Sabtu

Kasih Sayang Rasulullah salam Perkara Shalat dan Membaca Al-Qur’an

Sungguh termasuk dosa besar jika engkau tidak patuh kepada laki-laki rabbani ini.” (Pusat Studi dan Kajian Strategis Uni Emirat Arab, 2003).
“Ada sebuah sekte yang disebut dengan “Jalhiyakah.” Mereka adalah penyembah air. Apabila seorang di antara mereka hendak shalat, ia melepas seluruh pakaiannya dan tidak ada yang ditutupnya selain auratnya. Kemudian dia masuk ke dalam air sampai ke tengahnya. Dia berdiri disana selama satu atau dua jam lebih.” (Ahmad Abdurrahim; Gerakan-gerakan penghancur. Beirut, 1996).
Hal tersebut seperti yang ada dalam ajaran agama hindu.
“Engkau harus membiasakan dirimu dengan pergantian cuaca. Duduklah di bawah matahari yang membakar. Hiduplah dibawah langit (tanpa atap) pada musim hujan dan pakailah pakaian yang basah di musim dingin. Jadikanlah makananmu apa yang tumbuh dari bumi dan jauhilah daging. Ketika telah tiba masa tua maka tinggalkanlah keluarga dan hiduplah di hutan-hutan. Janganlah engkau menggunting rambutmu dan memotong kukumu.” (Ahmad Abdurrahim; Gerakan-gerakan penghancur. Beirut, 1996).

Inilah keadaan mereka, namun Islam berbeda.
Kasih sayang Rasulullah dalam sisi ibadah shalat dan membaca Al-Quran ini amat sangat jelas. Tampak dalam berbagai situasi dalam kehidupan beliau. Kami menyatukan pembahasan Al-Qur’an dan shalat dalam satu pembahasan karena keduanya memiliki keterkaitan yang kuat. Shalat biasa dinamakan dengan Al-Qur’an, seperti dalam firman Allah:
"Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan Qur’ânal fajri (dirikanlah pula shalat subuh). Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)." (Al-Isra’: 78). Ibnu Katsir berkata, “Qur’ânal fajri adalah shalat shubuh.”[1]
Rasulullah mencintai shalat dengan kecintaan yang sulit diungkapkan oleh lidah dan pena kita. Kita hanya bisa menyampaikan bagaimana beliau saw mengungkapkan kecintaan beliau. Beliau bersabda:
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلاَةِ.
“Dan dijadikan kebahagiaanku ada pada shalat.”[2]
Walaupun kebahagiaan beliau kepada shalat begitu dalam, namun beliau menyayangi umatnya. Beliau tidak berlebihan dalam hal ini sampai membuat umatnya bosan. Nabi saw pernah masuk masjid, beliau mendapati ada tali yang terikat di antara dua tiang. Beliau bertanya, ”Tali apa ini?” Para shahabat menjawab, “Ini tali milik Zainab. Apabila dia telah lelah, dia berpegang di tali ini.” Nabi saw bersabda:
لاَ ، حُلُّوهُ ، لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ ، فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَقْعُدْ
“Jangan lakukan. Lepaslah tali ini. Hendaknya kalian shalat sesuai kemampuannya. Ketika lelah, hendaklah dia duduk.”[3]
            Petunjuk dan pelajaran ini beliau sampaikan kepada salah satu wanita teragung di dunia; Ummul Mukminin, Zainab binti Jahsy. Terkadang beliau dituntut melakukan amalan yang tidak diperintahkan kepada segenap perempuan. Tapi hal ini adalah kaidah yang telah disepakati bersama, “Sesungguhnya agama ini mudah.”
Rasulullah sangat menginginkan agar seorang hamba senantiasa terikat dengan Rabb sepanjang hidupnya. Jangan sampai dia malas walaupun sesaat atau lalai dalam hal lainnya. Beliau menyukai amalan yang konsisten walaupun sedikit. Sedikit tapi konsisten lebih baik bagi seorang hamba dan masyarakat. Rasulullah bersabda:
وَاعْلَمُوا أَنَّ أَحَبَّ الْعَمَلِ إِلَى اللهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ.
“Ketahuilah bahwa amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus walaupun sedikit.”[4]
Rasulullah khawatir akan terjadi ketidakseimbangan pada umatnya. Sehingga mereka melalaikan hak-hak keluarga dan masyarakat apabila mereka menggunakan seluruh waktunya untuk shalat dan membaca Al-Quran. Oleh karena itu, beliau menasehati mereka yang berlebihan agar mengurangi dan meringankan ibadah mereka. Kisah yang paling indah dan amat populer dalam hal ini adalah apa yang terjadi dengan Abdullah bin Amr bin Ash.
Abdullah bin Amr bin Ash termasuk orang yang banyak melakukan puasa dan shalat. Kami akan bercerita—insya Allah—tentang puasanya pada pembahasan selanjutnya. Ia selalu shalat malam dan membaca Al-Qur’an sampai khatam. Ia mengira bahwa hal ini lebih utama dan lebih besar pahalanya. Terjadilah dialog antara ia dan Rasulullah ketika ia meminta penjelasan tentang jumlah bacaan Al-Qur’an yang ideal.
            Abdullah bin Amr bin Ash berkata, “Dalam berapa hari aku (sebaiknya) mengkhatamkan Al-Qur’an?” Rasulullah menjawab, “Selesaikanlah dalam waktu sebulan.” Abdullah berkata, “Aku sanggup lebih dari itu.” Beliau menjawab, “Selesaikan dalam waktu dua puluh hari.” Abdullah berkata, “Aku sanggup lebih dari itu,” Beliau menjawab, “Selesaikan dalam waktu lima belas hari.” “Aku sanggup lebih dari itu,” sanggah Abdullah. Beliau menjawab, “Selesaikanlah dalam waktu sepuluh hari." Abdullah berkata, “Aku sanggup lebih dari itu.” Beliau menjawab, “Selesaikanlah dalam waktu lima hari.” Abdullah berkata, “Aku sanggup lebih dari itu.”
“Beliau tidak memberikan pengurangan waktu lagi untukku,” kata Abdullah.[5]
Dalam contoh ini kita bisa melihat seorang pemuda yang kuat, Abdullah bin Amr bin Ash, meminta kepada Rasulullah agar bisa shalat lebih banyak dan mengkhatamkan Al-Qur’an secepatnya. Di sisi lain kita juga melihat bagaimana Rasulullah berusaha memberikan keringanan kepadanya sebagai bentuk kasih sayang.
Kita bisa saja heran melihat keinginan Rasulullah untuk mengurangi ibadah yang dilakukan oleh Abdullah bin Amr bin Ash. Namun, ketika kita coba renungkan dengan pandangan kasih sayang, kita dapati bahwa Rasulullah ingin adanya keistiqamahan dalam ibadah yang dilakukan oleh Abdullah tanpa rasa malas, bosan, dan lelah.
Beliau ingin agar istri dan anak-anaknya mendapatkan hak. Beliau juga ingin agar Abdullah bisa menjadi anggota masyarakat yang aktif dan produktif, bisa berjihad dan saling berkunjung. Sungguh Rasulullah ingin agar Abdullah dapat hidup dengan seimbang, sebagai bentuk kasih sayang kepadanya dan kepada masyarakatnya.
Kasih sayang Rasulullah ini bertambah jelas ketika menyangkut perkara yang khusus berkaitan dengan umatnya. Agama ini tidak turun untuk satu kelompok manusia saja. Ia turun untuk anak kecil dan orang tua, laki-laki dan perempuan, kuat dan lemah, kaya dan miskin, dan lapisan masyarakat lainnya, termasuk umat yang satu ini. Beliau paham dengan keadaan manusa dan kondisi mereka. Beliau mencintai mereka karena hal itu dan tidak ingin ada yang melaksanakan shalat satu-dua kali kemudian sama sekali tidak melaksanakannya. Beliau melihat dan menghargai kondisi yang ada.
Hal semacam ini pernah terjadi pada shahabat Mu’adz bin Jabal, seorang shahabat yang mulia dan sangat dekat di hati Rasulullah. Ia banyak dipuji oleh Rasulullah. Namun kedekatan ini tidak menjadi alasan bagi Mu’adz untuk memanjangkan shalatnya sehingga memberatkan para makmum.
Segala hal yang memberatkan itu ditolak walaupun dalam shalat!
Jabir bin Abdullah bercerita, “Seorang laki-laki datang dengan membawa dua unta penyiram saat malam telah menjelang (shalat Isya'). Ia mendapati Mu’adz sedang shalat dan menjadi imam. Ia meninggalkan unta penyiramnya dan ikut shalat bersama. Mu’adz membaca surat Al-Baqarah dan An-Nisa’. Orang ini pun pergi dan mengabarkan bahwa Mu’adz telah menyakitinya. Ia pun mendatangi Rasulullah dan mengadukan Mu’adz kepadanya. Nabi saw bersabda:
يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ - ثَلاَثَ مِرَارٍ - فَلَوْلاَ صَلَّيْتَ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ ، وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا ، وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى ، فَإِنَّهُ يُصَلِّى وَرَاءَكَ الْكَبِيرُ وَالضَّعِيفُ وَذُو الْحَاجَةِ
“Wahai Mu’adz, apakah engkau ingin menimbulkan fitnah?—tiga kali—Mengapa engkau tidak shalat dengan membaca Sabbihisma rabbikal a’la, Wasyamsi wa dhuhâha, wallaili idzâ yaghsyâ. Sungguh yang shalat di belakangmu itu ada orang tua, orang lemah, dan orang yang mempunyai keperluan.”[6]
Rasulullah mengajarkan kepada para imam untuk menyayangi orang-orang yang shalat di masjid dan jangan memberatkan mereka dengan banyaknya shalat atau terlalu lama berdiri. Inilah gambaran kasih sayang yang mulia. Beliu lebih senang dengan imam yang membaca surat As-Syams dan Al-Lail daripada imam yang membaca surat Al-Baqarah dan An-Nisa’. Hendaklah setiap muslim paham dengan agamanya!
Hendaknya seluruh alam mengetahui kasih sayang Rasulullah saw.
Hal yang serupa terjadi dalam pelaksanaan shalat tarawih di bulan Ramadhan. Suatu malam Rasulullah shalat di masjid. Orang-orang pun ikut shalat bersama beliau. Di malam berikutnya beliau shalat lagi dan orang-orang bertambah banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga dan keempat, namun Rasulullah tidak keluar. Ketika pagi hari, beliau berkata:
قَدْ ‏ ‏رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ.
“Saya melihat apa yang kalian lakukan semalam. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kecuali karena aku takut akan diwajibkan kepada kalian.”[7]
Rasulullah mengetahui bahwa Allah akan mewajibkan kepada hambanya apa yang Dia kehendaki, pada waktu yang Dia kehendaki, dan dengan cara yang Dia kehendaki. Namun beliau mengetahui bahwa terkadang Allah menjadikan sebab-sebab untuk hal itu. Beliau tidak ingin menjadi penyebab adanya sesuatu yang memberatkan kaum muslimin.
Bani Israil telah memberatkan diri mereka sendiri sehingga Allah pun memberatkan bagi mereka. Hal ini bisa dilihat dalam kisah “penyembelihan Sapi” yang diceritakan dalam Al-Quran. Oleh karena itu, Rasulullah lebih memilih shalat sendiri di bulan ramadhan karena kasih sayangnya kepada manusia dengan menyedikitkan kewajiban kepada mereka.
            Seseorang ketika melihat kisah ini tidak bisa melakukan apa-apa selain berkata seperti apa yang difirman oleh Allah:
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam." (Al-Anbiyâ’: 107).
 

[1] Tafsîr Al-Qur'ânul 'Adhîm III/75.
[2] HR Nasa’i (3940), Ahmad (114069), dan Malik (523). Al-Albani menshahihkannya dalam Shahîh Al-Jâmi' (3098), Silsilah Ash-Shahîhah (3291).
[3] HR Bukhari (1099), Muslim (784), Abu Daud (1312), Nasa’i (1643), Ibnu Majah (1371), Ahmad (12005), Ibnu Khuzaimah (1180), dan Ibnu Hibban (2492).
[4] HR Muslim (2818), Nasa’i (762), Abu Daud (1368), dan Ahmad (25512).
[5] HR Muslim (1159), Tirmidzi (2946), Nasa’i (2200).
[6] HR Bukhari (673), Muslim (465), Nasa'i (835), Abu Dawud (790), Ahmad (14346).
[7] HR Bukhari (1077), Muslim (761), Abu Daud (1373), Ahmad (25485), dan Ibnu Hibban (2542).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar