereka dari segala macam kebinasaan.
Selanjutnya, Rasulullah melakukan sesuatu yang agung dan merupakan bagian dari kasih sayang beliau yang luas, yaitu beliau berhaji sekali saja seumur hidup.
Bila kita kembali kepada sirah nabawiyah, kita dapati bahwa Mekah ditaklukkan pada bulan Ramadhan, tahun ke delapan hijriah. Di hadapan Rasulullah terbuka kesempatan untuk berhaji pada tahun ke delapan dan tahun ke sembilan. Namun, beliau cukup berhaji pada tahun ke sepuluh hijriah.
Walaupun disebutkan bahwa beliau tidak berhaji karena adanya praktek-praktek kemusyrikan pada tahun ke delapan dan kesembilan seperti haji orang-orang musyrik dan thawaf mereka dalam keadaan telanjang, namun ini tidak cukup menjadi alasan bagi beliau untuk hanya berhaji satu kali saja pada tahun kesepuluh. Beliau bisa saja—dengan kekuatan yang ada—membasmi segala bentuk praktek kemusyrikan dan menyempurnakan haji dua atau tiga kali. Namun beliau tidak melakukannya.
            Alasan paling jelas bagi saya adalah beliau ingin memberikan contoh kepada umatnya bahwa haji cukup sekali seumur hidup. Ya, tidak apa-apa berhaji lebih dari sekali. Bahkan, ada nash yang menunjukan keutamaan melaksanakan ibadah haji dan umrah berulang-ulang.
            Beliau ingin menghapus segala bentuk kesulitan dari kaum muslimin, sebagai bentuk kasih sayang kepada mereka. Seandainya beliau melaksanakan haji dua kali maka kaum muslimin tentu ingin mengikuti beliau dalam jumlah haji tersebut dan pasti akan memberatkan mereka. Ini yang tidak diinginkan oleh kasih sayang beliau. Oleh karena itu, beliau memilih melaksanakan ibadah haji sekali saja walaupun keinginan beliau sangat besar.
Dalam haji beliau yang hanya sekali ini, tampak tanda-tanda kasih sayang yang susul-menyusul. Bukti dari kasih sayang bagi para jama’ah haji ini adalah beliau tahu bahwa tata cara haji tidak terkenal di kalangan kaum muslimin  seperti tata cara shalat dan puasa. Hal ini karena haji tidak dilakukan berulang kali kecuali hanya bagi sedikit orang. Beliau menerima adanya perbedaan dalam menentukan urutan manasik haji dan tidak pernah mencela orang yang melakukannya.
Abdullah bin Amr bin Ash bercerita bahwa ketika Rasulullah berhenti di atas kendaraannya, orang-orang mulai bertanya. Di antara mereka ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, aku tidak mengira kalau melontar itu dilakukan sebelum menyembelih. Aku telah menyembelih sebelum melontar.” Rasulullah bersabda, “Melontarlah dan tidak apa-apa.” Seorang berkata, “Aku tidak tahu kalau menyembelih itu dilakukan sebelum bercukur. Aku telah bercukur sebelum menyembelih.” Rasulullah bersabda, “Sembelihlah dan tidak apa-apa.” Abdullah berkata, ”Hari itu aku tidak mendengar beliau ditanya tentang sesuatu—karena orang yang bertanya itu lupa atau tidak tahu sehingga mendahulukan satu perkara sebelum yang lainnya dan lain sebagainya—kecuali Rasulullah bersabda, “Lakukanlah dan tidak apa-apa.”[4]
            Bukti lain kasih sayang beliau kepada jama’ah haji adalah setelah sampai di Muzdalifah dan menjama’ shalat Maghrib dan Isya’, beliau tidur di sana sampai shalat shubuh.[5]
Beliau tidak melaksanakan shalat malam atau shalat witir. Ini adalah kasih sayang beliau kepada kaum muslimin. Beliau mengerti kelelahan yang dirasakan pada hari Arafah dan perjalanan dari Arafah ke Muzdalifah. Beliau ingin sunnah beliau yang diikuti adalah tidur dengan tenang di Muzdalifah tanpa terpotong oleh shalat.
Bukti kasih sayang beliau juga adalah beliau mengizinkan orang-orang lemah untuk meninggalkan Muzdalifah pada malam hari sebelum fajar, agar bisa mendapatkan kesempatan melontar sebelum orang-orang berdesak-desakan. Aisyah meriwayatkan, “Ketika kami turun di Muzdalifah, Saudah meminta izin kepada Rasulullah untuk berangkat lebih dahulu. Rasulullah mengizinkannya. Ia pun berangkat sebelum rombongan manusia. Kami tinggal di sana sampai pagi. Kemudian kami berangkat bersama Rasulullah. Seandainya aku minta izin seperti Saudah, tentu lebih aku sukai daripada segala macam kesenangan.”[6]
Diantara bukti dari kasih sayangnya, beliau juga melontar jumrah dengan kerikil kecil seperti biji kacang seperti kata imam Nawawi, sehingga tidak menyakitkan orang ketika salah melempar.
Sulit untuk menangkap seluruh kasih sayang Rasulullah dalam haji beliau. Sebab, hal ini menuntut kita untuk mengkaji haji secara lengkap. Seluruh kegiatan dalam ibadah ini mencerminkan kasih sayang. Hal ini tidak mengherankan, walaupun haji itu sendiri adalah suatu hal yang sulit.
Ketika Allah memerintahkan suatu perkara, Dia pasti memberi kemampuan kepada manusia sehingga mampu melaksanakannya. Apabila yang menerapkan dan mengajarkan adalah orang seperti Rasulullah yang penuh kelembutan dan kasih sayang, jadilah perkara itu menjadi hal yng mudah insya Allah. Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada beliau yang Engkau puji dalam firman-Mu:
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam." (Al-Anbiyâ’: 107).
 

[1] HR Bukhari (1448), Baihaqi (17583), Abu Ya’la  (3717).
[2] HR Bukhari (1683), Muslim (1349), Tirmidzi (933), Nasa’i (2629), Ibnu Majah (2888), Malik (767), Ibnu Khuzaimah (5213), Ibnu Hibban (3696).
[3] HR Muslim (1377), Ahmad (10615), dan Baihaqi (8398).
[4] HR Bukhari (83), Muslim (1306), Abu Dawud (2014), Tirmidzi (916), Ahmad (6484), Ad-Darimi (1907), dan Ibnu Hibban (3877).
[5] HR Muslim (1218).
[6] HR Bukhari (1597), Muslim (1290).

Kasih Sayang Rasulullah dalam Perkara Sedekah




“Muhammad telah membersihkan banyak umat yang menjauhinya dan mengangkat mereka ke jalan yang maju dan berperadaban.” (Jol Lion; Orientalis Perancis).
“Pajak yang memberatkan sebagian orang dianggap sebagai tambahan untuk membantu kehidupan manusia di masa kini. Ada banyak negara yang meninggikan nilai pajaknya dalam bentuk yang tinggi. Contohnya negara Denmark yang mewajibkan pajak kepada para penduduknya sebesar 68 % dari penghasilan mereka dan dianggap sebagai jumlah pajak tertinggi di dunia.” (Guinness World Records for 2006).

Setiap umat tentu tidak dapat tegak selain dengan pemasukan dan pemberian. Ada banyak hal dalam negara dan masyarakat yang membutuhkan pengeluaran dan pembiayaan. Dari sinilah, Al-Qur’an dan As-Sunnah banyak mendorong manusia untuk berinfak.
Meskipun infak sangat penting, namun kasih sayang Allah SWT telah menetapkan bahwa jumlah zakat yang harus dikeluarkan sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah harta yang dimiliki. Zakat ini tidak lebih dari dua setengah persen dari harta. Inilah kasih sayang yang sangat agung dari Allah SWT. Namun Allah membuka pintu sedekah seluas-luasnya bagi kaum muslimin. Seseorang yang mempunyai kelebihan hendaknya menginfakkan kelebihan hartanya sehingga umat ini bergembira dengan kedermawanan orang-orang kaya.
Sedekah merupakan perbuatan terpuji, namun Rasulullah dengan rasa kasih sayang mengatur kecintaan seorang muslim dalam berinfak dengan aturan kasih sayang, kelembutan, dan kemudahan. Sampai-sampai beliau melarang sebagian orang yang berlebih-lebihan dalam bersedekah.
Ini yang selamanya saya yakini tidak ada dalam suatu peraturan manapun di dunia.
            Ketika Ka’ab bin Malik merasa bersalah karena tidak ikut bersama pasukan muslimin ke perang tabuk, dia ingin menebus kesalahannya dengan menyedekahkan seluruh hartanya. Ka’ab bin Malik berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu bukti dari tobatku adalah dengan melepaskan diriku dari seluruh hartaku untuk Allah dan Rasul-Nya.” Beliau bersabda:
‏ ‏أَمْسِكْ عَلَيْكَ بَعْضَ مَالِكَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ.
“Tahanlah sebagian hartamu, itu lebih baik bagimu.” Ia berkata, “Saya menahan saham saya yang ada di Khaibar.”[1]
            Rasulullah dalam kisah ini lebih sayang kepada Ka’ab bin Malik daripada rasa sayang Ka’ab kepada dirinya sendiri. Beliau juga lebih sayang kepada keluarga Ka’ab lebih dari kasih sayang Ka’ab kepada mereka. Beliau tahu bahwa dorongan perasaan ini adalah hasil dari pengakuan tobatnya kepada Allah.
            Beliau melarang Ka’ab untuk mengambil keputusan yang mungkin saja berpengaruh negatif baginya di masa depan, membawanya kepada penyesalan dan membuat dirinya miskin dan membutuhkan. Semua ini tidak bisa diterima dan tidak baik. Rasulullah dengan kasih sayang yang luas dapat mengetahui semua kemungkinan ini, sehingga beliau pun melarangnya.
            Ketika Sa’ad bin Abi Waqash sakit keras, ia menyangka ajalnya akan datang. Ketika itu ia ingin menyedekahkan seluruh hartanya. Bagaimanakah sikap Rasulullah dalam hal ini?
Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, ”Rasulullah menjengukku karena sakit keras yang menimpaku saat haji Wada’. Aku berkata, ‘Engkau sudah melihat apa yang aku alami, sementara aku adalah seorang yang mempunyai harta dan tidak ada yang menjadi ahli warisku kecuali seorang anak perempuan. Apakah aku bisa bersedekah dengan dua pertiga hartaku?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Aku bertanya, ‘Bagaimana kalau separuhnya?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Aku bertanya, ‘Bagaimana kalau sepertiga?’ Beliau menjawab:
الثُّلُثُ كَثِيرٌ، أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ وَلَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ.
Sepertiga itu banyak. Engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada manusia. Tiadalah engkau menafkahkan sesuatu dengan mengharap pahala dari Allah maka engkau akan diberi pahalanya sampai apa yang engkau masukkan ke dalam mulut istrimu sendiri’.”[2]
Sungguh ini adalah sebuah aturan yang baku!
Walaupun umat ini sangat memerlukan harta, namun kasih sayang menetapkan agar setiap muslim menahan sebagian hartanya. Dalam kisah ini, Sa’ad menentukan dua pertiga untuk diinfakan di jalan Allah, namun beliau hanya mengizinkan sepertiga saja dan menjelaskan bahwa itu sudah banyak. Artinya, bila Anda menginfakkan kurang dari itu maka tidak apa-apa. Bahkan Anda sudah terpuji dan akan mendapatkan ganjaran pahala.
Kemudian beliau menjelaskan dengan indah di akhir hadits bahwa sesuap makanan yang Anda masukan ke mulut istri Anda adalah sedekah yang diterima. Di sini beliau menerangkan bahwa sedekah yang diberikan untuk keluarga tidaklah tercela. Sebaliknya, hal itu sebuah kewajiban besar dan tanggung jawab yang harus ditunaikan. Seorang mukmin tidak boleh lalai dalam hal ini.
Rasulullah bersabda:
دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ.
"Satu dinar yang kau sedekahkan di jalan Allah, untuk memerdekakan budak, untuk menyantuni orang miskin, dan untuk keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah satu dinar yang kamu sedekahkan untuk keluargamu."[3]
Adakah sesuatu yang lebih sesuai dengan fitrah manusia dari pada hal ini?
Sebuah kejadian lain yang tak kalah menakjubkan dikisahkan oleh Abu Hurairah. Suatu hari Rasulullah menggerakkan orang-orang untuk bersedekah. Beliau bersabda, “Bersedekahlah kalian.” Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, aku mempunyai satu dinar.” Beliau berkata, “Sedekahkanlah ia untuk dirimu.” Laki-laki ini berkata, “Aku punya lagi.” Beliau bersabda, “Sedehkanlah untuk istrimu.” Laki-laki ini berkata, “Aku punya lagi.” Beliau bersabda, “Sedehkanlah untuk anakmu.” Laki-laki ini berkata, “Aku punya lagi.” Beliau bersabda, “Sedehkanlah untuk anakmu.” Laki-laki ini berkata, “Aku punya lagi.” Beliau bersabda, “Sedehkanlah untuk pembantumu.” Laki-laki ini berkata, “Aku punya lagi.” Beliau bersabda, “Engkau yang lebih tahu.”[4]
            Dalam kesempatan ini, Rasulullah menyayangi seorang laki-laki miskin yang tidak punya apa-apa selain beberapa dinar. Beliau memerintahkannya untuk memberikannya kepada dirinya sendiri, istrinya, anaknya, dan pembantunya sebelum ia berfikir untuk bersedekah.
            Dalam hadits ini beliau memberi dua isyarat yang sangat halus. Di awal beliau berkata, “Bersedekahlah kepada dirimu sendiri," kemudian mengikutinya dengan istilah yang sama, yaitu bersedekah kepada istri, anak, dan pembantu. Hal ini bertujuan agar ia tidak merasa rendah atau sedih karena tidak bersedekah sesuai dengan makna yang dipahami oleh orang-orang, yaitu bersedekah kepada orang lain. Beliau menegaskan bahwa apa yang ia lakukan adalah sedekah. Bahkan ia adalah sedekah yang harus didahulukan dibanding yang lainnya.
Isyarat kedua, di akhir hadits ketika disebutkan masih adanya uang yang tersisa setelah ia memberikannya kepada keluarga, beliau bersabda, “Engkaulah yang lebih tahu.” Di sini beliau tidak mengharuskan untuk memberikan uang yang lebih ini kepada kaum fakir, namun ia serahkan kepada pertimbangan dirinya sendiri. Bisa jadi ada sesutu yang sangat diperlukan di rumahnya, atau ia ingin memberi keluasan pada dirinya dan keluarganya, atau ia menginfakkanya di luar rumah di jalan Allah.
Laki-laki ini adalah seorang yang fakir. Ia tidak wajib menunaikan zakat. Rasulullah mempersilakannya untuk memanfaatkan harta yang sedikit ini sesuai keinginannya.
Alangkah penyayang dan seimbangnya pertimbangan beliau!!!
Lebih dari itu, Rasulullah mengetahui bahwa manusia punya rasa cinta kepada keluarga dan kerabatnya. Beliau tidak menjadikan pemberian ini terbatas pada keluarga dekat yang terdiri dari istri, orang tua, dan anak-anak saja. Beliau memperluas cakupannya dan menjadikannya pada seluruh keluarga. Bahkan, beliau memuji sedekah yang diberikan kepada keluarga, sekalipun orang akan melakukannya dengan sukarela dan tidak merasa terpaksa.
Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud, mendatangi Rasulullah dan menanyakan satu soal menakjubkan tentang sedekah. “Wahai Nabi Allah, hari ini engkau memerintahkan untuk bersedekah dan aku mempunyai perhiasan. Aku ingin menyedekahkannya. Ibnu Mas’ud dan anak-anak berpendapat bahwa merekalah orang yang pantas aku beri,” kata Zainab. Nabi saw bersabda:
صَدَقَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ، زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ.
“Ibnu Mas’ud benar. Suamimu dan anakmu adalah orang yang paling pantas engkau beri sedekah.”[5]
Ibnu Mas’ud adalah seorang fakir sementara istrinya adalah seorang yang kaya. Biasanya, si istri akan membantu suaminya dengan hartanya bukan dengan niat bersedekah, namun karena saling tolong menolong dalam kehidupan.
Menariknya, Rasulullah menjadikan pemberian ini sebagai sedekah dari istri kepada suaminya. Sebab kewajiban nafkah hanya untuk laki-laki saja. Apabila istri memberi sesuatu kepada suami dari hartanya (harta istri), hal ini dihitung sebagai sedekah. Oleh karena itu, para ahli fiqih berpendapat bahwa seorang istri boleh mengeluarkan zakat—tidak hanya sedekah—untuk suaminya apabila suaminya fakir dan membutuhkan sedekah.
            Demi Allah, ini merupakan sebuah bentuk kasih sayang yang sangat jelas dan kemudahan yang sangat besar.
Sesungguhnya Islam bukan agama yang bertujuan untuk mengambil alih harta manusia, memakan kekayaan mereka atau mengurangi tingkat perekonomi mereka. Islam adalah agama yang seimbang dan komprehensif. Islam adalah agama kemudahan dan kasih sayang. Tujuannya adalah menciptakan hidup yang bahagia di dunia dan akhirat secara bersama-sama. Doa Rasulullah yang menghimpun kebaikan agama, dunia, dan akhirat menjelaskan bagaimana pandangan Islam tentang kehidupan.
Beliau biasa berdoa:
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِيْنِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي، وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيْهَا مَعَاشِي، وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيْهَا مَعَادِي، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ.
“Ya Allah, perbaikilah agamaku yang menjadi pokok urusanku. Perbaikilah kehidupan duniaku tempat dimana aku hidup. Perbaikilah akhiratku tempat aku kembali nanti. Jadikanlah kehidupan ini menjadi tambahan bagiku dalam segala kebaikan dan jadikanlah mati menjadi peristrahatan bagiku dari seluruh kejahatan.”[6]
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam." (Al-Anbiyâ’: 107).

[1] HR Bukhari (2769), Abu Daud (3317), Tirmidzi (3102), Nasa’i (3823), Ahmad (15827), Ibnu Hibban (3370).
[2] Bukhari (5344), Muslim (1628), Abu Daud (2864), Tirmidzi (2116), Ahmad (1524), Ibnu Hibban (4249), dan Malik (1456).
[3] HR Muslim (955), Ahmad (10123).
[4] HR Abu Daud (1691), Nasa’i (2535), Ibnu Hibban (4235), dan Hakim (1514). Al-Albani menshahihkannya dalam Shahîh At-Targhîb (1958).
[5] HR Bukhari (1393), Muslim  (1000), Ibnu Khuzaimah (2563), dan Ibnu Hibban (5744).
[6] HR Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (668), dan Muslim (2720).