Suluk secara harfiah berarti menempuh (jalan). Dalam kaitannya dengan agama Islam dan sufisme, kata suluk berarti menempuh jalan (spiritual) untuk menuju Allah.
Menempuh jalan suluk (bersuluk) mencakup sebuah disiplin seumur hidup
dalam melaksanakan aturan-aturan eksoteris agama Islam (syariat)
sekaligus aturan-aturan esoteris agama Islam (hakikat). Ber-suluk juga
mencakup hasrat untuk Mengenal Diri, Memahami Esensi Kehidupan, Pencarian Tuhan, dan Pencarian Kebenaran Sejati (ilahiyyah),
melalui penempaan diri seumur hidup dengan melakukan syariat lahiriah
sekaligus syariat batiniah demi mencapai kesucian hati untuk mengenal
diri dan Tuhan.
Kata suluk berasal dari terminologi Al-Qur’an, Fasluki, dalam Surat An-Nahl [16] ayat 69, Fasluki subula rabbiki zululan, yang artinya Dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (bagimu). Seseorang yang menempuh jalan suluk disebut salik.
Ulasan Buku “Karomah Para Kiai”
Karomah memang suatu
kejadian yang sulit diterima akal. Walaupun begitu, karomah sering kali
dijumpai dalam berbagai literatur keagamaan, termasuk dalam literatur
Islam.
Karomah adalah anugerah dari Allah
kepada para hamba yang dicintai-Nya. Ia adalah buah dari mujahadah dalam
memerangi hawa nafsu serta keistiqamahan seseorang dalam beribadah
kepada Allah Swt
Dalam kitab Tanwir al-Qulb fi Mua’malati Alam al-Ghuyub Amin al-Kurdi mendefinisikan karomah
sebagai sesuatu yang luar biasa yang tidak dibarengi dengan klaim
kenabian yang terjadi pada seseorang yang jelas-jelas saleh, mengikuti
tradisi Rasulullah dan syariatnya serta memliki akidah yang lurus. Dalam
Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang mengisahkan peristiwa yang sulit
diterima akal, tetapi real terjadi. Kisah Ashhabul Kahfi misalnya yang
menceritakan sekelompok pemuda yang tertidur selama ratusan tahun dalam
goa, atau kisah bunda Maria sang Wanita Suci, yang melahirkan anak tanpa
ayah; atau kisah Nabi Ibrahim yang dibakar oleh Raja Namrud, namun tak
sedikit pun tubuhnya tak terbakar.
Karomah merupakan salah satu tanda kewalian seseorang ulama
sebagaimana mukjizat yang menjadi tanda kenabian. Hanya saja kalau
karomah tidak harus ditampakkan, bahkan menampakkan karomah harus
dihindari sebab akan memutus suluk (perjalanan spiritual) seorang wali
kepada Allah Swt.
Menurut Imam al-Qusyairi dalam ar-Risalah, seorang wali tidak akan
merasa nyaman dan peduli terhadap karomah yang dianugerahkan kepadanya.
Meskipun demikian, kadang-kadang dengan adanya karomah, keyakinan
mereka semakin bertambah sebab mereka meyakini bahwa semuanya itu
berasal dari Allah. (hal 3)
Imam Ibnu Atha’illah dalam al-Hikam berkata, “Kadang kala, karomah dikaruniakan Allah kepada orang yang istiqamahnya belum sempurna.”
Dalam proses suluk kepada Allah, seseorang akan menjumpai berbagai
hambatan dan halangan. Salah satu di antaranya adalah kejadian-kejadian
luar biasa yang disebut karomah. Jika dia terlena dengan
kejadian-kejadian itu, proses suluk-nya akan terputus, dan dia tidak
akan sampai kepada Allah Azza wa Jalla. (Hal 6)
Memang benar cerita supranatural para kiai itu tampaknya tidak masuk
akal. Akan tetapi, itu hanya bagi orang yang belum mempelajari parapsychology.
Bagi yang sudah mempelajarinya, atau bahkan sudah membuat eksperimen,
peristiwa seperti itu sama sekali bukan sesuatu yang tidak masuk akal.
Listrik, telepon, dan handphone adalah tidak masuk akal bagi orang yang
belum pernah melihatnya; namun bagi orang yang telah melihat dan
menggunakannya, tentu tidak demikian. Begitu pula dengan hal-hal yang
berkaitan dengan peristiwa supranatural yang dialami oleh para wali atau
para kiai. Mereka yang belum mengerti, tentu akan sulit memercayainya,
namun mereka yang telah memahami akan mafhum tentang keberadaan hal-hal
yang demikian. Meskipun demikian, terkadang karomah hissiyah (fisik)
perlu juga ditampakkan seperti ketika berhadapan dengan para pelaku
maksiat yang membangkang atau untuk menyelamatkan orang lain.
Dengan demikian, sebenarnya karomah fisik seperti terbang di angkasa,
berjalan di atas air, dan peristiwa aneh lainnya tidak sepenuhnya
menjadi tanda kewalian seseorang. Tentang hal ini, Abu Yazid berkata, “Bila
ada seseorang yang dapat menghampar sajadahnya di atas udara, lalu
shalat atau duduk bersila di atasnya, jangan sampai engkau tertipu
olehnya sampai engkau betul-betul tahu bagaimana dia me-laksanakan
perintah-perintah syari’at dan bagaimana dia menjauhi
larangan-larangan-Nya.”
Terlepas dari semua itu, bahwa karomah itu ada memang tidak bisa
terbantahkan. Keberadaan karomah didasarkan pada dua argumen. Pertama,
dalil aqli (logika). Secara akal dan menurut rasio manusia, adanya
karomah adalah jaiz. Artinya, tidak mustahil bagi Allah menciptakan
karomah dan menganugerahkannya kepada seorang wali. Kedua, dalil naqli,
yakni argumen berdasar Al-Qur’an atau Hadits, seperti kisah Maryam dan
makanan dari sorga (QS. Ali Imran [3]: 37), kisah Ashhabul Kahfi (QS.
al-Kahfi [18]: 17), dan kisah Ashif—salah seorang pembantu Nabi
Sulaiman—yang bisa memindahkan singgasana Ratu Bilqis ke istana Nabi
Sulaiman dengan jarak yang sangat jauh dalam waktu sekejap (QS.
al-Qashash [28]: 40), dan masih banyak lagi dalil-dalil serupa yang bias
ditemukan di dalam al-Quran.
Buku Karomah para Kiai ini merupakan koleksi cerita yang terdapat
dalam dunia pesantren yang beredar di kalangan para santri mengenai
kemuliaan para kiainya. Buku setebal 368 halaman ini berisi kisah
karomah para kiai di Indonesia. Kisah-kisah di dalamnya tidak banyak
diketahui oleh masyarakat di luar pesantren. Sehingga kemudian
diharapkan dari kisah-kisah tersebut masyarakat bisa mengambil di
dalamnya.
Kelebihan buku ini terletak pada usaha penulisnya mengumpulkan
kisah-kisah para kiai dari berbagai buku maupun dari cerita lisan.
Analisis di belakang kisah para kiai semakin menambah nilai plus buku
ini. Namun, minimnya analisis ilmiah tersebut sekaligus juga membuat
buku ini tak lebih dari dongeng para kiai. Analisis dalam buku ini
terkesan hanya membenarkan saja apa yang terjadi dalam kisah tersebut.
Penulisnya di bagian akhir cerita para kiai tersebut kebanyakan hanya
menulis bahwa hal itu bisa terjadi atas kehendak yang maha kuasa, dan
hal itu berulang-ulang. Selain itu penulis juga sepertinya tidak bisa
membedakan secara jelas mana yang benar-benar karomah atau pun hanya
linuwih atau hanya sekedar perkiraan (ramalan) yang tepat oleh seorang
kiai.
Menghadirkan kembali karomah sebagai wacana kontemporer menurut
penulis menjadi sesuatu yang penting. Sebab, saat ini “institusi” yang
bernama kiai tampaknya tengah dirundung goncangan kewibawaan yang cukup
serius. Baik lunturnya kewibawaan itu disebabkan karena para kiai
ramai-ramai menceburkan diri ke gelanggang politik praktis maupun karena
semakin lunturnya nilai-nilai tradisional masyarakat akibat gempuran
dahsyat globalisasi.
Setidaknya ada dua manfaat yang diharapkan tercapai dalam mengangkat
kembali wacana karomah. Pertama, bagi para kiai kontemporer, kisah-kisah
ini dapat dijadikan cermin, sejauh mana mereka meneladani kiai-kiai
sepuh. Kedua, kisah-kisah karomah kiai lokal dalam buku ini diharapkan
dapat menggugah kembali kesadaran masyarakat luas dari kungkungan dunia
materialistis yang semata-mata menilai semua hal dari sisi materinya
serta dari pandangan-pandangan tekstualis yang lebih sering menafikan
substansi dan isi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar