Sabtu

Kasih Sayang Rasulullah dalam Perkara Sedekah




“Muhammad telah membersihkan banyak umat yang menjauhinya dan mengangkat mereka ke jalan yang maju dan berperadaban.” (Jol Lion; Orientalis Perancis).
“Pajak yang memberatkan sebagian orang dianggap sebagai tambahan untuk membantu kehidupan manusia di masa kini. Ada banyak negara yang meninggikan nilai pajaknya dalam bentuk yang tinggi. Contohnya negara Denmark yang mewajibkan pajak kepada para penduduknya sebesar 68 % dari penghasilan mereka dan dianggap sebagai jumlah pajak tertinggi di dunia.” (Guinness World Records for 2006).

Setiap umat tentu tidak dapat tegak selain dengan pemasukan dan pemberian. Ada banyak hal dalam negara dan masyarakat yang membutuhkan pengeluaran dan pembiayaan. Dari sinilah, Al-Qur’an dan As-Sunnah banyak mendorong manusia untuk berinfak.
Meskipun infak sangat penting, namun kasih sayang Allah SWT telah menetapkan bahwa jumlah zakat yang harus dikeluarkan sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah harta yang dimiliki. Zakat ini tidak lebih dari dua setengah persen dari harta. Inilah kasih sayang yang sangat agung dari Allah SWT. Namun Allah membuka pintu sedekah seluas-luasnya bagi kaum muslimin. Seseorang yang mempunyai kelebihan hendaknya menginfakkan kelebihan hartanya sehingga umat ini bergembira dengan kedermawanan orang-orang kaya.
Sedekah merupakan perbuatan terpuji, namun Rasulullah dengan rasa kasih sayang mengatur kecintaan seorang muslim dalam berinfak dengan aturan kasih sayang, kelembutan, dan kemudahan. Sampai-sampai beliau melarang sebagian orang yang berlebih-lebihan dalam bersedekah.
Ini yang selamanya saya yakini tidak ada dalam suatu peraturan manapun di dunia.
            Ketika Ka’ab bin Malik merasa bersalah karena tidak ikut bersama pasukan muslimin ke perang tabuk, dia ingin menebus kesalahannya dengan menyedekahkan seluruh hartanya. Ka’ab bin Malik berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu bukti dari tobatku adalah dengan melepaskan diriku dari seluruh hartaku untuk Allah dan Rasul-Nya.” Beliau bersabda:
‏ ‏أَمْسِكْ عَلَيْكَ بَعْضَ مَالِكَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ.
“Tahanlah sebagian hartamu, itu lebih baik bagimu.” Ia berkata, “Saya menahan saham saya yang ada di Khaibar.”[1]
            Rasulullah dalam kisah ini lebih sayang kepada Ka’ab bin Malik daripada rasa sayang Ka’ab kepada dirinya sendiri. Beliau juga lebih sayang kepada keluarga Ka’ab lebih dari kasih sayang Ka’ab kepada mereka. Beliau tahu bahwa dorongan perasaan ini adalah hasil dari pengakuan tobatnya kepada Allah.
            Beliau melarang Ka’ab untuk mengambil keputusan yang mungkin saja berpengaruh negatif baginya di masa depan, membawanya kepada penyesalan dan membuat dirinya miskin dan membutuhkan. Semua ini tidak bisa diterima dan tidak baik. Rasulullah dengan kasih sayang yang luas dapat mengetahui semua kemungkinan ini, sehingga beliau pun melarangnya.
            Ketika Sa’ad bin Abi Waqash sakit keras, ia menyangka ajalnya akan datang. Ketika itu ia ingin menyedekahkan seluruh hartanya. Bagaimanakah sikap Rasulullah dalam hal ini?
Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, ”Rasulullah menjengukku karena sakit keras yang menimpaku saat haji Wada’. Aku berkata, ‘Engkau sudah melihat apa yang aku alami, sementara aku adalah seorang yang mempunyai harta dan tidak ada yang menjadi ahli warisku kecuali seorang anak perempuan. Apakah aku bisa bersedekah dengan dua pertiga hartaku?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Aku bertanya, ‘Bagaimana kalau separuhnya?’ Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Aku bertanya, ‘Bagaimana kalau sepertiga?’ Beliau menjawab:
الثُّلُثُ كَثِيرٌ، أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ وَلَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ.
Sepertiga itu banyak. Engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada manusia. Tiadalah engkau menafkahkan sesuatu dengan mengharap pahala dari Allah maka engkau akan diberi pahalanya sampai apa yang engkau masukkan ke dalam mulut istrimu sendiri’.”[2]
Sungguh ini adalah sebuah aturan yang baku!
Walaupun umat ini sangat memerlukan harta, namun kasih sayang menetapkan agar setiap muslim menahan sebagian hartanya. Dalam kisah ini, Sa’ad menentukan dua pertiga untuk diinfakan di jalan Allah, namun beliau hanya mengizinkan sepertiga saja dan menjelaskan bahwa itu sudah banyak. Artinya, bila Anda menginfakkan kurang dari itu maka tidak apa-apa. Bahkan Anda sudah terpuji dan akan mendapatkan ganjaran pahala.
Kemudian beliau menjelaskan dengan indah di akhir hadits bahwa sesuap makanan yang Anda masukan ke mulut istri Anda adalah sedekah yang diterima. Di sini beliau menerangkan bahwa sedekah yang diberikan untuk keluarga tidaklah tercela. Sebaliknya, hal itu sebuah kewajiban besar dan tanggung jawab yang harus ditunaikan. Seorang mukmin tidak boleh lalai dalam hal ini.
Rasulullah bersabda:
دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ.
"Satu dinar yang kau sedekahkan di jalan Allah, untuk memerdekakan budak, untuk menyantuni orang miskin, dan untuk keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah satu dinar yang kamu sedekahkan untuk keluargamu."[3]
Adakah sesuatu yang lebih sesuai dengan fitrah manusia dari pada hal ini?
Sebuah kejadian lain yang tak kalah menakjubkan dikisahkan oleh Abu Hurairah. Suatu hari Rasulullah menggerakkan orang-orang untuk bersedekah. Beliau bersabda, “Bersedekahlah kalian.” Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, aku mempunyai satu dinar.” Beliau berkata, “Sedekahkanlah ia untuk dirimu.” Laki-laki ini berkata, “Aku punya lagi.” Beliau bersabda, “Sedehkanlah untuk istrimu.” Laki-laki ini berkata, “Aku punya lagi.” Beliau bersabda, “Sedehkanlah untuk anakmu.” Laki-laki ini berkata, “Aku punya lagi.” Beliau bersabda, “Sedehkanlah untuk anakmu.” Laki-laki ini berkata, “Aku punya lagi.” Beliau bersabda, “Sedehkanlah untuk pembantumu.” Laki-laki ini berkata, “Aku punya lagi.” Beliau bersabda, “Engkau yang lebih tahu.”[4]
            Dalam kesempatan ini, Rasulullah menyayangi seorang laki-laki miskin yang tidak punya apa-apa selain beberapa dinar. Beliau memerintahkannya untuk memberikannya kepada dirinya sendiri, istrinya, anaknya, dan pembantunya sebelum ia berfikir untuk bersedekah.
            Dalam hadits ini beliau memberi dua isyarat yang sangat halus. Di awal beliau berkata, “Bersedekahlah kepada dirimu sendiri," kemudian mengikutinya dengan istilah yang sama, yaitu bersedekah kepada istri, anak, dan pembantu. Hal ini bertujuan agar ia tidak merasa rendah atau sedih karena tidak bersedekah sesuai dengan makna yang dipahami oleh orang-orang, yaitu bersedekah kepada orang lain. Beliau menegaskan bahwa apa yang ia lakukan adalah sedekah. Bahkan ia adalah sedekah yang harus didahulukan dibanding yang lainnya.
Isyarat kedua, di akhir hadits ketika disebutkan masih adanya uang yang tersisa setelah ia memberikannya kepada keluarga, beliau bersabda, “Engkaulah yang lebih tahu.” Di sini beliau tidak mengharuskan untuk memberikan uang yang lebih ini kepada kaum fakir, namun ia serahkan kepada pertimbangan dirinya sendiri. Bisa jadi ada sesutu yang sangat diperlukan di rumahnya, atau ia ingin memberi keluasan pada dirinya dan keluarganya, atau ia menginfakkanya di luar rumah di jalan Allah.
Laki-laki ini adalah seorang yang fakir. Ia tidak wajib menunaikan zakat. Rasulullah mempersilakannya untuk memanfaatkan harta yang sedikit ini sesuai keinginannya.
Alangkah penyayang dan seimbangnya pertimbangan beliau!!!
Lebih dari itu, Rasulullah mengetahui bahwa manusia punya rasa cinta kepada keluarga dan kerabatnya. Beliau tidak menjadikan pemberian ini terbatas pada keluarga dekat yang terdiri dari istri, orang tua, dan anak-anak saja. Beliau memperluas cakupannya dan menjadikannya pada seluruh keluarga. Bahkan, beliau memuji sedekah yang diberikan kepada keluarga, sekalipun orang akan melakukannya dengan sukarela dan tidak merasa terpaksa.
Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud, mendatangi Rasulullah dan menanyakan satu soal menakjubkan tentang sedekah. “Wahai Nabi Allah, hari ini engkau memerintahkan untuk bersedekah dan aku mempunyai perhiasan. Aku ingin menyedekahkannya. Ibnu Mas’ud dan anak-anak berpendapat bahwa merekalah orang yang pantas aku beri,” kata Zainab. Nabi saw bersabda:
صَدَقَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ، زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ.
“Ibnu Mas’ud benar. Suamimu dan anakmu adalah orang yang paling pantas engkau beri sedekah.”[5]
Ibnu Mas’ud adalah seorang fakir sementara istrinya adalah seorang yang kaya. Biasanya, si istri akan membantu suaminya dengan hartanya bukan dengan niat bersedekah, namun karena saling tolong menolong dalam kehidupan.
Menariknya, Rasulullah menjadikan pemberian ini sebagai sedekah dari istri kepada suaminya. Sebab kewajiban nafkah hanya untuk laki-laki saja. Apabila istri memberi sesuatu kepada suami dari hartanya (harta istri), hal ini dihitung sebagai sedekah. Oleh karena itu, para ahli fiqih berpendapat bahwa seorang istri boleh mengeluarkan zakat—tidak hanya sedekah—untuk suaminya apabila suaminya fakir dan membutuhkan sedekah.
            Demi Allah, ini merupakan sebuah bentuk kasih sayang yang sangat jelas dan kemudahan yang sangat besar.
Sesungguhnya Islam bukan agama yang bertujuan untuk mengambil alih harta manusia, memakan kekayaan mereka atau mengurangi tingkat perekonomi mereka. Islam adalah agama yang seimbang dan komprehensif. Islam adalah agama kemudahan dan kasih sayang. Tujuannya adalah menciptakan hidup yang bahagia di dunia dan akhirat secara bersama-sama. Doa Rasulullah yang menghimpun kebaikan agama, dunia, dan akhirat menjelaskan bagaimana pandangan Islam tentang kehidupan.
Beliau biasa berdoa:
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِيْنِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي، وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيْهَا مَعَاشِي، وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيْهَا مَعَادِي، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ.
“Ya Allah, perbaikilah agamaku yang menjadi pokok urusanku. Perbaikilah kehidupan duniaku tempat dimana aku hidup. Perbaikilah akhiratku tempat aku kembali nanti. Jadikanlah kehidupan ini menjadi tambahan bagiku dalam segala kebaikan dan jadikanlah mati menjadi peristrahatan bagiku dari seluruh kejahatan.”[6]
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam." (Al-Anbiyâ’: 107).

[1] HR Bukhari (2769), Abu Daud (3317), Tirmidzi (3102), Nasa’i (3823), Ahmad (15827), Ibnu Hibban (3370).
[2] Bukhari (5344), Muslim (1628), Abu Daud (2864), Tirmidzi (2116), Ahmad (1524), Ibnu Hibban (4249), dan Malik (1456).
[3] HR Muslim (955), Ahmad (10123).
[4] HR Abu Daud (1691), Nasa’i (2535), Ibnu Hibban (4235), dan Hakim (1514). Al-Albani menshahihkannya dalam Shahîh At-Targhîb (1958).
[5] HR Bukhari (1393), Muslim  (1000), Ibnu Khuzaimah (2563), dan Ibnu Hibban (5744).
[6] HR Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (668), dan Muslim (2720).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar