Sekilas tentang THORIQOT KHOLWATIYYAH
Umumnya, nama sebuah tarekat diambil dari nama sang pendiri tarekat
bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani atau
Naqsyabandiyah dari Baha Uddin Naqsyaband. Tapi Tarekat Khalwatiyah
justru diambil
dari kata “khalwat”, yang artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya
nama ini dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati (w. 717 H),
pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi.
Secara “nasabiyah”, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat
Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari
As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar
as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H).
Tarekat Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir. Ia dibawa oleh
Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri
as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria. Ia mengambil
tarekat tersebut dari gurunya yang bernama Syekh Abdul Latif bin Syekh
Husamuddin al-Halabi. Karena pesatnya perkembangan tarekat ini di Mesir,
tak heran jika Musthafa al-Bakri dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah
oleh para pengikutnya. Karena selain aktif menyebarkan ajaran
Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik. Di antara
karyanya yang paling terkenal adalah Tasliyat Al-Ahzan (Pelipur Duka).
Musthafa al-Bakri sejak kecil dikenal sebagai seorang zahid yang cerdas.
Menurut salah satu bukunya, al-Bakri menceritakan, bahwa dirinya pernah
mengalami hidup sebatang kara. Pada waktu kecil, tepatnya ketika
berumur dua tahun, Ayah dan ibunya sempat bercerai. Ia kemudian tinggal
bersama ayahnya setelah ibunya kawin lagi dengan lelaki lain. Al-Bakri
juga menyatakan, secara geneologis, ayahnya masih memiliki nasab sampai
kepada Khalifah Abu Bakar r.a. Sedangkan dari sisi ibunya, nasabnya
sampai cucu Rasulullah SAW, al-Husein, putra Khalifah Sayyidina Ali bin
Abi Thalib.
Hidup al-Bakri suka sekali berkeliling, terutama ke negeri-negeri yang
ada di kawasan Timur Tengah. Hal itu dilakukannya tak lain guna menambah
wawasan dan pengetahuan, dan belajar pada guru-guru yang dianggapnya
memiliki ilmu tinggi. Dari Damaskus, kampung halamannya, ia pergi ke
kota Quds di Palestina, kemudian ke Tripoli (Libanon Utara), ke kota
Akka dan kemudian singgah di kota Sidon atau Shaida. Setelah menikah
dengan sepupunya tahun 1141 H, ia melanjutnya perjalanannya ke Mekkah
Al-Mukarramah sambil menunaikan ibadah haji. Di sana, ia banyak
melakukan kontemplasi untuk memperdalam pengalaman batinnya.
Setelah tinggal beberapa lama di Mekkah, ia melanjutkan perjalannya ke
Mesir. Kemudian kembali ke Quds dan Irak (Baghdad dan Basrah). Tak lama,
ia kembali pergi ke Mekkah untuk berhaji yang terakhir kalinya. Tahun
1161 H, ia pergi ke Mesir dan menetap di sana hingga akhir hayatnya
(1162 H).
Di Mesir inilah, ia banyak berdakwah melalui Tarekat Khalwatiyah yang
diambil dari gurunya, Syekh Abdul Latif bin Husamuddin al-Halabi.
Tarekat Khalwatiyah nampaknya telah banyak memberi pengaruh pada
pemikiran maupun amaliyah al-Bakri sehari-hari. Sehingga dari sekitar
200 karya al-Bakri, sebagian di antaranya banyak berupa amaliyah
praktis.
Ajaran dan Dzikir Tarekat Khalwatiyah
Dalam Tarekat Khalwatiyah dikenal adanya sebuah amalan yang disebut
Al-Asma’ As-Sab’ah (tujuh nama). Yakni tujuh macam dzikir atau tujuh
tingkatan jiwa yang harus dibaca oleh setiap salik.
Dzikir pertama adalah La ilaaha illallah (pengakuan bahwa tiada Tuhan
selain Allah). Dzikir pada tingkatan jiwa pertama ini disebut an-Naf
al-Ammarah (nafsu yang menuruh pada keburukan, amarah). Jiwa ini
dianggap sebagai jiwa yang paling terkotor dan selalu menyuruh
pemiliknya untuk melakukan perbuatan dosa dan maksiat atau buruk,
seperti mencuri, bezina, membunuh, dan lain-lain.
Kedua, Allah (Allah). Pada tingkatan jiwa kedua ini disebut an-Nafs
al-Lawwamah (jiwa yang menegur). Jiwa ini dianggap sebagai jiwa yang
sudah bersih dan selalu menyuruh kebaikan-kebaikan pada pemiliknya dan
menegurnya jika ada keinginan untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk.
Ketiga, Huwa (Dia). Dzikir pada tingkatan ketiga ini disebut an-Nafs
al-Mulhamah (jiwa yang terilhami). Jiwa ini dianggap yang terbersih dan
telah diilhami oleh Allah SWT, sehingga bisa memilih mana yang baik dan
mana yang buruk.
Keempat, Haq (Maha Benar). Tingkatan jiwa ini disebut an-Nafs
al-Muthmainnah (jiwa yang tenang). Jiwa ini selain bersih juga dianggap
tenang dalam menghadapi segala problema hidup maupun guncangan jiwa
lainnya.
Kelima, Hay (Maha Hidup). Disebut juga dzikir an-Nafs ar-Radliyah (jiwa
yang ridla). Jiwa ini semakin bersih, tenang dan ridla (rela) terhadap
apa yang menimpa pemiliknya, karena semua berasal dari pemberian Allah.
Keenam, Qayyum (Maha Jaga). Tingkatan jiwa ini disebut juga an-Nafs
Mardliyah (jiwa yang diridlai). Selain jiwa ini semakin bersih, tenang,
ridla terhadap semua pemberian Allah juga mendapatkan keridlaan-Nya.
Ketujuh, Qahhar (Maha Perkasa). Jiwa ini disebut juga an-Nafs al-Kamilah
(jiwa yang sempurna). Dan inilah jiwa terakhir atau puncak jiwa yang
paling sempurna dan akan terus mengalami kesempurnaan selama hidup dari
pemiliknya.
Ketujuh tingkatan (dzikir) jiwa ini intinya didasarkan kepada ayat
al-Qur’an. Tingkatan pertama didasarkan pada surat Yusuf ayat 53:
“Sesunguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada keburukan”.
Tingkatan kedua dari surat al-Qiyamah ayat 2: “Dan Aku tidak bersumpah dengan jiwa yang menegur”.
Tingkatan ketiga dari surat as-Syams ayat 7 dan 8: “Demi jiwa dan Yang
menyempurnakannya. Allah mengilhami jiwa tersebut kejahatan dan
ketakwaannya”.
Tingkatan keempat dari surat al-Fajr ayat 27: “Wahai jiwa yang tenang”.
Tingkatan kelima dan keenam dari surat al-Fajr ayat 28: “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan keridlaan dan diridlai”.
Sementara untuk tingkatan ketujuh yang sudah sempurna, atau yang berada
di atas semua jiwa, secara eksplisit tidak ada dalam al-Qur’an, karena
al-Qur’an seluruhnya merupakan kesempurnaan dari semua dzikir dan jiwa
pemiliknya. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar