Sabtu

Kasih Sayang Rasulullah dalam Perkara Ibadah

Banyak orang yang keliru—baik muslim maupun non-muslim—dalam menggambarkan seorang muslim yang agamis dan militan. Kebanyakan menggambarkan keduanya sebagai sosok seorang muslim yang keras dalam hal shalat, puasa, dan beragam bentuk ibadah lainnya. Mereka juga keliru ketika meyakini bahwa muslim yang melaksanakan keringanan yang diberikan agama adalah seorang muslim yang lalai dan perlu pendidikan dan perbaikan.
            Pemahaman ini—tidak perlu diragukan—sebenarnya sesuatu yang disusupkan dalam Islam dan berlawanan dengan asas kasih sayang yang dibawa oleh Rasulullah. Kaidah hukum Islam yang mengatur ibadah dan kehidupan umat manusia yang bersumber dari Al-Qur'an sangat jelas. Allah berfirman:
 “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185).
Hal ini tampak pada seluruh ketentuan syari’at. Rasulullah sangat ingin menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupan beliau. Di setiap ucapan dan perbuatan beliau.
Rasulullah bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ ‏‏يُشَادَّ ‏الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ‏ ‏غَلَبَهُ؛ ‏فَسَدِّدُوْا ‏‏وَقَارِبُوْا ‏وَأَبْشِرُوْا، وَاسْتَعِيْنُوْا ‏بِالْغَدْوَةِ ‏وَالرَّوْحَةِ ‏وَشَيْءٍ مِنَ‏ ‏الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya agama ini mudah dan tiada seorang yang mempersulit agama, kecuali pasti dikalahkannya. Bertindaklah yang tepat, lakukan pendekatan, sebarkan berita gembira, dan gunakan siang dan malam hari serta sedikit waktu fajar sebagai penolongmu.”[1]
Demikian pula sabda beliau:
يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا، وَبَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا
“Mudahkanlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari.”[2]
Inilah pilar yang jelas dalam Islam. Siapa yang melanggarnya berarti ia melakukan pelanggaran yang nyata terhadap agama. Dalam hal ini seseorang tidak mendapatkan maaf karena kebagusan niatnya atau ketinggian semangatnya. Sifat keras dapat membuat orang lari dan menyusahkan orang lain bisa mendatangkan bahaya lebih besar dibanding manfaatnya.
            Tiga orang datang ke rumah istri Rasulullah menanyakan ibadah Rasulullah. Ketika diberitahukan, mereka seakan menganggapnya sedikit. Mereka berkata, “Siapakah kami ini dibandingkan Rasulullah padahal beliau telah diampuni dosanya yang dulu dan yang akan datang.” Berkatalah seorang di antara mereka, “Aku akan shalat malam selamanya.” Seorang di antara mereka berkata, “Aku akan berpuasa selamanya dan tidak akan berbuka.” Yang ketiga berkata, “Aku akan menjauhi perempuan dan tidak akan menikah selamanya.” Datanglah Rasulullah kepada mereka lalu berkata:
أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ: كَذَا وَكَذَا، أَمَا واللهِ إِنِّي ‏لَأَخْشَاكُمْ ِللهِ، وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ؛ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي.
“Kalian yang berkata ini dan itu. Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya. Tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan tidur, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa membenci sunnahku maka dia bukan dari golonganku.”[3]
Kisah ini menjadi salah satu pokok dalam Islam. Di dalamnya tampak kasih sayang Rasulullah kepada seluruh umatnya. Rasulullah telah memanfaatkan kisah ini untuk membuat sebuah kaidah umum yang penuh kasih sayang untuk mengatur kehidupan manusia dalam Islam, yaitu bahwa Islam adalah agama moderat yang tidak meminta agar pemeluknya menggunakan seluruh waktu hidupnya untuk shalat, puasa, hidup membujang, dan i'tikaf. Bahkan untuk menetapkan dan mengokohkan makna ini dalam benak manusia, beliau menempuh dua cara yang indah, “Pertama, beliau adalah teladan. Beliau berkata kepada manusia bahwa aku—dan aku adalah rasul yang ditugaskan untuk memberi penjelasan dan pengajaran, dan aku dekat dengan Allah—melakukan apa yang kalian haramkan terhadap diri kalian. Apabila seorang mukmin melihat hal ini, maka dia tidak merasa khawatir sama sekali ketika tidak berpuasa, tidur, dan nikah sebab yang diikutinya adalah Rasulullah Saw.
Kedua, dari sisi ancaman dan peringatan. Yang menakjubkan di sini adalah beliau mengancam dan memberi peringatan bagi seseorang yang berlebihan dalam ibadahnya dan bersemangat untuk hidup membujang. Mungkin ada yang berkata,  “Memang tidak diwajibkan adanya ibadah yang sulit, namun jangan melarang seseorang yang ingin melakukan hal itu.”
Tapi sebuah hal yang menakjubkan ialah bahwa Rasulullah—dengan kasih sayang yang luar biasa—menolak adanya tambahan ibadah ini karena akan berkembang secara umum sehingga bisa membahayakan umat. Ketika orang-orang ini keras kepada diri mereka sendiri, akan membawa berbagai dampak buruk terhadap keluarga, tetangga, kerabat, pekerjaan, dan banyak hal lain yang seorang muslim dituntut untuk meluangkan waktunya untuk berfikir dan bekerja keras.
Di sini, Nabi memperingatkan dengan tegas, “Barangsiapa membenci sunnahku maka dia bukan dari golonganku.”
Inilah gambaran Islam bagi siapa yang belum mengenalnya. Inilah metode dan ketentuan bagi mereka yang belum mendalaminya.
            Sa’ad bin Hisyam bin Amir berkata, “Aku mendatangi Aisyah dan berkata, ‘Wahai Ummul Mukminin, beritahukanlah kepadaku tentang akhlak Rasulullah.’ Beliau menjawab, ‘Sungguh akhlaknya adalah Al-Qur’an. Apakah engkau tidak membaca Al-Qur’an yang di dalamnya Allah berfirman:
 “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qalam: 4).
Aku berkata, ‘Aku ingin hidup membujang.’ Aisyah berkata, ‘Jangan lakukan. Apakah engkau tidak membaca:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (Al-Ahzâb: 21). Rasulullah telah menikah dan mempunyai anak dari perkawinan itu’.”[4]
Ini adalah pemahaman yang dimiliki oleh Aisyah dan—tidak diragukan—inilah pemahaman yang benar. Dalam berbagai macam ibadah—sebagaimana insya Allah akan kami ulasa bebera di antaranya secara terpisah—kasih sayang Rasulullah amat tampak sekali dalam wujud semangat dan dorongan untuk memberikan kemudahan dan keringanan. Hanya saja, dalam hal ini kami perlu memberikan tiga catatan penting.
Pertama, memudahkan bukan berarti meremehkan dalam pelaksanaan. Kemudahan ini harus tetap berada dalam lingkup hukum. Standar untuk mengetahui bahwa hal ini merupakan kemudahan adalah kehidupan Rasulullah saw.
Kedua, sisi kasih sayang Rasulullah kepada orang-orang beriman dalam masalah ibadah adalah sesuatu yang lebih dari sisi kemudahan-kemudahan yang memang telah Allah berikan sejak awal dalam setiap ibadah. Kemudahan yang memang telah Allah SWT berikan sejak awal itu tentunya telah disampaikan begitu saja oleh Rasulullah kepada kita, seperti kemudahan dalam meng-qashar shalat bagi musafir, kemudahan untuk bertayammum bagi yang tidak mendapatkan air, kemudahan untuk berbuka bagi si sakit, dan lain sebagainya. Semua ini disyari’atkan oleh Allah dan diterapkan oleh Rasulullah saw.
Adapun sisi khusus mengenai kasih sayang Rasulullah, hal itu terwujud dalam bagaimana beliau menerapkan aturan ibadah tersebut secara penuh kasih sayang. Jadi pembahasan mengenai poin ini adalah tentang kasih sayang beliau dalam hal penerapan hukum, bukan dalam hal penetapan hukum. Hukumnya tetap sama, tetapi  penerapan yang berangkat dari kasih sayang akan jauh lebih mengena dibandingkan penerapan yang biasa-biasa saja.
Ketiga, rincian mengenai tema ini amatlah sangat banyak. Oleh karena itu, kami akan memberikan beberapa contoh untuk ibadah-ibadah yang sangat terkenal dan tidak akan meluaskan pembahasan sampai mencakup seluruh permasalahan. Kami hanya berusaha menampilkan sebagian contoh mengenai kasih sayang beliau dalam perkara shalat, memabca Al-Quran, puasa, sekedah, haji dan umrah, serta perkara jihad. Ini karena kisah-kisah mengenai kasih sayang Rasulullah dalam ibadah itu sangat banyak jumlahnya dalam sejarah kehidupan beliau. Bahkan, bisa kita simpulkan bahwa seluruh kehidupan beliau adalah gambaran nyata dari kasih sayang dan kemudahan.
 

[1] HR Bukhari (39), Nasa’i (5034), Ibnu Hibban (351), dan Baihaqi (3881).
[2] HR Bukhari (69), Muslim (1734), Abu Daud (4835), Nasa’i (5890), dan Ahmad (19714).
[3] HR Bukhari (4776), Muslim (1401), Nasa’i (2317), dan Ahmad (13558).
[4] HR Ahmad (24645). Al-Arnauth menyatakan hadits ini shahih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar