Sabtu

Kasih Sayang Rasulullah dalam Urusan Haji Dan Umrah





“Orang-orang Yahudi menganggap bahwa berhaji ke Haikal Sulaiman yang ada di Al-Quds wajib bagi seorang yang sudah balig minimal sekali dalam setahun, menawarkannya kepada keluarga, menyalakan api, dan membaca beberapa bagian dari kitab suci.” (Dr. Usama al-Qaffash)

Ini adalah keadaan mereka, namun Islam berbeda!
Orang yang berhaji atau berumrah tentu akan merasakan kesulitan yang berbeda satu sama lain, dalam kondisi yang berbeda. Haji atau umrah adalah sesuatu yang berat. Rasulullah bahkan menjadikan haji seperti jihad bagi perempuan karena adanya perjuangan yang harus ia lakukan dalam melaksanakannya. Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, kami melihat bahwa jihad adalah amalan yang paling utama, kenapa kami tidak boleh ikut berjihad?” Beliau menjawab:
لاَ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ.
“Tidak, karena jihad yang paling utama (bagi kalian) adalah haji yang mabrur.”[1]
            Karena adanya kesusahan ini, Allah memperbesar pahala haji dan umrah serta berjanji akan memberika ganjaran pahala paling agung. Rasulullah bersabda:
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.
“Umrah satu ke umrah yang lain akan menghapuskan dosa di antara keduanya. Haji yang mabrur itu tidak ada balasannya melainkan surga."[2]
Walaupun demikian, seperti sudah kami sebutkan sebelumnya, tujuan ibadah ini bukan untuk menyiksa seorang muslim atau menyengsarakannya. Semua ini semata-mata ujian dari Allah. Allah memudahkan pelaksanaan ibadah ini agar kaum muslimin secara umum bisa melaksanakannya, kecuali siapa yang ditimpa uzur yang khusus.
Orang yang memiliki uzur tidak berkewajiban melaksanakan ibadah haji karena Allah menjadikan ibadah ini untuk orang yang mampu saja. Allah berfirman:
 “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Ali Imran: 97).
Dalam rangka memudahkan juga, Allah mewajibkan ibadah haji ini hanya sekali saja seumur hidup. Hal ini adalah sebuah kemudahan dan bukti kasih sayang yang besar serta sangat sesuai dengan kondisi manusia pada umumnya.
Kemudahan yang besar ditambah dengan sikap Rasulullah yang mengeluarkan perintah dengan penuh kasih sayang dan kelembutan membuat ibadah ini terasa lebih mudah.
            Suatu hari Rasulullah berkhutbah di hadapan manusia. Beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah mewajibkan kamu untuk berhaji maka berhajilah!" Seorang laki-laki berkata, “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” Rasulullah diam sampai laki-laki ini mengulangi pertanyaannya tiga kali. Beliau kemudian menjawab, “Seandainya aku katakan, ‘ya’ maka menjadi wajib melaksanakannya setiap tahun.” “Biarkanlah apa yang aku tinggalkan. Sesungguhnya yang membuat celaka orang-orang sebelum kalian adalah banyaknya pertanyaan mereka dan pembangkangan mereka terhadap rasul-rasul mereka. Apabila aku telah memerintahkan kalian dengan sesuatu maka laksanakanlah semampu kalian. Apabila aku melarang sesuatu maka tinggalkanlah,” lanjut beliau.[3]
            Rasulullah tentu mampu melaksanakan haji tiap tahun. Bahkan beliau pasti merindukan ibadah mulia seperti ini. Namun, beliau tidak ingin mengukur perkara ibadah dengan dirinya sendiri.
            Beliau ingin mengukur hal ini dengan kemampuan segenap kaum muslimin. Di antara kaum muslimin ada yang lemah, tua, perempuan, dan orang-orang yang sibuk atau tidak tertarik kepada ibadah ini.
            Laki-laki tadi bertanya dan mengulangi pertanyaannya, “Apakah setiap tahun wahai Rasulullah?” Rasulullah tidak mau menjawab dengan kata, ‘ya’ kecuali bila Allah menginginkan demikian. Beliau tahu—seperti sudah kami sebutkan sebelunya—apabila seorang bersikap terlalu keras terhadap dirinya, Allah akan keras terhadapnya.
            Oleh karena itu, Rasulullah memperingatkan mereka dengan apa yang telah menimpa umat-umat terdahulu. Mereka banyak bertanya tentang hal-hal yang tidak perlu. Rasulullah menyayangi umat ini dan ingin menyelamatkan mereka dari segala macam kebinasaan.
Selanjutnya, Rasulullah melakukan sesuatu yang agung dan merupakan bagian dari kasih sayang beliau yang luas, yaitu beliau berhaji sekali saja seumur hidup.
Bila kita kembali kepada sirah nabawiyah, kita dapati bahwa Mekah ditaklukkan pada bulan Ramadhan, tahun ke delapan hijriah. Di hadapan Rasulullah terbuka kesempatan untuk berhaji pada tahun ke delapan dan tahun ke sembilan. Namun, beliau cukup berhaji pada tahun ke sepuluh hijriah.
Walaupun disebutkan bahwa beliau tidak berhaji karena adanya praktek-praktek kemusyrikan pada tahun ke delapan dan kesembilan seperti haji orang-orang musyrik dan thawaf mereka dalam keadaan telanjang, namun ini tidak cukup menjadi alasan bagi beliau untuk hanya berhaji satu kali saja pada tahun kesepuluh. Beliau bisa saja—dengan kekuatan yang ada—membasmi segala bentuk praktek kemusyrikan dan menyempurnakan haji dua atau tiga kali. Namun beliau tidak melakukannya.
            Alasan paling jelas bagi saya adalah beliau ingin memberikan contoh kepada umatnya bahwa haji cukup sekali seumur hidup. Ya, tidak apa-apa berhaji lebih dari sekali. Bahkan, ada nash yang menunjukan keutamaan melaksanakan ibadah haji dan umrah berulang-ulang.
            Beliau ingin menghapus segala bentuk kesulitan dari kaum muslimin, sebagai bentuk kasih sayang kepada mereka. Seandainya beliau melaksanakan haji dua kali maka kaum muslimin tentu ingin mengikuti beliau dalam jumlah haji tersebut dan pasti akan memberatkan mereka. Ini yang tidak diinginkan oleh kasih sayang beliau. Oleh karena itu, beliau memilih melaksanakan ibadah haji sekali saja walaupun keinginan beliau sangat besar.
Dalam haji beliau yang hanya sekali ini, tampak tanda-tanda kasih sayang yang susul-menyusul. Bukti dari kasih sayang bagi para jama’ah haji ini adalah beliau tahu bahwa tata cara haji tidak terkenal di kalangan kaum muslimin  seperti tata cara shalat dan puasa. Hal ini karena haji tidak dilakukan berulang kali kecuali hanya bagi sedikit orang. Beliau menerima adanya perbedaan dalam menentukan urutan manasik haji dan tidak pernah mencela orang yang melakukannya.
Abdullah bin Amr bin Ash bercerita bahwa ketika Rasulullah berhenti di atas kendaraannya, orang-orang mulai bertanya. Di antara mereka ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, aku tidak mengira kalau melontar itu dilakukan sebelum menyembelih. Aku telah menyembelih sebelum melontar.” Rasulullah bersabda, “Melontarlah dan tidak apa-apa.” Seorang berkata, “Aku tidak tahu kalau menyembelih itu dilakukan sebelum bercukur. Aku telah bercukur sebelum menyembelih.” Rasulullah bersabda, “Sembelihlah dan tidak apa-apa.” Abdullah berkata, ”Hari itu aku tidak mendengar beliau ditanya tentang sesuatu—karena orang yang bertanya itu lupa atau tidak tahu sehingga mendahulukan satu perkara sebelum yang lainnya dan lain sebagainya—kecuali Rasulullah bersabda, “Lakukanlah dan tidak apa-apa.”[4]
            Bukti lain kasih sayang beliau kepada jama’ah haji adalah setelah sampai di Muzdalifah dan menjama’ shalat Maghrib dan Isya’, beliau tidur di sana sampai shalat shubuh.[5]
Beliau tidak melaksanakan shalat malam atau shalat witir. Ini adalah kasih sayang beliau kepada kaum muslimin. Beliau mengerti kelelahan yang dirasakan pada hari Arafah dan perjalanan dari Arafah ke Muzdalifah. Beliau ingin sunnah beliau yang diikuti adalah tidur dengan tenang di Muzdalifah tanpa terpotong oleh shalat.
Bukti kasih sayang beliau juga adalah beliau mengizinkan orang-orang lemah untuk meninggalkan Muzdalifah pada malam hari sebelum fajar, agar bisa mendapatkan kesempatan melontar sebelum orang-orang berdesak-desakan. Aisyah meriwayatkan, “Ketika kami turun di Muzdalifah, Saudah meminta izin kepada Rasulullah untuk berangkat lebih dahulu. Rasulullah mengizinkannya. Ia pun berangkat sebelum rombongan manusia. Kami tinggal di sana sampai pagi. Kemudian kami berangkat bersama Rasulullah. Seandainya aku minta izin seperti Saudah, tentu lebih aku sukai daripada segala macam kesenangan.”[6]
Diantara bukti dari kasih sayangnya, beliau juga melontar jumrah dengan kerikil kecil seperti biji kacang seperti kata imam Nawawi, sehingga tidak menyakitkan orang ketika salah melempar.
Sulit untuk menangkap seluruh kasih sayang Rasulullah dalam haji beliau. Sebab, hal ini menuntut kita untuk mengkaji haji secara lengkap. Seluruh kegiatan dalam ibadah ini mencerminkan kasih sayang. Hal ini tidak mengherankan, walaupun haji itu sendiri adalah suatu hal yang sulit.
Ketika Allah memerintahkan suatu perkara, Dia pasti memberi kemampuan kepada manusia sehingga mampu melaksanakannya. Apabila yang menerapkan dan mengajarkan adalah orang seperti Rasulullah yang penuh kelembutan dan kasih sayang, jadilah perkara itu menjadi hal yng mudah insya Allah. Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada beliau yang Engkau puji dalam firman-Mu:
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam." (Al-Anbiyâ’: 107).
 

[1] HR Bukhari (1448), Baihaqi (17583), Abu Ya’la  (3717).
[2] HR Bukhari (1683), Muslim (1349), Tirmidzi (933), Nasa’i (2629), Ibnu Majah (2888), Malik (767), Ibnu Khuzaimah (5213), Ibnu Hibban (3696).
[3] HR Muslim (1377), Ahmad (10615), dan Baihaqi (8398).
[4] HR Bukhari (83), Muslim (1306), Abu Dawud (2014), Tirmidzi (916), Ahmad (6484), Ad-Darimi (1907), dan Ibnu Hibban (3877).
[5] HR Muslim (1218).
[6] HR Bukhari (1597), Muslim (1290).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar