Dalam Al Qur’an dan hadits, Allah telah menjelaskan secara tersirat
tentang metode untuk menemui Allah (Liqa’ Allah) dan melihat Allah
(Ru’yatullah) yaitu :
“....... barang siapa yang mengharapkan menemui Tuhannya, maka
kerjakanlah amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun
dalam beribadat kepada-nya”. (QS Al Kahfi 18 : 110)
Pada ayat tersebut di atas terdapat kalimat “amal yang shalih”. Mungkin
kita bertanya dalam hati, apakah yang dimaksud dengan “amal yang shalih”
itu ? Kata “amal” mempunyai arti perbuatan atau metode atau cara.
Sedangkan istilah “shalih” yang seakar dengan kata “shalah” dan “shalat”
mempunyai makna hubungan atau penghantar. Jadi istilah “amal shalih”
mempunyai arti suatu perbuatan atau metode yang dapat menghantarkan
seseorang kepada pengalaman Liqa’ Allah. Amal yang shalih pada
hakekatnya adalah amal atau perbuatan atau metode yang telah dicontohkan
oleh para Utusan Allah (Rasulullah) dalam usahanya untuk mengadakan
pertemuan dengan Tuhannya. Dan yang harus diingat adalah bahwa jumlah
para Rasul dan Nabi yang diutus oleh Allah adalah sangat banyak, dan
tidaklah mungkin semuanya itu diutus hanya di satu daerah tertentu saja.
Allah telah menurunkan para Utusan-Nya itu ke berbagai penjuru dunia.
Dan tidak tertutup kemungkinan Allah juga pernah menurunkan Utusan-Nya
di negeri Cina atau Shindustan, sehingga Nabi Muhammad Saw memerintahkan
umat Islam pada waktu itu untuk belajar ilmu di negeri tersebut.
“Dan tiap-tiap umat ada Rasul Allah....”.(QS Yunus 10 : 47)
“Dan berapa banyak Kami telah mengutus Nabi-Nabi pada umat terdahulu... “. (QS Az Zukhruf 43 : 6)
“Ada beberapa rasul yang telah Kami kisahkan tentang mereka kepada kamu
sebelumnya, dan Rasul-Rasul yang tidak kami kisahkan tentang mereka
kepadamu...... “. (QS an Nisa 4 : 164)
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik
bagimu, yaitu orang-orang yang mengharap pertemuan dengan Allah dan
hari Akhirat dan banyak mengingat Allah”. (QS Al Ahzab 33 : 21)
Untuk mencapai pertemuan dengan Allah diperlukan usaha dari setiap
manusia dengan bimbingan seorang Guru Mursyid yang telah mencapai
derajat Ma’rifatullah atau yang telah mengalami pengalaman bertemu Allah
dengan berpedoman kepada Kitab-Kitab Suci yang telah diturunkan kepada
umat manusia. Prosesi Menemui Allah (Liqa’ Allah) yang telah dicontohkan
oleh para Rasul, Nabi dan Para Pewaris Nabi, pada intinya mempunyai
satu kesamaan yaitu kita harus dapat melakukan prosesi mengulang kembali
ke awal mula penciptaan manusia.
“Dan sesungguhnya kamu datang menemui Kami dengan sendirian seperti Kami
ciptakan kamu pada awal mula kejadian dan kamu akan meninggalkan
dibelakangmu semua apa yang Kami karuniakan kepadamu….. “. (QS Al An ‘am
6 : 94)
“Mereka dihadapkan kepada Tuhanmu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu
datang menemui Kami seperti Kami telah menciptakan kamu pada awal mula
kejadian, bahkan kamu menyangka bahwa Kami tiada menetapkan janji bagi
kamu “. (QS Al Kahfi 18 : 48)
“Perempuan-perempuan kamu (istri-istrimu) adalah seperti ladang bagimu,
maka datangilah ladangmu sebagaimana kamu kehendaki dan kerjakanlah
kebajikan untuk dirimu, bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa
kamu akan menemui-Nya, dan sampaikanlah berita gembira untuk orang-orang
yang beriman “. (QS Al Baqarah 2 : 223)
“Dan mereka menanyakan kepadamu tentang haid. Katakanlah, “itu adalah
penyakit atau kotoran”. Sebab itu hindarilah perempuan selama masa haid
dan janganlah dekati mereka sebelum suci. Bila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang menyucikan diri“. (QS Al Baqarah 2 : 222)
“….. Ketika kami sedang berada disisi Rasulullah, tiba-tiba beliau
bertanya : “Adakah orang asing diantara kamu ?”. Kemudian beliau
bersabda : Angkat tangan kamu dan tutuplah pintumu”. (HR Al Hakim)
“Tutuplah pintumu dan ingat Allah”. (HR Bukhari)
Dalam memahami proses kembali ke awal mula penciptaan manusia, kita
sering terjebak dalam cerita atau kisah-kisah yang bersifat simbolis
sehingga terjadi penyimpangan dalam menafsirkan dan menerapkannya. Oleh
sebab itu dalam memahami prosesi kembali ke awal mula penciptaan
manusia, kita harus berpegang pada pedoman sebagai berikut :
Pertama : Setiap Kitab Suci mempunyai ayat-ayat yang bersifat Mukhamat dan Muthasyabihat.
“Dialah yang menurunkan Al Kitab kepada kamu. Diantara isinya ada
ayat-ayat yang mukhamat, itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain
adalah ayat-ayat mutasyabihat......”. (QS Ali Imran 3 : 7)
Kedua : Setiap ayat yang mengisahkan tentang proses kembali ke awal mula
penciptaan manusia, selalu mengandung pengertian yang berpasangan baik
lahir maupun batin serta mengandung banyak perumpamaan atau amtsal.
“Dan Kami ciptakan segala sesuatu berpasangan-pasangan supaya kamu mendapatkan pengajaran”. (Ad Dzariyat 51 : 49)
“Maha Suci Allah yang telah menciptakan segala sesuatu
berpasangan-pasangan diantara yang tumbuh di bumi danm pada diri mereka
dan dari apa yang mereka yang tidak diketahui” (QS Yasin 36 :36)
“Sesungguhnya Kami telah menjelaskan berulangkali kepada manusia dalam
Al Qur’an ini bermacam perumpamaan tetapi kebanyakan manusia enggan
menerimanya kecuali ingkar”. (QS Al Isra 17 : 89)
“Dan sesungguhnya telah Kami buat dalam Al Qur’an ini bermacam-macam
perumpamaan untuk manusia. Dan sesungguhnya jika kamu membawa kepada
mereka suatu bukti, pastilah orang-orang yang kafir itu akan berkata :
“Kamu tidak lain hanyalah orang-orang yang membuat kebohongan belaka”.
(QS Ar Rum 30 : 58)
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia dan tiada
yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu”. (QS Al Ankabut 29 :
43)
Ketiga : Setiap Kitab Suci, ditujukan untuk manusia yang masih hidup,
sehingga apa yang diperintahkan, dalam Kitab Suci harus bisa
dilaksanakan oleh manusia ketika dia masih hidup di atas dunia.
Berdasarkan tiga pedoman tersebut, kita akan coba untuk membahas
ayat-ayat yang menjelaskan metode untuk menemui dan melihat Allah. Dalam
surat Al-kahfi 18 : 110 telah dijelaskan bahwa apabila seorang manusia
ingin berjumpa dengan Allah selagi masih hidup di dunia, maka ia harus
melakukan “amal shalih”. Kata amal mempunyai arti : perbuatan, metode,
cara atau laku, sedangkan kata shalih mempunyai arti hubungan, sambungan
atau antaran. Jadi pengertian amal shalih adalah suatu perbuatan atau
metode yang dapat mengantarkan atau menghubungkan kita kepada pengalaman
bertemu dan melihat Allah.
Berdasarkan surat Al An”am 6 : 94 Allah telah memberitahukan bahwa
proses bertemunya seorang manusia dengan-Nya adalah seperti ketika
manusia diciptakan pada awal mula kejadian. Dengan dalil tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa intisari dari metode amal shalih adalah suatu
proses pengulangan kembali ke awal mula kejadian penciptaan seorang
manusia. Bagaimanakah proses awal mula penciptaan seorang manusia ? Dan
apa hubungannya dengan proses bertemunya seorang manusia dengan Allah.
Untuk membahasnya, marilah kita lihat sejarah hidup Nabi Muhammad Saw
dalam mencari keberadaan Sang Khaliknya.
Sejak lahir sampai berumur 25 tahun, beliau telah diajarkan dan
didoktrin oleh para pemuka agama kaum Quraisy bahwa Tuhan yang harus
disembah adalah Tuhan-Tuhan yang berwujud patung-patung yang mempunyai
nama antara lain Lata Uza, Manata dan lainnya. Dalam diri Muhammad pada
waktu itu tidak mempercayai ajaran tersebut, sehingga beliau meminta
ijin kepada istrinya Siti Khodijah untuk bertahanuts atau beruzlah
mengasingkan diri ke dalam gua Hira dilereng Gunung Cahaya (Jabal Nur)
dengan tujuan untuk mencari Tuhan yang sebenarnya.
Selama berbulan-bulan beliau bertahanuts di Gua Hira, tetapi belum juga
menemukan cara untuk bertemu sekaligus mengenal Sang Khalik. Tetapi
berkat usaha beliau yang tidak kenal menyerah, akhirnya di usia ke 40
tahun, beliau mendapatkan Wahyu yang pertama kali dari Allah yang isinya
adalah perintah untuk membaca, merenungkan dan mempelajari proses awal
mula penciptaan diri seorang manusia.
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia menciptakan
manusia dari Alaqah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Pemurah. Yang
mengajari manusia dengan Qalam. Dia mengajari manusia apa yang belum
diketahuinya”. (QS Al Alaq 96 : 1-5)
Berdasarkan dalil tersebut, marilah kita renungkan, Muhammad pada waktu
itu bertahanuts di Gua Hira dengan tujuan untuk mencari, menemui dan
mengenal keberadaan Sang Khalik yang sebenarnya, walaupun beliau tidak
mengetahui cara atau metode untuk bertemu dengan Sang Khalik. Untuk
maksud tersebut, akhirnya Allah memerintahkan agar beliau mempelajari
proses awal mula penciptaan seorang manusia dari Al Alaqah. Tentunya
Muhammad pada waktu itu bertanya dalam qalbunya, apakah hubungan antara
proses awal mula penciptaan manusia dari Al Alaqah dengan proses
bertemunya seorang manusia dengan Allah ? Dengan kecerdasan yang
dimiliki oleh beliau dan pengajaran yang diajarkan oleh Allah, akhirnya
beliau menemukan jawabannya, sehingga akhirnya beliau dapat bertemu dan
melihat Allah untuk pertama kalinya di Gua Hira. Kemudian selanjutnya
beliau selalu mendapatkan pengajaran dari Allah berupa wahyu-wahyu
sampai beliau berusia 63 tahun. Demikianlah sekilas sejarah hidup Nabi
Muhammad Saw dalam mencari Tuhannya.
Dari sejarah Nabi Muhammad Saw tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan
bahwa untuk bertemu dengan Allah kita harus mempelajari proses awal
mula penciptaan diri yang bermula dari Al Alaqah. Kata Alaqah mempunyai
dua arti yaitu pertama, cinta kasih yang melekat. Arti yang kedua adalah
segumpal darah. Dari dua pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
proses penciptaan manusia bermula dari rasa cinta Allah kepada
makhluk-Nya. Hal ini sesuai dengan Hadits Qudsi :
“Aku dahulu adalah permata yang tersembunyi. Aku rindu untuk dikenal,
maka Aku ciptakan makhluk agar ia mengenal-Ku”. (HR. Bukhari)
Rasa cinta Allah kepada makhluk-Nya itu kemudian diberikan kepada ayah
ibu kita sehingga timbullah rasa cinta diantara keduanya, yang kemudian
dilekatkan dalam sebuah ikatan perkawinan. Kemudian mereka melakukan
persenggamaan sehingga terjadilah penyatuan dua rasa cinta yang dilebur
menjadi satu. Dalam persenggamaan tersebut terjadilah pelepasan
spermatozoa dari ayah, yang selanjutnya mereka bergerak menuju
pasangannya yaitu ovum atau sel telur yang berada di dalam rahim.
Setelah mereka bertemu maka sperma akan bergerak mengelilingi sel telur
sebanyak tujuh kali mirip gerakan Thawafnya para jamaah haji. Setelah
itu barulah sperma berusaha untuk menembus lapisan pelindung sel telur
dan jika berhasil maka terjadilah penyatuan antara sel telur dengan
sperma (nutfah) yang akan mengakibatkan pembuahan yang selanjutnya
membentuk segumpal darah atau Al Alaqah yang merupakan cikal bakal janin
bayi manusia.
Selanjutnya Alaqah tersebut berproses menjadi mudghah, izhamah dan
lahmah kemudian baru menjadi bayi yang sempurna secara jasmaniyah,
kemudian Allah meniupkan Ruh-Nya kedalam janin bayi tersebut. Ketika
berada di dalam rahim, sang bayi mengalami keadaan dimana semua
aktifitas inderawinya tidak berfungsi secara sempurna. Atau dengan kata
lain, lubang-lubang inderawinya masih tertutup karena sang bayi berada
dalam air ketuban (omnium water) selama kurang lebih 9 bulan, sampai
akhirnya sang bayi lahir ke alam dunia ini.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses awal mula
penciptaan seorang manusia melalui dua tahapan yaitu tahap pertama
berasal dari cinta kasih seorang pria dan wanita yang saling dilekatkan
dengan ikatan perkawinan dan persenggamaan. Tahap kedua, yang merupakan
lanjutan dari tahap pertama yaitu segumpal darah yang melekat di dinding
rahim yang terus berproses menjadi janin bayi yang terendam didalam air
ketuban selama 9 bulan.
Dalam surat Al An’am 6 : 94 telah diisyaratkan bahwa proses bertemunya
seorang manusia dengan Allah adalah seperti proses awal mula penciptaan
diri manusia itu sendiri, yaitu persenggamaan kedua orang tuanya dan
segumpal darah yang kemudian menjadi bayi yang berada dalam kandungan
ibunya. Mungkin timbul dua pertanyaan dalam diri kita, pertama, apa
hubungannya antara persenggamaan dengan proses bertemunya seorang
manusia dengan Allah? Pertanyaan kedua, apa hubungannya antara proses
penciptaan janin bayi dalam kandungan dengan proses bertemunya seorang
manusia dengan Allah?
Inilah masalah yang selama ini dirahasiakan oleh Nabi Muhammad Saw.
“Janganlah engkau berikan ilmu ini kepada yang tidak membutuhkan, karena
itu adalah perbuatan zhalim. Tetapi jangan engkau tidak berikan ilmu
ini kepada yang membutuhkan, karena itu juga perbuatan zhalim”. (Al
Hadits)
Seorang sahabat yang bernama Abu Hurairah juga pernah berkata :
“Aku hafal dua karung (kitab) hadits dari Rasulullah Saw. Yang satu
karung (kitab) sudah aku siarkan kepada kalian semua. Sedang yang satu
lagi kalau aku siarkan, niscaya dipotong orang leherku”. ( HR Bukhari)
Berdasarkan dalil tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada kitab hadits
yang disembunyikan oleh Abu Hurairah, yang kemudian diajarkan hanya
kepada orang yang terpilih yang terus diwariskan sampai ke generasi
sekarang. Sebagian besar isi dari kitab hadits tersebut berkaitan dengan
masalah metode untuk melihat Allah dan bertemu dengan-Nya, melalui
proses pengulangan awal mula kejadian penciptaan manusia.
Dengan niat yang baik, penulis mencoba menyingkap masalah tersebut dengan dasar Al Qur’an dan Hadits :
“Dan janganlah engkau sembunyikan kebenaran itu, padahal engkau mengetahuinya”. (QS Al Baqarah 2 : 42)
“Sampaikanlah kebenaran itu walaupun pahit”. (HR Bukhari)
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan atau merahasiakan
keterangan-keterangan dan petunjuk-petunjuk yang telah Kami turunkan
setelah Kami menjelaskannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu
dilaknat Alllah dan dilaknat pula oleh mereka yang melaknat kecuali
orang-orang yang telah bertaubat, berbuat kebaikan dan menerangkan
apa-apa yang mereka sembunyikan, maka mereka itulah yang Aku terima
taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS
Al Baqarah 2 : 159-160)
“Sampaikanlah dariku, walaupun satu ayat”. (Al Hadits)
Di dalam Al Qur’an, Allah telah mengisyaratkan hubungan antara
persenggamaan dengan proses bertemunya seorang manusia dengan Allah,
yaitu :
“Perempuan-perempuan kamu (istri-istri kamu) adalah seperti tempat
bercocok tanam bagimu, maka datangilah tempat bercocok tanam milik kamu
itu sebagaimana kamu kehendaki. Dan buatlah kebaikan untuk dirimu dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu akan
menemui-Nya dan sampaikanlah berita ini gembira untuk orang-orang yang
beriman”. (QS Al Baqarah 2 : 223)
Sebagian besar mufasirin menafsirkan ayat tersebut termasuk ayat yang
bermakna mukhamat artinya jelas dan terang sesuai dengan teksnya. Tetapi
apabila kita teliti lebih lanjut, terdapat satu keanehan yang tersirat
dalam ayat tersebut, yaitu pada awalnya ayat itu berbicara tentang
masalah persenggamaan (berjima’) antara seorang suami dengan istri
istrinya, tetapi tiba-tiba diakhir ayat tersebut terdapat kalimat : “dan
ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu akan menemui-Nya dan sampaikanlah
berita gembira ini kepada orang-orang beriman” Tentunya kita bertanya,
Apa hubungannya antara persenggamaan dengan kabar gembira bahwa kita
akan menemui Allah ? Mengapa Allah menggabungkan antara permasalahan
tatacara bersenggama (berjima’) dengan masalah proses menemui-Nya dalam
satu ayat ? Adakah makna yang tersirat dari ayat tersebut ? Inilah
permasalahan yang akan kita coba bahas dengan hati-hati, karena hal ini
merupakan masalah yang sangat sensitif yang bisa menimbulkan
kesalafahaman dan fitnah, seperti yang terjadi pada penulisan kitab
“Darmogandul” dan Kitab “Gatoloco” yang menjadi polemik pada waktu itu
sampai sekarang ini.
Proses bertemunya seorang manusia dengan Allah adalah melalui suatu
proses yang mirip dengan proses awal mula penciptaan manusia (surat Al
An’am 6 ayat 94). Kata “mirip” inilah yang harus diperhatikan dan
dipahami dengan benar. Kata “mirip” ini merupakan terjemahan dari kata
“kamaa”. Kita sering tidak menyadari arti kata “kamaa” ini. Dalam bahasa
Arab, kata “kamaa” mempunyai banyak arti yaitu seperti, sebagaimana,
bagaikan atau mirip. Dari arti ini dapat disimpulkan, bahwa proses
bertemunya seorang manusia dengan Allah adalah seperti proses penciptaan
awal mula kejadian manusia yaitu yang diawali dengan persenggamaan
antara ayah ibu kita adalah bukan dalam arti yang sebenarnya, tetapi
proses tersebut hanya bersifat mirip dengan proses awal mula penciptaan
manusia (persenggamaan). Bagaimanakah kemiripannya ?
Untuk memahami permasalahan tersebut, kita harus menyadari bahwa Allah
telah menciptakan segala sesuatu dengan berpasangan (QS 51 : 49)
Demikian juga diri kita, juga diciptakan dengan berpasangan
“Maha Suci Allah yang telah menciptakan segala sesuatu
berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari
diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. (QS Yasin 36 :
36)
Pada bagian akhir ayat tersebut dijelaskan bahwa kita tidak mengetahui
secara keseluruhan apa saja yang diciptakan Allah secara berpasangan.
Tegasnya, masih banyak yang diciptakan secara berpasangan yang belum
diketahui oleh kita, salah satunya adalah tentang diri kita sendiri yang
ternyata juga berpasangan.
Diri kita yang bersifat jasmani mempunyai pasangannya yaitu diri yang
bersifat ruhani. Diri jasmani kita juga mempunyai pasangan secara jenis
kelamin, yaitu pria dan wanita. Dalam pandangan ahli hakikat, pada diri
setiap manusia, terdapat syimbol kelakian dan kewanitaan, baik secara
genital maupun secara sifat. Secara genital kelakian diberi tanda khusus
dengan organ yang berbentuk “huruf alif” atau “lingga” atau “alu”.
Sedangkan genital kewanitaan diberi tanda khusus dengan organ vital yang
berbentuk “huruf ba” atau “Yoni” atau “lumpang”. Dalam bahasa Arab,
organ vital kelakian di sebut Ad Dzakar, sedangkan organ vital
kewanitaan disebut Al Untsa. Sifat kelakian disebut dengan istilah Ar
Rizal, sedangkan sifat kewanitaan disebut dengan istilah An Nisa.
Setiap diri manusia juga mempunyai dua syimbol kelakian dan kewanitaan
sekaligus (aprodite), yaitu tujuh lubang inderawi yang ada di kepala dan
tiga lubang yang ada di badan sebagai syimbol kewanitaan, dan sepuluh
jari tangan sebagai syimbol kelakian. Inilah makna syimbolis dari
hakikat istri, yang di isyaratkan dalam Al Qur’an :
”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kamu istri dari anfusmu sendiri........”. (QS Ar Rum 30 : 21)
“Dia menciptakan kamu dari diri yang satu, kemudia Dia menjadikan daripadanya istrinya......”. (QS Az Zumar 39 : 6)
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kamu kepada Tuhanmua yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Allah menciptakan
istrinya....”. (QS An Nisa 4 : 1)
Tujuh lubang inderawi yang ada dikepala manusia merupakan tempat
berkumpulnya empat rasa inderawi yaitu pendengaran, penglihatan,
penciuman dan pengucapan, oleh ahli hakikat dianggap sebagai syimbol
“empat istri” yang harus dinikahi secara keseluruhan atau poligami, agar
ke empat hawa nafsu yang ada pada lubang-lubang telinga, mata, hidung
dan mulut dapat dipimpin dan dikendalikan oleh sang suami.
“Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim,
hendaklah kamu menikahi siapa saja di antara perempuan-perempuan yang
kamu sukai dua, tiga, atau empat tetapi jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil,maka nikahilah seorang saja atau kamu mengambil
budak-budakperempuan yang kamu miliki.........”. (QS An Nisa 4 : 3)
Seorang lelaki yang dapat mempunyai empat istri dan dapat mengendalikan
dan memimpin ke empat istrinya adalah type seorang muslim yang terbaik,
hal ini sesuai dengan hadits nabi Muhammad Saw :
“Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata : Ibnu Abbas berkata kepadaku :
“Apakah engkau telah menikah?” Aku menjawab : “Belum”. Ia berkata :
“Menikahlah, karena sesungguhnya sebaik-baiknya orang Islam adalah yang
lebih banyak istrinya”. (HR Bukhari dan Ahmad)
Secara syimbolis dalil tersebut menjelaskan tentang hakikat dari
keberadaan hawa nafsu yang berada disetiap lubang telinga, mata, hidung
dan mulut. Ke empat inderawi (telinga-mata-hidung-mulut) merupakan
syimbol dari perempuan yatim, artinya perempuan yang hidup sendirian
(yatim=sendiri, satu-satunya atau tidak berbapak). Aktifitas mendengar,
melihat, mencium dan mengucap, mengalami pertumbuhan dan perkembangan
dengan sendirinya (yatim), karena mereka sudah diprogram oleh Allah
untuk menjalankan fungsinya sesuai dengan perintah-Nya. Telinga hanya
berfungsi untuk mendengar, mata hanya berfungsi untuk melihat, hidung
hanya berfungsi untuk mencium dan mulut hanya berfungsi untuk mengucap
dan mengecap saja. Singkatnya fungsi inderawi mereka tidak akan tertukar
diantara mereka. Hal ini yang diisyaratkan dalam firman-Nya :
“Dan sungguh Kami telah mencptakan di atas (kepala) kamu tujuh (lubang)
jalan (aktifitas inderawi).Dan tidaklah Kami lalai memelihara (fungsi
inderawi) yang Kami ciptakan itu”. (QS Al Mu’minun 23 : 17)
Setiap inderawi mempunyai kebutuhan yang sangat fithrah yang harus
dipenuhi. Apabila kebutuhan itu terpenuhi dengan baik maka ia akan
bahagia atau sebaliknya ia akan tidak bahagia apabila kebutuhannya tidak
terpenuhi. Kebutuhan mata adalah melihat. Kebutuhan telinga adalah
mendengar. Kebutuhan hidung adalah mencium dan kebutuhan mulut adalah
mengucap dan mengecap. Semua kebutuhan itu harus dipenuhi dengan adil,
tetapi kadang kita tidak bisa berbuat adil, misalnya kita hanya
mendahulukan kepentingan salah satu inderawi saja dibandingkan kebutuhan
inderawi lainnya atau kita hanya mempercayai salah satu inderawi saja
dibandingkan mempercayai inderawi lainnya. Inilah yang diisyaratkan
secara syimbolis dalam firman-Nya :
“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istrimu walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian, maka janganlah kamu terlalu
cenderung kepada istri yang kamu cintai sehingga engkau biarkan isrtri
yang lain seperti tergantung (terlupakan)..........”. (QS An Nisa 4 :
129)
Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, kadang para istri atau wanita
menjadi sumber fitnah dan dosa, karena mereka banyak menuntut
kebutuhannya secara berlebihan, sehingga Nabi Muhammad Saw pernah
bersabda :
“Perempuan adalah perangkap syeitan”. (Al Hadits)
“Aku tidak meninggalkan umatku fitnah yang kebih berbahaya buat lelaki lebih dari fitnah yang dibawa kaum wanita”. (Al Hadits)
“Bumi ini subur dan indah. Dan Tuhan telah menyerahkan amanah kepada
kalian di muka bumi ini. Jika muncul godaan di dunia, berhati-hatilah
kalian. Dan berhati-hatilah terhadap wanita, karena fitnah pertama yang
menimpa bangsa Isarail adalah fitnah wanita”. (HR Muslim)
Secara syimbolis, hadits tersebut menjelaskan bahwa keinginan dari hawa
nafsu yang ada di lubang inderawi kita, bisa juga menjadi perangkap
syeitan (syeitan adalah sifat menjauh atau merenggang dari kebenaran)
yang seringkali menimbulkan permasalahan karena kita akan terus
mengikuti kemauannya dan selalu memenuhi kebutuhannya, sehingga kita
akan menjauh dari nilai-nilai kebenaran. Misalnya, kita selalu menuruti
apa saja yang yang diinginkan oleh mulut, sehingga kita makan secara
berlebihan tanpa mempedulikan apakah makanan itu halal atau haram,
thayib atau tidak.
Untuk mengatasi masalah tersebut Allah telah memberikan jalan keluarnya
yaitu agar setiap lelaki atau suami selalu mengendalikan dan memimpin
wanita atau istri-istrinya atau hawa nafsunya yang terdapat pada
telinga, mata hidung dan mulut.
“Lelaki adalah pemimpin atas para wanita karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).....”.
(QS An Nisa 4 : 34)
Siapakah sang suami atau lelaki secara hakikat ? Secara hakikat syimbol
“suami atau lelaki” adalah jari-jari tangan kita. Hanya jari-jari tangan
kitalah yang dapat mengendalikan hawa nafsu atau keinginan yang
berlebihan yang timbul dari ke empat istri kita yaitu telinga, mata,
hidung dan mulut, dengan cara mengihramkan (melarang) mereka untuk
beraktifitas seperti yang diisyaratkan dalam gerakan takbiratul ihram
dalam setiap awal ibadah shalat.
Ketika keinginan untuk mendengar, melihat, mencium dan mungucap atau
mengecap sudah sangat berlebihan, maka satu-satunya cara untuk
menghentikannya adalah dengan menutup lubang-lubang inderawi tersebut
dengan jari-jari tangan kita, dengan gerakan takbiratul ihram (takbir
larangan). Dengan tertutupnya lubang-lubang inderawi kita maka secara
berangsur-angsur keinginan hawa nafsu dari para istri mulai menghilang.
Gerakan takbiratul ihram secara syimbolis juga mengisyaratkan hubungan
antara “pernikahan atau perkawinan” syimbol kelakian yaitu jari-jari
tangan, dengan syimbol kewanitaan yaitu lubang-lubang inderawi, dengan
proses pertemuan dengan Allah, seperti yang diisyaratkan dalam
firman-Nya :
“Istri-istrimu adalah seperti ladang (tempat bercocok tanam) bagimu,
maka datangilah ladangmu (tempat bercocok tanammu) sebagaimana kamu
sukai dan buatlah kebaikan untuk dirimu dan ketahuilah bahwa
sesungguhnya kamu akan menemui-Nya dan sampaikanlah kabar gembira ini
untuk orang-orang yang beriman”. (QS Al Baqarah 2 : 223)
Ayat tersebut apabila ditafsirkan secara syimbolis, akan mempunyai arti sebagai berikut :
Pertama : Kata “istri-istri” dalam ayat tersebut mempunyai makna
syimbolis tujuh lubang inderawi yang berada di kepala manusia. Sedangkan
kata ganti kamu, pada ayat tersebut mempunyai makna syimbolis sepuluh
jari tangan manusia.
Kedua : Pada ayat tersebut terdapat kalimat “Perempuan-perempuan
(istri-istri) kamu adalah ladang bagi kamu. Maka datangilah ladangmu
sebagaimana kamu kehendaki”. Kalimat tersebut mempunyai arti syimbolis
bahwa ketujuh lubang inderawi kita adalah ladang bagi sepuluh jari
tangan. (Ladang adalah tempat untuk bercocok tanam, apabila tempat itu
cocok untuk ditanam dengan satu jenis tanaman tertentu maka ditanamlah
tanaman tersebut). Hal ini berarti tujuh lubang inderawi yang ada di
kepala adalah tempat yang cocok bagi jari-jari tangan untuk ditanamkan
di lubang-lubang tersebut sesuai dengan keinginan kita. Bagaimana
mencocokkannya, silahkan tanya kepada ahlinya.
Ketiga : Pada ayat tersebut juga terdapat kalimat “dan ketahuilah bahwa
sesungguhnya kamu akan menemui-Nya”. Kalimat ini mempunyai arti
simbolis, bahwa ketika jari-jari tangan sudah ditanamkan ke dalam
lubang-lubang inderawi maka dalam posisi demikian sesungguhnya kita
sedang melakukan prosesi untuk bertemu dengan Allah. Jadi prosesi
menemui Allah dapat terjadi ketika simbol kelakian (jari-jari tangan)
dipertemukan dengan syimbol kewanitaan yaitu lubang-lubang inderawi.
Inilah yang dimaksud dengan hakikat pernikahan “Bil yad” (pernikahan
dengan mempergunakan tangan) atau “sirri” atau “rahasia”, yaitu
pernikahan yang bersifat rahasia antara jari-jari tangan dengan lubang
inderawi yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.
Keempat : Pada akhir ayat tersebut terdapat kalimat “dan sampaikanlah
berita gembira ini kepada orang-orang yang beriman”. Kalimat ini
mempunyai arti simbolis bahwa prosesi menemui Allah yang diisyaratkan
dalam surat tersebut harus disebarluaskan kepada orang-orang yang
beriman sebagai kabar gembira, agar mereka dapat mengetahui dan
melaksanakan tatacara menemui Allah tersebut selagi mereka masih hidup
di atas dunia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar