Sabtu

Kasih Sayang Rosululloh Dalam Perkara Puasa

Sesungguhnya ucapan-ucapan Muhammad yang pendek itu sangat indah dan mempunyai makna yang mendalam.”(Arroun, orientalis dan sejarahwan Amerika)
“Di antara ajaran St. Columban, pendiri biara di gunung Volga, Perancis, adalah engkau wajib berpuasa setiap hari.” (Qishshatul Hadharah, hal. 14/365).
Inilah kondisi mereka, namun Islam berbeda.

Rasulullah yang penyayang dalam perkara shalat dan membaca Al-Qur’an, juga seorang penyayang dalam perkara puasa. Beliau senantiasa melakukan puasa bersambung antara satu hari dan hari berikutnya tanpa berbuka, namun melarang shahabat dan umatnya melakukan hal itu. Hal ini karena Rasulullah amat sayang kepada mereka.
            Ummul Mukminin, Aisyah, berkata, “Rasulullah melarang melakukan puasa Wishal (puasa bersambung) karena kasih sayang terhadap umatnya. Para shahabat berkata, ‘Engkau sendiri menyambung puasa.’ Beliau bersabda:
 إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ إِنِّي يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِيْنِ.
‘Keadaanku tidak sama dengan kalian. Aku diberi makan dan diberi minum oleh Rabbku’.”[1]
            Aisyah disini menerangkan bahwa sebab pelarangan ini adalah kasih sayang beliau kepada kaum muslimin. Beliau tahu bahwa di antara umatnya ada yang mampu melaksanakan puasa bersambung (wishal), namun beliau ingin mengajarkan bahwa terdapat kesusahan yang besar dalam hal ini. Beliau melarangnya dan melarang kaum muslimin untuk mengikuti beliau dalam perkara ini. Ini adalah salah satu kekhususan Nabi. Kaum muslimin tidak perlu mengikutinya.
Lebih dari itu, beliau menyayangi orang yang berpuasa. Beliau tidak ingin memperpanjang masa puasa mereka lebih dari ketentuan agama, yaitu dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Beliau mendorong para shahabat untuk menyegerakan berbuka sehingga puasa tidak memberatkan mereka. Rasulullah bersabda:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ.
“Manusia akan selalu berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.”[2]
Lebih dari itu beliau menyuruh mereka untuk makan sahur agar lebih puasanya lebih ringan. Beliau bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً.
“Bersahurlah, karena dalam sahur itu ada berkah.”[3]
Bahkan beliau menyuruh mereka utuk mengakhirkan sahur agar pengaruhnya bisa bertahan lebih lama. Malik bin Amir Abu Athiyah pernah bertanya kepada ibunda Aisyah, “Di antara kami ada dua orang shahabat nabi. Salah seorang dari mereka mempercepat berbuka dan memperlambat bersahur, sementara yang kedua memperlambat berbuka dan mempercepat sahur.” Aisyah bertanya, “Siapakah nama orang yang mempercepat berbuka dan memperlambat sahur?” Malik menjawab, “Abdullah bin Mas'ud.” Aisyah berkata, “Begitulah yang Rasulullah lakukan.”[4]
Puasa itu bukan untuk menyiksa orang yang melakukannya. Allah SWT berfirman:
 “Mengapa Allah akan menyiksamu jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.” (An-Nisa’: 147).
Permasalahannya adalah permasalahan keimanan dan ujian keyakinan dan kepatuhan. Apabila telah sempurna keyakinan dan kepatuhan ini, tidak perlu ada kesusahan yang lebih dari ujian yang ada. Kemudian beliau saw menyampaikan dalam hadits sebelumnya bahwa tidak cukup dengan menjelaskan waktu puasa secara hukum fiqih. Beliau memuji orang-orang yang mempercepat berbuka saja. Padahal boleh memperlambat berbuka sejam-dua jam atau lebih asal jangan sampai bersambung. Beliau memberi ganjaran paling utama dan pahala paling besar bagi yang menyegerakan berbuka, sebab hal ini lebih menunjukkan kasih sayang. Beliau bersabda:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
“Manusia akan selalu berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.”[5] Beliau memuji sahur dan mengatakan bahwa itu adalah berkah.
Rasulullah juga melarang puasa sepanjang masa. Yaitu menyambung puasa setiap hari selain bulan Ramadan, walaupun ia melambatkan sahur dan menyegerakan berbuka. Ketika Rasulullah ditanya, “Bagaimana dengan orang yang berpuasa sepanjang masa?” Beliau menjawab:
لاَ صَامَ وَلاَ أَفْطَرَ.
”Dia tidak berpuasa tidak juga berbuka.”[6] Artinya, puasanya itu makruh dan tercela. Dia seakan-akan tidak berpuasa.
            Sikap beliau kepada Abdullah bin Amr bin Ash, khususnya dalam permasalahan puasa sepanjang masa sangat terkenal.
            Abdullah bin Amr bin Ash berkata, “Ketika Rasulullah diberitahu bahwa aku berniat untuk shalat malam dan puasa sepanjang hari selama hidupku, Rasulullah bertanya, ‘Apakah engkau yang berkata seperti itu?’ Aku menjawab, ‘Ya, aku telah mengatakannya, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda:
فَإِنَّكَ لاَ تَسْتَطِيعُ ذَلِكَ ، فَصُمْ وَ أَفْطِرْ ، وَقُمْ وَنَمْ ، وَصُمْ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ، فَإِنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا ، وَذَلِكَ مِثْلُ صِيَامِ الدَّهْرِ
‘Engkau tidak mampu melakukan itu. Puasalah dan berbuka, tidurlah dan bangun, puasalah setiap bulan tiga hari karena satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat dan pahalanya seperti puasa sepanjang masa.’ Aku berkata, ‘Aku mampu melakukan lebih dari itu.’ Beliau bersabda, ‘Puasalah sehari dan berbukalah dua hari.’ Aku berkata, ‘Aku mampu melakukan lebih dari itu, wahai Rasulullah.’ Beliau berkata:
فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا ، فَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ - عَلَيْهِ السَّلاَمُ - وَهُوَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ
‘Puasalah sehari dan berbukalah sehari, itulah puasa Daud dan itu adalah puasa paling utama.’ Aku berkata, ‘Aِku mampu melakukan lebih dari itu.’ Beliau berkata, ‘Tidak ada yang lebih dari itu’.”
Abdullah berkata, “Alangkah baiknya bila aku menerima puasa tiga hari yang dikatakan oleh Rasulullah saw. Hal itu lebih aku sukai dari keluarga dan hartaku.”[7]
            Sesungguhnya Rasulullah memberi petunjuk untuk kenyamanan Abdullah bin Amr bin Ash dan keluarganya. Lihatlah indahnya ucapan Rasulullah ketika Abdullah bin Amr bin Ash meminta izin untuk berpuasa lebih dari puasa Nabi Daud. Saat Abdullah berkata, “Aku mampu melakukan lebih dari itu,” Rasulullah bersabda, “Tidak ada yang lebih utama dari itu.”
            Menambah puasa tidak terpuji dan akan berbalik membawa bahaya. Lihatlah komentar Abdullah bin Amr di akhir ceritanya bahwa usul Rasulullah untuk berpuasa tiga hari saja dalam sebulan lebih utama baginya daripada keputusannya untuk puasa sehari dan berbuka sehari.
            Usianya telah lanjut dan tidak mampu lagi untuk melakukan seperti itu. Dia merasa kesusahan dengan janji setia yang telah ia buat untuk dirinya sendiri.
Pandangan Rasulullah untuk menyayangi orang yang berpuasa adalah pandangan yang luas, menyeluruh, dan seimbang. Beliau memerhatikan pemuda dan orang tua, laki-laki dan perempuan, pribadi dan keluarga, waktu sibuk dan waktu luang, waktu sehat dan waktu sakit. Pandangan ini begitu menyeluruh dan penuh kasih sayang.
Rasanya tepat bila pembahasan ini kita tutup dengan kisah singkat dari dua orang shahabat Rasulullah yang berbeda pendapat tentang keseimbangan antara puasa dan shalat malam. Yang menjadi hakim di antara keduanya adalah sang nabi yang penuh kasih sayang, Muhammad saw.
Dua shahabat ini adalah Abu Darda dan Salman Al-Farisi. Kisah ini disebutkan dalam Shahîh Bukhari. Alkisah, Nabi saw mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda. Suatu ketika, Salman mengunjungi Abu Darda. Ia mendapati Ummu Darda (istrinya Abu Darda) dalam keadaan tidak teratur. Salman bertanya, “Engkau kenapa?” Ia menjawab, “Saudaramu, Abu Darda, tidak punya keperluan lagi terhadap dunia.”
Ketika Abu Darda datang, Salman membuatkan makanan untuknya. Abu Darda berkata, “Makanlah, aku sedang puasa.” Salman berkata, “Aku tidak akan makan sampai engkau ikut makan.” Abu Darda pun makan.
Ketika malam hari, Abu Darda berdiri untuk melaksanakan shalat malam. Salman berkata, “Tidurlah.” Maka Abu Darda pun tidur. Sesaat kemudian dia bangun . Salman berkata, “Tidurlah.” Ketika sampai akhir malam, Salman berkata, “Sekarang bangunlah.” Mereka berdua pun melaksanakan shalat.
Salman berkata kepada Abu Darda, “Sesungguhnya Rabbmu mempunyai hak terhadapmu, dirimu mempunyai hak terhadapmu, keluargamu juga mempunyai hak terhadapmu. Maka berikanlah setiap pemilik hak itu haknya masing-masing." Abu Darda’datang menghadap Nabi saw dan menceritakan hal itu. Nabi berkata, “Benarlah apa yang dikatakan Salman.”[8]
Dalam kisah singkat ini, Rasulullah menegaskan bahwa seseorang mempunyai banyak kewajiban kepada manusia, sebagaimana ia punya kewajiban kepada Rabbnya. Hal yang penting ini belum banyak dipahami oleh banyak orang, bahkan oleh para shahabat besar.
Besarnya kewajibannya kepada Allah tidak menjadi alasan untuk melalaikan kewajiban sebagai manusia. Inilah kasih sayang yang tidak bisa dibayangkan oleh seorang pun, khususnya orang non muslim yang menganggap bahwa posisi kenabian adalah jabatan keagamaan yang tidak ada hubungannya dengan urusan kehidupan. Rasulullah telah menegaskan dalam kisah yang menarik ini bahwa kasih sayang beliau berlaku dalam kehidupan sebagaimana ia berlaku dalam urusan agama. Ia meliputi urusan keduniaan sebagaimana ia meliputi urusan akhirat. Mahasuci Allah yang berfirman tentang beliau:
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam." (Al-Anbiyâ’: 107).
 

[1] HR Bukhari (1863), Muslim (1105), Abu Daud (2360), Tirmidzi (778), Nasa’i (8161), dan Ahmad
(7162).
[2] HR Bukhari II/692 (1856), Muslim II/771 (1098), Tirmidzi 699, Ibnu Majah 1698, Ahmad 22856, dan Malik (634).
[3] HR Bukhari (1923), Muslim (10095), Tirmidzi (708), Ibnu Majah (1692), Nasa'i (2146), Ahmad (13414), Darimi (1696), Ibnu Khuzaimah (1937), Ibnu Hibban (3466).
[4] HR Muslim (1099), Nasa'i (2158), Ahmad (25438), Thayalisi (1512), dan Baihaqi (7911).
[5] HR Bukhari II/692 (1856), Muslim II/771 (1098), Tirmidzi 699, Ibnu Majah 1698, Ahmad 22856, dan Malik (634).
[6] HR Muslim (1162), Abu Daud (2425), Tirmidzi (767), Nasa’i (2381), Ibnu Majah (1705), Ahmad (16351), Ad-Darimi (1744), dan Ibnu Hibban (3642).
[7] HR Bukhari (3236), Muslim (1159), Nasa'i (2392), Abu Dawud (2427), Ahmad (6760), Ibnu Hibban (352).
[8] HR Bukhari (1867), Tirmidzi (2413), Ibnu Khuzaimah (2144), Daruquthni (20), Baihaqi (8128), Abu Nu’aim I/188.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar