Sabtu

Kasih Sayang Rasulullah dalam Masalah Jihad




“Muhammad telah menyiapkan untuk umatnya sebab-sebab kekuatan, kemuliaan, dan keperkasaan” (Jawaharal Nehru; Pemimpin India yang terkenal)
“Laporan Departemen Pertahanan AS menegaskan bahwa 4% polisi wanita mengalami pelecehan seksual dari pimpinan dan komandan pasukan. Jumlah ini berkali-kali lipat dibandingkan dengan pelanggaran susila yang terjadi dalam kehidupan rakyat sipil di AS. Ditambah lagi 52% dari polisi wanita ini menghadapi gangguan moral dan seksual dengan tingkat yang berbeda-beda.” (Laporan dari Majalah “Muslim Soldier” Kuwait, Februari 2003).

Inilah kondisi mereka, namun Islam adalah berbeda!
            Pertama-tama, mungkin sebagian orang akan heran melihat judul pembahasan ini. Yang mengherankan adalah bagaimana ada yang membayangkan bahwa dalam jihad masih ada rasa kasih sayang.
            Gambaran itu mungkin saja benar apabila berkaitan dengan peradaban atau hukum selain peradaban dan hukum Islam. Dan, mungkin saja anggapan ini benar apabila mereka berhadapan dengan pemimpin atau komandan selain Rasulullah saw.
            Kasih sayang Rasulullah dalam medan jihad sangat tampak, baik kepada kaum muslimin maupun kepada non muslim. Adapun kasih sayang beliau kepada non muslim akan ada pembahasan lain di akhir pembahasan ini, insya Allah. Kali ini kita akan membahas kasih sayang beliau kepada sesama muslim.
Mungkin ada yang heran dengan adanya pembahasan kasih sayang dalam jihad, padahal kasih sayang itu khusus dalam perkara ibadah. Mereka mengira bahwa ibadah itu hanya terbatas pada shalat, zakat, puasa, haji, dan bentuk ritual lainnya. Mereka tidak melihat ibadah dalam konteks yang luas dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Allah berfirman:
 “Katakanlah, ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam’.” (Al-An’âm: 162).
Dari sini jihad menjadi ibadah. Bahkan menjadi ibadah yang paling tinggi nilainya dalam Islam. Lihatlah percakapan antara Rasulullah dan Mu’adz bin Jabal yang menunjukkan kedudukan banyak ibadah dalam Islam, di antaranya adalah jihad.
Mu’adz bin Jabal berkata, “Saya bersama Nabi saw dalam sebuah perjalanan. Suatu hari saat berjalan saya berada di dekat beliau. Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, beritahu saya amal yang akan memasukan saya ke surga dan menjauhkan saya dari neraka.’ Beliau bersabda, ‘Engkau telah bertanya tentang masalah yang besar. Namun itu adalah perkara yang mudah bagi siapa yang dimudahkan oleh Allah SWT. Engkau harus menyembah Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan apapun, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah.’ Kemudian beliau bersabda, ’Maukah kamu aku tunjukkan pintu-pintu kebajikan? Puasa adalah perisai, sedekah memadamkan dosa sebagaimana air memadamkan api, dan shalat di tengah malam.’ Kemudian beliau membaca ayat:
"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa-apa rezeki yang Kami berikan. Tak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang mata sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan." (As-Sajdah 16-17).
Kemudian beliau bersabda kembali, ’Maukah kalian kuberitahu pangkal agama, tiangnya, dan puncak tertingginya?’ Aku menjawab, ’Mau, wahai Rasulullah.’ Rasulullah saw bersabda, ’Pokok urusan adalah Islam, tiangnya adalah sholat, dan puncak tertingginya adalah jihad.’ Kemudian beliau melanjutkan, ’Maukah kalian kuberitahu tentang kendali bagi semua itu?’ Saya menjawab, ’Mau, wahai Rasulullah.’ Beliau lalu memegang lidahnya dan bersabda, ’Jagalah ini.’ Saya bertanya, ’Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa karena ucapan-ucapan kita?’ Beliau menjawab, ’Celaka kamu. Bukankah banyak dari kalangan manusia yang tersungkur ke dalam api neraka dengan mukanya terlebih dahulu (dalam riwayat lain dengan lehernya terlebih dahulu) itu gara-gara buah ucapan lisannya?’.”[1]
Jihad tidak sekedar ibadah, ia juga merupakan puncak tertinggi keislaman. Hadits-hadits tentang keutamaannya amat sulit dihitung. Walaupun jihad begitu penting dan umat ini sangat memerlukannya untuk mempertahankan negeri dan kehormatannya serta mengembalikan kemuliaan dan mencegah kezaliman, namun Rasulullah berinteraksi dengan para mujahid dan seluruh umat secara umum dengan perasaan kasih sayang.
Beliau memahami kondisi mereka, memudahkan urusan mereka, menyayangi mereka, dan berlaku lembut terhadap mereka, padahal dalam situasi seperti ini sulit—dalam pandangan banyak orang—untuk berlaku lembut dan penuh kasih sayang.
Hal indah yang bisa kita temui dalam kehidupan beliau berkaitan dengan masalah ini adalah tidak keluarnya beliau dalam seluruh pertempuran. Beliau keluar pada sebagian perang, yang dalam sejarah dikenal dengan ghazwah, dan tidak ikut dalam sebagian lainnya, yang dalam sejarah dikenal dengan sarâyâ.
Mengapa beliau tidak keluar dalam seluruh peperangan, padahal keinginan beliau begitu kuat untuk berkorban dan berjuang di jalan Allah? Rasulullah sendiri yang menjawabnya dengan ucapan beliau:
والَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْلاَ أَنَّ رِجَالاً مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ لاَ تَطِيْبُ أَنْفُسُهُمْ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنِّي وَلاَ أَجِدُ مَا أَحْمِلُهُمْ عَلَيْهِ مَا تَخَلَّفْتُ عَنْ سَرِيَّةٍ تَغْزُو فِي سَبِيلِ اللهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوَدِدْتُ أَنِّي أُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللهِ ثُمَّ أُحْيَا، ثُمَّ أُقْتَلُ، ثُمَّ أُحْيَا، ثُمَّ أُقْتَلُ، ثُمَّ أُحْيَا، ثُمَّ أُقْتَلُ.
”Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalau bukan karena sebagian orang beriman ada yang tidak senang hati untuk meninggalkanku (tidak ikut serta berperang bersamaku) sedangkan aku tidak mendapatkan bekal untuk mereka, maka aku tidak akan meninggalkan satu pun pasukan yang berjuang di jalan Allah. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku ingin terbunuh di jalan Allah kemudian dihidupkan lagi, kemudian terbunuh, kemudian dihidupkan lagi, kemudian terbunuh, kemudian dihidupkan lagi, kemudian terbunuh.”[2]
Lihatlah kasih sayang beliau kepada kaum muslimin yang dituntut untuk melaksanakan jihad. Beliau ingin menghilangkan kesusahan mereka yang timbul apabila beliau selalu ikut keluar berperang. Sebab, mereka akan memaksakan diri untuk keluar bersama beliau. Beliau mengambil keputusan untuk tidak keluar—padahal beliau sangat ingin untuk melaksanakan hal itu—karena kasih sayang beliau kepada mereka.
Beliau juga menolak bila ada orang yang lemah ingin ikut perang, padahal jumlah kaum muslimin sedikit. Beliau tidak ingin menyusahkan mereka walaupun mereka berkeinginan untuk itu. Kecuali bila mereka memaksa dan beliau melihat ada sedikit kemampuan untuk itu.
Dalam pembahasan tentang haji, kita melihat bagaimana beliau menolak permintaan Ummul Mukminin, Aisyah, yang berkaitan dengan permasalahan jihad. Hal ini karena rasa sayang beliau kepada kaum wanita. Kita juga sudah melihat bagaimana beliau menolak anak-anak untuk ikut berperang. Begitu pula kita telah melihat beliau menyuruh pulang beberapa pemuda yang memiliki tugas dan tanggung jawab merawat orang tua mereka.
Kisah beliau dengan Amr bin Jamuh dan anak-anaknya juga menunjukan luasnya kasih sayang, bukan hanya dari satu sisi melainkan dari berbagai sisi yang berbeda.
Ketika Rasulullah mendorong orang-orang untuk ikut ke Badar, Amr bin Jamuh ingin turut serta keluar bersama mereka. Namun ia ditahan oleh anak-anaknya atas perintah Rasulullah karena kakinya yang pincang. Ketika perang Uhud, ia berkata kepada anak-anaknya, “Dulu kalian melarangku untuk keluar dalam perang Badar. Maka jangan melarangku untuk keluar dalam perang Uhud.” Mereka berkata, “Sesungguhnya Allah telah memaafkanmu.” Ia mendatangi Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak-anakku ingin menahanku untuk pergi berperang bersamamu. Demi Allah saya ingin menginjak surga dengan kakiku yang pincang ini!” Rasulullah bersabda, “Engkau sudah diberi keringanan oleh Allah dan tidak ada kewajiban jihad bagimu.” Beliau juga bersabda kepada anak-anak Amr, “Kalian tidak boleh melarangnya. Semoga Allah memberinya anugrah mati syahid.” Ia kemudian mengambil senjatanya dan berangkat sambil berdoa, “Ya Allah karuniakanlah syahid kepadaku dan jangan engkau kembalikan aku kepada keluargaku dalam keadaan merugi.” Ketika beliau syahid di perang Uhud, istrinya, Hindun binti Amr, bibi dari Jabir bin Abdullah datang untuk membawanya. Ia juga membawa saudaranya, Abdullah bin Amr bin Haram. Mereka dimakamkan dalam satu kuburan. Rasulullah saw bersabda,”Demi jiwaku yang ada di tangannya, sungguh saya melihat dia menginjak surga dengan kakinya yang pincang.”[3]
Di sini sangat jelas bahwa kasih sayang itu bersusun-susun dan beraneka ragam.
Pada awalnya, beliau sangat sayang kepadanya. Beliau tidak ingin adanya kesusahan yang ia rasakan selama berjihad karena kakinya yang pincang. Beliau memaafkannya dengan memberi keringanan untuk tidak berjihad, bahkan melarangnya untuk ikut. Dalam waktu yang sama, beliau juga merasa sayang kepada keluarganya agar tak terkejut dengan berita kematiannya. Khususnya karena empat orang anaknya telah keluar untuk berjihad. Tinggallah ia seorang yang mengurus keperluan rumah tangganya.
Ketika beliau mendapati keinginannya yang kuat untuk berjihad, beliau merasa peduli terhadap keinginan dan kerinduannya ini. Beliau menghargai sikapnya, memahami perasaannya, dan menerimanya untuk ikut berjihad. Bahkan beliau menengahi di antara anak-anaknya dan menenangkan mereka. Ketika Amr bin Jamuh gugur, beliau menyampaikan berita gembira tentang tempatnya, agar anak-anaknya tidak menjadi sedih dan tidak merasa menyesal atas kepergiannya.
Sungguh kasih sayang beliau datang secara berturut-turut, padahal perkaranya berhubungan dengan masalah jihad dan peperangan.

[1] HR Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan Hakim.
[2] HR Bukhari (2644), Muslim (1876), Nasa’i (3098), Ibnu Majah (2753), dan Ahmad (7157).
[3] Usudul Ghabah, 3/702.



Atas besarnya kasih sayang di dalam pribadi Rasulullah, beliau juga mengkhawatirkan kondisi pasukannya dari kelelahan yang sangat. Hal ini sebagaimana yang beliau lakukan pada saat fathu Makkah yang terjadi pada bulan Ramadhan. Saat itu Rasulullah saw dan orang-orang beriman sedang puasa. Ketika selesai shalat ashar, beliau mendengar bahwa orang-orang merasakan kepenatan karena puasa. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah?
            Jabir bin Abdullah bercerita, ”Rasulullah keluar pada saat fathu Mekah ke Mekah pada bulan Ramadhan. Beliau dan kaum muslimin berpuasa. Ketika tiba di Kura’ Al-Ghamim, beliau meminta segelas air dan mengangkatnya hingga semua orang melihatnya. Kemudian beliau minum. Ada yang berkata kepada beliau setelah itu, ’Di antara orang-orang masih ada yang puasa.’ Beliau berkata, ’Mereka adalah orang yang bermaksiat, mereka adalah orang yang bermaksiat.’[1]
Alangkah besarnya kasih sayang beliau!
Beliau tidak ingin memberikan izin kepada orang-orang untuk berbuka sementara beliau sendiri masih puasa. Hal ini agar tidak menimbulkan beban kesusahan di hati mereka. Beliau sendiri akhirnya yang pertama-tama membatalkan puasa dan berbuka dengan air, agar menjadi contoh bagi mereka. Sebagian besar tentara turut berbuka. Namun ada sekelompok orang yang ingin tetap berpuasa. Ketika beliau mendengar hal ini, beliau berkata, "Mereka adalah orang yang bermaksiat."
Beliau menyatakan hal ini karena mereka tidak menyayangi diri sendiri dan tidak mengikuti yang menjadi pemimpin mereka dalam hal ini. Atau paling tidak beliau merasa susah karena berbuka di hadapan orang yang berpuasa. Kasih sayang beliau ini berlaku kepada seluruh tentara. Beliau ingin memberikan mereka ketenangan dengan tidak mengumpulkan antara lelahnya berpuasa dan lelahnya berjihad.
Anda sudah tahu, bahwa semua itu dilakukannya setelah shalat ashar. Maka Anda dapat melihat sejauh mana kasih sayang beliau yang tidak mau membiarkan mereka untuk menunggu waktu yang tersisa ini. Semua itu karena rasa sayang beliau terhadap umatnya.
Beliau memperhatikan korban terluka dari pasukannya dan berusaha mengobati mereka bila mampu. Ketika Saad bin Muadz terkena panah di bagian lengannya, beliau berusaha mengobatinya dengan besi panas (agar darahnya tidak mengucur), tapi kemudian membengkak, sehingga beliau obati untuk kedua kalinya.
Ketika korban luka-luka sudah banyak berjatuhan sementara Rasulullah tidak mampu berbuat sesuatu, beliau menyerahkan pengobatannya kepada Rufaidah yang terkenal pandai dalam pengobatan. Beliau memberikan sebuah tempat di masjid dan beliau biasa mengunjunginya.[2]
            Beliau sedih apabila di antara para shahabatnya ada yang mendapatkan luka atau gugur. Beliau menangisi mereka walapun mereka adalah para syuhada dan beliau sendiri adalah seorang kepala negara. Orang-orang menjadi terkesan dengan tangisan ini.
            Anas bin Malik meriwayatkan bahwa beliau telah memberitahukan kabar kematian Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah sebelum datangnya berita tentang mereka. Beliau bersabda:
أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيْبَ، ثُمَّ أَخَذَهَا جَعْفَرٌ فَأُصِيْبَ، ثُمَّ أَخَذَهَا عَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيْبَ، وَإِنَّ عَيْنَيْ رَسُوْلِ اللهِ r لَتَذْرِفَانِ، ثُمَّ أَخَذَهَا خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ مِنْ غَيْرِ إِمْرَةٍ فَفُتِحَ لَهُ.
”Zaid yang membawa bendera pasukan telah gugur, kemudian Ja’far mengambil dan dia pun gugur, kemudian Abdullah bin Rawahah mengambilnya dan dia pun gugur. Air mata Rasulullah bercucuran. Kemudian bendera pasukan diambil oleh Khalid bin Walid tanpa perintah hingga akhirnya diberikan kemenangan melaui dia.”[3]
Beliau juga berusaha memberikan ketenangan jiwa kepada para pasukan. Beliau memberikan ketenangan kepada keluarga mereka saat pasukan menuju medan perang. Beliau mendidik dan mengajar umatnya untuk memperhatikan keluarga yang ditinggal berjuang di jalan Allah. Rasulullah bersabda:
مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللهِ فَقَدْ غَزَا، وَمَنْ خَلَفَهُ فِي أَهْلِهِ بِخَيْرٍ فَقَدْ غَزَا
"Siapa yang menyiapkan perlengkapan orang yang berjihad di jalan Allah maka ia telah berjihad dan barang siapa yang menjaga keluarganya dengan baik maka ia telah berjihad.”[4]
Beliau sendiri yang menanggung urusan keluarga para syuhada dan mujahid. Hal ini agar orang-orang yang pergi berjihad merasa bahwa bila mereka gugur kelak, akan ada orang yang memerhatikan dan memelihara keluarganya. Anas bercerita bahwa ketika Nabi saw berada di Madinah, beliau tidak masuk rumah selain rumah istri-istrinya, kecuali rumah Ummu Sulaim. Ketika ditanyakan kepada beliau, beliau menjawab, "Saya sayang kepadanya karena seorang saudaranya terbunuh bersamaku.”[5]
            Rasulullah juga masuk ke rumah Ummu Sulaim karena ia adalah bibi beliau, baik karena susuannya atau karena nasab. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Namun kedua-duanya merupakan penyebab bolehnya berkhalwat dengannya.[6]
Demikianlah kasih sayang Rasulullah meliputi para pejuang dan keluarganya sehingga sangat berpengaruh dalam meringankan beban perjuangan.
Saya ingin mengakhiri pembahasan ini dengan sebuah kisah yang luar biasa dan menunjukkan kasih sayang yang amat langka di dunia ini, yaitu kasih sayang Rasulullah kepada orang-orang yang melarikan diri dari perjuangan.
Sebagaimana sudah diketahui bahwa lari dari medan pertempuran termasuk dosa besar. Rasulullah bahkan dengan jelas menyebutkan, ”Hindarilah tujuh hal yang membinasakan...” dan di antara tujuh hal tersebut adalah lari dari medan perang.[7]
Walaupun demikian, beliau membedakan antara orang yang biasa lari dari medan perang dan orang yang kebetulan melakukan hal ini dan diperkiraan tidak akan terulang lagi. Untuk kelompok yang kedua ini beliau berlaku sayang dan lembut kepada mereka dan tidak melihat sisi negatifnya.
Pernah terjadi beberapa orang dari kaum muslimin melarikan diri pada perang Uhud. Tidak disebutkan dalam kitab-kitab sunnah atau sirah adanya celaan dari nabi untuk mereka. Bahkan beliau mendorong dan menyemangati mereka untuk keluar pada hari kedua setelah perang Uhud guna mengusir orang-orang musyrik. Beliau tidak memperbolehkan selain pasukan Uhud untuk ikut bersamanya.
Inilah yang menjadi tanda bahwa beliau percaya kepada mereka dan mengetahui bahwa apa yang terjadi kemarin di Uhud adalah sebuah kelalaian dan kesalahan yang takkan berulang. Oleh karena itu, beliau menyuruh seseorang untuk mengumumkan bahwa tidak ada yang boleh ikut bersama kami kecuali yang hadir pada pertempuran kemarin.[8]
Demikian pula pada perang Mu’tah. Pasukan kaum muslimin yang berada di bawah komando Khalid bin Walid mengundurkan diri, sebab kekuatan mereka sama sekali tidak seimbang. Bala tentara Romawi berjumlah enam puluh kali lipat dibandingkan jumlah pasukan kaum muslimin.
Abdullah bin Umar meriwayatkan mengenai kondisi saat mereka mundur itu dan bagaimana reaksi penduduk Madinah dan sikap Rasulullah saw. Ia berkata, ”Kami diutus oleh Rasulullah dalam sebuah pasukan. Pasukan pada saat itu mundur dan berlari. Aku termasuk orang yang berlari itu. Kami berkata, ’Apa yang dapat kami lakukan? Kami telah lari dari peperangan dan ditimpa kemarahan.’ Kemudian kami berkata, ’Bagaimana kalau kita kembali ke Madinah dan bermalam disana.’ Kami berkata, ’Bagaimana bila kita menyerahkan diri kepada Rasulullah. Alangkah baiknya apabila masih ada kesempatan untuk bertobat, kalau tidak ada lagi kita pergi.’ Kami pun mendatangi beliau sebelum shalat shubuh. Beliau berkata, ’Siapa ini?’ Kami menjawab, ’Kami adalah orang-orang yang melarikan diri.’ Beliau menjawab:
لاَ بَلْ أَنْتُمُ الْعَكَّارُوْنَ، وَأَنَا فِئَتُكُمْ.
’Tidak, kalian adalah pasukan yang akan kembali berperang lagi dan aku adalah bagian dari pasukan kalian’.”[9]
Rasulullah memahami kondisi mereka, memaafkan, dan merasa sayang kepada mereka. Bahkan tidak cukup dengan itu, beliau juga memuji mereka.
Adakah sejarah pernah melihat kasih sayang sebesar ini? Apakah ada seorang panglima yang membangkitkan semangat anak buahnya—walaupun mereka kalah perang dan lari dari medan laga—seperti yang dilakukan oleh Rasulullah?
Sungguh benar apa yang difirmankan oleh Rabb kita:
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam." (Al-Anbiyâ’: 107).
****

[1] HR Muslim (1114), Tirmidzi (710), Nasa'i (2263).
[2] Usudul Ghabah, 2/239.
[3] HR Bukhari (4014), Nasa’i (1878), Ahmad (1750), dan Thabrani (1460).
[4] HR Bukhari (2688), Muslim (1895), Tirmidzi (1628), Abu Daud (2509), Nasa’i (2180), Ibnu Majah (2759), Ahmad (17080), Darimi (2419), Ibnu Hibban (4630).
[5] HR Bukhari (2679) dan Muslim (2455).
[6] Syarh Shahîh Muslim, 10/16.
[7] HR Bukhari (2615), Muslim (89), Abu Daud  (2874), Nasa’i (3671), dan Ibnu Hibban (5561).
[8] Uyûnul Atsâr II/57, Sirah Ibnu Hisyam IV/52.
[9] Abu Daud (2647), Tirmidzi (1716), Ahmad (5384), dan Abu Ya’la (5781). Al-Albani menyatakan hadits ini dhaif dalam Dhaif Sunan Tirmidzi IV/215

Tidak ada komentar:

Posting Komentar