Dalam wacana Syadziliyah ada tahap dimana, para penempuh jalan Sufi melakukan melalui dua metode:
Metode pertama melalui cara yang ditempuh khalayak awam (umum) dan ada pula yang
ditempuh oleh khalayak khusus (Khos). Pandangan awam maupun Khos di
sini, tidak bersifat sosiologis maupun intelektual. Tetapi bersifat
spiritual. Penentuan seseorang melalui sistem Awam
atau pun Khos, hanyalah bentuk penempuhan itu
sendiri. Sebagaimana dalam Al-Qur’an ada istilah al-Muhibbin dan
Al-Mahbubin, ada ash-Shiddiqin dan ada pula ash-Shadiqin. Konteks lain
dari istilah Sufi, ada proses yang bersifat Al-Murid ada juga dengan
proses Al-Murad. Jadi kategori di atas hanyalah kategori proses
penempuhannya. Karena itu dibutuhkan Mursyid Kamil Mukammil untuk
membimbing, masing-masing terhadap kedua proses di atas.
Dalam Al-Mafakhir, dikutip ucapan asy-Syadzily tentang kategori penempuhan di atas, beliau mengatakan secara panjang lebar:
“Perlu diketahui bahwa pengetahuan yang menurut pemiliknya dianggap
terpuji, hal itu bisa dianggap gelap bagi ahli hakikat. Ahli hakikat ini
adalah mereka yang yang menyelami Lautan Dzat dan kedalaman
Sifat-sifat. Di sana, mereka tanpa memiliki hasrat. Dan mereka itulah
kalangan elit atau Khos yang Luhur. Yaitu mereka yang menyertai martabat
para Nabi dan Rasul, walau pun martabat para Nabi dan Rasul itu lebih
mulia. Sebab mereka ini mempunyai bagian dari martabat itu, karena baik
Nabi maupun para Rasul dari ummat ini, pasti mempunyai pewaris, dan
setiap pewaris mempunyai bagian dari peninggalan warisannya. Nabi saw,
bersabda, “ Para Ulama itu adalah pewaris para Nabi.” Dan tentunya para
pewaris itu memiliki kedudukan yang diketahui dari yang mewariskannya,
dari segi pewarisan ilmu pengetahuan dan hikmah. Namun bukan dari segi
perwujudan posisi dan kondisi anugerah ruhani (al-maqam wal-haal). Sebab
maqam para Nabi itu terlalu luhur untuk diraih oleh selain para Nabi
sendiri, semedntara setiap pewaris mendapatkan sebagian maqam itu
menurut warisan yang diterimanya. Karena Allah swt, sudah berfirman,
“Niscaya benar-benar Kami utamakan sebagian Nabi atas sebagian yang
lainnya”. Begitu juga Allah memberikan posisi keutamaan para wali satu
sama lainnya berbeda.
Para Nabi senantiasa menyertai Pandangan Allah, dan setiap pandangan
yang melimpah dari pandangan para Nabi akan tertuang menurut kadarnya.
Sementara setiap Wali memiliki muatan yang spesifik, sehingga dunia Wali terbagi menjadi dua:
Satu bagian disebut sebagai para Abdal (pengganti) bagi para Nabi Bagian kedua, adalah pengganti para Rasul.
Abdal para Nabi disebut sebagai kalangan Shalihun, sedangkan Abdal para
Rasul disebut ash-Shiddiqun. Antara Shalihun dengan Shiddiqun, posisi
keutamaannya sama dengan antara para Nabi dan Rasul. Maka dari mereka,
dan dari mereka pula. Hanya saja diantara mereka itu adala kelompok
khusus yang mendapatkan substansi materi langsung dari Rasulullah saw,
yang mereka saksikan dengan pandangan keyakinan.
Tetapi jumlah kelompok sedikit, namun dalam jumlah perwujudan hakkatnya
cukup banyak. Setiap Nabi dan Wali selalu bermula dari substansi
Rasulullah saw,. Karena diantara para Wali itu ada yang menyaksikan
dengan pandangannya, dan sebagian mereka yang ada yang tersembunyikan
pandangan dan substansi materinya. Mereka malah fana’ dalam anugerah
yang turun padanya dan tidak tersibukkan dengan mencari substansi
materinya itu, bahkan , mereka itu tenggelam dalam anugerah ruhani
(haal) sampai tidak lagi melihat kecuali hanya pada “waktunya”.
Diantara mereka ada yang terlimpahi melalui Nur Ilahi, sehingga mereka
dapat memandang memalui cahaya itu, dan mengenal urusannya secara
hakikat. Dan yang demikian itu merupakan karomah bagi mereka, yang tidak
bisa diingkari kecuali oleh mereka yang memang mengingkari karomah para
Wali. Kita semua mohon perlindungan dari keingkaran terhadap sesuatu
setelah kita mengenal sesuatu itu. Mereka itu menempuh Thariqat yang
tidak ditempuh oleh yang lainnya.
>Sebab jalan penempuhan (Thariqat) itu ada dua. Thariqat bagi
kalangan Khos, dan Thariqat bagi kalangan publik (umum). Dimaksud dengan
Thariqat Khos itu, adalah jalan yang ditempuh oleh kalangan yang
Dicintai Allah (al-Mahbubin), yang merupakan Abdal para Rasul. Sedangkan
Thariqat Umum adalah Thariqat yang ditempuh oleh para pecinta Allah
(al-Muhibbin), yaitu Abdal para Nabi. Semoga Salam Sejahtera bagi mereka
semua.
Thariqat Khos adalah Thariqat yang sangat elit yang sulit dicerna akal
biasa, dan langka sekali yang mampu menguraikan substansinya. Bagi Anda
cukup dengan Thariqat Umum, yaitu jalan penempuhan melalui satu tahap ke
tahap lainnya yang lebih luhur hingga sampai pada suatu tahap tertentu,
yaitu , “tempat duduk yang benar di sisi Raja Yang Maha Berkuasa”.
Jejak pertama yang harus dtempuh oleh seorang pecinta (al-Muhibb) adalah
menaiki suatu tahap ke tahap yang lebih tinggi, yaitu Nafsu. Ia
tersibukkan oleh sebab akibat di sana dan bagaimana seseorang mengolah
nafsunya (mengendalikannya) sampai tangga kema’rifatan, Manakala ia
telah mencapai tahap ma’rifat dan meraih hakikat di sana, ia akan
mendapatkan pencerahan cahaya di tahap kedua, yaitu Kalbu. Dalam tahap
ini ia berada dalam kesibukan “bersiasat” dalam dunia ma’rifatnya.
Manakala tidak ada lagi yang tersisa tahapannya, ia menaiki tangga
ketiga, yaitu Ruh. Lalu ia bersibuk diri dengan Siasat Ruh dan
kema’rifatannya. Apabila ma’rifatnya sudah sempurna maka sedikit demi
sedikit mengalirlah cahaya-caha keyakinan, sampai pandangannya lupa
dengan luapan-luapan cahaya itu, sampai keyakinannya benar-benar jelas,
sehingga ia tidak lagi mampu berfikir terhadap pencahayaan tiga tahap
yang berlalu itu. Maka disanalah ia bebas berhasrat sesuai dengan
kehendak Allah . Lalu Allah melimpahkan melalui Nur Akaly yang asli
dalam Nur keyakinan. Maka ia menyaksikan adanya yang dimaujudkan tanpa
batas dan pangkal, jika disandarkan pada si hamba tersebut. Sehingga
lenyaplah seluruh jagad ini didalamnya.
Kadang-kadang seperti tabung yang terlihat di udara melalui cahaya
matahari, maka, ketika cahaya matahari itu membakar, tabung itu tidak
lagi tampak bekasnya.
Matahari itu adalah akal yang lazim, yang bisa memperlihatkan obyek,
setelah terpenuhi oleh materi cahaya keyakinan. Apabila seluruh cahaya
itu lenyap, maka seluruh jagad itu sirna pula, dan yang ada hanyalah
yang maujud ini. Kadang tampak ada, kadang sirna, sampai ketika ia
menghendaki kesempurnaan, ia dipanggil oleh panggilan yang lembut, tanpa
suara, yang hanya bisa difahami saja. Hanya saja yang bisa menyaksikan
selain Allah, tiada sesuatu yang lain selain Allah. Maka, disitulah ia
bangun dan sadar dari “mabuk”nya. Lalu bermunajat, “Oh Tuhan, tolonglah
daku…., Duh Gusti, tolonglah aku…sungguh aku telah musnah…”
Dari sana ia tahu dengan seyakin-yakinnya, bahwa siapapun tidak bisa
selamat dari lautan itu melainkan karena pertolongan Allah. Disaat
seperti itu dikatakan padanya, “Maujud ini adalah Akal, seperti yang
disabdakan Rasulullah saw, bahwa yang pertamakali diciptakan oleh Allah
adalah akal.” Pada hadits lain dijelaskan, “Allah berfirman pada akal
itu, ‘Menghadaplah!’ dan akal itu pun menghadap.”
Hamba ini lantas dianugerahi rasa hina dan keselamatan melalui Cahaya
Maujud itu, sebab batas dan ukurannya tiada terkira, sehingga ia tak
mampu mengenalnya. Dikatakan padanya, “Betapa jauhnya, batas itu tidak
bisa dikenal kecuali bersama Allah.” Lantas Allah Yang Maha Agung nan
Luhur memberikan petunjuk melalui Cahaya Asma’-Nya, muncullah bagai
sekelebat kedipan mata, atau seperti yang dikehendaki-Nya (Kami
mengangkat derajat orang yang Kami kehendaki), kemudian Allah
melimpahkannya melalui Cahaya Ruh Rabbany, lalu ia pun mengenal Maujud
ini. Hamba tadi naik ke medan Ruh Rabbany, tiba-tiba sirna seluruh
riasan keindahan yang menyertainya, lalu secara otomatis ia tersunyikan,
tinggalah segala yang ada ini menjadi Maujud. Kemudian Allah
menghidupkannya melalui Cahaya Sifat-sifatNya, lalu dengan kehidupan itu
Allah menaikkan ke dalam pengenalan Maujud Rabbany itu.
Ketika hamba terurai dari dasar-dasar SifatNya, hampir-hampir ia
sebutkan, “Dialah Allah”. Tiba-tiba ia ditemui oleh Pertolongan Azaly,
lalu muncul panggilan, “Ingatlah! Bahwa maujud itu adalah yang tiada
bolh disifati oleh siapa pun, tidak boleh pula dimengerti melalui ibarat
apa pun melalui Sifat-sifatNya melainkan oleh ahlinya, namun melalui
cahaya lain yang mengenalnya.” Kemudian Allah melimpahkannya melalui
Cahaya Sirr Ruh (rahasia batin Ruh), tiba-tiba ia sudah duduk di pintu
medan Sirr.
Hasratnya mengembang untuk mengenal Maujud itu yang tidak lain adalah
Sirr itu sendiri. Namun, ia telah buta untuk mengenalnya, lalu seluruh
sifat-sifatnya sirna, seakan-akan tak ada sesuatu pun padanya. Kemudian
Allah melimpahkan Cahaya DzatNya, dengan limpahan Kehidupan Keabadian
yang tiada hingga. Semua yang diketahui memandang dengan Cahaya
Kehidupan ini, lantas seluruh penghuni Maujud ini menjadi Cahaya yang
memancar pada segala yang ada, tidak lagi ada yang bisa disaksikan
selain Dia. Muncullah panggilan dari jarak yang sangat dekat saat itu:
“Janganlah terpedaya dengan Allah, karena yang Dicintai justru dari
tirai (hijab), dari Allah, beserta Allah. Sebab mustahil Allah dihijabi
oleh selain Allah.” Lalu ia hidup dengan kehidupan yang dititipkan oleh
Allah di dalamnya. Hamba itu lalu berkata, “Duh, Gusti….BesertaMu,
DariMu, KepadaMu, betapa tak berdayanya daku. Sesungguhnya aku memohon
perlindungan padaMu dariMu, sampai aku tidak melihat lagi selain
DiriMu.”
Itulah jalan yang tanjakannya menuju Hadirat Allah Yang Luhur, yaitu
jalan ditempuh oleh para pecinta Allah (al-Muhibbin) , sebagai para
Badal Nabi.
Sedangkan yang dianugerahkan pada salah seorang dari mereka setelah itu,
tak satu pun orang yang bisa mengukur atau mendeskripsikannya. Segala
Puji hanya bagi Allah, atas segala nikmat-nikmatNya, dan shalawat serta
salam semoga terlimpah padaMuhammad pengunci para NabiNya.
Sedangkan Thariqat kalangan Mahbubin (mereka yang dicintai-Nya) adalah
langsung dari Allah, kepada Allah. Sebab mencapai jalan ini mustahil
selain dari Allah Sendiri. Pijakan pertamanya, adalah tanpa pijakan itu
sendiri, untuk mendapatkan Cahaya DzatNya. Mereka ini disembunyikan dari
hamba-hamba-Nya, karena ia dianugerahi rasa cinta terhadap
ketersembunyian. Segala amal-amal yang shaleh sangat kecil di matanya,
sementara yang terlihat besar adalah Tuhannya bumi dan langit.
Ketika dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba mereka mendapati dirinya
berpakaian baju ilmu. Lalu mereka memandang, tetapi yang tampak, mereka
itu bukan mereka. Lantas ia tertimpa suatu kegelapan yang menyembunyikan
pandangan mereka, bahkan wahananya menjadi wahana tiada, tanpa
sebab-akibat. Seluruh aturan sebab akibat terhempas, dan seluruh yang
disebut sebagai yang baru sirna tanpa sesuatu yang baru, bahkan tak ada
wujud lagi. Yang jelas justru tiada lagi, kecuali hanya Ketiadaan Murni
itu sendiri, tanpa sebab dan akibat. Dan segala yang tanpa sebab
langsung, berarti tidak ada obyek yang bisa dikenalnya. Segala yang yang
bisa diketahui telah sirna, dan segala rumus telah musnah, sirna yang
tidak diketahui kenapa dan bagaimana. Yang ada hanyalah “Substansi” yang
ditunjukkan, bahwa Dia tiada bisa disifati dan tiada Sifat itu sendiri,
bahkan tiada lagi Dzat. Segala Predikat, Asma’ dan Sifat telah sirna,
maka tiada Nama, tiada Sifat dan tiada Dzat. Maka, muncullah “Yang”
senantiasa Muncul, tiada sebab-akibat. Tetapi Dia menampakkan Rasia
BatinNya, bagi DzatNya di dalam DzatNya, melalui pemunculan yang tiada
awalnya. Namun Dia memandang dari DzatNya, bagi DzatNya, dengan DzatNya
di dalam DzatNya. Para hamba itu hidup melalui PemumunculanNya dengan
kehidupan yang tiada sebab-akibat di dalamnya. Lalu tampillah dengan
seluruh Sifat-sifat yang Indah, yang tiada tahu mengapa dan bagaimana.
Jadilah ia yang pertama muncul, tiada kemunculan sebelumnya. Lantas
menemukan segala sesuatu bersama Sifat-sifat-Nya, kemudian muncullah
cahayaNya di dalam cahayaNya.
Pertama-tama yang muncul adalah SirrNya (rahasia batin), lalu muncullah
(melalaui Sirr itu) kalbuNya, lantas muncul AmarNya melalui SirrNya di
dalam SirrNya. Lalu muncullah segala dzat melalaui AmarNya di dalam
Cahaya al-Qalam melalui Cahaya al-Qalam. Kemudian muncullah AkalNya
dengan AmarNya dalam AmarNya, dan muncullah (dengan itu ) ArasyNya di
dalam Cahaya LauhNya dengan Cahaya Lauh itu sendiri. Lantas muncullah
RuhNya melalui AkalNya, dan melalui RuhNya muncullah KursiNya di dalam
Cahaya ArasyNya melalui Cahaya Arasy itu sendiri. Lalu muncul jiwanya
melalui kalbuNya, lalu muncullah melalui jiwaNya, orbit bagi kebajikan
dan keburukan di dalam Cahaya HijabNya melalui Caha Hijab itu sendiri.
Lalu muncul Jisim melalui JiwaNya di dalam JiwaNya, maka muncullulah
melalui Jisim itu seluruh Jisim Alam Kasar baik di bumi maupun di
langit.
Kesimpulannya, setiap alam kasar berada dalam Cahaya orbit melalui
Cahaya orbit. Sehingga pijakan pertamanya bagi hamba tercinta yang sunyi
ini adalah membuang jiwanya pada ketiadaan, yaitu pembuangan dalam
wahana tiada sebab akibat. Yaitu menghadap pada ketiadaan melalui
pengguguran sifat awwaliyah, akhiriyah, dzahiriyah dan bathiniyah.
Sehingga yang terjadi adalah menghadapkan sifat ketiadaan pada ketiadaan
itu sendiri. Arti sifat ketiadaan bagi ketiadaan itu adalah segala hal
yang berakhir pada pangkal tiada aksioma sebab akibat. Yaitu menyaksikan
Allah Ta’ala seperti tiada penyaksian yang berhubungan, tetapi tidak
terpisah. Penyaksiaan yang tiada sedikitpun adanya peluang kealpaan,
dimana dalil pembuktiannya tidak ada aksioma sebab akibat di dalamnya
maupun baginya, yaitu penyaksian Ketiadaan Murni.
Arti dari tidak adanya pembuktian sebab akibat yaitu kelaziman tiadanya
penyaksiaan terhadap makhluk-makhluk yang bisa disaksikan, kemudian
secara berurutan, dari ketiadaan murni itu, yaitu Mabuk dalam Lupa yang
abadi, bahkan lupa terhadap kehidupan yang ditunjukkan dalam wacana pada
posisi ini.
Ternyata, jalan hamba ini adalah Jalan Luhur, atau apa yang disebut
dengan terlempar ke dalam Lautan Dzat, lantas ia tiada, lalu dihidupkan
dengan kehidupan yang baik, kemudian dipindahkan – tanpa harus pindah –
ke Lautan Sifat, kemudian Lautan Amar Rabbany, kemudian Lautan Sirri,
lalu Lautan al-Qalam yang masih asli , lantas Lautan Ruh, kemudian
Lautan Kalbu, lalu Lautan Nafsu, lantas Lautan Kebajikan , kemudian ia
ditemukan dengan Lautan Sirri, lalu dilempar ke Lautan Qolamiyah, lalu
Lautan Lauhiyah, kemudian Lautan Arsyiyah, lantas Lautan Kursy, kemudian
Lautan Hijabiyah, kemudian Lautan Falakiyah. Ia dipertemukan dengan
Lautan Sirri yang meliputi, kemudian dilempar ke Lautan Malakiyah, lalu
ke Lautan Abalisah (keiblisan), kemudian Lautan Jinsiyah, baru ke Lautan
Unsiyah.
Disana ia bertemu dengan Lautan Sirri, lalu dilemparkan ke Lautan
Syurgawi, lalu Lautan Nirani (kenerakaan), kemudian dilempar ke Lautan
Ihathah (keseluruhan yang meliputi) yaitu Lautan Sirri, lalu
tenggelamlah di sana dalam ketenggelaman yang tidak keluar lagi
selama-lamanya kecuali atas Izin-Nya. Bila Allah menghendaki ia diutus
sebagai ganti dari Rasul yang menghidupkan para hambaNya. Jika Dia
berkehendak lain, Dia menutupinya. Dia bertindak sesuai dengan
kehendakNya.
Setiap Lautan dari Lautan-lautan itu, meliputi berbagai Lautan di sana,
dimana jika orang yang Shaleh pengganti Rasul masuk di dalam Lautan
paling kecil saja dari Lautan-lautan itu, pasti ia tenggelam di dalamnya
dan tidak akan selamat lagi (mentas).
Semua itu merupakan gambaran Thariqat Umum dan Khusus. Hanya Allah Sendiri yang Terpuji.
Proyeksi yang dijadikan ilustrasi di atas sekaligus menggambarkan
bagaimana tahapan spiritual, namun sekaligus juga maqam dan haal ruhani
para Sufi. Lebih dari itu menggambarkan peta dunia metafisis dan
struktur Wujud itu sendiri dalam perspektif teosofis. wallohu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar