BAB I
MACAM-MACAM HADITS BERDASARKAN SIFAT SANAD
1. HADITS MUTTASHIL
Muttashil menurut bahasa asdalah isim fa’il dari kata kerja ittashala lawan kata dari inqatha’a artinya bersambung.
Hadits Muttashil ialah:
ما اتصل سنده، وسلم من الانقطاع، ويصدق ذلك على المرفوع والموقوف .
"Hadits yang bersambungsambung sanadnya dan terhindatr dari terputusnya
sanad, dan yanh termasuk dalam hadits ini adalah hadits marfu’ dan
mauquf". Persambungan sanad itu dinamai ittishal.
Hadits muttashil
tidak harus berupa hadits marfu’, akan tetapi bisa berupa hadits marfu’
atau hadits mauquf yang disandarkan pada shahabat atau tabiin akan
tetapi dengan syarat tidak ada sesuatu yang mengindikasikan terputusnya
sanad (inqitha’).
Dengan demikian setiap hadits yang munqathi’ tidak
bisa dikatakan hadits muttshil baik terputus di permulaan isnad, di
akhir isnad maupun diantara keduanya. Maka hadit Mu’allaq, hadits
Mu’adlal, hadits mursal dan juga hadits mudallas tidak termasuk dalam
kategori hadits muttasil.
Begitu juga tidak termasuk hadits Muttashil
apabila seorang perawi menerima hadits dari gurunya dengan melalui
salah satu dari dua cara penerimaan hadits yang dlaif.
Hadits muttasil berkaitan dengan sanad bukan pada matan hadits.
Contoh dari hadits yang marfu’ (hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW):
عن جابر قال رسول الله ص. حسن الملكة يمن وسوء الخلق شؤم
Artinya:
dari Jabir telah bersabda Nabi SAW: “baik pekerti adalah pelajaran dan
buruk kelakuan itu adalah sial” (HR. ibnu asakir).
Hadits diatas dikatakan sebagai Hadits Marfu karena dengan terang-terangan Jabr mengatakan “قال رسول الله”.
Contoh dari hadits Muquf (hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi) :
عن عبد الله بن مسعود قال : لا يقلدن احدكم دينه رجلا فان امن امن وان كفر كفر (رواه ابو نعيم 136:1
Artinya:
dari Abdullah (Bin Mas`Ud), ia berkata : “jangan lah hendaknya salah
seorang dari kamu taqlid agamanya dari seseorang, karena jika seseorang
itu beriman, maka ikut beriman, dan jika seseorang itu kufur, ia pun
ikut kufur”. (R. Abu Na`im 1:136).
Abdullah Bin Mas`ud adalah seorang sahabat Nabi, maka ucapan diatas disandarkan kepada Abdullah Bin Masu`ud.
Contoh dari hadits Maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi`in atau orang yang berada pada tingakat dibawahnya):
عن عبد الله بن سعيد بن ابي هند قال : قلت لسعيد بن المسيب : ان فلانا اعطس والامام يخطب فشمته فلان. قال : مره فلا يعودن
Artinya:
dari Abdillah Bin Sa`Id Bin Abi Hindin, ia berkata: aku pernah bertanya
kepada Sa`Id Bin Musaiyib; bahwasanya si fulan bersin, padahal imam
sedang berkhutbah, lalu orang lain ucapkan “yarhamukallah” (bolehkan
yang demikian?) jawab Sa`Id Bin Musayib “perintahlah kepadanya supaya
jangan sekali-kali diulangi”. (al atsar 33).
Sa`id Bin Musayaib adalah seorang tabi`in, dan Hadits diatas adalah Hadits Maqthu. Tidak mengandung hukum.
2. HADITS MUSNAD
Menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari kata asnada yang berarti menyandarkan atau menisbahkan.
Hadits
Musnad, ialah: "tiap-tiap hadits marfu' yang sanadnya muttashil."
Sebagian ulama menamai musnad segala hadits muttashil, walaupun mauquf,
atau maqthu'. Dan sebagian yang lain menamai musnad, segala hadits
marfu', walaupun mursal, mu'dlal ataupun munqathi'. Pendapat yang
pertama, itulah yang terkenal dan terkuat.
Hadits musnad memiliki
sifat bersambung (ittishal) dalam sisi matannya dan juga ittishal pada
sanadnya. Mak hadits muttashil terkumpul di dalamya dua macam hadits,
yaitu hadits muttashil dan marfu’. Maka apabila kriteria kedua macam
hadits ini terkumpul dalam suatu hadits maka hadits tersebut dihukumi
hadits Musnad.
Dengan demikian suatu hadits dikatakan Hadits musnad apabila terpenuhi dua syarat:
1. Disandarkan pada Nabi
2. Sand-sanadnya muttashil (tidak terputus)
Apabila
dijumpai suatu hadits yann sanadnya muttashil namun disandarkan pada
sahabat bukan pada Nabi maka tidak bisa dikatakan hadits Musnad. Begitu
juga sebalikny, apabila ditemukan suatu hadits yang di sandarkan pada
Nabi akan tetapi terdapat sanad yang terputus (munqathi’) maka juga
tidak disebut dengan hadits Musnad.
Contoh hadits Musnad:
Hadits
yang dikeluarkan oleh Bikhari, yang berkata, “Telah bercerita kepada
kami Abdullah bin Yusuf dari Malik dari Abi Zanad dari Al-A’raj dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika
seekor anjing meminum di dalam bejana kalian, maka cucilah sebanyak
tujuh kali.”
Hadits ini sanadnya bersambung dari awal hingga akhir, juga marfu’ sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
3. HADITS MU’AN’AN
Hadits
Mu'an'an. "Hadits yang diriwayatkan dengan memakai lafad "an", yang
diriwayatkan secara an'anah, seperti dikatakan: diriwayatkan Abu
Hurairah dari Nabi SAW." Sesuatu hadits yang diriwayatkan secara
tersebut, maka Muslim hanya mensyaratkan bahwa perawi-perawi itu harus
semasa harus mu'asharah. Al Bukhary mensyaratkan orang-orang itu di
samping mu'asharah, pernah pula berjumpa satu sama lainnya, yakni
diisyaratkan liqa’. Segolongan ulama yang lain mensyaratkan, bahwa orang
itu harus pernah mempelajari hadits pada yang selainnya yaitu, 'An'anah
yang dibuat oleh seseorang yang terkenal mudallis, tidak diterima.
Pendapat ulama ahli hadits dalam masalah ini terdapat dua fersi:
a)
Bahwa hadits yang jalurnya (sanad) itu menggunakan redaksi ‘an (dari)
termasuk dalam kategori hadits yang sanadnya muttasil. Akan tetapi
hadits mu’an’an untuk bisa dikategorikn sebagai hadits muttasil, harus
memenuhi beberapa syarat. Dalam hal-hal syarat ini terdapat dua
pendapat:
1) Syarat-syarat yang ditentukan oleh Imam Bukhari, Ali bin al-Madani dan sejumlah ahli hadits lain antara lain:
• Perawi harus mempunyai sifat ‘adalah.
• Harus terdapat hubungan guru murid, dalm artian keduanya harus pernah bertemu.
• Perawi bukan termasuk mudallis.
2) Syarat-syarat yang ditentukan oleh imam muslim, antara lain:
• Perawi harus mempunyai sifat ‘adalah.
• Perawi bukan termasuk mudallis.
• Hubungan antara yang meriwayatkan hadits cukup dengan hidup dalam satu masa dan itu dimungkinkan untuk bertemu
b)
Bahwa hadits mu’an’an termasuk dalam kategori hadits mursal. Oleh
karena itu hadits mu’anan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Ketika
redaksi ‘an itu pada tingkat sahabat, terdapat pemilahan. Apabila
sahabat itu termasuk sahabat yang sebagian besar hidupnya senantiasa
bersama dengan nabi, maka redaksi ‘an sama dengan redaksi sami’tu
((سمعت. Apabila sahabat itu jarang bertemu nabi, maka sanad itu perlu
ditinjau ulang .
Contoh hadis mu’an’an:
حدثنا قتيبة بن سعي حدثنا
عبد العزيز الدرواردى عن العلاء عن ابيه عن ابى هريرة قال: قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: الد نيا سجن المؤمن وجنة الكافر )رواه مسلم(
4. HADITS MUSALSAL
Musalsal
ini, merupakan salah satu sifat yang terdapat pada sanad (rawi) saja.
Berlainan dengan Marfu’ yang merupakan salah satu sifat yang terdapat
pada matan saja. Sedang shahih merupakan sifat yang terdapat baik pada
sanad maupun pada matan. Jika pada rawi-rawi yang menjadi sanad suatu
hadits atau pada periwayatannya, terdapat satu sifat atau keadaan yang
selalu sesuai, maka hadits yang mempunyai sifat-sifat demikian disebut
hadits musalsal (tali-temali).
Secara definitif yang disebut dengan hadits musalsal ialah:
هو ما تتابع فيه رجال الاسناد واحدا واحدا على صفة واحدة او حال واحدة او قول واحد
"Suatu hadits yang rawi-rawi (sanad)-nya Baling mengikuti se¬orang demi seorang mengenai satu sifat, keadaan atau perka¬taan".
Dengan memperhatikan di mana sifat-sifat yang selalu sesuai itu terdapat, maka hadits musalsal dapat diklasifisir kepada:
a. musalsal fi'r-ruwah dan
b. musalsal fi'r-riwayah.
I. Sifat-sifat atau keadaan-keadaan yang selalu sesuai terdapat pada para rawinya, dapat mengenai:
(1) Ucapannya, misalnya hadits Mu'adz bin Jabal yang men¬jelaskan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda padanya, ujarnya:
يامعاذأحبك افقل فى دبركل صلاة: (اللهم أعنى على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك)
“Wahai
Mu'adz! Aku cinta padamu. Karena itu, ucapkanlah la akhir setiap salat
(doa) ini : Ta Allah, tolonglah aku untuk menzikiri-Mu dan membaguskan
ibadahku kepada-Mu".
Rawi-rawi kemudian yang meriwayatkan hadits
Mu'adz ini, di kala meriwayatkan kepada orang lain, selalu menggunakan
kalimat "uhibbuka" (aku mencintaimu), yang sesungguhnya kalimat itu
spesifik pujian Nabi kepada Mu'adz saja.
(2) Perbuatannya, misalnya hadits Abu Hurairah r.a., ujar¬nya:
شبك بيدى أبوالقاسم صلعم وقال : خلق الله الأرض يوم السبت والجبال يوم الأ حد ..الحديث
'Abul-Qasim
(Nabi Muhmmad) saw menjejerkan jari-jarinya dengan jari-jariku, seraya
bersabda: ‘Allah menjadikan bumi pada hari Sabtu, gunung pada hari Ahad,
dan seterusnya”.
Abu Hurairah r.a. dan rawi-rawi selanjutnya, bill
meriwayat¬kan hadits, tersebut selalu dengan menjejerkan jari-jarinya
de¬ngan jari-jari orang yang diberi riwayat.
(3) Perkataan dan perbuatan bersama-sama. Misalnya hadits Anas r.a., ujarnya:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم : (لايجدالعبد حلا وة الاءيمان حتى يؤمن
بالقدرخيرة وشره وحلوهومره). وقبض رسول الله صلعم على لحيته وقال (امنت
بالقدرخيره وشره وحلوه ومره)
"Seseorang tidak akan mendapatkan
kemanisan iman, sehing¬ga ia mempercayai qadar Allah, baik qadar yang
baik atau buruk, maupun yang manis atau yang getir". Rasulullah setelah
bersabda demikian itu, lalu memegang, janggut Anas dan seraya bersabda:
"Aku percaya kepada qodar, baik qadar yang baik atau buruk, maupun yang
nth atau yang getir.
Anas r.a. melakukan dan mengatakan persis dengan
apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Nabi. Demikian juga rawi
berikutnya, melakukan demikian di kala meriwayatkan hadits tersebut.
II. Adapun sifat-sifat atau keadaan-keadaan yang selalu sesuai pada periwayatannya (musalsal fi'r-Riwayah) itu, dapat mengenai:
a.
shighat meriwayatkan hadits, misalnya apabila masing-masing rawi yang
meriwayatkan hadits tersebut selalu menyesuaikan dengan shighat yang
dipakai rawi yang pertama, seperti kalau rawi pertama memakai shighat
sami'tu / samina haddatsani / haddatsana, akhbarani/ akhbarana dan lain
sebagainya, maka rawi yang kemudian pun demikian.
b. Zaman meriwayatkan, misalnya hadits Ibnu 'Abbas r.a., ujarnya:
شهدت
مع رسول الله صلعم يوم عيد فطراواضحى، فلما فرغ من الصلاة اقبل علينا
بوجهه فقال : ايها الناس قداصبتم خيرا فمن احب ان ينصرف فلينصرف ومن احب ان
يقيم حتى يسمع الخطبة فليقم
"Saya hadir bersama Rasulullah saw pada
salat Idul Fitri dan Idul Adha. Ketika selesai dari salat beliau
memandang kepada kami seraya bersabda: 'Wahai manusia! Kamu sekali¬an
telah memperoleh kebaikan. Maka siapa yang ingin pu¬lang, pulanglah dan
siapa yang ingin tinggal mendengarkan khotbah, tinggallah!
Hadits
tersebut musalsal pada hari raya, yakni setiap rawi yang meriwayatkan
hadits tersebut selalu di saat-saat hari raya fitri atau Adha.
c.
Tempat meriwayatkan, misalnya hadits Ibnu 'Abbas r.a. tentang doa yang
mustajab, yang diucapkan di suatu tempat tertentu, yang disebut dengan
Multazam. Kata Ibnu 'Abbas ra :
ماد غاأحدفى هذاالملتزم إلااستجيب له. وقال ابن عباس : وانا ماعوتالله فيه الا استجيب لى
Tidaklah
seorang mendoa di Multazam ini, kecuali selalu di¬kabulkan. Ibnu 'Abbas
selanjutnya berkata: Aku tidak mendoa kepada Allah di tempat ini,
selain selalu dikabulkannya.
Demikianlah setiap rawi yang mendoa di tempat tersebut, se¬lalu dikabulkan-Nya.
Hukum Hadits Musalsal itu adakalanya:
1.
Sifat musalsalnya tidak shahih, tetapi matannya shahih. Seperti hadits
musalsal-musabbakah (menjejerkan jari-jari) tertera di atas menurut
pendapat As-Sakhawy, matannya ada¬lah shahih, karena terdapat di dalam
kitab shahih Muslim, sedang tasalsulnya menjadi masalah yang
diperbincangkan oleh seluruh ulama.
2. Sifat tasalsul dan matannya
tidak shahih. Misalnya seper¬ti hadits yang ditakhrijkan oleh Ibnu
'Atha' dalam kitab Miftahul Falah:
بالله العظيم لقد حدثنى جبريل اوقال
: باالله العظيم لقد حدثنى اسرافيل اوقال : قال الله تبارك وتعالى :
يااسرافيل بعزتى وجلالى وجودى وكرمى من قرأ بسم الله الرحمن الرحيم متصلا
بفاتحة الكتاب مرة واحدة اشهدوا على، انى قد غفرت له وقبلت منه الحسنات
وتجاوزت عنه السيئات، ولا احرق لسانه فى النار واجيره من عذاب القبر وعذاب
النار وعذاب القيامة والفزع الاكبر، ويلقانى قبل الانبياء والاولياء اجمعين
"Demi Allah Yang Mahaagung, sungguh Jibril telah bercerita padaku,
ujarnya: Demi Allah Yang Mahaagung, sungguh Mikail telah bercerita
kepadaku, ujarnya: Demi Allah Yang Mahaagung, sungguh Israfil telah
bercerita kepadaku, ajar. nya: Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman: Wahai
Israfil, dengan kegagahan-Ku, keagungan-Ku, kedermawanan-Ku dan
kemurahan-Ku, maka barang siapa yang membaca basmalah terus disambung
dengan al-Fatihah sekali, saksikanlah pada-Ku, bahwa Aku mengampuni
dosa-dosanya, menerima keba¬jikannya, menghapus kejelekannya, tidak
Kuhanguskan lidahnya dengan api, Kuhapus siksa kuburnya, siksa
nerakanya, siksa hari kiamatnya, kegelisahannya dan dapat menemui Aku
sebelum para Nabi dan wall seluruhnya."
Menurut Al-Hafidh As-Sakhawy,
bahwa redaksi dan susunan kalimat hadits tersebut adalah batal sama
sekali, baik dari segi sifat tasalsulnya, maupun dari segi matannya.
3.
Tasalsul itu tidak selalu terjadi terus-menerus pada selu¬ruh rawi yang
menerimanya, tetapi adakalanya terputus di awal, di tengah atau di
akhirnya.
Misal yang putus di awal (awwaliyah):
الراحمون يرحمهم الرحمن، ارحموا من فى الارض يرحمكم من فى السماء
Pengasih-pengasih
itu bakal dikasihi oleh Zat Yang Maha¬ asih. Karena itu kasihilah
orang-orang di permukaan bumi ini, tentu orang-orang yang ada di langit
mengasihimu sekalian.
Hadits tersebut bertasalsul hanya kepada Ibnu
'Uyainah (yang pertama-tama menerima hadits) dari Ibnu Dinar, dan Ibnu
Dinar (yang pertama-tama menerima) dari Abu Qabus dan Abu Qabus (yang
pertama-tama menerima) dari 'Abdullah bin 'Amr dan Ibnu 'Amr (yang
pertama-tama menerima) dari Nabi Muhammad saw. Setup rawi yang
meriwayatkan hadits tersebut mengatakan: "Inilah hadits yang pertama
saya dengar dari guru saya.
Jadi hadits itu merupakan hadits pertama
yang diterimanya dari gurunya dan kemudian disampaikan kepada orang yang
barn pertama kali menerima hadits daripadanya
Faedah mengetahui hadits musalsal ini, ialah untuk menambah penilaian tentang kekokohan ingatan para rawi.
Kitab
yang terbaik yang khusus mengumpulkan hadits-hadits musalsal, ialah
kitab "Fihrisu'l-Faharis wa’l-atsbat", karya al-Hafidh Muhammad 'Abdul
Hayyi al-Kattany.
5. HADITS ‘ALI DAN NAZIL
Sebuah hadits yang
di-isnad-kan kepada Nabi Muhammad saw. kadang-kadang hanya melalui
rijalu's-sanad,(rawi hadits) yang banyak. Hadits yang melalui
rijalu's-sanad yang sedikit jumlahnya disebut Hadits 'Aly, sedang yang
melalui rijalu's¬ sanad yang banyak disebut Hadits Nazil (safil). Hadits
yang melalui sanad lebih sedikit disebut 'aly (tinggi), karena dari
jumlah sanad yang sedikit itulah dapat memperkecil noda-no¬da yang
terdapat pada sanad. Sebab setiap rijalu's-sanad itu, adalah manusia
biasa yang tidak terpelihara dari kekhilafan, baik sengaja ataupun tidak
disengaja. Dengan sedikitnya rija¬lu's-sanad, sedikit pula kemungkinan
adanya cacat dan noda. Sedangkan banyaknya rijalu's-sanad tidak menutup
adanya kemungkinan banyaknya noda. Oleh karena itu, derajat hadits yang
bersanad banyak, lebih rendah (nazil) daripada yang bersanad sedikit.
من
كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليقل خيراأوليصمت ومن كان يؤمن بالله واليوم
الاخر فليكرم جاره. ومن كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليكرم ضيفه
"Siapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik
atau berdiam diri; Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendahlah memuliakan tetangganya; Dan Siapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir hendaklah memuliakan tamunya".
Hadits Muslim yang
bersanad: Harmalah bin Yahya, Ibnu Wahb, Yunus, Ibnu Syihab, Abu Salamah
dan Abu Hurairah (6 orang), adalah hadits nazil.
Sedang hadits
Bukhary yang bersanad Qutaibah bin Sa'id, Abul-Akhwash, Abu Hashin, Abu
Shalih dan Abu Hurairoh (5 orang) adalah hadits 'aly, karena sanadnya
lebih sedikit.
Di samping tentang jumlah sedikit atau banyaknya sanad
juga, disyaratkan keduanya bernilai shahih, bukan dla'if atau rawinya,
bukan orang yang tertuduh dusta. Sesuatu hadits, walau. pun sanadnya
sedikit tetapi dla'if bukan termasuk hadits, 'aly.
Macam-macam Hadits 'Aly dan Nazil
Hadits 'ali itu ads 5 macam, yakni:
1.
'Aly-Mutlak. Hadits 'aly seperti pada contoh di atas, disebut dengan
'aly-mutlak. Bagian ini adalah bagian yang terpenting dan terutama.
Dengan ketentuan, pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh
dusta. Adapun kalau sanadnya dla'if, hilanglah keutamaannya. Apalagi
dalam sanadnya terdapat seorang pendusta, yang mengaku mendengar hadits
dan sahabat. Seperti Ibnu Hudabah, Nu'aim bin Salim, Ya'la bin al-Asydaq
dan lain sebagainya.
Kata Al-Hafidh Adz-Dzahaby: "Manakala kamu
mengetahui: seorang Muhaddits bangga dengan ke-'aly-an sanadnya,
anggaplah ia itu bodoh."
2. 'Aly-Nisby. Yaitu bila ukuran dekatnya
(karena rawinya sedikit jumlahnya) itu bukan kepada Nabi, tetapi kepada
imam-imam hadits, yang mempunyai sifat-sifat tinggi mengenai
kehafalannya, kedlabithannya, kemasyhurannya dan lain sebagainya.
Seperti Ibnu Juraij, Az-Zuhry, Syu'bah, Malik, Asy-Syafi'iy, Al-Bukhary,
Muslim dan lain sebagainya, walaupun kadang-kadang sanad antara
imam-imam tersebut dengan Nabi, banyak jumlahnya. Misalnya:
قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم ان من اعظم الفرى ان يدعى الرجل الى غير ابيه
وايرى عينه مالم تراو يقول على رسول الله صلى الله عليه وسلم مالم يقل
Rasulullah
saw. bersabda: 'Sebesar-besar dusta ialah mendakwakan ayah kepada yang
bukan ayahnya, memper¬lihat-lihatkan apa yang tidak dilihat oleh matanya
atau mengatakan atas nama Rasulullah apa yang tidak beliau katakan."
Hadits
Imam Syafi'iy (I) bersanad Abdu'l-'Aziz, Muhammad bin Ajlan,
Abdu'l-Wahab bin Bukht, Abdu'l-Wahid An-¬Nashry dan Watsilah bin
Al-Asqa'.
Hadits Al-Bukhary (II) bersanad 'Aly bin 'Ayyas, Hariz, Abdu'l-Wahid An-Nashry dan Watsilah bin Al-Asqa'.
Jika
dinisbatkan kepada Abdu'l-Wahid An-Nashry, hadits Bukhary adalah lebih
dekat, karena sanadnya hanya dua orang, daripada hadits Syafi'iy, yang
sanadnya tiga orang. Oleh karena itu hadits Bukhary-lah yang
"'aly-nisby". Dalam pada itu juga dapat dikatakan 'aly-mutlak karena
jumlah sanad Bukhary sampai kepada Nabi adalah lebih sedikit daripada
jumlah sanad Asy-Syafi'iy sampai kepada Nabi.
'Aly-nisby itu
derajatnya lebih rendah daripada 'aly-mutlak. Sungguh pun demikian,
syarat-syarat mengenai keshahihan hadits dan ketiadaan cacat, masih
diperlukannya.
3. 'Aly-Tanzil. Yakni bila ukuran dekatnya itu
dinisbatkan kepada suatu kitab dari kitab-kitab yang mu'tamad. Seperti
kedua kitab shahih Bukhary dari Muslim, kitab-kitab sunan dan kitab
musnad Imam Ahmad.
'Aly-Tanzil ini ada 4 macam yaitu:
a.
Muwafagah. Misalnya seorang' muhaddits meriwayatkan hadits dari suatu
kitab mu'tamad, kemudian sanad yang dicari oleh muhaddits tersebut
bertemu dengan guru dari penyusun kitab yang mu'tamad dan ternyata
sanadnya lebih sedikit dari pada sanad yang terdapat dalam kitab
mu'tamad.
b. Badal. Misalnya seorang muhaddits meriwayatkan hadits
dari suatu kitab yang mu'tamad, kemudian sanad yang diusa¬hakannya
bertemu dengan guru dari gurunya pengarang kitab mu'tamad.
c.
Musawah. Misalnya jumlah sanad seorang muhaddits dari awal sampai akhir
bersamaan jumlahnya dengan jumlah sanad yang terdapat pada suatu kitab
mu'tamad.
d. Mushafahah. Yakni bila jumlah sanad muhaddits tersebut kelebihan seorang daripada sanad pengarang kitab mu'tamad.
4.
‘Aly bitaqdimi'l-wafat. Misalnya suatu hadits yang diri¬wayatkan dari
dua orang, dari Al-Baihaqy dari Al-Hakim ada¬lah lebih tinggi daripada
hadits yang diriwayatkan dari tiga orang, dari Abu Bakar bin Khalaf dari
Al-Hakim. Karena Al ¬Baihaqy lebih dahulu meninggal daripada Abu Bakar
bin Khalaf.
5. 'Aly bitaqdimis-sama'. Misalnya suatu hadits yang
diri¬wayatkan oleh seorang yang lebih dulu mendengarnya dari se¬orang
guru adalah lebih 'aly daripada hadits yang diriwayat¬kan oleh kawannya
yang mendengar kemudian dari guru ter¬sebut.
Sebagaimana hadits 'aly terbagi menjadi 5 macam seperti ter¬sebut di atas, maka hadits nazil pun demikian halnya.
BAB II
MACAM-MACAM HADITS DITINJAU DARI DITERIMA ATAU DITOLAKNYA MENJADI HUJJAH
A. Hadits Maqbul dan Permasalahannya
i) Pengertian
Maqbul
menurut bahasa adalah yang diambil, yang diterima dan yang dibenarkan.
Sedangkan menurut istilah ahli hadis, hadis maqbul ialah hadis yang
telah sempurna syarat-syarat penerimaannya . Adapun syarat-syarat
penerimaan hadits menjadi hadits yang maqbul berkaitan dengan sanad-nya
yang tersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, dan dari
segi matan yang tidak syadz dan tidak terdapat illat.
Hadits maqbul
ialah hadits yang dapat diterima sebagai hujjah. Jumhur ulama sepakat
bahwa hadits Shohih dan hasan sebagai hujjah. Pada prinsipnya, baik
hadits shohih maupun hadits hasan mempunyai sifat-sifat yang dapat
diterima (Maqbul). Walaupun rawi hadits hasan kurang hafalannya
dibanding dengan rawi hadits shohih, tetapi rawi hadits hasan masih
terkenal sebagai orang yang jujur dan dari pada melakukan dusta.
ii) Klasifikasi Hadits Maqbul
Yang termasuk kedalam kategori hadits maqbul ialah :
1. Hadits Shohih, baik shohih lidzatihi maupun shohih ligahirih.
2. Hadits Hasan, baik hasan lidzatihi maupun hasan lighairihi.
Kedua
macam hadits tersebut wajib diterima, namun demikian para muhaddisin
dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul
itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang
telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan
lain yang juga ditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Maka dari itu,
apabila ditinjau dari sifatnya. Maka hadits maqbul terbagi pula menjadi
dua, yakni Hadits maqbul yang dapat diterima menjadi hujjah dan dapat
pula diamalkan, inilah yang disebut dengan hadits maqbul ma’mulun bih.
Disamping itu juga ada hadits maqbul yang tidak dapat diamalkan, yang
disebut dengan hadits maqbul ghairu ma’mulin bih. Berikut ini adalah
rincian dari masing-masing hadits tersebut yakni sebagai berikut :
a) Hadits Maqbul yang Ma’mul bih.
1. Hadits Muhkam
Al-Muhkam
menurut bahasa artinya yang dikokohkan, atau yang diteguhkan. Yaitu
hadits-hadits yang tidak mempunyai saingan dengan hadits yang lain, yang
dapat mempengaruhi artinya. Dengan kata lain tidak ada hadits lain yang
melawannya. Dikatakan muhkam ialah karena dapat dipakai sebagai hukum
lantara dapat diamalkan secara pasti, tanpa syubhat sedikitpun.
Kebanyakan hadits tergolong kepada jenis ini, sedangkan yang bertentangan jumlahnya sedikit.
2. Hadits Mukhtalif.
Mukhtalif
artinya adalah yang bertentangan atau yang berselisih. Sedangkan secara
istilah ialah hadits yang diterima namun pada dhahirnya kelihatan
bertentangan dengan hadits maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi
memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya. Kedua buah hadits yang
berlawanan ini kalau bisa dikompromikan, diamalkan kedua-kaduanya.
3. Hadits Rajih
Yaitu sebuah hadits yang terkuat diantara dua buah hadits yang berlawanan maksudnya.
4. Hadits Nasikh
Yakni hadits yang datang lebih akhir, yang menghapuskan ketentuan hukum yang terkandung dalam hadits yang datang mandahuluinya.
Contoh
dari hadits Maqbul ma’mulul bih banyak sekali. Secara garis besar
pembagiannya ialah hadits yang tidak ada perlawanannya dengan hadits
lain dan hadits yang terjadi perlawanan dengan hadits lain. Sebagai
contoh akan dikemukakan tentang hadits yang tidak memiliki perlawanan
dengan hadits lain (Hadits Muhkam) berikut ini.
“janganlah kamu
larang isterimu untuk pergi kemesjid (untuk bersembahyang), tetapi
sembahyang dirumah lebih baik bagi mereka” (H.R Abu Daud dari Ibnu
Umar)[4]
Contoh Hadits yang memiliki perlawanan dari hadits lain
tetapi salah satu dari hadits tersebut telah menghapus ketentuan hukum
yang terkandung dari hadits yang turun sesudahnya (hadits nasikh).
Yakni sebagai berikut :
Barra berkata : “sesungguhnya nabi saw. pernah sembahyang menghadap baitul maqdis selama enam belas bulan”. (Riwayat Bukhari)
Hukum menghadap kiblat ke baitul maqdis itu telah dinasikhkah oleh Allah pada firmanNya :
“Hendaklah kamu menghadapkan mukamu kearah masjidil haram (ka’bah). (QS. Albaqarah :144)
b) Hadits Maqbul Ghairu Ma’mul bih
1. Hadits Mutasyabih
yakni
hadits yang sukar dipahami maksudnya lantaran tidak dapat diketahui
takwilnya. Ketentuan hadits mutasyabih ini ialah harus diimankan adanya,
tetapi tidak boleh diamalkan.
2. Hadits Mutawaqqaf fihi
Yakni
dua buah hadits maqbul yang saling berlawanan yang tidak dapat di
kompromikan, ditarjihkan dan dinasakhkan. Kedua hadits ini hendaklah
dibekukan sementara.
3. Hadits Marjuh
Yakni sebuah hadits maqbul
yang ditenggang oleh oleh hadits Maqbul lain yang lebih kuat. Kalau yang
ditenggang itu bukan hadits maqbul, bukan disebut hadits marjuh,
4. Hadits Mansukh
Secara bahasa mansukh artinya yang dihapus, Yakni maqbul yang telah dihapuskan (nasakh) oleh hadits maqbul yang datang kemudian.
5. Hadits Maqbul yang maknanya berlawanan dengan alQur’an, Mutawatir, akal yang sehat dan ijma’ ulama.
Contoh
dari hadits Maqbul ghairu ma’mul bih ini salah satunya ialah tentang
hadits yang bertentangan dengan akal sehat yakni berikut ini :
”Konon
termasuk yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Wahyu yang
diturunkan di malam hari dan nabi melupakannya disiang hari” (HR. Ibnu
Abi Hatim dari Riwayat Ibnu Abbas r.a)[6]
Hadits tersebut secara akal
sehat, sebab menerima anggapan bahwa nabi pernah lupa sedangkan menurut
akal sehat dan putusan ijma’ nabi ialah terpelihara dari dosa dan
kelupaan (ma’shum) dalam menyampaikan syariat dan wahyu.
iii) Persoalan seputar hadits Maqbul
Apabila kita mendapati dua buah hadits maqbul yang saling bertentangan maksudnya menurut lahirnya, maka :
1.
Hendaklah kita berusaha untuk mengumpulakan (mengkompromikan)
kedua-duanya sampai hilang perlawanannya. Dalam hal ini apabila dapat
dikumpulakan, maka kedua hadits tersebut wajib diamalkan.
2. Kalau
usaha pertama gagal, maka kita mencari, mana diantara kedua hadits
tersebut yang datang lebih dahulu (Nasikh), dan mana yang datang
kemudian (mansukh).[7]
3. Kalau usaha mencari nasikh tidak pula
berhasil, beralih pada penelitian mana hadits yang lebih kuat, baik
sanad ataupun matannya untuk ditarjihkan. Dalam hal ini hadits yang
lebih kuat tersebut (rajih) diamalkan, sedangkan hadits yang lemah
tersebut (marjuh) untuk tidak diamalkan.[8]
4. Jika usaha terakhir juga gagal, maka hadits tersbut hendaklah dibekukan, ditinggalkan untuk pengamalannya.
B. Hadits Mardud dan Permasalahannya
i) Pengertian Hadits Mardud
Secara
bahasa mardud artinya ialah yang ditolak, yang tidak diterima. Secara
istilah Hadits Mardud ialah hadis yang tidak menunjuki keterangan yang
kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas
ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan. Dalam
definisi yang ekstrim disebutkan bahwa hadis mardud adalah semua hadis
yang telah dihukumi dhoif[9]
Simpulan tentang penyebab-penyebab tidak
diterimanya hadits ini akan dijelaskan berdasarkan klasifikasi hadits
mardud ini sebagai berikut :
ii) Klasifikasi Hadits Mardud
(1) Adanya Kekurangan pada Perawinya
Dalam hal ini, kekurangan pada perawinya dapat disebabkan oleh ketidakadilannya maupun kehafalannya. Yakni terbagi menjadi :
(a) Dusta (hadits maudlu)
(b) Tertuduh dusta (hadits matruk)
(c) Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafal
(d) Banyak waham (prasangka) disebut hadits mu’allal
(e) Menyalahi riwayat orang kepercayaan
(f) Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham)
(g) Penganut Bid’ah (hadits mardud)
(h) Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith)
(2) Karena sanadnya tidak bersambung
(a) Kalau yang digugurkan sanad pertama disebut hadits mu’allaq
(b) Kalau yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal
(c) Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mu’dlal
(d) Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’
(3) Karena Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah
Selain
karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena
kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada
matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu’.
BAB III
ILMU JARH DAN TA’DIL
A. Ta’rif
Lafadz
'Jarh ", menurut muhadditsin ialah sifat seorang rawi yang dapat
mencacatkan keadilan dan kehafalannya. Men-Jarh atau men-tajrih seorang
rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat
menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya.
Rawi
yang dikatakan adil ialah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat
yang dapat menodai agama dan keperwiraan¬nya. Memberikan sifat-sifat
yang terpuji kepada seorang rawi, hingga apa yang diriwayatkannya dapat
diterima disebut men¬ta'dilkannya.
Ilmu pengetahuan yang membahas
tentang memberikan kritik¬an adanya aib atau memberikan pujian adil
kepada seorang rawi disebut dengan "Ilmu Jarh watta'dil ".
Dr. 'Ajjaj Al-Khathib menta'rifkannya sebagai berikut:
هوا العلم الذى يبحث فى احوال الرواة من حيث قبول روايتهم أوردها
"Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dart segi diterima atau ditolak periwayatannya.
B. Faedah Ilmu Jarh wat-Ta'dil
Faedah
mengetahui Ilmu Jarh wat-Ta'dil itu ialah untuk mene¬tapkan apakah
periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama
sekali. Apabila seorang rawi dijarh Oleh para ahli sebagai rawi yang
cacat, maka periwayatannya harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji
sebagai orang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama
syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits dipenuhi.
- Macam-macam keaiban rawi
Keaiban seorang rawi itu banyak. Akan tetapi umumnya hanya berkisar kepada 5 macam raja. Yakni:
1. Bid'ah (melakukan tindakan tercela, di luar. ketentuan syari'at),
2. Mukhalafah (melaini dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah),
3. Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan).
4. Jahalatu'l-Hal (tidak dikenal identitasnya) dan
5. Da'wa'l-ingitha' (diduga kerns sanadnya tidak bersambung).
Orang
yang disifati dengan bid'ah adakalanya tergolong orang' yang dikafirkan
dan adakalanya tergolong orang yang difasik¬kan. Mereka yang dianggap
kafir, ialah golongan Rafidlah, yang mempercayai bahwa Tuhan itu
menyusup (bersatu) pada Sayyidina 'Ali, dan pada imam-imam lain, dan
mempercayai bahwa 'Ali akan kembali lagi ke dunia sebelum hari kiamat.
Sedang
orang-orang yang dianggap fasik ialah golongan yang mempunyai itikad
berlawanan dengan dasar syari'at. Mukhalafah yang dapat menimbulkan
kejanggalan dan kemungkaran suatu hadits, ialah apabila seorang rawi
yang setia ingatannya lagi jujur meriwayatkan sesuatu hadits berlawanan
dengan riwayat orang yang lebih setia ingatannya atau berlawanan dengan
kebanyakan orang, yang kedua periwayatan tersebut tidak dapat
dijama'kan. Periwayatan yang demikian ini disebut syadz, dan kalau
perlawanannya itu berkesangatan atau rawinya sangat lemah hafalannya,
periwayatnnya (hadits¬nya) disebut munkar.
Ghalath (salah) itu
kadang-kadang banyak dan kadang-kadang sedikit. Seorang rawi yang
disifati banyak kesalahannya, hen¬daklah diadakan peninjauan mengenal
hadits-hadits yang telah diriwayatkannya. Kalau periwayatnnya tersebut
terdapat pada periwayatan orang lain yang tidak disifati dengan ghalath.
Maka
hadits yang diriwayatkan oleh orang yang banyak salah tersebut dapat
dipakai, tetapi bukan menurut jalan (sanad)nya. Sedang apabila tidak
didapati selain dengan jalan (sanad) nya hendaklah ditawaqufkan.
Adapun
seorang rawi yang disifati dengan sedikit kesalaha¬nnya, seperti lemah
hafalannya, atau salah sangka atau lain sebagainya, maka ditetapkan
seperti ketentuan hukum sebelum ini, kecuali riwayat-riwayat mutabi’at
yang terdapat dalam shahih Bukhary itu lebih banyak daripada riwayat
yang terda¬pat pada mereka. Jahalatu'l-hal (tidak diketahui
identitasnya) merupakan pantangan untuk diterima haditsnya selama belum
jelas identitasnya. Apabila sebagian orang telah mengenal identitasnya
dengan baik, kemudian orang lain mengingkari¬nya, dalam hal ini
didahulukan penetapan orang yang telah mengenalnya, sebab tentu ia lebih
tahu daripada orang yang mengingkarinya (rnenafikannya).
Da'wa'l-inqitha' (pendakwaan terputus) dalam sanad, misal¬nya mendakwa rawi men-tad-lis-kan atau meng-irsal-kan suatu hadits.
- Jalan-jalan untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi dan masalah-masalahnya
Dalam
uraian yang baru lalu telah (dikemukakan bahwa: men-ta'dil-kan
(menganggap adil seorang rawi) ialah memuji rawi dengan sifat-sifat yang
membawa ke-'adalah-annya, yakni sifat-sifat yang dijadikan dasar
penerimaan riwayat.
Keadilan seorang rawi itu dapat diketahui dengan salah satu jari dua ketetapan berikut:
Pertama,
dengan kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa din terkenal
sebagai orang yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai
orang yang adil kalangan para ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan
Ats-Tsaury, Syu'bah bin al-Hajjaj, Asy-Syafi'iy, Ahmad dan lain
sebagainya. Oleh ka¬rena mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil
di kalang¬an para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk
diper¬bincangkan tentang keadilannya.
Kedua, dengan pujian dari
seseorang yang adil (tazkiyah) Yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil
oleh orang yang adil . yang semula rawi yang dita'dilkan itu belum
dikenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh:
a.
Seorang rawi yang adil. Jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya
orang yang menta'dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk
penerimaan riwayat (hadits). Oleh karena itu jumlah tersebut tidak
menjadi syarat pula untuk menta’dilkan seorang rawi. Demikian menurut
pendapat kebanyakan Muhadditsin. Berlainan dengan pendapat para fuqaha
yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam mentazkiyahkan
seorang rawi.
b. Setup orang yang dapat diterima periwayatannya, baik
ia laki-laki maupun perempuan dan baik orang yang merdeka maupun budak
selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan:
a.
Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya.
Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta
di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah
kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
b.
Berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui
sebab-sebabnya dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang oleh para
Muhadditsin. Sedang menurut para fuqaha sekurang-kurangnya harus
ditajrih oleh dua orang laki¬-laki yang adil.
1. Syarat-syarat bagi orang yang men-ta'dil-kan dan men-tajrih-kan
Bagi orang yang men-ta'dil-kan (mu'addil) dan orang yang men-jarh-kan (Jarih) diperlukan syarat-syarat. Yakni:
1) Berilmu pengetahuan.
2) Takwa.
3) Wara,' (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat).
4) Jujur.
5) Menjauhi.fanatik golongan dan
6) Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta'dil-kan dan untuk men-tajrih-kan.
2. Dapatkah pen-ta'dil-an dan pen-tajrih-an seseorang tanpa menyebutkan sebab-sebabnya
Sebagaimana
kita ketahui, bahwa men-ta'dil-kan atau men-taj¬rih-kan seorang rawi
itu adakalanya mubham (tak disebutkan sebab-sebabnya) dan adakalanya
mufassar (disebutkan sebab-sebabnya). Untuk mubham ini, diperselisihkan
oleh para ula¬ma, dalam beberapa pendapat:
1) Men-ta'dil-kan tanpa
menyebutkan sebab-sebabnya, dite¬rima. Karena sebab-sebab itu banyak
sekali, sehingga hal itu kalau disebutkan semua tentu menyibukkan kerja
saja. Adapun men-tajrih-kan, tidak diterima, kalau tanpa me¬nyebutkan
sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja.
Dan oleh karena orang-orang itu berlain-lainan dalam, mengemukakan sebab
jarh, hingga tidak mustahil seseorang men-tajrih menurut keyakinan¬nya,
tetapi tidak tepat dalam kenyataannya. Jadi agar jelas apakah ia
tercacat atau tidak, perlu diterangkan sebab sebabnya.
2) Untuk
ta'dil, harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarahkan tidak perlu.
Karena sebab-sebab men-ta'dil- kan itu, bisa dibuat-buat, hingga harus
diterangkan, sedang mentaj-rih-kan tidak.
3) Untuk kedua-duanya harus disebutkan sebab-sebabnya.
4)
Untuk kedua-duanya, tidak perlu disebutkan sebab-sebab¬nya. Sebab, si
jarih dan mu'addil sudah mengenal seteliti-¬telitinya sebab-sebab
tersebut.
Pendapat yang pertama adalah pendapat yang dianut oleh
kebanyakan Para muhadditsin, semisal Bukhary-Muslim, Abu Dawud dan
lain-lainnya.
3. Jumlah orang yang dipandang Cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi-rawi
Dalam masalah ini juga diperselisihkan:
1)
Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah.
Demikianlah pendapat kebanyakan fuqaha Madinah dan lainnya.
2) Cukup
seorang saja dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab oleh
karena bilangan itu tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadits, maka
tidak pula disyaratkan dalam men-ta'dil-kan dan men-tajrih rawi-rawi.
Berlainan dalam soal syahadah.
3) Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun da¬lam soal syahadah.
Adapun
kalau ke-'adalah-annya (keadilannya) itu diperoleh atas dasar pujian
orang banyak atau dimasyhurkan oleh ahli-¬ahli ilmu, maka tidak
memerlukan orang yang men-ta'dil-kan (muzakky = mu'addil). Seperti
Malik, As-Syafi'iy, Ahmad bin Hanbal, Al-Laits, Ibnu'l-Mubarak, Syu'bah,
Is-haq dan lain-lainnya.
4. Perlawanan antara jarh dan ta'dil
Apabila
terdapat ta'arudl antara jarh dan ta'dil pada seorang rawi, yakni
sebagian ulama men-ta'dil-kan dan sebagian ulama yang lain
men-tajrih-kan dalam hal ini terdapat 4 pendapat:
1) Jarh harus
didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu'addil-nya lebih banyak
daripada jarhnya. Sebab bagi jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang
tidak diketahui oleh mu'addil, dan kalau jarih dapat membenarkan
mu'addil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedang
jarih memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh si
mu'addil.
Pendapat ini dipegang oleh jumhuru'l-ulama.
2) Ta'dil harus didahulukan daripada jarh.
Karena
si jarih dalam meng-aibkan si rawi kurang tepat, dikarenakan sebab yang
digunakan untuk men-aibkan itu bukan sebab yang dapat mencacatkan yang
sebenarnya, apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedang mu'addil, sudah
barang tentu tidak serampangan men-ta'dil-kan se¬seorang selama tidak
mempunyai alasan yang tepat dan logis.
3) Bila jumlah mu'addil-nya
lebih banyak daripada jarih¬nya, didahulukan ta'dil. Sebab jumlah yang
banyak itu dapat memperkuat kedudukan mereka dan mengharuskan untuk
mengamalkan kabar-kabar mereka.
4) Masih tetap dalam ke-ta'arudlan-nya selama belum ditemukan yang me-rajih-kannya.
Pengarang
at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khi¬laf ini, ialah jika jumlah
mu'addilnya lebih banyak, tetapi kalau jumlahnya seimbang antara
mu'addil dan jarih-nya, maka mendahulukan jarah itu sudah merupakan
putusan ijma' .
5. Susunan lafadh-lafadh untuk men-ta'dil-kan dan men¬tajrih-kan rawi
lafadh-lafadh
yang digunakan untuk men-ta'dil-kan dan men¬tajrih-kan rawi-rawi itu
bertingkat-tingkat. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu's Shalah dan Imam
Nawawy, lafadh-lafad itu di¬susun menjadi 4 tingkatan, menurut Al-Hafidh
Ad-Dzahaby dan Al-'Iraqy menjadi 5 tingkatan dan Ibnu Hajar
menyusun¬nya menjadi 6 tingkatan, yakni:
Tingkatan dan lafadh-lafadh untuk men-ta'dil-kan rawi-rawi.
Pertama
: segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan
menggunakan lafadh-lafadh yang berbentuk af'alut-tafdil atau ungkapan
Yang mengandung pengertian yang sejenis. Misalnya:
اوثق الناس Orang yang paling tsiqah,
اثبت الناس حفظا وعدالة Orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya,
اليه المنتهى فى الثبت Orang Yang paling top keteguhan hati dan lidahnya
ثقة فوق الثقة Orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah.
Kedua
: memperkuat ketsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari
sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan kedlabitannya, baik sifatnya yang
dibubuhkan itu selafadh (dengan mengulangnya) maupun semakna, Misalnya:
ثبت ثبت : Orang yang teguh (lagi) teguh,
ثقة ثقة : Orang yang tsiqah (lagi) tsiqah,
حجة حجة : Orang yang ahli (lagi) patah lidahnya,
ثبت ثقة : Orang yang teguh (lagi) tsiqah,
حافظ حجة : Orang yang hafidh lagi petah lidahnya.
ضابظ متقن : Orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya.
Ketiga : menunjuk keadilan dengan suatu lafadh yang mengandung arti kuat ingatan. Misalnya:
ثبت : Orang yang teguh (hati dan lidahnya)
متفق : Orang yang meyakinkan (ilmunya),
ثقة : Orang yang tsiqah,
حافظ : Orang yang hafidh (kuat hafalannya),
حجة : Orang yang petah lidahnya.
Keempat
: menunjuk keadilan dan kedlabithan, tetapi dengan lafadh yang tidak
mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah). Misalnya:
صدوق : Orang yang sangat jujur,
مأمون : Orang yang dapat memegang amanat,
لابأس به : Orang Yang tidak cacat.
Kelima : menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak terpaham adanya kedlabithan. Misalnya:
محله الصدق : Orang yang berstatus jujur,
جيد الحديث : Orang yang baik haditsnya,
حسن الحديث : Orang yang bagus haditsnya,
مقارب الحديث : Orang yang haditsnya berdekatan de¬ngan hadits-hadits orang lain yang tsiqah.
Keenam
: menunjuk arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut di atas
yang diikuti dengan lafadh "insya Allah", atau lafadh tersebut
di-tashghir-kan (pengecilan arti). atau lafadh itu dikaitkan dengan
suatu pengharapan. Misalnya:
صدوق إنشاء الله : Orang yang jujur, insya Allah.
فلان أرجو بأن لابأس به : Orang yang diharapkan tsiqat
فلان صويلح : Orang yang sedikit kesalehannya
فلان مقبول حديثه : Orang yang diterima haditsnya.
Para
ahli ilmu menggunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi
yang dita'dilkan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat
sebagai hujjah. Sedang hadits-hadits para rawi yang dita'dilkan menurut
tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat
dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits perawi lain.
Tingkatan dan lafadh-lafadh untuk mentajrih rawi-rawi.
Pertama
: menunjuk kepada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan
menggunakan lafadh-lafadh yang berbentuk af a-lut-tafdlil atau ungkapan
lain yang mengandung pengertian yang sejenisnya dengan itu. Misalnya:
اوضع الناس : orang yang paling dusta,
اكذب الناس : orang yang paling bohong,
اليه المنتقى فى الوضع : orang yang paling top kebohongannya
Kedua : menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan la¬fadh berbentuk shighat muballagah. Misalnya:
كذاب : orang yang pembohong,
وضاع : orang yang pendusta,
دجال : orang yang penipu.
Ketiga : menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau lain sebagainya. Misalnya:
فلان منهم بالكذب : orang yang dituduh bohong,
اومهم بالوضع : orang yang dituduh dusta,
فلان فيه النظر : orang yang perlu diteliti,
فلان ساقط : orang yang gugur,
فلان ذاهب الحديث : orang yang haditsnya telah hilang,
فلان متروك الحديث : orang yang ditinggalkan haditsnya.
Keempat : menunjuk kepada berkesangatan lemahnya. Misalnya:
مطرح الحديث : orang yang dilempar haditsnya,
فلان ضعيف : orang yang lemah,
فلان مردود الحديث : orang yang ditolak haditsnya.
Kelima : menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya. Misalnya:
فلان لايحتج به : orang yang tidak dapat dibuat huj¬jah haditsnya,
فلان مجهول : orang yang tidak dikenai identitasnya.
فلان منكر الحديث : orang yang mungkar haditsnya,
فلان مضطرب الحديث : orang yang kacau haditsnya,
فلان واه : orang yang banyak menduga-duga.
Keenam : menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi sifat itu berdekatan dengan adil. Misalnya:
ضعف حديثه : orang yang didla'ifkan haditsnya,
فلان مقال فيه : orang yang diperbincangkan,
فلان فيه خلف : Orang yang disingkiri
فلان لين : Orang yang lunak
فلان ليس بالحجة : orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya,
فلان ليس بالقوى : orang yang tidak kuat.
Orang-orang
yang ditajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkatan keempat,
haditsnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang
ditajrih menurut tingkatan kelima dan keenam, haditsnya masih dapat
dipakai seba¬gai i'tibar (tempat membandingkan).
Perlu diketahui
dalam masalah yang berkaitan dengan jarh dan ta'dil ini bahwa para
sahabat itu tidak menjadi sasaran dalam pembahasan ilmu ini. Sebab sudah
disepakati oleh kebanyakan Muhadditsin bahwa para sahabat itu
seluruhnya dipandang adil, karena itu semua periwayatannya dapat
diterima.
Dengan demikian yang menjadi sasaran utama ilmu jarh wat¬ta'dii ini ialah rawi-rawi selain sahabat.
- Untuk diperhatikan
Apabila
kita temui sebagian ahli jarh dan ta'dil men-jarh-kan seorang rawi,
maka kita tidak perlu segera menerima pen tajrih-an tersebut, tetapi
hendaklah diselidiki lebih dulu. Jika pen-tajrih-an itu membawa
kegoncangan yang hebat, kendati¬pun yang men-tajrih-kan tersebut
orang-orang atau ulama-ulama yang masyhur sekalipun, tidak boleh terus
kita terima pen¬-tajrih-annya. Sebab kadang-kadang, sebab-sebab yang
diguna¬kan untuk men-jarh-kannya, setelah kita adakan penelitian da¬pat
dipakai untuk menolak pen-jarh-annya.
Hal itu disebabkan adanya
kemungkinan-kemungkinan antara lain, ialah si jarih sendiri termasuk
orang yang di-tajrih-kan oleh orang lain, hingga pen-tajrih-annya dan
pen-ta'dil-annya tidak harus segera kita terima selama orang-orang lain
tidak menyetujuinya. Kemungkinan yang lain bisa terjadi, bahwa si jarih
termasuk orang yang berkesangatan dalam men-tajrih¬kan seseorang. Sedang
menurut pen-tajrih-an yang dilakukan oleh kebanyakan ahli tajrih dan
ta'dil, lebih ringan.
Para ulama jumhur mengemukakan daftar nama-nama
Muhad¬ditsin yang terkenal berkesangatan dan menjemukan bila men¬tajrih
seseorang rawi. Mereka itu, ialah: Abu Hatim, An¬Nasa'iy. Yahya bin
Main, Yahya bin Khaththan dan Ibnu Hibban."
C. Kitab-kitab Ilmu Jarh wat-Ta'dil
Para
penulis kitab-kitab Jarh wat-Ta'dil berbeda-beda dalam menyusun
buku-bukunva. Sebagian ada yang kecil, hanya terdiri satu jilid dan
hanya mencakup beberapa ratus orang rawi. Sebagian yang lain menyusunnya
menjadi bebera¬pa jilid besar-besar yang mencakup antara sepuluh sampai
dua puluh ribu rijalus-sanad.
Di samping itu mereka juga
berbeda-beda dalam mensistematiskan pembahasannya. Ada sebagian yang
hanya menulis ten¬ting rawi-rawi yang dla'if dan bohong saja. ada yang
menulis rawi-rawi yang tsiqah saja, dan ada pula yang mengumpulkan
kedua-duanya. Kitab-kitab itu antara lain:
1. Ma'rifatu'r-rijal.
Karya Yahya Ibni Ma' in. Kitab ini termasuk kitab yang pertama sampai
kepada kita. Juz pertama kitab tersebut, yang masih berupa manuskrip
(tulisan tangan) berada di Darul-Kutub Adh-Dhahiriyah.
2. Ad-Dlu'afa'. Karya Imam Muhammad bin Ismail Al Bukhary (194 - 252 H.). Kitab tersebut dicetak di Hindia pada tahun 320 H.
3.
At-Tsiqat, karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat tahun 304 H.).
Perlu diketahui bahwa Ibnu Hibban ini sangat mudah untuk mengadilkan
seorang rawi. Karena itu hendaklah hati-hati terhadap penta'dilannya.
Naskah aslinya diketemukan di Darul Kutub Al-Mishriyah, dengan tidak
lengkap.
4. Al-Jarhu wat-Ta'dil, karya Abdur Rahman bin Abi Hatim
Ar-Razy (240 - 326 H.). Ini merupakan kitab Jarh wat-Ta'dil yang
terbesar yang sampai kepada kita dan yang sangat besar faedahnya. Kitab
itu terdiri dari 4 jilid besar-besar yang memuat 18.050 orang rawi. Pada
tahun 1373 H. ki¬tab itu dicetak di India menjadi 9 jilid. Satu jilid
sebagai mu¬kadimah, sedang tiap-tiap jilid yang ash dijadikan dua jilid.
5.
Mizanu'l-I'tidal, karya Imam Syamsuddin Muhammad Adz-Dzahaby (673 - 748
H.). Kitab itu terdiri dari 3 jilid. Setiap rawi biarpun rawi tsiqah
diterangkan dan dikemukakan haditsnya, sebuah atau beberapa buah yang
munkar atau gharib. Kitab yang sudah berulang kali dicetak ini dan
cetakan yang terakhir dicetak di Mesir pada tahun 1325 H. dan terdiri
dari 3 jilid, mencakup 10.907 orang riyalus-sanad.
6. Lisanu'l-Mizan,
karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-'Asqalany (773 - 852 H.) sudah mencakup
isi kitab Mizanu'l-I'tidal dengan beberapa tambahan yang penting. Kitab
itu memuat 14.343 orang rijalus-sanad. ia dicetak di India pada tahun
1329 - 1331 H. dalam 6 jilid.
BAB IV
SEJARAH SINGKAT SHAHABAT YANG BANYAK MERIWAYATKAN HADITS DAN PENTAKHRIJ HADITS
A. Riwayat tokoh-tokoh Rijalul Hadits dari kalangan sahabat
1. Abu Hurairah
Abu Hurairah ialah Abdur Rahman ibn Sakhr (Abdulah ibn Skhr) Ad Dausy At Tamimy.
Para
ahli sejarah berbeda-beda pendapat mengenai nama beliau ini. Demikian
pula tentang nama ayahnya. Beliau sendiri menerangkan, bahwa di masa
jahiliyah beliau bernama Abu Syam. Setelah memeluk Islam, beliau diberi
nama oleh Nabi dengan Abdur Rahman atau Abdullah, ibunya bernama
Maimunah, yang memeluk Islam berkat seruan Nabi.
Beliau lahir tahun 21 sebelum Hijrah = tahun 602 M.
Abu
Hurairah datang ke Madinah pada tahun Khaibar yakni pada bulan Muharram
tahun 7 H, lalu memeluk nama Islam. Setelah beliau memeluk Islam,
beliau tetap beserta Nabi dan menjadi ketua Jama'ah Ahlus Suffah. Karena
inilah beliau mendengar hadits dari Nabi.
Menurut pentahqikan Baqy
ibn Makhlad, seperti yang dikutib oleh Ibn Dausy, beliau meriwayatkan
hadits sejumlah 5374 hadits, menurut Al Kirmany 5364. Dari jumlah
tersebut, 325 hadits disepakati oleh Bukhary dan Muslim. Bukhary sendiri
meriwayatkan 93 hadits dan Muslim sendiri sejumlah 189 hadits.
Abu
Hurairah meriwayatkan hadits dari Nabi sendiri, dan dari shahabi, di
antaranya ialah Abu Bakr, 'Umar, Al Fadlel ibn 'Abbas ibn 'Abdil
Munththalib, 'Ubay ibn Ka'ab, Usamah ibn Zaid, 'Aisyah.
Hadits-haditsnya banyak diriwayat oleh Sahabat dan Tabi’in.
Di antara para sahabat Wah lbnu Abbas, Ibnu 'Umar, Anas, Watsilah ibn Al Asqa', Jabir ibn 'Abdullah Al Anshary.
Di
antara para thabi'in besar, ialah: Marwan ibn Al Hakam, Said ibn Al
Musaiyab, 'Urwah ibn Az Zubair, Sulaiman Al. Asyja'y Al Aghr, Abu
Muslim, Syuraih ibn Hani', Sulaiman ibn Yasr, 'Abdullah ibn Syaqiq,
Hamdlalah Al Aslamy, Tsabit ibn Iyadl, Sa'id ibn 'Amr ibn Sa'id Al 'Asy,
Abu Al Habbab,Sa'id ibn Yassar, Muhammad ibn Sirrin, 'Abdur Rahman ibn
Sa'ad, Abdullah ibn'Uqbab ibn Masud, Atha ibn Abi Rabah, Atha ibn
Yassar.
Lebih dari 800 perawi menerima hadits dari beliau.
Kata Asy Syafi'y, "Abu Hurairah adalah orang yang paling banyak menghafal hadits di masanya."
Tersebut
dalam Ash Shahih, bahwa Abu Hurairah berkata, "Ya Rasulullah, saya
mendengar dari tuan banyak hadits, tetapi saya banyak lupa. Mendengar
itu Nabi bersabda, "Hamparkan selimutmu". Maka Nabi mengambil kain itu
dengan tangannya. Kemudian Nabi berkata, "Berselimutlah!" Selanjutnya
Abu Hurairah berkata, "Maka saya pun berselimut. Setelah itu saya tidak
pernah lupa sesuatu yang saya dengan dari Nabi." Abu Hurairah adalah
orang yang pertama di antara tujuh sahabat yang banyak meriwayatkan
hadits.
Al Hafidl ibn Hajar telah menerangkan keistimewaan Abu Hurairah dalam kitabnya Al Ishabah.
Abu
Hurairah pemah menjadi gubernur Madinah, dan pada masa pemerintahan
umar, beliau diangkat menjadi gubernur di Bahrain, kemudian beliau
diberhentikan.
Beliau meninggal di Madinah pada tahun 59 H = 679 M.
2. Abdullah ibn Umar
Abdullah
ibn Umar ialah Abu Abdur Rahman 'Abdullah ibn 'Umar ibn Al Khaththab Al
Quraisyi Al Adawy, seorang sahabat Rasulullah yang terkemuka dalam
lapangan ilmu dan aural.
Abdullah dilahirkan di Makkah pada tahun 10 s.H = 618 M.
Dalam
usia 10 tahun Beliau berhijrah Madinah beserta ayahnya. Ada yang
menyatakan ketika berusia 13 tahun. Beliau adalah saudara kandung dari
Hafshah, permaisuri Rasul. 'Abdullah dapat menyaksikan peperangan
Khandak. Bai'atul Ridlwan dan peperangan-peperangan yang sesudahnya.
Beliau adalah seorang dari empat 'abadilah.
'Abdullah meriwayatkan sejumlah 2630 hadits.
Sejumlah
1700 di antaranya disepakati oleh Bukhary dan Muslim. Bukhary sendiri
meriwayatkan 81 dan Muslim sendiri meriwayatkan 31 hadits.
Beliau
menerima hadits dari Nabi sendiri dan dari sahabat. Di antaranya ialah
ayahnya sendiri Umar, pamannya Zaid, saudara kandungnya Hafshah, Abu
Bala, Utsman, Ali, Bilal, Ibnu Mas'ud, Abu Dzar dan Mu'adz.
Hadits-haditsnya banyak diriwayatkan oleh sahabat dan tabi'ip.
Di antara para sahabat ialah Jabir dan Ibnu Abbas, putera-putera beliau sendiri yaitu Salim, 'Abdullah, Hamzah, Bilal dan Zaid.
Di
antara tabi'in ialah Nafi, Said ibn Al Musaiyab, Alqamah ibn Waqqash Al
Laitsy, Abu Abdur Rahman Al Qahry Masruq, Abdur Rahman ibn Abi Laila,
Mus'ab ibn Sa'ad ibn Abi Waqqash, Urwah ibn Az Zubair.
Di antara para
mawaly ialah 'Abdullah ibn Dinar Al Adawy, Musa ibn 'Uqbail Atha' ibn
Abi Rabah, Thariq ibn'Amral Amawy, Mujahid ibn Ja'far, Ibn Sirrin,
Muhammad Abu Bakr Al Bishry Al Hasan ibn Abi Hasan Al Bishry, Shafwan
ibn Sulaiman, Az Zuhry.
Menurut Malik, "Selama 60 tahun sesudah Nabi wafat ibn Umar memberi fatwa dan meriwayatkan hadits."
Ibn
Al Bakr mengatakan, "Ibnu 'Umar menghafal semua yang didengar dari
Rasul dan bertanya kepada orang-orang yang menghadiri majlis-majlis
Rasul tentang tutur dan perbuatan Rasul.
'Abdullah ibn 'Umar adalah orang yang kedua antara 7 sahabat yang banyak meriwayatkan hadits.
Beliau
tidak mau campur tangan atas segala rupa fitnah yang terjadi di
masanya. Dalam kalangan sahabat beliau terkenal sebagai orang yang
sangat meneladani segala gerak-gerik Rasul.
"Abdullah ibn 'Umar wafat di Makkah pada tahun 73 H = 693 H.
3. Anas Ibn Malik
Anas
ibn Malik ialah Abu Tsumamah (Abu Hamzah) Anas ibn Malik ibn Nadler ibn
Dlamdlam Al Najjary Al Anshary, seorang sahabat yang tetap selalu
meladeni Rasulullah selama 10 tahun.
Anas dilahirkan di Madinah pada
tahun 10 s. H = 612 M, setelah Rasul tibadi Madinah, Ibunya menyerahkan
Anas kepada Rasul untuk menjadi khadam Rasul. Setelah Rasul wafat, Anas
pindah ke Bashrah sampai akhir hayatnya.
Beliau meriwayatkan sejumlah
2276 atau 2236 hadits. Sejumlah 166 hadits disepakati oleh Bukhary
Muslim, 93 di antaranya diriwayatkan oleh Bukhary sendiri dan 70
diriwayatkan oleh Muslim sendiri.
Anas menerima hadits dari Nabi sendiri dan dari banyak sahabat.
Diantaranya
ialah: Abu Bakar, Umar, 'Utsman, 'Abdullah ibn Rahawah, Fathimah Az
Zahra, Tsabit ibn Qais, Abdur Rahman ibn'Auf, ibnu Mas'ud, Abu Dzar,
Malik ibn Shasha'ah, Mu'adz ibn Jabal, 'Ubadah ibn Shamit dari ibunya
sendiri Ummu Sulaim dan saudara-saudara ibunya Ummu Hiram, dan Ummu
Fadlel.
Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh anak-anaknya, yaitu Musa An Nadir dan Abu Bakr.
Di
antara tabi'in yang meriwayatkan haditsnya ialah: Al Hasanu Bishry,
Sulaim at Tamimy, Abu Qilabah, 'Abdul'Aziz ibn Suhaib, Ishaq ibn Abi
Thalhah, Abu Bakr ibn'Abdur Rahman, 'Abdullah Al Muzany, Qatadah, Tsabit
Al Bana'iy, Humaid At Thawil, Al Ja'ad Abul 'Utsman, Muhammad ibn
Sirrin, Anas ibn Sirrin, Az Zuhry, Yahya ibn Sa'id Al Anshary, Sa'id ibn
Jubair.
Qatadah mengatakan, bahwa di hari Anas wafat, Muwarrid berkata, "Pada had ini telah lenyap seperdua ilmu."
Anas ibn Malik adalah orang ketiga di antara tujuh sahabat yang banyak meriwayatkan hadits.
Beliau wafat di Bashrah pada tahun 93 H 912 M, dalam usia 100 tahun.
4. 'Aisyah Ash Shiddiqiah
'Aisyah Ash Shiddiqiah ialah Aisyah binti Abi Bakr Ash Shiddieq.
Ibunda beliau bernama Ummu Ruman binti 'Amr ibn Umaimir Al Kinaniyah.
'Aisyah dilahirkan sesudah Nabi di bangkit menjadi Rasul.
Menurut
riwayat yang masyhur Nabi mengawini beliau di Makkah di waktu beliau
berusia enam tahun, sesudah sebulan Nabi kawin dengan Saudah, yaitu tiga
tahun sebelum hijrah. Pada bulan Syawal sesudah 8 bulan Nabi berhijrah
ke Madinah di kala itu 'Aisyah berusia 9 tahun, baru Nabi berumah tangga
dengan beliau. Di kala Nabi wafat, beliau baru berusia 13 tahun.
Beliau
meriwayatkan 2210 hadits. Bukhary Muslim menyepakati sejumlah 174
hadits. Bukhary sendiri meriwayatkan 64 hadits dan Muslim sendiri
meriwayatkan 63 hadits.
Beliau menerima hadits dari Nabi sendiri dan
dari para sahabat. Di antaranya ialah ayahanda beliau sendiri, Umar
Hamzah ibn Al Aslamy, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Fathimah az Zahra.
Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh banyak sahabat dan tabi'in.
Di
antara para sahabat tersebut ialah: 'Amr ibn 'Ash, Abu Musa Al Asy'ary,
Zaid ibn Khalib Al Juhany, Abu Hurairah, 'Ibnu'Umar, Rabi'ah ibn Abbas,
saudaranya sendiri Ummu Kaltsum bint Abi Bakr, saudara sesusuannya 'Auf
ibn al Harits dan anak saudaranya Al Khisim ibn Muhammad.
Di antara
para tabi’in ialah: Sayid ibn al Musaiyab 'Abdullah ibn 'Amr ibn
Rabi'ah, Urwah, Asy Sarby' Atha, Mujahid, Mu'adzah al 'Adawiyah, Nafi'
Maula ibn 'Umar.
Asy Syaby berkata, "Apabila Masruq meriwayatkan
hadits dari 'Aisyah beliau berkata, kepadaku diceritakan oleh Shiddiqiah
binti As Shiddiq, habibah habibillah."
Banyak para sahabat dan tabi'in menerima berbagai macam hukum dari beliau.
Pernah orang mengatakan, bahwa seperempat hukum syari'at diperoleh dari beliau.
Hisyam
Ibn ‘Urwah mengatakan., "Aku tidak melihat seseorang yang mengetahui
tentang Fiqh, obat-obatan dan syi'ir Arab selain 'Aisyah."
'Atha' berkata, "'Aisyah adalah sepandai-pandai ulama."
Menurut
Az Zuhry, jika dibandingkan ilmu yang dimiliki oleh 'A,isyah dengan
seluruh ilmu yang dipunyai oleh permaisuri-permaisuri Rasul yang lain
dan ilmu para sahabat, maka ilmu yang dimiliki oleh 'Aisyah masih lebih
unggul.
Ulama-ulama sahabat bertanya kepada 'Aisyah tentang soal-soal fara'idl.
'Aisyah adalah orang yang keempat di antara tujuh orang sahabat yang banyak meriwayatkan hadits.
Beliau wafat pada bulan Ramadlan sesudah melakukan shalat whir pada tahun 57 atau 58 H = 668 M.
5. Abdullah ibn Abbas
Abdulllah ibn Abbas ialahAbul 'Abbas ibn Abbas ibn 'Abdil Muththolib, seorang putera paman Rasulullah.
lbundanya bernama Ummu Fadlel Lubabah Al Qubra binti Al Harts Al Hilaliyah, saudara perempuan Maimunah permaisuri Rasul.
Beliau
dilahirkan di Makkah ketika Bani Hasyim berada di Syi'ib, 3 atau 5
tahun sebelum hijrah. Di kala Rasul wafat beliau barn berusia 13 atau 15
tahun.
Beliau meriwayatkan sejumlah 1660 hadits. Bukhary dan Muslim
menyepakati sejumlah 95 hadits, 29 buah di antaranya diriwayatkan oleh
Bukhary sendiri dan 49 buah diriwayatkan oleh Muslim sendiri.
Beliau menerima hadits dari Nabi dan dari para sahabat.
Di
antara para sahabat ialah, ayahandanya, bundanya, saudaranya Al
Fadliel, makciknya Maimunah, Abu Bakr, 'Umar, 'Utsman, 'Ali, 'Abdur
Rahman ibn'Auf, Mu'adz ibn Jabal, Abu Dzar, Ubay ibn Ka'ab, Abu Hurairah
dan lain-lain.
Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh putra-putranya,
yaitu, 'Ali dan Muhammad cucunya Muhammad ibn 'Aly, saudaranya Katsir
ibn Abbas.
Di antara para sahabat yang meriwayatkan hadits beliau
ialah, 'Abdullah ibn 'Umar ibn Khaththab, Tsa'labah ibn al Hakam, Abul
Thufail dan lain-lain.
Di antara para tabfin ialah, Abu Umamah ibn
Sahal, Said ibn Musayyab, 'Abdullah ibn Harts ibn Naufal, Abu Salamah
ibn Abdur Rahman ibn 'Auf, Abu Raja'. Abdullah ibn 'Abdullah ibn 'Utbah
ibn Abi Waqqash, Ikrimah, Atha, Sa'id ibn Jubair, Sa'id ibn Abil Hasan
al Bishry dan Sa'id ibn Yatsar.
Banyak sekali laqab-laqab Ibn Abbas ini.
Beliau bergelar Al Hijr dan Al Bahr, karena sangat luas ilmunya.
Ibnu
'Umar berkata, "Ibnu 'Abbas adalah orang yang paling mengetahui tantang
apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW. di antara orang¬-orang yang
masih tinggal."
Menurut Masruq, "Apabila beliau melihat Ibnu 'Abbas,
beliau mengatakan bahwa Ibnu 'Abbas adalah orang yang paling gagah,
apabila ia berbicara, beliau mengatakan, Ibnu 'Abbaslah orang yang
paling fasih lidahnya dan apabila ia meriwayatkan hadits beliau
mengatakan, bahwa Ibnu 'Abbas adalah orang yang paling alim."
Kata
'Amr ibn Dinar, "Aku belum pernah melihat suatu majlis yang mengumpulkan
semua kebajikan selain dari majlis Ibnu 'Abbas. Majlisnya menerangkan
hukum halal dan haram, kesusasteraan Arab dan syair."
Beliau wafat di Thaif pada tahun 68 H = 687 M dalam usia 71 tahun. Jenazahnya disembahyangkan oleh Muhammad ibn Hanafrah.
B. Sejarah sinhkat enam perawi hadits
1. Imam Bukhari
Tokoh
Islam penghimpun dan penyusun hadith itu banyak, dan yang lebih
terkenal di antaranya seperti yang disebut diatas. Adapun urutan pertama
yang paling terkenal diantara enam tokoh tersebut di atas adalah
Amirul-Mu'minin fil-Hadith (pemimpin orang mukmin dalam hadith), suatu
gelar ahli hadith tertinggi. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah
Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah. Abu
Abdullah Muhammad ibn Ismail, terkenal kemudian sebagai Imam Bukhari,
lahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M), cucu seorang
Persia bernama Bardizbah. Kakeknya, Bardizbah, adalah pemeluk Majusi,
agama kaumnya. Kemudian putranya, al-Mughirah, memeluk Islam di bawah
bimbingan al-Yaman al Ja'fi, gubernur Bukhara. Pada masa itu Wala
dinisbahkan kepadanya. Kerana itulah ia dikatakan "al-Mughirah al-Jafi."
Ayah
Bukhari disamping sebagai orang berilmu, ia juga sangat wara'
(menghindari yang subhat/meragukan dan haram) dan taqwa. Diceritakan,
bahawa ketika menjelang wafatnya, ia berkata: "Dalam harta yang kumiliki
tidak terdapat sedikitpun wang yang haram maupun yang subhat." Dengan
demikian, jelaslah bahawa Bukhari hidup dan terlahir dalam lingkungan
keluarga yang berilmu, taat beragama dan wara'. Tidak hairan jika ia
lahir dan mewarisi sifat-sifat mulia dari ayahnya itu.
Ia dilahirkan
di Bukhara setelah salat Jum'at. Tak lama setelah bayi yang baru lahr
itu membuka matanya, iapun kehilangan penglihatannya. Ayahnya sangat
bersedih hati. Ibunya yang saleh menagis dan selalu berdo'a ke hadapan
Tuhan, memohon agar bayinya bisa melihat. Kemudian dalam tidurnya
perempuan itu bermimpi didatangi Nabi Ibrahim yang berkata:
"Wahai
ibu, Allah telah menyembuhkan penyakit putramu dan kini ia sudah dapat
melihat kembali, semua itu berkat do'amu yang tiada henti-hentinya."
Ketika
ia terbangun, penglihatan bayinya sudah normal. Ayahnya meninggal di
waktu dia masih kecil dan meninggalkan banyak harta yang memungkinkan ia
hidup dalam pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Dia dirawat dan
dididik oleh ibunya dengan tekun dan penuh perhatian.
Keunggulan dan
kejeniusan Bukhari sudah nampak semenjak masih kecil. Allah
menganugerahkan kepadanya hati yang cerdas, pikiran yang tajam dan daya
hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadith. Ketika
berusia 10 tahun, ia sudah banyak menghafal hadith. Pada usia 16 tahun
ia bersama ibu dan abang sulungnya mengunjungi berbagai kota suci.
Kemudian ia banyak menemui para ulama dan tokoh-tokoh negerinya untuk
memperoleh dan belajar hadith, bertukar pikiran dan berdiskusi dengan
mereka. Dalam usia 16 tahun, ia sudah hafal kitab sunan Ibn Mubarak dan
Waki, juga mengetahui pendapat-pendapat ahli ra'yi (penganut faham
rasional), dasar-dasar dan mazhabnya.
Rasyid ibn Ismail, abangnya
yang tertua menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberpa murid lainnya
mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid
lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia dicela membuang
waktu dengan percuma kerana tidak mencatat. Bukhari diam tidak
menjawab. Pada suatu hari, kerana merasa kesal terhadap celaan yang
terus-menerus itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan
mereka. Tercenganglah mereka semua kerana Bukhari ternyata hapal di luar
kepala 15.000 haddits, lengkap terinci dengan keterangan yang tidak
sempat mereka catat.
Pengembaraannya
Tahun 210 H, Bukhari
berangkat menuju Baitullah untuk menunaikan ibadah haji, disertai ibu
dan saudaranya, Ahmad. Saudaranya yang lebih tua ini kemudian pulang
kembali ke Bukhara, sedang dia sendiri memilih Mekah sebagai tempat
tinggalnya. Mekah merupakan salah satu pusat ilmu yang penting di Hijaz.
Sewaktu-waktu ia pergi ke Madinah. Di kedua tanah suci itulah ia
menulis sebahagian karya-karyanya dan menyusun dasar-dasar kitab
Al-Jami'as-Shahih dan pendahuluannya.
Ia menulis Tarikh Kabir-nya di
dekat makam Nabi s.a.w. dan banyak menulis pada waktu malam hari yang
terang bulan. Sementara itu ketiga buku tarikhnya, As-Sagir, Al-Awsat
dan Al-Kabir, muncul dari kemampuannya yang tinggi mengenai pengetahuan
terhadap tokoh-tokoh dan kepandaiannya bemberikan kritik, sehingga ia
pernah berkata bahawa sedikit sekali nama-nama yang disebutkan dalam
tarikh yang tidak ia ketahui kisahnya.
Kemudian ia pun memulai studi
perjalanan dunia Islam selama 16 tahun. Dalam perjalanannya ke berbagai
negeri, hampir semua negeri Islam telah ia kunjungi sampai ke seluruh
Asia Barat. Diceritakan bahawa ia pernah berkata: "Saya telah
mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah masing-masing dua kali, ke basrah
empat kali, menetap di Hijaz (Mekah dan Madinah) selama enam tahun dan
tak dapat dihitung lagi berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad
untuk menemui ulama-ulama ahli hadith."
Pada waktu itu, Baghdad
adalah ibu kota negara yang merupakan gudang ilmu dan ulama. Di negeri
itu, ia sering menemui Imam Ahmad bin Hambal dan tidak jarang ia
mengajaknya untuk menetap di negeri tersebut dan mencelanya kerana
menetap di negeri Khurasan.
Dalam setiap perjalanannya yang
melelahkan itu, Imam Bukhari senantiasa menghimpun hadith-hadith dan
ilmu pengetahuan dan mencatatnya sekaligus. Di tengah malam yang sunyi,
ia bangun dari tidurnya, menyalakan lampu dan menulis setiap masalah
yang terlintas di hatinya, setelah itu lampu di padamkan kembali.
Perbutan ini ia lakukan hampir 20 kali setiap malamnya. Ia merawi hadith
dari 80.000 perawi, dan berkat ingatannya yang memang super jenius, ia
dapat menghapal hadith sebanyak itu lengkap dengan sumbernya.
Kemasyhuran Imam Bukhari
Kemasyhuran
Imam Bukhari segera mencapai bahagian dunia Islam yang jauh, dan ke
mana pun ia pergi selalu di alu-alukan. Masyarakat hairan dan kagum akan
ingatannya yang luar biasa. Pada tahun 250 H. Imam Bukhari mengunjungi
Naisabur. Kedatangannya disambut gembira oleh para penduduk, juga oleh
gurunya, az-Zihli dan para ulama lainnya.
Imam Muslim bin
al-Hajjaj, pengarang kitab as-Shahih Muslim menceritakan: "Ketika
Muhammad bin Ismail datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang
kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur memberikan sambutan
seperti apa yang mereka berikan kepadanya." Mereka menyambut
kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (± 100 km),
sampai-sampai Muhammad bin Yahya az-Zihli berkata: "Barang siapa hendak
menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab
aku sendiri akan ikut menyambutnya. Esok paginya Muhammad bin Yahya
az-Zihli, sebahagian ulama dan penduduk Naisabur menyongsong kedatangan
Imam Bukhari, ia pun lalu memasuki negeri itu dan menetap di daerah
perkampungan orang-orang Bukhara. Selama menetap di negeri itu, ia
mengajarkan hadith secara tetap. Sementara itu, az-zihli pun berpesan
kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang
diberikannya. Ia berkata: "Pergilah kalian kepada orang alim yang saleh
itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya."
Imam Bukhari Difitnah
Tak
lama kemudian terjadi fitnah terhadap Imam bukhari atas perbuatan
orang-orang yang iri dengki. Mereka meniupkan tuduhannya kepada Imam
Bukhari sebagai orang yang berpendapat bahawa "Al-Qur'an adalah
makhluk." Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya,
az-Zihli kepadanya, sehingga ia berkata: "Barang siapa berpendapat
lafaz-lafaz Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ahh. Ia
tidak boleh diajak bicara dan majlisnya tidak boleh di datangi. Dan
barang siapa masih mengunjungi majlisnya, curigailah dia." Setelah
adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.
Pada
hakikatnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya
itu. Diceritakan, seorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya:
"Bagaimana pendapat Anda tentang lafaz-lafaz Al-Qur'an, makhluk ataukah
bukan?" Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati
pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali. Tetapi orang tersebut terus
mendesaknya, maka ia menjawab: "Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan
makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan
bid’ah." Yang dimaksud dengan perbuatan manusia adalah bacaan dan
ucapan mereka. Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan
membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang
menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq dan ulama salaf. Tetapi dengki
dan iri adalah buta dan tuli.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahawa
Bukhari perbah berkata: "Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa
bertambah dan bisa berkurang. Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan
makhluk. Sahabat Rasulullah SAW. yang paling utama adalah Abu Bakar,
Umar, Usman kemudian Ali. Dengan berpegang pada keyakinan dan keimanan
inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya
Allah." Demikian juga ia pernah berkata: "Barang siapa menuduhku
berpendapat bahawa lafaz-lafaz Al-Qur'an adalah makhluk, ia adalah
pendusta."
Az-Zahli benar-benar telah murka kepadanya, sehingga ia
berkata: "Lelaki itu (Bukhari) tidak boleh tinggal bersamaku di negeri
ini." Oleh kerana Imam Bukhari berpendapat bahawa keluar dari negeri itu
lebih baik, demi menjaga dirinya, dengan hrapan agar fitnah yang
menimpanya itu dapat mereda, maka ia pun memutuskan untuk keluar dari
negeri tersebut.
Setelah keluar dari Naisabur, Imam Bukhari pulang ke
negerinya sendiri, Bukhara. Kedatangannya disambut meriah oleh seluruh
penduduk. Untuk keperluan itu, mereka mengadakan upacara besar-besaran,
mendirikan kemah-kemah sepanjang satu farsakh (± 8 km) dari luar kota
dan menabur-naburkan uang dirham dan dinar sebagai manifestasi
kegembiraan mereka. Selama beberapa tahun menetap di negerinya itu, ia
mengadakan majlis pengajian dan pengajaran hadith.
Tetapi kemudian
badai fitnah datang lagi. Kali ini badai itu datang dari penguasa
Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad az-Zihli, walaupun sebabnya timbul
dari sikap Imam Bukhari yang terlalu memuliakan ilmu yang dimlikinya.
Ketika itu, penguasa Bukhara, mengirimkan utusan kepada Imam Bukhari,
supaya ia mengirimkan kepadanya dua buah karangannya, al-Jami' al-Shahih
dan Tarikh. Imam Bukhari keberatan memenuhi permintaan itu. Ia hanya
berpesan kepada utusan itu agar disampaikan kepada Khalid, bahawa "Aku
tidak akan merendahkan ilmu dengan membawanya ke istana. Jika hal ini
tidak berkenan di hati tuan, tuan adalah penguasa, maka keluarkanlah
larangan supaya aku tidak mengadakan majlis pengajian. Dengan begitu,
aku mempunyai alas an di sisi Allah kelak pada hari kiamat, bahawa
sebenarnya aku tidak menyembunyikan ilmu." Mendapat jawaban seperti itu,
sang penguasa naik pitam, ia memerintahkan orang-orangnya agar
melancarkan hasutan yang dapat memojokkan Imam Bukhari. Dengan demikian
ia mempunyai alas an untuk mengusir Imam Bukhari. Tak lama kemudian Imam
Bukhari pun diusir dari negerinya sendiri, Bukhara.
Imam Bukhari,
kemudian mendo'akan tidak baik atas Khalid yang telah mengusirnya secara
tidak sah. Belum sebulan berlalu, Ibn Tahir memerintahkan agar Khalid
bin Ahmad dijatuhi hukuman, dipermalukan di depan umum dengan menungang
himar betina. Maka hidup sang penguasa yang dhalim kepada Imam Bukhari
itu berakhir dengan kehinaan dan dipenjara.
Kewafatannya
Imam
Bukhari tidak saja mencurahkan seluruh intelegensi dan daya ingatnnya
yang luar biasa itu pada karya tulisnya yang terpenting, Shahih Bukhari,
tetapi juga melaksanakan tugas itu dengan dedikasi dan kesalehan. Ia
selalu mandi dan berdo'a sebelum menulis buku itu. Sebahagian buku
tersebut ditulisnya di samping makan Nabi di Madinah.
Imam Durami,
guru Imam Bukhari, mengakui keluasan wawasan hadith muridnya ini: "Di
antara ciptaan Tuhan pada masanya, Imam Bukharilah agaknya yang paling
bijaksana."
Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada
Imam Bukhari yang isinya meminta ia supaya menetap di negeri mereka.
Maka kemudian ia pergi untuk memenuhi permohonan mereka. Ketika
perjalanannya sampai di Khartand, sebuah dsa kecil yang terletak dua
farsakh sebelum Samarkand, dan desa itu terdapat beberapa familinya, ia
pun singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi mereka. Tetapi di desa itu
Imam Bukhari jatuh sakit hingga menemui ajalnya.
Ia wafat pada malam
Idul Fitri tahun 256 H. (31 Agustus 870 M), dalam usia 62 tahun kurang
13 hari. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahawa jika meninggal
nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan
tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat
setempat. Jenazahnya dikebumikan lepas dzuhur, hari raya Idul Fitri,
sesudah ia melewati perjalanan hidup panjang yang penuh dengan berbagai
amal yang mulia. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya.
Guru-gurunya
Pengembaraannya
ke berbagai negeri telah mempertemukan Imam Bukhari dengan guru-guru
yang berbobot dan dapat dipercaya, yang mencapai jumlah sangat banyak.
Diceritakan bahawa dia menyatakan: "Aku menulis hadith yang diterima
dari 1.080 orang guru, yang semuanya adalah ahli hadith dan berpendirian
bahawa iman adalah ucapan dan perbuatan." Di antara guru-guru besar itu
adalah Ali ibn al-Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma'in, Muhammad
ibn Yusuf al-Faryabi, Maki ibn Ibrahim al-Bakhi, Muhammad ibn Yusuf
al-Baykandi dan Ibn Rahawaih. Guru-guru yang hadithnya diriwayatkan
dalam kitab Shahih-nya sebanyak 289 orang guru.
Murid-muridnya
Keluasan
ilmu beliau terdengar ke berbagai pelosok bumi ini sehingga tidak heran
jika begitu banyak penuntut ilmu yang mendatanginya untuk talaqqi ilmu.
Menurut Muhammad bin Yusuf Al Firabri jumlah murid yang mendengarkan
dan meriwayatkan dari beliau kitab shohih Bukhari berjumlah 90.000
orang.
Diantara murid beliau yang terkenal :
1. Abul Husain Muslim bin Hajjaj An Naisaburi (wafat 261 H); penyusun kitab Shahih Muslim
2.
Abu Isa Muhammad bin Isa Tirmidzi (wafat 279 H); penyusun kitab Jami’
atau Sunan Tirmidzi dan beliau salah seorang murid yang terdekat dengan
Imam Bukhari
3. Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib An Nasaai (wafat 303 H); penyusun kitab Al Mujtaba’ atau Sunan Nasaai
4. Abu Muhammad Abdullah bin Abdirrahman Ad Darimi (wafat 255 H); penyusun kitab Sunan Darimi
5.
Abu Abdillah Muhammad bin Nashr Al Marwazi (wafat 294 H); faqih,
hafizh, imam dan penulis beberapa kitab yang bermanfaat seperti Ta’zhim
Qadri Ash Sholah dan Qiiyam Al Lail
6. Abu Hatim Muhammad bin Idris Al Hanzhali Ar Rozi (wafat 277 H); hafizh dan salah seorang ulama al jarh wa at ta’diel.
7. Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (wafat 311 H); imamnya para imam dan penyusun kitab Shohih Ibn Khuzaimah
8.
Abu Ishaq Ibrahim bin Ishaq Al Harbi (wafat 285 H); salah seorang tokoh
ulama di zamannya yang digelari dengan Syaikhul Islam, Daraquthni
pernah mengatakan bahwa beliau disamakan dengan Imam Ahmad dari sisi
zuhud, ilmu dan wara’nya.
9. Muhammad bin Yusuf Al Firabri (wafat 330
H); salah seorang yang meriwayatkan shohih Bukhari dan riwayatnya
adalah riwayat yang paling dikenal
10. Abu Ishaq Ibrahim bin Ma’qil
An Nasafi (wafat 295 H); termasuk yang meriwayatkan shohih Bukhari
dengan sanadnya di negeri Maghrib
Keutamaan dan Keistimewaan Imam Bukhari
Kerana
kemasyhurannya sebagai seorang alim yang super jenius, sangat banyak
muridnya yang belajar dan mendengar langsung hadithnya dari dia. Tak
dapat dihitung dengan pasti berapa jumlah orang yang meriwayatkan hadith
dari Imam Bukhari, sehingga ada yang berpendapat bahawa kitab Shahih
Bukhari didengar secara langsung dari dia oleh sembilan puluh ribu
(90.000) orang (Muqaddimah Fathul-Bari, jilid 22, hal. 204). Di antara
sekian banyak muridnya yang paling menonjol adalah Muslim bin al-Hajjaj,
Tirmidzi, Nasa'i, Ibn Khuzaimah, Ibn Abu Dawud, Muhammad bin Yusuf
al-Firabri, Ibrahim bin Ma'qil al-Nasafi, Hammad bin Syakr al-Nasawi dan
Mansur bin Muhammad al-Bazdawi. Empat orang yang terakhir ini merupakan
yang paling masyhur sebagai perawi kitab Shahih Bukhari.
Dalam
bidang kekuatan hafalan, ketazaman pikiran dan pengetahuan para perawi
hadith, juga dalam bidang ilat-ilat hadith, Imam Bukhari merupakan salah
satu tanda kekuasaan (ayat) dan kebesaran Allah di muka bumi ini. Allah
telah mempercayakan kepada Bukhari dan para pemuka dan penghimpun
hadith lainnya, untuk menghafal dan menjaga sunah-sunah Nabi kita
Muhammad SAW. Diriwayatkan, bahawa Imam Bukhari berkata: "Saya hafal
hadith di luar kepala sebanyak 100.000 buah hadith shahih, dan 200.000
hadith yang tidak shahih."
Mengenai kejeniusan Imam Bukhari dapat
dibuktikan pada kisah berikut. Ketika ia tiba di Baghdad, ahli-ahli
hadith di sana berkumpul untuk menguji kemampuan dan kepintarannya.
Mereka mengambil 100 buah hadith, lalu mereka tukar-tukarkan sanad dan
matannya (diputar balikkan), matan hadith ini diberi sanad hadith lain
dan sanad hadith lain dinbuat untuk matan hadith yang lain pula. 10
orang ulama tampil dan masing-masing mengajukan pertanyaan sebanyak 10
pertanyaan tentang hadith yang telah diputarbalikkan tersebut. Orang
pertama tampil dengan mengajukan sepuluh buah hadith kepada Bukhari, dan
setiap orang itu selesai menyebutkan sebuah hadith, Imam Bukhari
menjawab dengan tegas: "Saya tidak tahu hadith yang Anda sebutkan ini."
Ia tetap memberikan jawaban serupa sampai kepada penanya yang ke
sepuluh, yang masing-masing mengajukan sepuluh pertanyaan. Di antara
hadirin yang tidak mengerti, memastikan bahawa Imam Bukhari tidak akan
mungkin mampu menjawab dengan benar pertanyaan-pertanyaan itu, sedangkan
para ulama berkata satu kepada yang lainnya: "Orang ini mengetahui apa
yang sebenarnya."
Setelah 10 orang semuanya selesai mengajukan semua
pertanyaannya yang jumlahnya 100 pertanyaan tadi, kemudian Imam Bukhari
melihat kepada penanya yang pertama dan berkata: "Hadith pertama yang
anda kemukakan isnadnya yang benar adalah begini; hadith kedua isnadnya
yang benar adalah beginii…"
Begitulah Imam Bukhari menjawab semua
pertanyaan satu demi satu hingga selesai menyebutkan sepuluh hadith.
Kemudian ia menoleh kepada penanya yang kedua, sampai menjawab dengan
selesai kemudian menoleh kepada penanya yang ketiga sampai menjawab
semua pertanyaan dengan selesai sampai pada penanya yang ke sepuluh
sampai selesai. Imam Bukhari menyebutkan satu persatu hadith-hadith yang
sebenarnya dengan cermat dan tidak ada satupun dan sedikitpun yang
salah dengan jawaban yang urut sesuai dengan sepuluh orang tadi
mengeluarkan urutan pertanyaanya. Maka para ulama Baghdad tidak dapat
berbuat lain, selain menyatakan kekagumannya kepada Imam Bukhari akan
kekuatan daya hafal dan kecemerlangan pikirannya, serta mengakuinya
sebagai "Imam" dalam bidang hadith.
Sebahagian hadirin memberikan
komentar terhadap "uji cuba kemampuan" yang menegangkan ini, ia berkata:
"Yang mengagumkan, bukanlah kerana Bukhari mampu memberikan jawaban
secara benar, tetapi yang benar-benar sangat mengagumkan ialah
kemampuannya dalam menyebutkan semua hadith yang sudah diputarbalikkan
itu secara berurutan persis seperti urutan yang dikemukakan oleh 10
orang penguji, padahal ia hanya mendengar pertanyaan-pertanyaan yang
banyak itu hanya satu kali."Jadi banyak pemirsa yang hairan dengan
kemampuan Imam Bukhari mengemukakan 100 buah hadith secara berurutan
seperti urutannya si penanya mengeluarkan pertanyaannya padahal beliau
hanya mendengarnya satu kali, ditambah lagi beliau membetulkan rawi-rawi
yang telah diputarbalikkan, ini sungguh luar biasa.
Imam Bukhari
pernah berkata: "Saya tidak pernah meriwayatkan sebuah hadith pun juga
yang diterima dari para sahabat dan tabi'in, melainkan saya mengetahui
tarikh kelahiran sebahagian besar mereka, hari wafat dan tempat
tinggalnya. Demikian juga saya tidak meriwayatkan hadith sahabat dan
tabi'in, yakni hadith-hadith mauquf, kecuali ada dasarnya yang kuketahui
dari Kitabullah dan sunah Rasulullah SAW."
Dengan kedudukannya dalam
ilmu dan kekuatan hafalannya Imam Bukhari sebagaimana telah disebutkan,
wajarlah jika semua guru, kawan dan generasi sesudahnya memberikan
pujian kepadanya. Seorang bertanya kepada Qutaibah bin Sa'id tentang
Imam Bukhari, ketika menyatakan : "Wahai para penenya, saya sudah banyak
mempelajari hadith dan pendapat, juga sudah sering duduk bersama dengan
para ahli fiqh, ahli ibadah dan para ahli zuhud; namun saya belum
pernah menjumpai orang begitu cerdas dan pandai seperti Muhammad bin
Isma'il al-Bukhari."
Imam al-A'immah (pemimpin para imam) Abu Bakar
ibn Khuzaimah telah memberikan kesaksian terhadap Imam Bukhari dengan
mengatakan: "Di kolong langit ini tidak ada orang yang mengetahui
hadith, yang melebihi Muhammad bin Isma'il." Demikian pula semua
temannya memberikan pujian. Abu Hatim ar-Razi berkata: "Khurasan belum
pernah melahirkan seorang putra yang hafal hadith melebihi Muhammad bin
Isma'il; juga belum pernah ada orang yang pergi dari kota tersebut
menuju Iraq yang melebihi kealimannya."
Al-Hakim menceritakan, dengan
sanad lengkap. Bahawa Muslim (pengarang kitab Shahih), datang kepada
Imam Bukhari, lalu mencium antara kedua matanya dan berkata: "Biarkan
saya mencium kaki tuan, wahai maha guru, pemimpin para ahli hadith dan
dokter ahli penyakit (ilat) hadith." Mengenai sanjungan diberikan ulama
generasi sesudahnya, cukup terwakili oleh perkataan al-Hafiz Ibn Hajar
yang menyatakan: "Andaikan pintu pujian dan sanjungan kepada Bukhari
masih terbuka bagi generasi sesudahnya, tentu habislah semua kertas dan
nafas. Ia bagaikan laut tak bertepi."
Imam Bukhari adalah seorang
yang berbadan kurus, berperawakan sedang, tidak terlalu tinggi juga
tidak pendek; kulitnya agak kecoklatan dan sedikit sekali makan. Ia
sangat pemalu namun ramah, dermawan, menjauhi kesenangan dunia dan cinta
akhirat. Banyak hartanya yang disedekahkan baik secara sembunyi maupun
terang-terangan, lebih-lebih untuk kepentingan pendidikan dan para
pelajar. Kepada para pelajar ia memberikan bantuan dana yang cukup
besar. Diceritakan ia pernah berkata: "Setiap bulan, saya berpenghasilan
500 dirham,semuanya dibelanjakan untuk kepentingan pendidikan. Sebab,
apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal."
Imam
Bukhari sangat hati-hati dan sopan dalam berbicara dan dalam mencari
kebenaran yang hakiki di saat mengkritik para perawi. Terhadap perawi
yang sudah jelas-jelas diketahui kebohongannya, ia cukup berkata: "Perlu
dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam
diri tentangnya." Perkataan yang tegas tentang para perawi yang tercela
ialah: "Hadithnya diingkari."
Meskipun ia sangat sopan dalam
mengkritik para perawi, namun ia banyak meninggalkan hadith yang
diriwayatkan seseorang hanya kerana orang itu diragukan. Dalam sebuah
riwayat diceritakan bahawa ia berkata: "Saya meninggalkan 10.000 hadith
yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan, dan
meninggalkan pula jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatkan perawi
yang dalam pandanganku, perlu dipertimbangkan."
Selain dikenal
sebagai ahli hadith, Imam Bukhari juga sebenarnya adalah ahli dalam
fiqh. Dalam hal mengeluarkan fatwa, ia telah sampai pada darjat mujtahid
mustaqiil (bebas, tidak terikat pendapatnya pada madzhab-madzhab
tertentu) atau dapat mengeluarkan hukum secara sendirian. Dia mempunyai
pendapat-pendapat hukum yang digalinya sendiri. Pendapat-pendapatnya itu
terkadang sejalan dengan madzhab Abu Hanifah, terkadang sesuai dengan
Madzhab Syafi'i dan kadang-kadang berbeda dengan keduanya. Selain itu
pada suatu saat ia memilih madzhab Ibn Abbas, dan disaat lain memilih
madzhab Mujahid dan 'Ata dan sebagainya. Jadi kesimpulannya adalah Imam
Bukhari adalah seorang ahli hadith yang ulung dan ahli fiqh yg
berijtihad sendiri, kendatipun yang lebih menonjol adalah setatusnya
sebagai ahli hadith, bukan sebagai ahli fiqh.
Di sela-sela
kesibukannya sebagai seorang alim, ia juga tidak melupakan kegiatan lain
yang dianggap penting untuk menegakkan Dinul Islam. Imam Bukhari sering
belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan bahawa sepanjang
hidupnya, ia tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali.
Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunah Rasul yang mendorong dan
menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat
perang lainnya. Tujuannya adalah untuk memerangi musuh-musuh Islam dan
mempertahankannya dari kejahatan mereka.
Karya-karya Imam Bukhari
Di antara hasil karya Imam Bukhari adalah sebagai berikut :
• Al-Jami' as-Shahih (Shahih Bukhari).
• Al-Adab al-Mufrad.
• At-Tarikh as-Sagir.
• At-Tarikh al-Awsat.
• At-Tarikh al-Kabir.
• At-Tafsir al-Kabir.
• Al-Musnad al-Kabir.
• Kitab al-'Ilal.
• Raf'ul-Yadain fis-Salah.
• Birril-Walidain.
• Kitab al-Asyribah.
• Al-Qira'ah Khalf al-Imam.
• Kitab ad-Du'afa.
• Asami as-Sahabah.
• Kitab al-Kuna.
Sekilas Tentang Kitab AL-JAMI' AS-SHAHIH (Shahih Bukhari)
Diceritakan,
Imam Bukhari berkata: "Aku bermimpi melihat Rasulullah SAW.;
seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang
kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada
sebahagian ahli ta'bir, ia menjelaskan bahawa aku akan menghancurkan dan
mengikis habis kebohongan dari hadith Rasulullah SAW. Mimpi inilah,
antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami'
as-Shahih."
Dalam menghimpun hadith-hadith shahih dalam kitabnya,
Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah
yang menyebabkan keshahihan hadith-hadithnya dapat
dipertanggungjawabkan. Beliau telah berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh
secara pasti keshahihan hadith-hadith yang diriwayatkannya. Beliau
senantiasa membanding-bandingkan hadith-hadith yang diriwayatkan, satu
dengan yang lain, menyaringnya dan memlih has mana yang menurutnya
paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi
hadith-hadith tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: "Aku susun
kitab Al-Jami' ini yang dipilih dari 600.000 hadith selama 16 tahun."
Dan beliau juga sangat hati-hati, hal ini dapat dilihat dari pengakuan
salah seorang muridnya bernama al-Firbari menjelaskan bahawa ia
mendengar Muhammad bin Isma'il al-Bukhari berkata: "Aku susun kitab
Al-Jami' as-Shahih ini di Masjidil Haram, dan tidaklah aku memasukkan ke
dalamnya sebuah hadith pun, kecuali sesudah aku memohonkan istikharoh
kepada Allah dengan melakukan salat dua rekaat dan sesudah aku meyakini
betul bahawa hadith itu benar-benar shahih."
Maksud pernyataan itu
ialah bahawa Imam Bukhari mulai menyusun bab-babnya dan dasar-dasarnya
di Masjidil Haram secara sistematis, kemudian menulis pendahuluan dan
pokok-pokok bahasannya di Rawdah tempat di antara makan Nabi SAW. dan
mimbar. Setelah itu, ia mengumpulkan hadith-hadith dan menempatkannya
pada bab-bab yang sesuai. Pekerjaan ini dilakukan di Mekah, Madinah
dengan tekun dan cermat, menyusunnya selama 16 tahun.
Dengan usaha
seperti itu, maka lengkaplah bagi kitab tersebut segala faktor yang
menyebabkannya mencapai kebenaran, yang nilainya tidak terdapat pada
kitab lain. Kerananya tidak menghairankan bila kitab itu mempunyai
kedudukan tinggi dalam hati para ulama. Maka sungguh tepatlah ia
mendapat predikat sebagai "Buku Hadith Nabi yang Paling Shahih."
Diriwayatkan
bahawa Imam Bukhari berkata: "Tidaklah ku masukkan ke dalam kitab
Al-Jami' as-Shahih ini kecuali hadith-hadith yang shahih; dan ku
tinggalkan banyak hadith shahih kerana khawatir membosankan."
Kesimpulan
yang diperoleh para ulama, setelah mengadakan penelitian secara cermat
terhadap kitabnya, menyatakan bahawa Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya
selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan yang paling tinggi, dan
tidak turun dari tingkat tersebut kecuali dalam beberapa hadith yang
bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab, seperti hadith mutabi dan
hadith syahid, dan hadith-hadith yang diriwayatkan dari sahabat dan
tabi'in.
Jumlah Hadith Kitab Al-Jami'as-Shahih (Shahih Bukhari)
Al-'Allamah
Ibnus-Salah dalam Muqaddimah-nya menyebutkan, bahawa jumlah hadith
Shahih Bukhari sebanyak 7.275 buah hadith, termasuk hadith-hadith yang
disebutnya berulang, atau sebanyak 4.000 hadith tanpa pengulangan.
Perhitungan ini diikuti oleh Al-"Allamah Syaikh Muhyiddin an-Nawawi
dalam kitabnya, At-Taqrib.
Selain pendapat tersebut di atas, Ibn
Hajar di dalam muqaddimah Fathul-Bari, kitab syarah Shahih Bukhari,
menyebutkan, bahawa semua hadith shahih mawsil yang termuat dalam Shahih
Bukhari tanpa hadith yang disebutnya berulang sebanyak 2.602 buah
hadith. Sedangkan matan hadith yang mu'alaq namun marfu', yakni hadith
shahih namun tidak diwasalkan (tidak disebutkan sanadnya secara
sambung-menyambung) pada tempat lain sebanyak 159 hadith. Semua hadith
Shahih Bukhari termasuk hadith yang disebutkan berulang-ulang sebanyak
7.397 buah. Yang mu'alaq sejumlah 1.341 buah, dan yang mutabi' sebanyak
344 buah hadith. Jadi, berdasarkan perhitungan ini dan termasuk yang
berulang-ulang, jumlah seluruhnya sebanyak 9.082 buah hadith. Jumlah ini
diluar haits yang mauquf kepada sahabat dan (perkataan) yang
diriwayatkan dari tabi'in dan ulama-ulama sesudahnya.
11. Imam Muslim
Penghimpun
dan penyusun hadith terbaik kedua setelah Imam Bukhari adalah Imam
Muslim. Nama lengkapnya ialah Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin
Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Ia juga mengarang kitab
As-Shahih (terkenal dengan Shahih Muslim). Ia salah seorang ulama
terkemuka yang namanya tetap dikenal hingga kini. Ia dilahirkan di
Naisabur pada tahun 206 H. menurut pendapat yang shahih sebagaimana
dikemukakan oleh al-Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya 'Ulama'ul-Amsar.
Kehidupan dan Lawatannya untuk Mencari Ilmu
Ia
belajar hadith sejak masih dalam usia dini, yaitu mulaii tahun 218 H.
Ia pergi ke Hijaz, Iraq, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya.
Dalam
lawatannya Imam Muslim banyak mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk
berguru hadith kepada mereka. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin
Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin
Mahran dan Abu 'Ansan. Di Irak ia belajar hadith kepada Ahmad bin Hambal
dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa'id bin Mansur dan
Abu Mas'Abuzar; di Mesir berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin
Yahya, dan kepada ulama ahli hadith yang lain.
Muslim berkali-kali
mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadith, dan
kunjungannya yang terakhir pada 259 H. di waktu Imam Bukhari datang ke
Naisabur, Muslim sering datang kepadanya untuk berguru, sebab ia
mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan
antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung kepada Bukhari, sehingga hal
ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam
Shahihnya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadith-hadith
yang diterima dari Az-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia
lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadith dalam Shahihnya,
yang diterimanya dari Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya
pada hemat Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke dalan
Shahihnya hadith-hadith yang diterima dari kedua gurunya itu, dengan
tetap mengakui mereka sebagai guru.
Wafatnya
Imam Muslim wafat
pada Minggu sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu
daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55
tahun.
Guru-gurunya
Selain yang telah disebutkan di atas, Muslim
masih mempunyai banyak ulama yang menjadi gurunya. Di antaranya : Usman
dan Abu Bakar, keduanya putra Abu Syaibah; Syaiban bin Farwakh, Abu
Kamil al-Juri, Zuhair bin Harb, Amr an-Naqid, Muhammad bin al-Musanna,
Muhammad bin Yassar, Harun bin Sa'id al-Ayli, Qutaibah bin Sa'id dan
lain sebagainya.
Murid-muridnya
Tidak sedikit para ulama yang
meriwayatkan hadits dari Imam Muslim. Di antaranya terdapat ulama-ulama
besar yang sederajat dengannya, seperti Abu Hafidh al-Razi, Musa bin
Harun, Ahmad bin Salamah, Abu Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu
Tawwanah al-Ishfiroyini, dan Abu Isa al-Tirmidzi. Selain ulama-ulama di
atas, yang juga tercatat sebagai murid Imam Muslim antara lain; Ahmad
bin Mubarak al-Mustamli, Abu al-Abbas Muhammad bin Ishak bin al-Siraj.
Di antara sekian banyak muridnya itu, yang paling istimewa adalah
Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan, seorang ahli fiqih lagi zahid. Ia
adalah perawat utama kitab Shahih Muslim.
Keahlian dalam Hadith
Apabila
Imam Bukhari merupakan ulama terkemuka di bidang hadith shahih,
berpengetahuan luas mengenai ilat-ilat dan seluk beluk hadith, serta
tajam kritiknya, maka Imam Muslim adalah orang kedua setelah Imam
Bukhari, baik dalam ilmu dan pengetahuannya maupun dalam keutamaan dan
kedudukannya.
Imam Muslim banyak menerima pujian dan pengakuan dari
para ulama ahli hadith maupun ulama lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi
berketa, "Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, memperhatikan ilmunya
dan menempuh jalan yang dilaluinya." Pernyataan ini tidak bererti bahawa
Muslim hanyalah seorang pengekor. Sebab, ia mempunyai ciri khas dan
karakteristik tersendiri dalam menyusun kitab, serta metode baru yang
belum pernah diperkenalkan orang sebelumnya.
Abu Quraisy al-Hafiz
menyatakan bahawa di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang
hadith hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Muslim
(Tazkiratul Huffaz, jilid 2, hal. 150). Maksud perkataan tersebut adalah
ahli-ahli hadith terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy, sebab ahli
hadith itu cukup banyak jumlahnya.
Karya-karya Imam Muslim
Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya :
• Al-Jami' as-Shahih (Shahih Muslim).
• Al-Musnadul Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadith).
• Kitabul-Asma' wal-Kuna.
• Kitab al-'Ilal.
• Kitabul-Aqran.
• Kitabu Su'alatihi Ahmad bin Hambal.
• Kitabul-Intifa' bi Uhubis-Siba'.
• Kitabul-Muhadramin.
• Kitabu man Laisa lahu illa Rawin Wahid.
• Kitab Auladis-Sahabah.
• Kitab Awhamil-Muhadditsin.
Kitab Shahih Muslim
Di
antara kitab-kitab di atas yang paling agung dan sangat bermanfat luas,
serta masih tetap beredar hingga kini ialah Al-Jami' as-Shahih,
terkenal dengan Shahih Muslim. Kitab ini merupakan salah satu dari dua
kitab yang paling shahih dan murni sesudah Kitabullah. Kedua kitab
Shahih ini diterima baik oleh segenap umat Islam.
Imam Muslim telah
mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari keadaan
para perawi, menyaring hadith-hadith yang diriwayatkan, membandingkan
riwayat-riwayat itu satu sama lain. Muslim sangat teliti dan hati-hati
dalam menggunakan lafaz-lafaz, dan selalu memberikan isyarat akan adanya
perbedaan antara lafaz-lafaz itu. Dengan usaha yang sedeemikian rupa,
maka lahirlah kitab Shahihnya.
Bukti konkrit mengenai keagungan kitab
itu ialah suatu kenyataan, di mana Muslim menyaring isi kitabnya dari
ribuan riwayat yang pernah didengarnya. Diceritakan, bahawa ia pernah
berkata: "Aku susun kitab Shahih ini yang disaring dari 300.000 hadith."
Diriwayatkan
dari Ahmad bin Salamah, yang berkata : "Aku menulis bersama Muslim
untuk menyusun kitab Shahihnya itu selama 15 tahun. Kitab itu berisi
12.000 buah hadith.
Dalam pada itu, Ibn Salah menyebutkan dari Abi
Quraisy al-Hafiz, bahawa jumlah hadith Shahih Muslim itu sebanyak 4.000
buah hadith. Kedua pendapat tersebut dapat kita kompromikan, yaitu
bahawa perhitungan pertama memasukkan hadith-hadith yang berulang-ulang
penyebutannya, sedangkan perhitungan kedua hanya menghitung
hadith-hadith yang tidak disebutkan berulang.
Imam Muslim berkata di
dalam Shahihnya: "Tidak setiap hadith yang shahih menurutku, aku
cantumkan di sini, yakni dalam Shahihnya. Aku hanya mencantumkan
hadith-hadith yang telah disepakati oleh para ulama hadith."
Imam
Muslim pernah berkata, sebagai ungkapan gembira atas karunia Tuhan yang
diterimanya: "Apabila penduduk bumi ini menulis hadith selama 200 tahun,
maka usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar kitab musnad
ini."
Ketelitian dan kehati-hatian Muslim terhadap hadith yang
diriwayatkan dalam Shahihnya dapat dilihat dari perkataannya sebagai
berikut : "Tidaklah aku mencantumkan sesuatu hadith dalam kitabku ini,
melainkan dengan alasan; juga tiada aku menggugurkan sesuatu hadith
daripadanya melainkan dengan alas an pula."
Imam Muslim di dalam
penulisan Shahihnya tidak membuat judul setiap bab secara terperinci.
Adapun judul-judul kitab dan bab yang kita dapati pada sebahagian naskah
Shahih Muslim yang sudah dicetak, sebenarnya dibuat oleh para pengulas
yang datang kemudian. Di antara pengulas yang paling baik membuatkan
judul-judul bab dan sistematika babnya adalah Imam Nawawi dalam
Syarahnya.
12. Imam Abu Dawud
Setelah Imam Bukhari dan Imam
Muslim, kini giliran Imam Abu Dawud yang juga merupakan tokoh kenamaan
ahli hadith pada zamannya. Kealiman, kesalihan dan kemuliaannya semerbak
mewangi hingga kini.
Abu Dawud nama lengkapnya ialah Sulaiman bin
al-Asy'as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin 'Amr al-Azdi as-Sijistani,
seorang imam ahli hadith yang sangat teliti, tokoh terkemuka para ahli
hadith setelah dua imam hadith Bukhari dan Muslim serta pengarang kitab
Sunan. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.
Perkembangan dan Perlawatannya
Sejak
kecilnya Abu Dawud sudah mencintai ilmu dan para ulama, bergaul dengan
mereka untuk dapat mereguk dan menimba ilmunya. Belum lagi mencapai usia
dewasa, ia telah mempersiapkan dirinya untuk mengadakan perlawatan,
mengelilingi berbagai negeri. Ia belajar hadith dari para ulama yang
tidak sedikit jumlahnya, yang dijumpainya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak,
Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri-negeri lain. Perlawatannya ke
berbagai negeri ini membantu dia untuk memperoleh pengetahuan luas
tentang hadith, kemudian hadith-hadith yang diperolehnya itu disaring
dan hasil penyaringannya dituangkan dalam kitab As-Sunan. Abu Dawud
mengunjungi Baghdad berkali-kali. Di sana ia mengajarkan hadith dan fiqh
kepada para penduduk dengan memakai kitab Sunan sebagai pegangannya.
Kitab Sunan karyanya itu diperlihatkannya kepada tokoh ulama hadith,
Ahmad bin Hanbal.
Dengan bangga Imam Ahmad memujinya sebagai kitab
yang sangat indah dan baik. Kemudian Abu Dawud menetap di Basrah atas
permintaan gubernur setempat yang menghendaki supaya Basrah menjadi
"Ka'bah" bagi para ilmuwan dan peminat hadith.
Guru-gurunya
Para
ulama yang menjadi guru Imam Abu Dawud banyak jumlahnya. Di antaranya
guru-guru yang paling terkemuka ialah Ahmad bin Hanbal, al-Qa'nabi, Abu
'Amr ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raja', Abu'l Walid
at-Tayalisi dan lain-lain. Sebahagian gurunya ada pula yang menjadi guru
Imam Bukhari dan Imam Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abi
Syaibah dan Qutaibah bin Sa'id.
Murid-muridnya (Para Ulama yang Mewarisi Hadithnya)
Ulama-ulama
yang mewarisi hadithnya dan mengambil ilmunya, antara lain Abu 'Isa
at-Tirmidzi, Abu Abdur Rahman an-Nasa'i, putranya sendiri Abu Bakar bin
Abu Dawud, Abu Awanah, Abu Sa'id al-A'rabi, Abu Ali al-Lu'lu'i, Abu
Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa'id al-Jaldawi dan lain-lain.
Cukuplah
sebagai bukti pentingnya Abu Dawud, bahawa salah seorang gurunya, Ahmad
bin Hanbal pernah meriwayatkan dan menulis sebuah hadith yang diterima
dari padanya. Hadith tersebut ialah hadith yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud, dari Hammad bin Salamah dari Abu Ma'syar ad-Darami, dari ayahnya,
sebagai berikut: "Rasulullah SAW. ditanya tentang 'atirah, maka ia
menilainya baik."
Akhlak dan Sifat-sifatnya yang Terpuji
Abu Dawud
adalah salah seorang ulama yang mengamalkan ilmunya dan mencapai darjat
tinggi dalam ibadah, kesucian diri, wara' dan kesalehannya. Ia adalah
seorang sosok manusia utama yang patut diteladani perilaku, ketenangan
jiwa dan keperibadiannya. Sifat-sifat Abu Dawud ini telah diungkapkan
oleh sebahagian ulama yang menyatakan:
“Abu Dawud menyerupai Ahmad
bin Hanbal dalam perilakunya, ketenangan jiwa dan kebagusan pandangannya
serta keperibadiannya. Ahmad dalam sifat-sifat ini menyerupai Waki',
Waki menyerupai Sufyan as-Sauri, Sufyan menyerupai Mansur, Mansur
menyerupai Ibrahim an-Nakha'i, Ibrahim menyerupai 'Alqamah dan ia
menyerupai Ibn Mas'ud. Sedangkan Ibn Mas'ud sendiri menyerupai Nabi SAW
dalam sifat-sifat tersebut.”
Sifat dan keperibadian yang mulia seperti ini menunjukkan atas kesempurnaan keberagamaan, tingkah laku dan akhlak.
Abu
Dawud mempunyai pandangan dan falsafah sendiri dalam cara berpakaian.
Salah satu lengan bajunya lebar namun yang satunya lebih kecil dan
sempit. Seseorang yang melihatnya bertanya tentang kenyentrikan ini, ia
menjawab:
"Lengan baju yang lebar ini digunakan untuk membawa
kitab-kitab, sedang yang satunya lagi tidak diperlukan. Jadi, kalau
dibuat lebar, hanyalah berlebih-lebihan.
Pujian Para Ulama Kepadanya
Abu
Dawud adalah juga merupakan "bendera Islam" dan seorang hafiz yang
sempurna, ahli fiqh dan berpengetahuan luas terhadap hadith dan
ilat-ilatnya. Ia memperoleh penghargaan dan pujian dari para ulama,
terutama dari gurunya sendiri, Ahmad bin Hanbal. Al-Hafiz Musa bin Harun
berkata mengenai Abu Dawud:
"Abu Dawud diciptakan di dunia hanya
untuk hadith, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak melihat orang yang
lebih utama melebihi dia."
Sahal bin Abdullah At-Tistari, seorang
yang alim mengunjungi Abu Dawud. Lalu dikatakan kepadanya: "Ini adalah
Sahal, datang berkunjung kepada tuan."
Abu Dawud pun menyambutnya
dengan hormat dan mempersilahkan duduk. Kemudian Sahal berkata: "Wahai
Abu Dawud, saya ada keperluan keadamu." Ia bertanya: "Keperluan apa?"
"Ya, akan saya utarakan nanti, asalkan engkau berjanji akan memenuhinya
sedapat mungkin," jawab Sahal. "Ya, aku penuhi maksudmu selama aku
mampu," tandan Abu Dawud. Lalu Sahal berkata: "Jujurkanlah lidahmu yang
engkau pergunakan untuk meriwayatkan hadith dari Rasulullah SAW.
sehingga aku dapat menciumnya." Abu Dawud pun lalu menjulurkan lidahnya
yang kemudian dicium oleh Sahal.
Ketika Abu Dawud menyusun kitab
Sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang ulama ahli hadith berkata: "Hadith
telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan bagi Nabi
Dawud." Ungkapan ini adalah kata-kata simbolik dan perumpamaan yang
menunjukkan atas keutamaan dan keunggulan seseorang di bidang penyusunan
hadith. Ia telah mempermudah yang sulit, mendekatkan yang jauh dan
memudahkan yang masih rumit dan pelik.
Abu Bakar al-Khallal, ahli
hadith dan fiqh terkemuka yang bermadzhab Hanbali, menggambarkan Abu
Dawud sebagai berikut; Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'as, imam terkemuka
pada zamannya adalah seorang tokoh yang telah menggali beberapa bidang
ilmu dan mengetahui tempat-tempatnya, dan tiada seorang pun pada masanya
yang dapat mendahului atau menandinginya. Abu Bakar al-Asbihani dan Abu
Bakar bin Sadaqah senantiasa menyinggung-nyingung Abu Dawud kerana
ketinggian darjatnya, dan selalu menyebut-nyebutnya dengan pujian yang
tidak pernah mereka berikan kepada siapa pun pada masanya.
Madzhab Fiqh Abu Dawud
Syaikh
Abu Ishaq asy-Syairazi dalam asy-Syairazi dalam Tabaqatul-Fuqaha-nya
menggolongkan Abu Dawud ke dalam kelompok murid-murid Imam Ahmad.
Demikian juga Qadi Abu'l-Husain Muhammad bin al-Qadi Abu Ya'la (wafat
526 H) dalam Tabaqatul-Hanabilah-nya. Penilaian ini nampaknya disebabkan
oleh Imam Ahmad merupakan gurunya yang istimewa. Menurut satu pendapat,
Abu Dawud adalah bermadzhab Syafi'i.
Menurut pendapat yang lain, ia
adalah seorang mujtahid sebagaimana dapat dilihat pada gaya susunan dan
sistematika Sunan-nya. Terlebih lagi bahawa kemampuan berijtihad
merupakan salah satu sifat khas para imam hadith pada masa-masa awal.
Tanggal Wafatnya
Setelah
mengalami kehidupan penuh berkat yang diisi dengan aktivitas ilmia,
menghimpun dan menyebarluaskan hadith, Abu Dawud meninggal dunia di
Basrah yang dijadikannya sebagai tempat tinggal atas permintaan Amir
sebagaimana telah diceritakan. Ia wafat pada tanggal 16 Syawwal 275
H/889M. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan ridha-Nya
kepadanya.
Karya-karyanya
Imam Abu Dawud banyak memiliki karya, antara lain:
• Kitab AS-Sunnan (Sunan Abu Dawud).
• Kitab Al-Marasil.
• Kitab Al-Qadar.
• An-Nasikh wal-Mansukh.
• Fada'il al-A'mal.
• Kitab Az-Zuhd.
• Dala'il an-Nubuwah.
• Ibtida' al-Wahyu.
• Ahbar al-Khawarij.
Di
antara karya-karya tersebut yang paling bernilai tinggi dan masih tetap
eredar adalah kitab Amerika Serikat-Sunnan, yang kemudian terkenal
dengan nama unan Abi Dawud.
Kitab Sunan Karya Abu Dawud
Metode Abu Dawud dalam Penyusunan Sunan-nya
Karya-karya
di bidang hadith, kitab-kitab Jami' Musnad dan sebagainya disamping
berisi hadith-hadith hukum, juga memuat hadith-hadith yang berkenaan
dengan amal-amal yang terpuji (fada'il a'mal) kisah-kisah,
nasehat-nasehat (mawa'iz), adab dan tafsir. Cara demikian tetap
berlangsung sampai datang Abu Dawud. Maka Abu Dawud menyusun kitabnya,
khusus hanya memuat hadith-hadith hukum dan sunnah-sunnah yang
menyangkut hukum. Ketika selesai menyusun kitabnya itu kepada Imam Ahmad
bin Hanbal, dan Ibn Hanbal memujinya sebagai kitab yang indah dan baik.
Abu
Dawud dalam sunannya tidak hanya mencantumkan hadith-hadith shahih
semata sebagaimana yang telah dilakukan Imam Bukhari dan Imam Muslim,
tetapi ia memasukkan pula kedalamnya hadith shahih, hadith hasan, hadith
dha'if yang tidak terlalu lemah dan hadith yang tidak disepakati oleh
para imam untuk ditinggalkannya. Hadith-hadith yang sangat lemah, ia
jelaskan kelemahannya.
Cara yang ditempuh dalam kitabnya itu
dapat diketahui dari suratnya yang ia kirimkan kepada penduduk Makkah
sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan mereka mengenai kitab
Sunannya. Abu Dawud menulis sbb:
"Aku mendengar dan menulis
hadith Rasulullah SAW sebanyak 500.000 buah. Dari jumlah itu, aku
seleksi sebanyak 4.800 hadith yang kemudian aku tuangkan dalam kitab
Sunan ini. Dalam kitab tersebut aku himpun hadith-hadith shahih, semi
shahih dan yang mendekati shahih. Dalam kitab itu aku tidak mencantumkan
sebuah hadith pun yang telah disepakati oleh orang banyak untuk
ditinggalkan. Segala hadith yang mengandung kelemahan yang sangat ku
jelaskan, sebagai hadith macam ini ada hadith yang tidak shahih
sanadnya. Adapun hadith yang tidak kami beri penjelasan sedikit pun,
maka hadith tersebut bernilai salih (bias dipakai alasan, dalil), dan
sebahagian dari hadith yang shahih ini ada yang lebih shahih daripada
yang lain. Kami tidak mengetahui sebuah kitab, sesudah Qur'an, yang
harus dipelajari selain daripada kitab ini. Empat buah hadith saja dari
kitab ini sudah cukup menjadi pegangan bagi keberagaman tiap orang.
Hadith tersebut adalah, yang ertinya:
Pertama: "Segala amal itu
hanyalah menurut niatnya, dan tiap-tiap or memperoleh apa yang ia
niatkan. Kerana itu maka barang siapa berhijrah kepada Allah dan
Rasul-Nya, niscaya hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya pula. Dan barang
siapa hijrahnya kerana untuk mendapatkan dunia atau kerana perempuan
yang ingin dikawininya, maka hijrahnya hanyalah kepada apa yang dia
hijrah kepadanya itu."
Kedua: "Termasuk kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak berguna baginya."
Ketiga:
"Tidaklah seseorang beriman menjadi mukmin sejati sebelum ia merelakan
untuk saudaranya apa-apa yang ia rela untuk dirinya."
Keempat: "Yang
halal itu sudah jelas, dan yang haram pun telah jelas pula. Di antara
keduanya terdapat hal-hal syubhat (atau samar) yang tidak diketahui oleh
banyak orang. Barang siapa menghindari syubhat, maka ia telah
membersihkan agama dan kehormatan dirinya; dan barang siapa terjerumus
ke dalam syubhat, maka ia telah terjerumus ke dalam perbuatan haram,
ibarat penggembala yang menggembalakan ternaknya di dekat tempat
terlarang. Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa itu mempunyai
larangan. Ketahuilah, sesungguhnya larangan Allah adalah segala yang
diharamkan-Nya. Ingatlah, di dalam rumah ini terdapat sepotong daging,
jika ia baik, maka baik pulalah semua tubuh dan jika rusak maka rusak
pula seluruh tubuh. Ingatlah, ia itu hati."
Demikianlah penegasan Abu Dawud dalam suratnya. Perkataan Abu Dawud itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Hadith
pertama adalah ajaran tentang niat dan keikhlasan yang merupakan asas
utama bagi semua amal perbuatan diniah dan duniawiah.
Hadith kedua merupakan tuntunan dan dorongan bagi ummat Islam agar selalu melakukan setiap yang bermanfaat bagi agama dan dunia.
Hadith
ketiga, mengatur tentang hak-hak keluarga dan tetangga, berlaku baik
dalam pergaulan dengan orang lain, meninggalkan sifat-sifat egoistis,
dan membuang sifat iri, dengki dan benci, dari hati masing-masing.
Hadith
keempat merupakan dasar utama bagi pengetahuan tentang halal haram,
serta cara memperoleh atau mencapai sifat wara', yaitu dengan cara
menjauhi hal-hal musykil yang samar dan masih dipertentangkan status
hukumnya oleh para ulama, kerana untuk menganggap enteng melakukan
haram.
Dengan hadith ini nyatalah bahawa keempat hadith di atas, secara umum, telah cukup untuk membawa dan menciptakan kebahagiaan.
Komentar Para Ulama Mengenai Kedudukan Kitab Sunan Abu Dawud
Tidak
sedikit ulama yang memuji kitab Sunan ini. Hujatul Islam, Imam Abu
Hamid al-Ghazali berkata: "Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para
mujtahid untuk mengetahui hadith-hadith ahkam." Demikian juga dua imam
besar, An-Nawawi dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah memberikan pujian
terhadap kitab Sunan ini bahkan beliau menjadikan kitab ini sebagai
pegangan utama di dalam pengambilan hukum.
Hadith-hadith Sunan Abu Dawud yang Dikritik
Imam
Al-Hafiz Ibnul Jauzi telah mengkritik beberapa hadith yang dicantumkan
oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan memandangnya sebagai hadith-hadith
maudhu’ (palsu). Jumlah hadith tersebut sebanyak 9 buah hadith. Walaupun
demikian, disamping Ibnul Jauzi itu dikenal sebagai ulama yang terlalu
mudah memvonis "palsu", namun kritik-kritik telah ditanggapi dan
sekaligus dibantah oleh sebahagian ahli hadith, seperti Jalaluddin
as-Suyuti. Dan andaikata kita menerima kritik yang dilontarkan Ibnul
Jauzi tersebut, maka sebenarnya hadith-hadith yang dikritiknya itu
sedikit sekali jumlahnya, dan hampir tidak ada pengaruhnya terhadap
ribuan hadith yang terkandung di dalam kitab Sunan tersebut. Kerana itu
kami melihat bahawa hadith-hadith yang dikritik tersebut tidak
mengurangi sedikit pun juga nilai kitab Sunan sebagai referensi utama
yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahanya.
Jumlah Hadith Sunan Abu Dawud
Di
atas telah disebutkan bahawa isi Sunan Abu Dawud itu memuat hadith
sebanyak 4.800 buah hadith. Namun sebahagian ulama ada yang
menghitungnya sebanyak 5.274 buah hadith. Perbedaan jumlah ini
disebabkan bahawa sebahagian orang yang menghitungnya memandang sebuah
hadith yang diulang-ulang sebagai satu hadith, namun yang lain
menganggapnya sebagai dua hadith atau lebih. Dua jalan periwayatan
hadith atau lebih ini telah dikenal di kalangan ahli hadith.
Abu
Dawud membagi kitab Sunannya menjadi beberapa kitab, dan tiap-tiap kitab
dibagi pula ke dalam beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah, di
antaranya ada 3 kitab yang tidak dibagi ke dalam bab-bab. Sedangkan
jumlah bab sebanyak 1,871 buah bab.
13. Imam Tirmidzi
Setelah Imam
Bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Dawud, kini giliran Imam Tirmidzi,
juga merupakan tokoh ahli hadith dan penghimpun hadith yang terkenal.
Karyanya yang masyhur yaitu Kitab Al-Jami’ (Jami’ At-Tirmidzi). Ia juga
tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadith)
dan ensiklopedia hadith terkenal.
Imam al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin
‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak Amerika Serikat-Sulami
at-Tirmidzi, salah seorang ahli hadith kenamaan, dan pengarang berbagai
kitab yang masyhur lahir pada 279 H di kota Tirmiz.
Perkembangan dan Lawatannya
Kakek
Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz
dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan.
Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari
hadith. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz,
Iraq, Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak
mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadith untuk mendengar
hadith yang kem dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau
ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan
tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah.
Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.
Setelah menjalani perjalanan
panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta
mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan
beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan
seperti inilah akhirnya at-Tirmidzi meninggaol dunia. Ia wafat di Tirmiz
pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.
Guru-gurunya
Ia
belajar dan meriwayatkan hadith dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya
adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadith dan fiqh. Juga ia
belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmidzi belajar pula
hadith dari sebahagian guru mereka.
Guru lainnya ialah Qutaibah bin
Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur
Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad
bin al-Musanna dan lain-lain.
Murid-muridnya
Hadith-hadith dan
ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya
ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir,
‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad
bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang
meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.
Kekuatan Hafalannya
Abu
‘Isa at-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadith,
kesalehan dan ketaqwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat
dipercayai, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan
cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu
Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu
Dawud, yang berkata:
“Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmidzi
berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu
saya telah menulis dua jilid berisi hadith-hadith yang berasal dari
seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya
bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahawa dialah orang yang ku
maksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahawa “dua jilid
kitab” itu ada padaku. Ternyata yang ku bawa bukanlah dua jilid
tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya
telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadith,
dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadith yang
dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat
bahawa kertas yang ku pegang masih putih bersih tanpa ada tulisan
sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah
engkau malu kepadaku?’ Lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya
bahawa apa yang ia bacakan itu telah ku hafal semuanya. ‘Cuba bacakan!’
suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia
bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’
‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan
hadith yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadith
yang tergolong hadith-hadith yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Cuba
ulangi apa yang ku bacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama
sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang
seperti engkau.”
Pandangan Para Kritikus Hadith Terhadapnya
Para
ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan
dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus
hadith, menggolangkan Tirmidzi ke dalam kelompok “Tsiqah” atau
orang-orang yang dapat dipercayai dan kukuh hafalannya, dan berkata:
"Tirmidzi
adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadith, menyusun kitab,
menghafal hadith dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama.”
Abu
Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadith menerangkan; Muhammad
bin ‘Isa at-Tirmidzi adalah seorang penghafal dan ahli hadith yang baik
yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab
Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadith-hadithnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan
banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya,
seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu luas.
Kitabnya Al-Jami’us Shahih sebagai bukti atas keagungan darjatnya,
keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadith
yang sangat mendalam.
Fiqh Tirmidzi dan Ijtihadnya
Imam
Tirmidzi, di samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadith yang
mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, ia juga dikenal
sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas. Barang siapa
mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan
kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya
mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat
berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya.
Salah satu contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadith mengenai
penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah
mampu, sebagai berikut:
“Muhammad bin Basysyar bin Mahdi
menceritakan kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi
az-Zunad, dari al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda:
‘Penangguhan membayar hutang yang dilakukan oleh si berhutang) yang
mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu
dipindahkan hutangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah
pemindahan hutang itu diterimanya.”
Imam Tirmidzi memberikan penjelasan sebagai berikut:
Sebahagian
ahli ilmu berkata: “Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada
orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka
bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang
dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.”
Diktum ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
Sebahagian ahli
ilmu yang lain berkata: “Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi
disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut
bayar kepada orang pertama (muhil).”
Mereka memakai ala an dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan: “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim.”
Menurut
Ishak, maka perkataan “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang
Muslim” ini adalah “Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada
orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak
mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang
dipindahkan utangnya) itu.”
Itulah salah satu contoh yang
menunjukkan kepada kita, bahawa betapa cemerlangnya pemikiran fiqh
Tirmidzi dalam memahami nas-nas hadith, serta betapa luas dan orisinal
pandangannya itu.
Karya-karyanya
Imam Tirmidzi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya:
• Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi.
• Kitab Al-‘Ilal.
• Kitab At-Tarikh.
• Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah.
• Kitab Az-Zuhd.
• Kitab Al-Asma’ wal-kuna.
Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.
Sekilas tentang Al-Jami’
Kitab
ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmidzi terbesar dan paling
banyak manfaatnya. Ia tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab
Pokok Bidang Hadith) dan ensiklopedia hadith terkenal. Al-Jami’ ini
terkenal dengan nama Jami’ Tirmidzi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang
juga terkenal dengan nama Sunan Tirmidzi. Namun nama pertamalah yang
popular.
Sebahagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar
as-Shahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Shahih
Tirmidzi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.
Setelah
selesai menyususn kitab ini, Tirmidzi memperlihatkan kitabnya kepada
para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia
menerangkan: “Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab
tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasa, dan mereka semuanya
meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu
berbicara.”
Imam Tirmidzi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya
meriwayatkan hadith shahih semata, tetapi juga meriwayatkan
hadith-hadith hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan
kelemahannya.
Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya
itu, kecuali hadith-hadith yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh
ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar.
Oleh kerananya, ia meriwayatkan semua hadith yang memiliki nilai
demikian, baik jalan periwayatannya itu shahih ataupun tidak shahih.
Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan
setiap hadith.
Diriwayatkan, bahawa ia pernah berkata: “Semua hadith
yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan.” Oleh kerana itu,
sebahagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali
dua buah hadith, yaitu:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak
shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab
“takut” dan “dalam perjalanan.”
“Jika ia peminum khamar – minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.”
Hadith
ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan
mengenai shalat jamak dalam hadith di atas, para ulama berbeda pendapat
atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebahagian besar ulama
berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama
tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibn Sirin dan
Asyab serta sebahagian besar ahli fiqh dan ahli hadith juga Ibn Munzir.
Hadith-hadith
da’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya
menyangkut fadha’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan
kebajikan). Hal itu dapat dimengerti kerana persyaratan-persyaratan bagi
(meriwayatkan dan mengamalkan) hadith semacam ini lebih longgar
dibandingkan dengan persyaratan bagi hadith-hadith tentang halal dan
haram.
14. Imam Nasa'i
Imam Nasa'i juga merupakan tokoh ulama
kenamaan ahli hadith pada masanya. Selain Shahih Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami' At-Tirmidzi, juga karya besar Imam
Nasa'i, Sunan us-Sughra termasuk jajaran kitab hadith pokok yang dapat
dipercayai dalam pandangan ahli hadith dan para kritikus hadith.
Ia
adalah seorang imam ahli hadith syaikhul Islam sebagaimana diungkapkan
az-Zahabi dalam Tazkirah-nya Abu 'Abdurrahman Ahmad bin 'Ali bin Syu'aib
'Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasani al-Qadi, pengarang kitab Sunan dan
kitab-kitab berharga lainnya. Juga ia adalah seorang ulama hadith yang
jadi ikutan dan ulama terkemuka melebihi para ulama yang hidup pada
zamannya.
Dilahirkan di sebuah tempat bernama Nasa' pada tahun 215 H. Ada yang mengatakan pada tahun 214 H.
Pengembaraannya
Ia
lahir dan tumbuh berkembang di Nasa', sebuah kota di Khurasan yang
banyak melahirkan ulama-ulama dan tokoh-tokoh besar. Di madrasah negeri
kelahirannya itulah ia menghafal Al-Qur'an dan dari guru-guru negerinya
ia menerima pelajaran ilmu-ilmu agama yang pokok. Setelah meningkat
remaja, ia senang mengembara untuk mendapatkan hadith. Belum lagi
berusia 15 tahun, ia berangkat mengembara menuju Hijaz, Iraq, Syam,
Mesir dan Jazirah. Kepada ulama-ulama negeri tersebut ia belajar hadith,
sehingga ia menjadi seorang yang sangat terkemuka dalam bidang hadith
yang mempunyai sanad yang 'Ali (sedikit sanadnya) dan dalam bidang
kekuatan periwayatan hadith.
Nasa'i merasa cocok tinggal di Mesir.
Kerananya, ia kemudian menetap di negeri itu, di jalan Qanadil. Dan
seterusnya menetap di kampung itu hingga setahun menjelang wafatnya.
Kemudian ia berpindah ke Damsyik. Di tempatnya yang baru ini ia
mengalami suatu peristiwa tragis yang menyebabkan ia menjadi syahid.
Alkisah, ia dimintai pendapat tentang keutamaan Mu'awiyyah r.a. Tindakan
ini seakan-akan mereka minta kepada Nasa'i agar menulis sebuah buku
tentang keutamaan Mu'awiyyah, sebagaimana ia telah menulis mengenai
keutamaan Ali r.a.
Oleh kerana itu ia menjawab kepada penanya
tersebut dengan "Tidakkah Engkau merasa puas dengan adanya kesamaan
darjat (antara Mu'awiyyah dengan Ali), sehingga Engkau merasa perlu
untuk mengutamakannya?" Mendapat jawaban seperti ini mereka naik pitam,
lalu memukulinya sampai-sampai buah kemaluannya pun dipukul, dan
menginjak-injaknya yang kemudian menyeretnya keluar dari masjid,
sehingga ia nyaris menemui kematiannya.
Wafatnya
Tidak ada
kesepakatan pendapat tentang di mana ia meninggal dunia. Imam Daraqutni
menjelaskan, bahawa di saat mendapat cubaan tragis di Damsyik itu ia
meminta supaya dibawa ke Makkah. Permohonannya ini dikabulkan dan ia
meninggal di Makkah, kemudian dikebumikan di suatu tempat antara Safa
dan Marwah. Pendapat yang sama dikemukakan pula oleh Abdullah bin Mandah
dari Hamzah al-'Uqbi al-Misri dan ulama yang lain.
Imam az-Zahabi
tidak sependapat dengan pendapat di atas. Menurutnya yang benar ialah
bahawa Nasa'i meningal di Ramlah, suatu tempat di Palestina. Ibn Yunus
dalam Tarikhnya setuju dengan pendapat ini, demikian juga Abu Ja'far
at-Tahawi dan Abu Bakar bin Naqatah. Selain pendapat ini menyatakan
bahawa ia meninggal di Ramlah, tetapi yang jelas ia dikebumikan di
Baitul Maqdis. Ia wafat pada tahun 303 H.
Sifat-sifatnya
Ia
bermuka tampan. Warna kulitnya kemerah-merahan dan ia senang mengenakan
pakaian garis-garis buatan Yaman. Ia adalah seorang yang banyak
melakukan ibadah, baik di waktu malam atau siang hari, dan selalu
beribadah haji dan berjihad.
Ia sering ikut bertempur bersama-sama
dengan gabenor Mesir. Mereka mengakui kesatriaan dan keberaniannya,
serta sikap konsistensinya yang berpegang teguh pada sunnah dalam
menangani masalah penebusan kaum Muslimin yang tetangkap lawan. Dengan
demikian ia dikenal senantiasa "menjaga jarak" dengan majlis sang Amir,
padahal ia tidak jarang ikut bertempur besamanya. Demikianlah. Maka,
hendaklah para ulama itu senantiasa menyebar luaskan ilmu dan
pengetahuan. Namun ada panggilan untuk berjihad, hendaklah mereka segera
memenuhi panggilan itu. Selain itu, Nasa'i telah mengikuti jejak Nabi
Dawud, sehari puasa dan sehari tidak.
Fiqh Nasa'i
Ia tidak saja
ahli dan hafal hadith, mengetahui para perawi dan kelemahan-kelemahan
hadith yang diriwayatkan, tetapi ia juga ahli fiqh yang berwawasan luas.
Imam
Daraqutni pernah berkata mengenai Nasa'i bahawa ia adalah salah seorang
Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang fiqh pada masanya dan
paling mengetahui tentang hadith dan perawi-perawi.
Ibnul Asirr
al-Jazairi menerangkan dalam mukadimah Jami'ul Usul-nya, bahawa Nasa'i
bermazhab Syafi'i dan ia mempunyai kitab Manasik yang ditulis
berdasarkan mazhab Safi'i, rahimahullah.
Karya-karyanya
Imam Nasa'i telah menusil beberapa kitab besar yang tidak sedikit jumlahnya. Di antaranya:
• As-Sunan ul-Kuba.
• As-Sunan us-Sughra, tekenal dengan nama Al-Mujtaba.
• Al-Khasa'is.
• Fada'ilus-Sahabah.
• Al-Manasik.
Di antara karya-karya tersebut, yang paling besar dan bemutu adalah Kitab As-Sunan.
Sekilas tentang Sunan An-Nasa'i
Nasa'i
menerima hadith dari sejumlah guru hadith terkemuka. Di antaranya ialah
Qutaibah Imam Nasa'i Sa'id. Ia mengunjungi kutaibah ketika berusia 15
tahun, dan selama 14 bulan belajar di bawah asuhannya. Guru lainnya
adalah Ishaq bin Rahawaih, al-Haris bin Miskin, 'Ali bin Khasyram dan
Abu Dawud penulis as-Sunan, serta Tirmidzi, penulis al-Jami'.
Hadith-hadithnya
diriwayatkan oleh para ulama yang tidak sedikit jumlahnya. Antara lain
Abul Qasim at-Tabarani, penulis tiga buah Mu'jam, Abu Ja'far at-Tahawi,
al-Hasan bin al-Khadir as-Suyuti, Muhammad bin Mu'awiyyah bin al-Ahmar
al-Andalusi dan Abu Bakar bin Ahmad as-Sunni, perawi Sunan Nasa'i.
Ketika
Imam Nasa'i selesai menyusun kitabnya, As-Sunan ul-Kubra, ia lalu
menghadiahkannya kepada Amir ar-Ramlah. Amir itu bertanya: "Apakah isi
kitab ini shahih seluruhnya?" "Ada yang shahih, ada yang hasan dan ada
pula yang hampir serupa dengan keduanya," jawabnya. "Kalau demikian,"
kata sang Amir, "Pisahkan hadith-hadith yang shahih saja." Atas
permintaan Amir ini maka Nasa'i berusaha menyeleksinya, memilih yang
shahih-shahih saja, kemudian dihimpunnya dalam suatu kitab yang
dinamakan As-Sunan us-Sughra. Dan kitab ini disusun menurut sistematika
fiqh sebagaimana kitab-kitab Sunan yang lain.
Imam Nasa'i sangat
teliti dalam menyususn kitab Sunan us-Sughra. Kerananya ulama berkata:
"Kedudukan kitab Sunan Sughra ini di bawah darjat Shahih Bukhari dan
Shahih Muslim, kerana sedikit sekali hadith dha'if yang tedapat di
dalamnya."
Oleh kerana itu, kita dapatkan bahawa hadith-hadith Sunan
Sughra yang dikritik oleh Abul Faraj ibnul al-Jauzi dan dinilainya
sebagai hadith maudhu’ kepada hadith-hadith tersebut tidak sepenuhnya
dapat diterima. As-Suyuti telah menyanggahnya dan mengemukakan pandangan
yang berbeda dengannya mengenai sebahagian besar hadith yang dikritik
itu. Dalam Sunan Nasa'i terdapat hadith-hadith shahih, hasan, dan
dha'if, hanya saja hadith yang dha'if sedikit sekali jumlahnya. Adapun
pendapat sebahagian ulama yang menyatakan bahawa isi kitab Sunan ini
shahih semuanya, adalah suatu anggapan yang terlalu sembrono, tanpa
didukung oleh penelitian mendalam. Atau maksud pernyataan itu adalah
bahawa sebahagian besar ini Sunan adalah hadith shahih.
Sunan
us-Sughra inilah yang dikategorikan sebagai salah satu kitab hadith
pokok yang dapat dipercaya dalam pandangan ahli hadith dan para kritikus
hadith. Sedangkan Sunan ul-Kubra, metode yang ditempuh Nasa'i dalam
penyusunannya adalah tidak meriwayatkan sesuatu hadith yang telah
disepakati oleh ulama kritik hadith untuk ditinggalkan.
Apabila
sesuatu hadith yang dinisbahkan kepada Nasa'i, misalnya dikatakan,
"hadith riwayat Nasa'i", maka yang dimaksudkan ialah "riwayat yang di
dalam Sunan us-Sughra, bukan Sunan ul-Kubra", kecuali yang dilakukan
oleh sebahagian kecil para penulis. Hal itu sebagaimana telah
diterangkan oleh penulis kitab 'Aunul-Ma'bud Syarhu Sunan Abi Dawud pada
bahagian akhir huraiannya: "Ketahuilah, pekataan al-Munziri dalam
Mukhtasar-nya dan perkataan al-Mizzi dalam Al-Atraf-nya, hadith ini
diriwayatkan oleh Nasa'i", maka yang dimaksudkan ialah riwayatnya dalam
As-Sunan ul-Kubra, bukan Sunan us-Sughra yang kini beredar di hampir
seluruh negeri, seperti India, Arabia, dan negeri-negeri lain. Sunan
us-Sughra ini merupakan ringkasan dari Sunan ul-Kubra dan kitab ini
hampir-hampir sulit ditemukan. Oleh kerana itu hadith-hadith yang
dikatakan oleh al-Munziri dan al-Mizzi, "diriwayatkan oleh Nasa'i"
adalah tedapat dalam Sunan ul-Kubra. Kita tidak perlu bingung dengan
tiadanya kitab ini, sebab setiap hadith yang tedapat dalam Sunan
us-Sughra, terdapat pula dalam Sunanul-Kubra dan tidak sebaliknya.
Mengakhiri
pengkajian ini, perlu ditegaskan kembali, bahawa Sunan Nasa'i adalah
salah satu kitab hadith pokok yang menjadi pegangan.
15. Imam Ibn Majah
Ibn
Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang
kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia
mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadith.
Imam Abu
Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi'i al-Qarwini, pengarang
kitab As-Sunan dan kitab-kitab bemanfaat lainnya. Kata "Majah" dalam
nama beliau adalah dengan huruf "ha" yang dibaca sukun; inilah pendapat
yang shahih yang dipakai oleh mayoritas ulama, bukan dengan "ta" (majat)
sebagaimana pendapat sementara orang. Kata itu adalah gelar ayah
Muhammad, bukan gelar kakeknya, seperti diterangkan penulis Qamus jilid
9, hal. 208. Ibn Katsr dalam Al-Bidayah wan-Nibayah, jilid 11, hal. 52.
Imam
Ibn Majah dilahirkan di Qaswin pada tahun 209 H, dan wafat pada tanggal
22 Ramadhan 273 H. Jenazahnya dishalatkan oleh saudaranya, Abu Bakar.
Sedangkan pemakamannya dilakukan oleh kedua saudaranya, Abu Bakar dan
Abdullah serta putranya, Abdullah.
Pengembaraannya
Ia berkembang
dan meningkat dewasa sebagai orang yang cinta mempelajari ilmu dan
pengetahuan, teristimewa mengenai hadith dan periwayatannya. Untuk
mencapai usahanya dalam mencari dan mengumpulkan hadith, ia telah
melakukan lawatan dan berkeliling di beberapa negeri. Ia melawat ke
Irak, Hijaz, Syam, Mesir, Kufah, Basrah dan negara-negara serta
kota-kota lainnya, untuk menemui dan berguru hadith kepada ulama-ulama
hadith. Juga ia belajar kepada murid-murid Malik dan al-Lais,
rahimahullah, sehingga ia menjadi salah seorang imam terkemuka pada
masanya di dalam bidang ilmu nabawi yang mulia ini.
Aktivitas Periwayatannya
Ia
belajar dan meriwayatkan hadith dari Abu Bakar bin Abi Syaibah,
Muhammad bin Abdullah bin Numair, Hisyam bin 'Ammar, Muhammad bin Ramh,
Ahmad bin al-Azhar, Bisyr bin Adan dan ulama-ulama besar lain.
Sedangkan
hadith-hadithnya diriwayatkan oleh Muhammad bin 'Isa al-Abhari, Abul
Hasan al-Qattan, Sulaiman bin Yazid al-Qazwini, Ibn Sibawaih, Ishak bin
Muhammad dan ulama-ulama lainnya.
Penghargaan Para Ulama Kepadanya
Abu
Ya'la al-Khalili al-Qazwini berkata: "Ibn Majah adalah seorang
kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat
dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan
luas dan banyak menghafal hadith."
Zahabi dalam Tazkiratul Huffaz,
melukiskannya sebagai seorang ahli hadith besarm mufasir, pengarang
kitab sunan dan tafsir, serta ahli hadith kenamaan negerinya.
Ibn
Kasir, seorang ahli hadith dan kritikus hadith berkata dalam
Bidayah-nya: "Muhammad bin Yazid (Ibn Majah) adalah pengarang kitab
sunan yang masyhur. Kitabnya itu merupakan bukti atas amal dan ilmunya,
keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta kredibilitas dan
loyalitasnya kepada hadith dan usul dan furu'."
Karya-karyanya
Imam Ibn Majah mempunyai banyak karya tulis, di antaranya:
• Kitab As-Sunan, yang merupakan salah satu Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadith yang Pokok).
• Kitab Tafsir Al-Qur'an, sebuah kitab tafsir yang besar manfatnya seperti diterangkan Ibn Kasir.
• Kitab Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibn Majah.
Sekilas Tentang Sunan Ibn Majah
Kitab
ini adalah salah satu kitab karya Imam Ibn Majah terbesar yang masih
beredar hingga sekarang. Dengan kitab inilah, nama Ibn Majah menjadi
terkenal.
Ia menyusun sunan ini menjadi beberapa kitab dan beberapa
bab. Sunan ini terdiri dari 32 kitab, 1.500 bab. Sedan jumlah hadithnya
sebanyak 4.000 buah hadith.
Kitab sunan ini disusun menurut
sistematika fiqh, yang dikerjakan secara baik dan indah. Ibn Majah
memulai sunan-nya ini dengan sebuah bab tentang mengikuti sunnah
Rasulullah SAW. Dalam bab ini ia menguraikan hadith-hadith yang
menunjukkan kekuatan sunnah, kewajiban mengikuti dan mengamalkannya.
Kedudukan Sunan Ibn Majah di antara Kitab-kitab Hadith
Sebahagian
ulama tidak memasukkan Sunan Ibn Majah ke dalam kelompok "Kitab Hadith
Pokok" mengingat darjat Sunan ini lebih rendah dari kitab-kitab hadith
yang lima.
Sebahagian ulama yang lain menetapkan, bahawa kitab-kitab
hadith yang pokok ada enam kitab (Al-Kutubus Sittah/Enam Kitab Hadith
Pokok), yaitu:
• Shahih Bukhari, karya Imam Bukhari.
• Shahih Muslim, karya Imam Muslim.
• Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.
• Sunan Nasa'i, karya Imam Nasa'i.
• Sunan Tirmidzi, karya Imam Tirmidzi.
• Sunan Ibn Majah, karya Imam Ibn Majah.
Ulama
pertama yang memandang Sunan Ibn Majah sebagai kitab keenam adalah
al-Hafiz Abul-Fardl Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (wafat pada 507 H)
dalam kitabnya Atraful Kutubus Sittah dan dalam risalahnya Syurutul
'A'immatis Sittah.
Pendapat itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz 'Abdul
Gani bin al-Wahid al-Maqdisi (wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi
Asma' ar-Rijal. Selanjutnya pendapat mereka ini diikuti pula oleh
sebahagian besar ulama yang kemudian.
Mereka mendahulukan Sunan Ibn
Majah dan memandangnya sebagai kitab keenam, tetapi tidak
mengkategorikan kitab Al-Muwatta' karya Imam Malik sebagai kitab keenam,
padahal kitab ini lebih shahih daripada Sunan Ibn Majah, hal ini
mengingat bahawa Sunan Ibn Majah banyak zawa'idnya (tambahannya) atas
Kutubul Khamsah. Berbeda dengan Al-Muwatta', yang hadith-hadith itu
kecuali sedikit sekali, hampir seluruhnya telah termuat dalam Kutubul
Khamsah.
Di antara para ulama ada yang menjadikan Al-Muwatta' susunan
Imam Malik ini sebagai salah satu Usul us-Sittah (Enam Kitab Pokok),
bukan Sunan Ibn Majah. Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah
Abul Hasan Ahmad bin Razin al-Abdari as-Sarqisti (wafat sekitar tahun
535 H) dalam kitabnya At-Tajrid fil Jam'i Bainas-Sihah. Pendapat ini
diikuti oleh Abus Sa'adat Majduddin Ibnul Asir al-Jazairi asy-Syafi'i
(wafat 606 H). Demikian pula az-Zabidi asy-Syafi'i (wafat 944 H) dalam
kitabnya Taysirul Wusul.
Nilai Hadith-hadith Sunan Ibn Majah
Sunan
Ibn Majah memuat hadith-hadith shahih, hasan, dan da'if (lemah), bahkan
hadith-hadith munkar dan maudhu’ meskipun dalam jumlah sedikit.
Martabat
Sunan Ibn Majah ini berada di bawah martabat Kutubul Khamsah (Lima
Kitab Pokok). Hal ini kerana kitab sunan ini yang paling banyaknya
hadith-hadith da'if di dalamnya.
Oleh kerana itu tidak sayugianya
kita menjadikan hadith-hadith yang dinilai lemah atau palsu dalam Sunan
Ibn Majah ini sebagai dalil. Kecuali setelah mengkaji dan meneliti
terlebih dahulu mengenai keadaan hadith-hadith tersebut. Bila ternyata
hadith dimaksud itu shahih atau hasan, maka ia boleh dijadikan pegangan.
Jika tidak demikian adanya, maka hadith tersebut tidak boleh dijadikan
dalil.
Sulasiyyat Ibn Majah
Ibn Majah telah meriwayatkan beberapa
buah hadith dengan sanad tinggi (sedikit sanadnya), sehingga antara dia
dengan Nabi SAW hanya terdapat tiga perawi. Hadith semacam inilah yang
dikenal dengan sebutan Sulasiyyat.
BAB V
KITAB-KITAB HADITS
1) Pengertian Kitab Hadis
Para
muhaddisin telah menulis berbagai jenis kitab dalam berbagai bidang
bahasannya. Hal ini merupakan suatu khazanah ilmu hadis yang dapat
menjawab semua masalah yang di jumpai oleh para ulama dan peneliti
berbagai kitab . Selanjutnya inilah yang disebut sebagai kitab hadis.
2) Kitab Hadis Ditinjau dari Kriterianya
i) Kitab Shahih
kitab
shahih merupakan kitab yang penyusunannya hanya menyatakan hadis-hadis
yang shahih saja . Orang yang pertama kali mengumpulkan hadis-hadis
shahih adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Kemudian
disusul oleh sahabat yang juga muridnya Abu al-Husain Muslim bin
al-Hajjaj al-Naisaburi. Kedua kitab ini adalah kitab yang paling shahih.
Tetapi Bukhari lebih kuat karena Bukhari dalam mengeluarkan hadis
mensayaratkan dua hal, yakni:
1. Perawi harus semasa dengan gurunya.
2.Perawi benar-benar bertemu atau mendengar langsung dari gurunya.
Sedangkan Muslim tidak mensyaratkan poin yang kedua, tetapi hanya mensyaratkan yang pertama .
ii) Kitab Sunnan
Kitab
Sunnan adalah kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis hukum yang marfu'
dan disusun berdasarkan bab-bab fikih. Kitab-kitab yang masyhur adalah
Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa'i dan Sunan Ibnu
Majah.
Keempat kitab sunan ini masyhur dengan sebutan al-Sunnan
al-Arba'ah. Bila dikatakan al-Sunan al-Tsalasah, maka maksudnya ketiga
sunan yang pertama, yakni selain Sunan Ibnu Majah.
Bila dikatakan al-Khamsah, maka yang dimaksud adalah al-Sunan al-Arba'ah dan Musnad Ahmad.
Bila dikatakan al-Sittah, maka yang dimaksud adalah Shahihaini dan al-Sunnan al-Arba'ah.
iii) Kitab Musnad
Di
dalam sistem ini pengatur mengatur secara sistematis (tertib) mulai
nama-nama dari sahabat yang lebih utama beserta seluruh hadisnya,
kemudian disusul dengan deretan nama-nama sahabat yang utama beserta
sahabat yang lebih rendah derajatnya beserta hadis-hadisnya. Misalnya
dalam kitab tersebut dikemukakan oleh penyusun pada bab pertama, nama
sahabat Abu Bakar r.a dengan menyebut seluruh hadisnya, kemudian disusul
dengan nama Umar r.a dengan mencantumkan seluruh hadis yang beliau
riwayatkan dan seterusnya berturut-turut nama-nama sahabat yang lebih
rendah daripada Umar dengan seluruh hadisnya.
iv) Kitab al-Mustadrak
Al-Mustadrak
adalah kitab yang disusun untuk memuat hadis-hadis yang tidak dimuat
dalam kitab-kitab hadis shahih dan kitab tersebut mengikuti syarat kitab
hadis shahih yang bersangkutan. Sebagai contoh adalah al-Mustadrak
al-Hakim. Di situ al-hakim menyebutkan hadis-hadis shahih yang sesuai
syarat dri Bukhari-Muslim atau salah satu syarat dari keduanya, tetapi
keduanya tidaka mengeluarkan hadis tersebut.
3) Kitab Hadis Ditinjau dari Cara Penggunaannya
i) Kitab Mu'jam
Kitab
Mu'jam menurut istilah para muhadditsin adalah kitab hadis yang disusun
berdasarkan susunan guru-guru penulisnya yang kebanyakan disusun
berdasarkan urutan huruf hijaiyah, sehingga penyusun mengawali
pembahasan kitab mu'jamnya dengan hadis-hadis yang diterima dari Aban,
lalu yang dari Ibrahim dan seterusnya.
Diantara kitab mu'jam yang
terkenal adalah tiga buah kitab mu'jam karya al-Muhaddits al-Hafidz
al-Kabir Abu Qasim Sulaiman bin Ahmad al-Thabarani (w. 360 H). Ketiga
kitab mu'jam itu adalah: al-Mu'jam al-Shaghir , al-Mu'jam al-Ausath ,
dan al-Mu'jam al-Kabir .
Satu lagi kitab mu'jam adalah Mu'jam
al-Buldan. Kitab ini disusun berdasarkan nama kota. Merupakan karya dari
Abi Ya'la Ahmad bin Ali al-Muslihi. Beliau wafat pada tahun 307 H.
ii) Kitab Takhrij
Yaitu kitab yang disusun untuk mentakhrij hadis-hadis kitab tertentu. Di antara kitab takhrij yang terpenting adalah:
Nahbu
al-Rayah li Ahadits al-Hidayah karya al-Imam al-Hafidz Jamluddin Abu
Muhammad Abdillah bin Yusuf al-Zaila'I al-Hanafi (w. 762 H). kitab ini
merupakan takhrij hadis-hadis kitab al-Hidayah, sebuah kitab fikih
madzhab Hanafi, yang disusun oleh ali bin Abu Bakar al-Marghinani, salah
satu seorang pemuka fuqaha Hanafi (w. 593 H).
Kitab ini mengungkp
secara lengkap riwayat-riwayat yang penuh faedah, dan mengupas setiap
hadis yang ada dalam kitab al-Hidayah dusertai riwayat dan hadis-hadis
lain yang menguatkannya. Kitab ini juga mengungkpkan pembahasan mengenai
hadis-hadis yang dijadikan dalil oleh para ulama yang berbeda pendapat
dengan ulama hanafiah secara jelas dan tuntas, objektif dan tematis.
iii) Kitab Jarh wa Ta'dil
Lahirnya
kitab-kitab tentang jarh dan ta'dil merupakan jerih payah para kritikus
dan kajian mereka terhadap perilaku para perawi, dilihat dari sisi
diterima atau tidak diterimanya hadis mereka.
Para ulama yang
menulis kitab-kitab tentang jarh dan ta'dil menggunakan methode yang
berbeda-beda. Di antara mereka, ada yang menyebutkan para pendusta dan
para perawi yang lemah di dalam kitabnya. Ada yang menambahkan dengan
menyebutkan sebagian hadis palsu. Ada yang menulis kitab hanya tentang
perawi yang tsiqah, dan ada pula yang menulis kitab tentang para perawi
yang lemah dan perawi yang tsiqah.
iv) Kitab al-Athraf
Kitab
al-Athraf adalah kitab-kitab yang disusun untuk menyebutkan bagian hadis
yang menunjukkan keseluruhannya, lalu disebutkan sanad-sanadnya pad
kitab-kitab sumbernya. Sebagian penyusun menyebutkan sanadnya dengan
lengkap dan sebagian lainnya hany menyebutkan sebagiannya. Kitab-kitab
ini tidak memuat matan hadis secara lengkap dan bagian hadis pun tidak
pasti bagian dalam arti tekstual. Kitab ini disusun berdasarkan nama
perawi pada tingkat sahabat.
4) Kitab Hadis Ditinjau dari Sejarahnya
Buku-buku
dan catatan kecil yang muncul pertama kli tau bahkan pada awal abad
kedua, dapat dikategorikan menjadi dua kelompok; pertama, buku-buku yang
berisi hadis-hadis Nabi semata, koleksi acak, tanpa sistemasi bahan.
Kedua, buku-buku kecil (catatan) yang berisikan hadis-hadis Nabi yang
msih bercampur dengan keputusan (resmi) yang diarahkan oleh para
khalifah dan sahabat lainnya, bahkan para tabi'in.
Pada abad kedua,
terjadi perubahan trend sedikit dan buku-buku yang kebanyakan membahas
masalah hukum muli bermunculan. Al-Muwatha' termasuk dalam kategori ini.
Buku tersebut telah diatur menurut judul-judul dalam masalah hukum yang
berkaitan dengan keseluruhan jaringan kehidupan manusia; dari ibadah
(ritual), zakat, haji, perkawinan, perceraian, pertnian, perdagangan dan
lain-lain.
Berikutnya pada abad ketiga, kebanyakan buku-buku yang
muncul adalah berisikan hadis-hadis semata. Sejumlah buku muncul, pada
periode ini, yang mengikuti pada pola abad kedua, seperti Mushannaf,
karangan Abdur Razaq dan Ibnu Abu Syaibah (w. 235 H), al-Awsath,
karangan Ibnu al-Mundzir (w. 319 H). Buku-buku inti dikarang dengan pola
yang berbeda dan disebut Musnad, Jami', Shahih, Sunan, Mustakhraj atau
Mu'jam.
Abad keempat dan kelima adalah masa pengisnadan hadis dan
muncul kitab al-Mustadrak, yaitu kitab hadis yang standar keshahihannya
sama dengan standar Imam yang lain tetapi tidak terdapat dalam kitab
asli. Abad ketujuh dan kedelapan mulai muncul kritik sanad dan matan.
Yaitu dengan munculnya kitab jarh wa ta'dil.
5) Urgensi Pengkajian Kitab Hadis
• Membantu dalam mengetahui jumlah dan jenis hadis yang diriwiyatkan oleh
para sahabat dari Nabi SAW dan mempermudah pengecekannya.
• Mempermudah mengetahui sanad-sanad hadis, kerena sanad-sanad itu terkumpul dalam satu tempat.
• Mempermudah mengetahui penyusun sumber asli yang mengeluarkan hadis
tersebut serta bab hadis dalam sumber-sumber tersebut.
6) Contoh-Contoh Kitab Hadits
JENIS KKITAB NAMA KITAB PENGARANG TAHUN
الجامع صحيح الإمام البخاري , محمد بن إسماعيل 256 هـ
صحيح الإمام مسلم الإمام مسلم 261 هـ
صحيح ابن خزيمة محمد بن إسحاق 311 ه
صحيح الإمام ابن حبان محمد بن حبان 354 هـ
السنن سنن أبي داود السجستاني أبي داود السجستاني 275 هـ
سنن الترمذي – ويسمى بالجامع أيضا الترمذي 279 هـ
سنن النسائي ( المجتبى ) أحمد بن شعيب
302 هـ .
السنن الكبرى أحمد بن شعيب
سنن ابن ماجة القزويني
ابن ماجة القزويني
275 هـ .
سنن سعيد بن منصور
سعيد بن منصور
227 هـ
سنن الدارمي عبد الله بن عبد الرحمن 255 هـ
سنن البيهقي سنن البيهقي , أحمد بن الحسين 458 هـ
المعجم المعجم الكبير لأبي القاسم سليمان بن أحمد الطبراني 360 هـ
المعجم الأوسط لأبي القاسم سليمان بن أحمد الطبراني 360 هـ
المعجم الصغير لأبي القاسم سليمان بن أحمد الطبراني 360 هـ
معجم الصحابة لأحمد بن علي بن لال الهمداني 398 هـ
معجم الصحابة لأبي القاسم عبد الله بن محمد البغوي 317 هـ
المصنف المصنف لأبي بكر عبد الله بن محمد بن أبي شيبة الكوفي
المصنف لأبي بكر عبد الرزاق بن همام الصنعاني ( 211 هـ)
المصنف لبقي بن مخلد القرطبي 276 هـ
المصنف لأبي سفيان وكيع بن الجراح الكوفي 196 هـ
المصنف لأبي سلمة حماد بن سلمة البصري 167 هـ
المسند مسند أحمد بن حنبل أحمد بن حنبل 204 هـ
مسند أبي بكر عبدا لله بن الزبير الحميدي مسند أبي بكر عبدا لله بن الزبير الحميدي 212
مسند أبي داود سليمان بن داود الطيالسي أبي داود سليمان بن داود الطيالسي 228 هـ
مسند أسد بن موسى الأموي أسد بن موسى الأموي 229 هـ
مسند مسدد بن مسرهد الأسدي البصري مسدد بن مسرهد الأسدي البصري 213 هـ
مسند نعيم بن حماد نعيم بن حماد 234 هـ
مسند عبيد الله بن موسى العبسي عبيد الله بن موسى العبسي 307 هـ
مسند أبي خيثمة زهير بن حرب أبي خيثمة زهير بن 249هـ
مسند أبي يعلى أحمد بن علي المثنى الموصلي أبي يعلى أحمد بن علي المثنى الموصلي 307 هـ
مسند عبد بن حميد (249 عبد بن حميد (249هـ
الاطراف تحفة الأشراف بمعرفة الأطراف للحافظ الإمام أبي الحجاج يوسف بن عبد الرحمن المزي 742هـ .
إتحاف المهرة بأطراف العشرة للحافظ ابن حجر العسقلاني
أطراف المسانيد العشرة لشهاب الدين أبي العباس أحمد بن أبي بكر الكناني البوصيري الشافعي نزيل القاهرة ، المتوفى سنة 840هـ
ذخائر المواريث في الدلالة على مواضع الحديث لشيخ عبد الغني النابلسي المتوفى سنة 1143هـ
اطراف المسند المعتلى بأطراف المسند الحنبلي للإمام ابن حجر
أطراف الأحاديث المختارة للضياء المقدسي للإمام ابن حجر
أطراف مسند الفردوس للإمام ابن حجر
المستدرك المستدرك على الصحيحين للحاكم مع تعليقات الذهبي في التلخيص محمد بن عبدالله أبو عبدالله الحاكم النيسابوري
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
PERIODE MUTAQODDIMIN
A. Hadits pada Periode Pertama (Masa Rasulullah)
1. Masa Penyebaran Hadits
Rasulullah
hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka bergaul secara
bebas dan mudah, tidak ada peraturan atau larangan yang memepersulit
para sahabat untuk bergaul dengan beliau. Segala perbuatan, ucapan, dan
sifat Nabi bisa menjadi contoh yang nyata dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat pada masa tersebut. Masyarakat menjadikan nabi sebagai
panutan dan pedoman dalam kehidupan mereka. Jika ada permasalahan baik
dalam Ibadah maupun dalam kehidupan duniawi, maka mereka akan bisa
langsung bertanya pada Nabi.
Kabilah-kabilah yang tinggal jauh di
luar kota Madinah pun juga selalu berkonsultasi pada Nabi dalam segala
permasalahan mereka. Adakalanya mereka mengirim anggota mereka untuk
pergi mendatangi Nabi dan mempelajari hukum- hukum syari'at agama. Dan
ketika mereka kembali ke kabilahnya, mereka segera menceritakan
pelajaran (hadits Nabi) yang baru mereka terima.
Selain itu, para
pedagang dari kota Madinah juga sangat berperan dalam penyebaran hadits.
Setiap mereka pergi berdagang, sekaligus juga berdakwah untuk
membagikan pengetahuan yang mereka peroleh dari Nabi kepada orang-orang
yang mereka temui.
Pada saat itu, penyebarluasan hadits sangat
cepat. Hal tersebut berdasar perintah Rasulullah pada para sahabat untuk
menyebarkan apapun yang mereka ketahui dari beliau. Beliau bersabda,
"بلغوا عنى ولو أية"
“Sampaikanlah olehmu apa yang berasal dariku, kendati hanya satu ayat!”
Dalam hadits lain disebutkan
,
" ليبلغ الشاهد منكم الغائب فرب مبلغ أوعى من سامع "
“Hendaknya
orang yang menyaksikan hadits di antara kamu menyampaikannya pada yang
tidak hadir (dalam majlis ini). Karena boleh jadi, banyak orang yang
menerima hadits (dari kamu) lebih memahami dari pada (kamu sendiri) yang
mendengar (langsung dariku).
Perintah tersebut membawa pengaruh
yang sangat baik untuk menyebarkan hadits. Karena secara bertahap,
seluruh masyarakat muslim baik yang berada di Madinah maupun yang di
luar Madinah akan segera mengetahui hukum–hukum agama yang telah
diajarkan oleh Rasulullah. Meskipun sebagian dari mereka tidak
memperoleh langsung dari Rasulullah, mereka akan memperoleh dari
saudara–saudara mereka yang mendengar langsung dari Rasulullah. Metode
penyebaran hadits tersebut berlanjut sampai Haji Wada’ dan wafatnya
Rasulullah.
Faktor-faktor yang mendukung percepatan penyebaran hadits di masa Rasulullah :
a. Rasulullah sendiri rajin menyampaikan dakwahnya.
b.
Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat
orang di lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran
agama ini, selanjutnya secara otomatis tersebar ke orang lain secara
berkesinambungan.
c. Peranan istri Rasulullah amat besar dalam penyiaran Islam, hadits termasuk di dalamnya.
2. Penulisan Hadits dan Pelarangannya
Penyebaran
hadits-hadits pada masa Rasulullah hanya disebarkan lewat mulut ke
mulut (secara lisan). Hal ini bukan hanya dikarenakan banyak sahabat
yang tidak bisa menulis hadits, tetapi juga karena Nabi melarang untuk
menulis hadits. Beliau khawatir hadits akan bercampur dengan ayat-ayat
Al-Quran.
Menurut al-Baghdadi (w. 483 H), ada tiga buah hadits yang
melarang penulisan hadits, yang masing-masing diriwayatkan oleh Abu
Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah, dan Zaid ib Tsabit. Namun yan dapat
dipertanggungjawabkan otentisitasnya hanya hadits Abu Sa’id al-Khudri
yang berbunyi,
"لا تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه وحدثوا عنى ولا حرج ومن كذب عليّ متمعدا فليتبوّأ مقعده من النار"
“Janganlah
kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an . Barangsiapa
yang menulis dariku selain Al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya.
Riwayatkanlah dari saya. Barangsiapa yang sengaja berbohong atas nama
saya maka bersiaplah (pada) tempatnya di neraka ” (HR. Muslim).
Disini
Nabi melarang para sahabat menulis hadits, tetapi cukup dengan
menghafalnya. Beliau membolehkan meriwayatkan hadits dengan disertai
ancaman bagi orang yang berbuat bohong. Dan hadits tersebut merupakan
satu satunya hadits yang shahih tentang larangan menulis hadits. Menurut
Dr. Muhammad Alawi al-Maliki, meskipun banyak hadits dan atsar yang
semakna dengan hadits larangan tersebut, semua hadits itu tidak lepas
dari cacat yang menjadi pembicaraan di kalangan para ahli hadits.
Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang menyebabkan Rasulullah melarang penulisan dan pembukuan hadits adalah :
a) Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasul bagi orang-orang yang baru masuk Islam.
b) Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditela’ah.
c) Khawatir orang-orang awam berpedoman pada hadits saja.
Nabi
telah mengeluarkan izin menulis hadits secara khusus setelah peristiwa
fathu Makkah. Itupun hanya kepada sebagian sahabat yang sudah
terpercaya. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah disebutkan,
bahwa ketika Rasulullah membuka kota Makkah, beliau berpidato di depan
orang banyak dan ketika itu ada seorang lelaki dari Yaman bernama Abu
Syah meminta agar dituliskan isi pidato tersebut untuknya. Kemudian Nabi
memerintahkan sahabat agar menuliskan untuk Abu Syah.
"يا رسول الله اكتبوا لى. فقال :اكتبوا لأبى شاه"
“Wahai Rasulullah. Tuliskanlah untukku. Nabi bersabda (pada sahabat yang lain), tuliskanlah untuknya.”
B. Hadits pada Periode Kedua (Masa Khulafa’ al-Rasyidin)
1. Masa Pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn Khattab
Setelah
Rasulullah wafat, banyak sahabat yang berpindah ke kota-kota di luar
Madinah. Sehingga memudahkan untuk percepatan penyebaran hadits. Namun,
dengan semakin mudahnya para sahabat meriwayatkan hadits dirasa cukup
membahayakan bagi otentisitas hadits tersebut. Maka Khalifah Abu Bakar
menerapkan peraturan yang membatasi periwayatan hadits. Begitu juga
dengan Khalifah Umar ibn al-Khattab. Dengan demikian periode tersebut
disebut dengan Masa Pembatasan Periwayatan Hadits
(عصر تقليل رواية الحديث).
Pembatasan
tersebut dimaksudkan agar tidak banyak dari sahabat yang mempermudah
penggunaan nama Rasulullah dalam berbagai urusan, meskipun jujur dan
dalam permasalahan yang umum. Namun pembatasan tersebut tidak berarti
bahwa kedua khalifah tersebut anti-periwayatan, hanya saja beliau sangat
selektif terhadap periwayatan hadits. Segala periwayatan yang
mengatasnamakan Rasulullah harus dengan mendatangkan saksi, seperti
dalam permasalahan tentang waris yang diriwayatkan oleh Imam Malik.
Abu
Hurairah, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits, pernah ditanya
oleh Abu Salamah, apakah ia banyak meriwayatkan hadits di masa Umar,
lalu menjawab, "Sekiranya aku meriwayatkan hadits di masa Umar seperti
aku meriwayatkannya kepadamu (memperbanyaknya), niscaya Umar akan
mencambukku dengan cambuknya."
Riwayat Abu Hurairah tersebut
menunjukkan ketegasan Khalifah Umar dalam menerapkan peraturan
pembatasan riwayat hadits pada masa pemerintahannya. Namun di sisi lain,
Umar ibn Khattab bukanlah orang yang anti periwayatan hadits. Umar
mengutus para ulama untuk menyebarkan al-Qur'an dan hadits. Dalam sebuah
riwayat, Umar berkata, "Saya tidak mengangkat penguasa daerah untuk
memaki orang, memukul, apalagi merampas harta kalian. Tetapi saya
mengangkat mereka untuk mengajarkan al-Qur'an dan hadits kepada kamu
semua."
2. Masa Pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib
Secara
umum, kebijakan pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib
tentang periwayatan tidak berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh
kedua khlaifah sebelumnya. Namun, langkah yang diterapkan tidaklah
setegas langkah khalifah Umar ibn al-Khattab. Dalam sebuah kesempatan,
Utsman meminta para sahabat agar tidak meriwayatkan hadits yang tidak
mereka dengar pada zaman Abu Bakar dan Umar. Namun pada dasarnya,
periwayatan Hadits pada masa pemerintahan ini lebih banyak daripada
pemerintahn sebelumnya. Sehingga masa ini disebut dengan عصر إكثار رواية
الحديث.
Keleluasaan periwayatan hadits tersebut juga disebabkan oleh
karakteristik pribadi Utsman yang lebih lunak jika dibandingkan dengan
Umar Selain itu, wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas juga
menyulitkan pemerintah untuk mengontrol pembatasan riwayat secara
maksimal.
Sedangkan pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi
pemerintahan Islam telah berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Masa itu
merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Terjadinya peperangan
antar beberapa kelompok kepentingan politik juga mewarnai pemerintahan
Ali. Secara tidak langsung, hal itu membawa dampak negatif dalam
periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak
tertentu melakukan pemalsuan hadits. Dengan demikian, tidak seluruh
periwayat hadits dapat dipercaya riwayatnya.
3. Situasi Periwayatan Hadits
Dalam perkembangannya, periwayatan hadits yang dilakukan para sahabat berciri pada 2 tipologi periwayatan.
a. Dengan menggunakan lafal haduts asli, yaitu menurut lafal yang diterima dari Rasulullah.
b. Hanya maknanya saja. Karena mereka sulit menghafal lafal redaksi hadits persis dengan yang disabdakan Nabi.
Pada
masa pembatasan periwayatan, para sahabat hanya meriwayatkan hadits
jika ada permasalahan hukum yang mendesak. Mereka tidak meriwayatkan
hadits setiap saat, seperti dalam khutbah. Sedangkan pada masa
pembanyakan periwayatan, banyak dari sahabat yang dengan sengaja
menyebarkan hadits. Namun tetap dengan dalil dan saksi yang kuat. Bahkan
jika diperlukan, mereka rela melakukan perjalanan jauh hanya untuk
mencari kebenaran hadits yan diriwayatkannya.
C. Hadits pada Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil - Tabi'in Besar)
1. Masa Penyebarluasan Hadits
Sesudah
masa Khulafa' al-Rasyidin, timbullah usaha yang lebih sungguh untuk
mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara periwayatan hadits pun
sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan
erat dengan upaya ulama untuk menyelamatkan hadits dari usaha-usaha
pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih luas
dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode Khulafa'
al-Rasyidin. Kalangan Tabi'in telah semakin banyak yang aktif
meriwayatkan hadits.
Meskipun masih banyak periwayat hadits yang
berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu
sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol. Karena meskipun
pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah Islam
dan kepentingan golongan memicu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak
timbul fitnah pada akhir masa Utsman r.a, umat Islam terpecah-pecah dan
masing-masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai
puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah
Umayyah.
Seorang ulama Syi'ah, Ibnu Abil Hadid menulis dalam kitab Nahyu al-Balaghah,
"Ketahuilah
bahwa asal mulanya timbul hadits yang mengutamakan pribadi-pribadi
(hadits palsu) adalah dari golongan Syi'ah sendiri. Perbuatan mereka itu
ditandingi oleh golongan Sunnah (Jumhur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh.
Mereka juga membuat hadits hadits untuk mengimbangi hadits golongan
Syi'ah itu"
Karena banyaknya hadits palsu yang beredar di masyarakat
dikeluarkan oleh golongan Syi'ah, Imam Malik menamai kota Iraq (pusat
kaum Syi'ah) sebagai "Pabrik Hadits Palsu".
2. Tokoh-tokoh dalam Perkembangan Hadits
Pada
masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits
disebut dengan al-Muktsirun fi al-Hadits, mereka adalah:
a. Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits
b. Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 hadits
c. Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits
d. Aisyah (isteri Nabi) meriwayatkan 2210 hadits
e. Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 hadits
f. Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits
g. Abu Sa'id al-Khudry meriwayatkan 1170 hadits.
Sedangkan dari kalangan Tabi'in, tokoh-tokoh dalam periwayatan hadits
sangat banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa
tersebut, di antaranya :
a. Madinah
- Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam
b. Salim ibn Abdullah ibn Umar
- Sulaiman ibn Yassar
c. Makkah
- Ikrimah
- Muhammad ibn Muslim
- Abu Zubayr
d. Kufah
- Ibrahim an-Nakha'i
- Alqamah
e. Bashrah
- Muhammad ibn Sirin
- Qotadah
f. Syam
- Umar ibn Abdu al-Aziz (yang kemudian menjadi khalifah dan memelopori kodifikasi hadits)
g. Mesir
-Yazid ibn Habib
h. Yaman
- Thaus ibn Kaisan al-Yamani
PERIODE MUTAAKHIRIN
Yang
dimaksud dengan mutaakhkhirin adalah periode anatara Abab IV-VII
Hijriyah. Periode ini di sebut dengan masa pemeliharaan, penertiban,
penambahan dan penghimpunan hadis-hadis Nabi saw. Periode ini terjadi
pada masa dinasti ’Abba siyah angkatan ke dua yaitu pada masa
kekhalifahan Al-Muqtadir Billah sampai al-Mu’tasim Billah.
Pada
periode ini daulah Islamiyyah mulai melemah dan akhirnya runtuh, tetapi
tudak mempengaruhi kegiatan ulama dalam melestarikan hadis, sebab tidak
sedikit ulama pada periode ini menekuni dan bersungguh-sungguh dalam
memelihara dan mengembangkan hadis.
Pada periode ini ulama pada
umumnya hanya berpegang pada kitab-kitab hadis terdahulu, sebab pada IV H
hadis-hadis telah terhkodofikasi dalam bentuk kitab sebagaimana yang
telah dijelaskan terdahulu. Kegiatan ulama yang paling menonjol pada
periode ini dalam melakukan pemeliharaan dan pengembangan hadis Nabi saw
yang telah terhipun adalah: mempelajarinya, menghaflakannya, memeriksa
dan menyelidiki sanad-sanadnya, dan menyusun kitab-kitab baru yang
dengan tujuan memelihara, menertibkan dan menghimpun segala sanad dan
matan yang saling berhubungan, serta yang telah termuat secara terpisah
dalam kitab-kitab yang telah disusun oleh mutaqaddimin.
Para ulama
hadis pada periode ini selain mengumpulkan dan mnyusun hadis dalam
bentuk mus}annaf dan musnad juga menyusun kitab dengan sistem baru
seperti Atraf, Mustakhraj, Mustadrak, dan Jami’.
Kitab-kitab yang disusun dalam bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan penyusunnya sebagai berikut;
1.
Kitab Atraf adalah kitab yang disusun dengan cara menyebutkan
bagian-bagian matan dari hadis-hadis tertentu kemudian menjelaskan
saanad dan matannya, ddianatara kitab-kitab yang disusun dalam bentuk
seperti ini adalah; Atraf alSahihaini karya Ibrahim al-Dimasyqi (w. 400
H), Atraf al-Sahihaini karya Abu Muhammad Khalaf ibnu Muhammad al-Wasti
(w. 401 H), Atraf al-Sunani al-Arba’ah karya Ibnu Asakir (w. 571 H),
Atraf Kutub al-Sittah karya Muhmmad Ibnu Tahir al-Dimasyqi (w. 507 H),
Atraf al-Ahadis} al-Mukhtarah karya Ibnu Hajar al-’Asqalani (w. 852 H),
Atraf Sahih Ibnu Hibban karya al-’Iraqi (w. 806 H), Atraf al-Masand
al-’Asyarah karya Syihab al-Din al-Busiri (w. 840 H).
2. Kitab
Mustakhraj adalah kitab hadis yang memuat matan-matan hadis yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim atau selin keduanya, kemudian
penyusun meriwaytkan matan-matan hadis tersebut dengan sanad yang
berbeda. Dianatara kitab-kitab yang tersusun dalam bentuk seperti ini
adalah; Mustakhraj Sahih al-Bukhari karya al-Jurjani, Mustakhraj Sahih
Muslim karya Abu ’Awanah (w. 216 H), Mustakhraj Sahih al-Bukhari wa
Muslim karya Abbu Bakar Ibnu ’Abdan al-Sirazi (w. 388 H), Takhrij ahadis
al-Ihya’ karya al-’Iraqi, yaitu mentakhrij hadis-hadis yang terdapat
dalam kitab Ih}ya’ ’Ulumu al-Din kraya al-Gazali, Takhrij ahadis
al-Baagawi karya al-Mannawi (w. 1031 H) yaitu mentakhrij hadis-hadis
yang terdapat dalam Tafsir al-Bagawi, al-Kafi al-Syafi Takhrij ahadis
al-Kasysyaf karya Ibnu Hajar al-’Aqalani, yaitu mentakhrij hadis-hadis
yang di susun oleh al-Zaila’i (w. 762 H).
3. Kitab al-Mustadrak
adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan syarat-sayarat al-Bukhari
dan Muslim dan atau salah satu siantara keduanya, dianatara kitab-kitab
hadis yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah : al-Mustadrak karya
al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H), dan al-Ilzamat karya al-Daruqutni(w.
385 H).
4. Kitab Jami’ adalah kitab himpunan hadis dari kitab-kitan
yang telah adalah, dianatar kitab-kitab yang tersususn dalam bentuk
seperti ini adalah;
1. Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis Sahih al-Bukhari dan Muslim:
1) Al-Jami’ Baina al-Sahihaini, karya Ibnu al-Furat (Ismail ibnu Muhammad) (w. 414 H)
2) Al-Jami’ baina al-Sahihaini, karya Muhammad ibnu Nasr al-H{umaidi (w. 488 H)
3) Al-Jami’ baina al-Sahihaini, karya al-Bagawi (w. 516 H)
2. Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadi dari Kutub al-Tis’ah:
1)
Tadriju al-Sihhah, karya Razim Mu’awiyah kemudian disempurnakan
oleh Ibnu al-Asir al- Jazairipada kitab yang diberi judul ”al-Jami’u
al-Usul min Ahadisi al-Rasul.
2) Al-Jami’ karya Ibnu al-Kharrat (w. 582 H).
3. Kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis dari berbagai kitab hadis:
1) Maabih al-Sunnah, karya al-Bagawi kemudian di saring oleh al-Khatib al- Tabrizi dengan judul ”Misykat al-Masabih}”
2)
Jami’ al-Masnid wa al-Alqab karya Abdurrahman bin Ali al-Jauzi (w.
579 H), kemudian kitab ini ditertibkan oleh al-T{abari.
3) Bahru al-Asanid karya al-Hasan Ibnu Ahmad al-Samarqandi (w. 491 H).
4.
Kitab yang disusun berdasarkan pokok masalah, dianatara kitab-kitab
hadis yang menghimpun hadis-hadis berdasarkan masalah-masalah tertentu
dari kitab-kitab hadis terdahulu adalah :
1. Himpunan Hadis-hadis hukum
1) Muntaqa al-Akhbar fi al-Ahkam, karya Majdu al-Din Abdussalam Ibnu Abdillah (w. 625 H)
2) Al-Sunan al-Kubra, karya al-Baihqi (w. 458 H)
3) Al-Ah}kam al-Sugra, karya Ibnu al-Kharrat (w. 582 H)
4) ’Umdatu al-Ahkam, karya Abdulgani al-Maqdisi (w. 582)
5) Bulug al-Maram min Adillat al-Ah}kam karya Ibnu H{ajar al-’Asqalani.
2.
Himpunan hadis-hadis al-Targib wa al-Tarhib (hadis-hadis tentang
menggemarkan untuk beramal dan menjauhkan diri perbuatan dosa yang
dibenci) salah satu diantara kitab tersebut adalah kitab al-Targib wa
al-Tarhib karya al-Munziri (w. 656 H)
Pada abad VII selain
karya-karya ulama dalam bidang hadis yang disusun dalam bentuk
mustakhrajat dan atraf, juga para ulama abad VII dan seterusnya
menyusun karya dalam bentuk syuruh, mukhtas\arat, al-zawaid, dan
ma’ajim. Adapun karya-karya para ulama pada abad VII dan seterusnya
dapat diklasifikasiakan sebagai berikut:
1. Kitab al-Syuruh mrupakan
kitab hadis yang memuat uraian dan penjelasan terhadap atas kandungan
hadis yang terdapat dalam kitab-kitab karya ulama Mutaqaddimin dengan
memberikan beberapa hubungan dengan atau relasi baik dari Al-Qur’an ,
hadis, maupun kaodah-kaidah syara’ lainnya. Adapun karya-karaya yang
disusun dalam bentuk syuruh dapat diklasifikasikan berdasarkan
kitab-kitab himpunan sebagai berikut:
1. Kitab Syarah untuk Sahih al-Bukhari
1) Fath al-Bari oleh Ibnu Hajar al-’Asqalani
2) Irasyad al-Sari oleh al-Qast}lani (w. 923 H)
3) ’Umadat al-Qari’ oleh al-’Aini (w. 855 H)
2. Kitab Syarah untuk Sahih Muslim
1) Al-Minhaj oleh al-Nawawi
2) Ikmal al-Ikmal oleh al-Zawawi (w. 743 H)
3. Kitab Syarah untuk al-Sahihain: Zad al-Muslim oleh al-Syinqiti
4. Kitab Syarah untuk Sunan Abu Daud
1) ’Aun al-Ma’bud oleh Syams al-Haq al-’Azim al-Abadi bersama dengan syarah Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah.
2) Ma’alim al-Sunan oleh al-Khattabi (w. 388 H)
5. Kitab syarah untuk Sunan al-Tirmizi
1) Tuhfat al-Ahwazi oleh al-Mubarakfuri (w. 1353 H)
2) ’Arid} al-Ah}wazi oleh Ibnu al-’Arabi (w. 543 H)
6. Kitab Syarah untuk Sunan al-Nasa’i
1) Ta’liq oleh al-Suyuti
2) Ta’liq oleh al-Sindi
7. Kitab syarah untuk Sunan Ibnu Majah
1) Ihdau al-Dibajah oleh Ahmad al-’Adawi
2) Syarah Suanan Ibnu Majah oleh al-Maglatayi (w.767 H)
8. Kitab-Kitab Syaraj untuk Himpunan Hadis-hadis Ahkam
1) Subul al-Salam oleh al-San’ani terhadap Bulug al-Maram oleh Ibnu Hajar al-’Aqalani
2) Nail al-Autar oleh al-Syaukani terhadap muntaqa al-Akhbar karya Majduddin Abdussalam.
2.
Kitab Mukhtasarat adalah kitab yang berisi ringkasan-ringkasan dari
satu kitab hadis. Diantara kitab-kitab yang disusun dalam bentuk
muktasarat adalah: kitab al-Jami’ al-Sagir karya al-Suyuti dan kitab
Mukhtasar Sahih Muslim.
3. Kitab Zawaid adalah kitab yang didalamnya
terhimpun hadis-hadis yang terdapat dalam satu karya mutaqaddimin
tertentu dan tidak terdapat dalam kitab himpunan hadis lainnya, salah
satu kitab yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah Zawaid al-Sunan
al-Kubra oleh al-Busiri, yang mnghimpun riwayat-riwayat yang terdapat
dalam Sunan al-Kubra karya al-Baihqi yang tidak terdapt dalam Kutub
al-Tis’ah.
4. Kitab Ma’ajim atau disebut juga dengan kitab indeks
hadis yakni kitab yang berisi perunjuk-petunjuk praktis untuk
mempermudah pencarian matan-matan hadis yang terdapat dalam kitab-kitab
himpunan hadis riwayah tertentu, salah satu dianttara kitab tersbut
adalah Miftah Kunuz al-Sunnah yang merupakan terjemahan oleh Muhammad
Fuad Abdul Baqi dari karya A.J. Wensink, kitab ini memuat hadis-hadis
yang terdapat dalam 14 kitab himpunan hadis, dan disusun dalam bentuk
tematik.
Selain dari kitab-kitab di atas pada abad VII dan seterusnya
tersusun pula kitab himpunan hadis-hadis Qudsi dianatar kitab himpunan
hadis-hadis Qudsi adalah : Al-tuhfah al-Saniyyah oleh Al-Munnawi dan
al-Kalimat al-Tayyibah oleh Ibnu Taymiyyah, dan banyak lagi lainnya.
PENELITIAN HADITS PERIODE KONTEMPORER
Setelah
terkodifikasinya hadis pada periode Mutaqaddimi>n dan disempurnakan
pada periode mutaakkkhirin para ulama hadis pada periode kontemporer
kemudian melakukan kajian dan penelitian terhadap hadis- hadis Nabi saw
dan mengembangkannya dengan menggunakan berbagai bentuk metode dan
system, diantara metode dan system yang digunakan oleh para ulama hadis
periode kontemporer dalam melakukan penelitian terhadap hadis-hadis Nabi
saw adalah sebagai berikut:
1. Metode Takhrij yaitu melakukan
penelitian terhadap karya-karya ulama mutaakhkhirin yang belum tersentuh
oleh takhrij salah satu ulama yang mengabdikan diri dalam melakukan
pengkajian dan penelitian hadis pada periode ini adalah Syaikh Muhammad
Nasiruddin al-Albani (w. 1426 H) diantara karya beliau adalah Irwa’
al-Galil fi Takhrij Ahadis Manar al-Sabil yang mentakhrij dan
menjelaskan hukum-hukum akan hadis yang terdapat dalam kitab Syarh
al-Dalil karya Ibrahim bin Muhammad bin Dawiyan. karya beliau adalah
Silsilah al-Ahadis al-Sahihah, al-Da’ifah, al-Maudu’ah. Dan banyak lagi
karya-karya beliau yang berhubungan dengan takrij hadis.
2. Metode
Ikhtisar al-Hadis, diantara karya-karya ulama hadis kontemporer dalam
meringkas hadis-hadis yang telah dihimpun oleh ulama terdahulu baik dari
kalangan mutaqaddimin maupun mutaakhkhirin adalah karya al-Albani yaitu
Mukhtasar Sahih al-Bukhari dan Mukhtas\ar Sahih Muslim.
3. Metode
tematik, yaitu mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki tema tertentu,
kemudian melakukan takhrij dan penelitian terhadap sanad dan matan untuk
mengetahui kesahihan hadis tersebut, kemudian memberikan penjelasan dan
uaraian terhadap hadi-hadis tersebut untuk menyelesaikan sebuah
problematika baik yang bersifat antologis, epistemologis, maupun
aksiologis. Penelitian dengan metode ini mulai dikenal setelah munculnya
metode tematik dalam bidang tafsir al-Qur’an.
4. Metode digital
yaitu melakukan penelitian hadis melalui program-program hadis yang
telah dirancang dengan baik guna memberikan kemudiahan kepada para
peneliti hadis zaman ini dianatara program-program tersebut adalah :
1.
Program Kutub al-Tis’ah program ini adalah program yang didalamnya
memuat 9 kitab hadis standar (Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu
Daud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwatta’
Malik, dan Musanad Ahmad, dan sauna al-Darimi) dimana masing-masing
kitab disertai dengan penjelasan lafaz, kalimat, perawi, dan sisilah
sanad.
2. Program Alfiyah al-Sunnah program ini memuat seluruh
kitab-kitab hadis baik bentuk himpunan riwayah, mustakhrajat, syarah,
maupun zawaid baik yang telah terbit maupun yang masih dalam bentuk
manuskrip, selain kitab-kitab himpunan hadis program ini juga memuat
kitab-kitab yang berhubungan dengan ‘Ulum al-H{adis}.
3. Program
Maktabah al-Syamilah program ini merupakan program penyempurna dari
program al-Fiyah al-Sunnah dengan tambahan dari beberapa cabang ilmu
lainnya seperi Tafsi, Ulum al-Qur’an, ‘Aqidah, Firqah-firqah dan
agama-agama dan seluruh ilmu-ilmu dalam Islam yyang telah di tulis oleh
para ulama baik dari kalangan mutaqaddimi>n maupun mutaakhkhiri>n,
sehingga dengan demikan dapat memudah para peneliti dan pengkaji Islam
utamanya dalam penelitian terhadap hadis-hadis-hadis Nabi saw.
BAB III
CARA MENYAMPAIKAN
DAN MENERIMA HADITS
(tahamul wa ada’ul-hadits)
1. Pengertian tahammul wa ada’ul-hadist.
a. Tahammul al-hadist
Ulama
sepakat bahwa yang dimaksud dengan tahamul adalah “mengambil atau
menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu. Dalam
masalah tahamul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di
antara para kritikus hadits, terkait dengan anak yang masih di bawah
umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang
nantinya juga berimplikasi–seperti diungkapkan oleh al karmani-pada
boleh dan tidaknya hadits tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai
umur baligh ataukah malah sebaliknya.
b. Ada’ al-Hadist
Ada‘ secara etimologis berarti sampai/melaksanakan.
Secara terminologis ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya.
Pengertiannya
adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid, atau proses
mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru.
Karena
tidak semua orang bisa menyampaikan hadits kepada orang lain, dalam hal
ini mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikh memiliki kesamaan pandangan
dalam memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta hadist, yang antara
lain:
1. ketahanan ingatan informator (dlabitur rawi)
2. integritas keagamaan (‘adalah) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (tsiqatur rawi).
3.
mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam hadits dan mengetahui arti
hadits apabila ia meriwayatkan dari segi artinya saja (bil ma’na).
Sifat
adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka
yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang
yang selalu mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau
orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi
terhadap agamanya
2. Syarat-syarat tahammulul-hadits.
Adapun syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadits dari orang lain adalah:
A. Penerima harus dlobid (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid).
B. Berakal sempurna.
C. Tamyis.
3. Syarat-syarat ada’ul-hadits.
Mayoritas
ulama hadits, ushul, dan fikih sepakat menyatakan bahwa seorang guru
yang menyampaikan sebuah hadits harus mempunyai ingatan dan hafalan yang
kuat (dlabit), serta memilik integritas keagamaan (‘adalah) yang
kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (tsiqahi). Sifat adil dalam
hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu
karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya
melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam
kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya. Sementara itu,
untuk mencapai tingkat ‘adalah seseorang harus memenuhi empat syarat
yaitu:
A. Islam,
B. Balig,
C. Berakal,
D. Takwa.
Sedangkan
kepribadian baik yang mesti dimiliki oleh perawi hadits -seperti
diungkapkan al zanjani- lebih banyak dikaitkan dengan etika masyarakat
atau pranata sosial. Namun bukan berarti bahwa ia harus orang yang
sempurna, karena tidak menutup kemungkinan seorang ulama atau penguasa
yang baik tentu memiliki banyak kekurangan. Melainkan yang menjadi tolok
ukur disini adalah keistimewaan yang ada melebihi kekuranganya, dan
kekurangannya dapat tertutupi oleh kelebihannya. Sigaht tahammul wa ada’
al-hadist dan implikasinya terhadap-persambungan sanad
4. Sighat tahammul wa ada’ al-hadist dan implikasinya terhadap persambungan sanad.
Metode penerimaan sebuah hadits dan juga penyampaianya kembali ada delapan macam yaitu :
a. Sima’ (mendengar).
Yaitu
mendengar langsung dari sang guru. Simak mencakup imlak (pendektean),
dan tahdits (narasi atau memberi informasi). Menurut mayoritas ahli
hadits simak merupakan shigat riwayat yang paling tinggi.
Ketika
seorang rawi ingin meriwayatkan hadits yang didengar langsung dari
gurunya, maka ia boleh menggunakan salah satu lafat berikut
سمعت, حدثنى, أخبرنى, أنبأنى
قال لى فلان. Jika pada saat mendengar dia tidak sendirian maka dlamir mutakallim diganti dengan dlamir jamak (نا).
Muhaddits
periode awal terbiasa menggunakan lafat سمعت, sementara pada masa
berikutnya lebih akrab menggunakan lafat حدثنا. Namun demikian pada
dasarnya kedua lafat tersebut tidak memiliki perbedaan yang berarti. Hal
itu dikarenakan keduanya sama-sama digunakan untuk mewartakan hadits
yang didengar langsung hadits yang diriwayatkan dengan salah satu lafat
diatas menunjukkan pada bersambungnya sanad.
b. Al qira’ah (membacakan hadits pada syeikh).
Qira’ah
sendiri memaparkan yang juga disebut al ard memiliki dua bentuk.
Pertama, seorang rawi membacakan hadits pada syeikh,. Baik hadits yang
dia hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab yang ada di depannya.
Kedua, ada orang lain membacakan hadits, sementara rawi dan syeikh
berada pada posisi mendengarkan.
Dalam situasi seperti itu ada
beberapa kemungkinan, bisa jadi syeikh memang hafal hadits yang
dibacakanya kepadanya, atau ia menerimanya dengan bersandar pada
catatannya atau sebuah kitab yang kredibel. Akan tetapi jika syeikh
tidak hafal hadits yang dibacakan kepadanya, maka sebagian ulama
antaranya al juwaini menganggapnya sebagai bentuk simak yang tidak
benar.
Terkait dengan qira’ah ini sebagian ahli hadits melihatnya
sebagian bagian yang terpisah, sementara yang lain menganggapnya sama
dengan mendengar. Ulama’ ynag berpendapat bahwa qira’ah sama kuatnya
dengan simak dalam menanggung hadits adalah al zuhri, al bukhari,
mayoritas ulama kufah, hijaz, dll. Riwayat dengan cara ini masuk dalam
sanad yang muttasil.
c. Ijazah
Salah satu bentuk menerima hadits
dan mentransfernya denga cara seorang guru memberi izin kepada muridnya
atau orang lain untuk meriwayatkan hadits yang ada dalam catatan
pribadinya (kitab), sekalipun murid tidak pernah membacakan atau
mendengar langsung dari sang guru. Ibnu hazm menentang riwayat dengan
ijazah dan menganggapnya sebagai bid’ah.
Sekalipun bagian ini banyak
menuai kritik keras dari kalangan muhadditsin, namun tidak sedikit
ulama yang membolehkannya. Dari kedua golongan yang terlibat dalam
polimik sama-sama memberikan alasan untuk mempertahankan pendapat
masing-masing. Dalam hal ini, dengan melihat pada argumen dari kedua
belah pihak, penulis lebih cenderung pada pendapat yang membolehkan. Hal
itu dikarenakan, sekalipun konsep ijazah bersifat umum, namun pada
tataran praktisnya ia hanya boleh dilakukan oleh orang tertentu yang
benar-benar berkompeten dan memiliki pengetahuan luas dalam bidang
hadits nabawi dengan demikian kehawatiran golongan pertama akan
terjadinya dusta dan tadlis tidak dapat dibenarkan.
d. Munawalah
Tindakan
seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadits tertulis agar
disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut shiddiq basyir nashr
dalam bukunya dlawabith al riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu
disertai dengan riwayah dan tidak disertai dengan riwayah. Kemudian
bentuk yang pertama dibagi menjadi beberapa macam,
1. Guru mengatakan “ini adalah hadits yang aku dengar, aku berikan dan ku ijazahkan ia kepada mu”.
2.
Mirip dengan munawalah ma’al ijazah, seorang guru mengatakan kepada
muridnya “ambillah kitab ini, kutip dan telitilah, kemudian kembalikan
lagi kepada ku”.
3. Seorang murid membawakan hadits yang kemudian
diteliti oleh sang guru dan berkata “ini adalah hadits ku, riwayatkanlah
ia dari ku”. Kedua tidak disertai dengan ijazah, seperti kasus seorang
guru yang memberikan hadits kepada muridnya dan berkata “ini adalah
hadits yang aku dengar”, tanpa disertai dengan izin untuk meriwayatkan.
e. Mukatabah (menulis).
Yang
dimaksud dengan menulis di sini adalah aktivitas seorag guru menuliskan
hadits -baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain- untuk kemudian
diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada
orang yang berada ditempat lain. Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah
juga terdapat dua macam yaitu disertai dengan ijazah dan tidak disertai
dengan ijazah. Pendapat yang masyhur menyatakan kebolehan meriwayatkan
hadits dengan cara ini. Bahkan ia juga menjadi salah satu kebiasan ulama
klasik, sehingga tidak heran jika kita menemukan dari sekian banyak
hadits diriwayatkan dengan lafat كتب إلي فلان.
f. Al-i’lam (memberitahukan).
I’lam
adalah tindakan seorang guru yang memberitahukan kepada muridnya bahwa
kitab atau hadits ini adalah riwayat darinya atau dari yang dia dengar,
tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya. Masuk
dalam bagian ini apabila seorang murid berkata kepada gurunya “ini
adalah hadits riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya?” Lalu syaikh
menjawab ya atau hanya diam saja.
Mayoritas ulama -hadits, usul,
fiqih- memperbolehkan bentuk ini dijadikan salah satu metode menerima
hadits sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya. Namun demikian
sejumlah muhadditsin dan pakar usul tidak memperbolehkan cara ini
dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadits, dengan alasan yang
sangat singkat karena tidak disertai dengan izin. Pendapat ini
dikemukakan oleh al-ghozali dan ibnu sholah dalam bukunya al-muqoddimah.
g. Wasiat.
Wasiat adalah penegasan syeikh ketika hendak
bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut; yaitu wasiat kepada
seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya. Sejumlah ulama
memperboleh mereportasekan hadits yang diperoleh dengan cara wasiat.
Wasiat hadits menurut mereka sama dengan pemberitahuan dan pemberian,
yang seoleh-olah syeikh memberikan izin kepada muridnya dan
memberitahukan bahwa ini termasuk riwayatnya.
Seklaipun mereka
memperbolehkannya, namun mereka mengakui bahwa riwayat dengan cara ini
termasuk lemah, bahkan lebih lemah dari munawalah dan i’lam, sekalipun
memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang yang
meneri hadits dengan cara ini ingin mewartakannya kembali maka ia harus
terikat dan mengikuti redaksi asalnya, dan menjelaskan bahwa hadits
tersebut diterima dengan wasiat, serta tidak boleh menggunakan lafat
حدثنا , karena dalam kenyataannya dia memang tidak mendengar langsung.
Bagaimanapun juga sejumlah ulama yang lain tidak memperbolehkannya,
dengan alasan karena menerima hadits dengan cara ini tidak disertai
dengan mendengar langsung atau qira’ah.
h. Wijadah
Seorang rawi
menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode, atau
seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak
mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya. Wijadah juga tidak
terlepas dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan
tidak. Namun para kritikus hadits yang memperbolehkan menyatakan bahwa,
ketika penemu ingin meriwayatkannya maka ia harus menggunakan lafat وجدت
بخط فلان atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه
Kebolehan mewartakan hadits
dengan cara ini apabila kodeks yang menjadi sumber data telah dinyatakan
valid dan penulisnya kredibel. Dan bentuk penyajiannya dengan metode
hikayah (menceritakan) seperti diatas.
Dari beberapa proses
penerimaan dan penyampaian hadits di atas kita bisa mengambil kesimpulan
sebagai berikut. Bahwa ketika perowi mau menceritakan sebuah hadits,
maka ia harus menceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia menerima
hadits tersebut dengan beberapa istilah yang telah banyak dipakai para
ulama’ hadits. Sebagaimana berikut:
1. jika proses tahamul dengan cara mendengarkan, maka bentuk periwayatannya adalah:
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
Menurut al-qodhi iyyat boleh saja perowi menggunakan kata:
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا, سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
2. jika proses tahamul itu dengan menggunakan qiroah, maka rowi yang meriwayatkan harus menggunakan kata
قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا سمعت, أخبرني, حدثنا فلان قرأة عليه
3. ketika proses tahamul menggunakan ijazah maka bentuk redaksi penyampaiannya adalah
أجازنى فلان, أنبأنى
4. ketika prosesnya munawalah, maka redaksi yang digunakan adalah
ناولنى فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان ياامناولة وإلاجازة, أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة
5. ketika proses tahamul dengan kitabah (penulisan), maka redaksi yang digunakan adalah:
كتب إلي, كاتبني, حدثني بالمكاتبة وإلاجازة, أخبرني حدثني بالمكاتبة وإلاجازة
6. ketika prosesnya menggunkan pemberitahuan, maka redaksi yang digunakan adalah:
أعلمنى فلان, حدثنى فلان يإلاعلام, أخبرنى فلان بإلاعلام
7. ketika proses tahamul menggunakan metode wasiat, maka redaksi penyampaian menggunakan kata:
أوصى إلي فلان, أخبرنى فلان بالوصية, حدثني فلان بالوصية
ketika
proses tahamul melalui metode wijadah( penemuan sebuah manuskrip atau
buku), maka redaksi penyampaiannya menggunakan kata:
وجدت بخط فلان, قال فلان
Ringkasan Shighat Tahammul Hadits
Shigat Metode Tahammul
سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني السماع
أخبرنا,قال لنا, ذكر لنا, سمعت,سمعنا,حدثنا,حدثني
قرأت على فلان, قرئ على فلان و أ نا سمعت, أخبرني, حدثنا فلان قرأة عليه القراءة
أجازنى فلان, أنبأنى الاجازة
ناولنى فلان مع إلاجازة, حدثنى فلان ياامناولة وإلاجازة, أنبأنى فلان يإلاجزة و المناولة المناولة
كتب إلي, كاتبني, حدثني بالمكاتبة وإلاجازة, أخبرني حدثني بالمكاتبة وإلاجازة الكتابة
أعلمنى فلان, حدثنى فلان يإلاعلام, أخبرنى فلان بإلاعلام الاعلام
أوصى إلي فلان, أخبرنى فلان بالوصية, حدثني فلان بالوصية الوصية
وجدت بخط فلان, قال فلان
الوجدة
BAB IV
KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN JUMLAH PERAWINYA
A. HADITS MUTAWATIR
1. Pengertian
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Secara defitif hadits mutawatir adalah:
خبر عن محسوس رواه عدد جم يخب في العادة احالة اجتماعهم وتواطئهم على الكب
“
Suatu hadits hasil tanggapan dari panca indra, yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar rawi, yang menurut adapt kebiasan mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat dusta”
Hadits mutawatir merupakan hadits
yang diriwayatkan oleh banyak orang dalam setiap generasi, sejak
generasi shahabat sampai generasi akhir (penulis kitab), orang banyak
tersebut layaknya mustahil untuk berbohong. Tentang seberapa banyak
orang yang dimaksud dalam setiap generasi belum terdapat sebuah
ketentuan yang jelas. Sebagian ulama hadits menyatakan bahwa jumlah itu
tidak kurang dari dua puluh perawi. Abu Thayib menentukan
sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi
yang diperlukan oleh hakim. Sedangkan Ashabus Syafi’i menentukan minimal
5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang
mendapatkan gelar Ulul Azmi. Sebagian ulama menetapkan
sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang
telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang
dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat
Al-Anfal ayat 65). Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut
sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan pernyataan
Allah sebagai berikut :
“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa hadits mutawatir adalah laporan dari
orang-orang yang jumlahnya tidak ditentukan (la yuhsha ‘adaduhum) yang
tidak mungkin mereka bersepakat untuk berbuat dusta mengingat jumlah
mereka yang besar (‘adalah) dan tempat tinggal mereka yang beragam.
Sebagian besar ulama sepakat bahwa hadist mutawatir menimbulkan
konsekuensi hukum dan pengetahuan yang positif (yaqin) sehingga hadits
ini dapat dijadikan hujjah baik dalam bidang aqidah maupun dalam bidang
syari’ah. Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni
keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan
mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan
seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau
mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dapat
dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawii hadits mutawatir tentang
keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas
rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak
bersepakat dusta. Oleh karenanya wajib bagi setiap muslim menerima dan
mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang
faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang
mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan
mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (pelibatan
pancaindera).
Sebuah hadits dapat digolongkan ke dalam hadits
mutawatir apabila memenuhi beberapa syarat. Adapun persyaratan tersebut
antara lain adalah sebagai berikut :
a. Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.
b. Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
c. Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat untuk dusta.
d.
Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan
mereka : kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah
menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan
menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir.
Jumhur
ulama berpendapat bahwasannya tidak disyaratkan jumlah tertentu dalam
mutawatir. Yang pasti harus ada sejumlah bilangan yang dapat meyakinkan
kebenaran nash dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. . Diantara
mereka ada yang mensyaratkan dengan jumlah tertentu dan tidak boleh
kurang dari jumlah tersebut.Ada yang berpendapat : Jumlahnya empat orang
berdasarkan pada kesaksian perbuatan zina. Ada pendapat lain :
Jumlahnya lima orang, hal ini diqiyaskan dengan jumlah para nabi yang
mendapat gelar Ulul ‘Azmi. Ada yang berpendapat lain juga yang
mengatakan jumlahnya 12 orang seperti jumlah pemimpin dalam firman Allah
(yang artinya) : ”Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian
(dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang
pemimpin” (QS. Al-Maidah ayat 12). Ad yang menetapkan sekurang-kurangnya
20 orang, berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah dalam
suat Al anfal 65. selain itu adal pula yang menetpkan jumlah tersebut
sekurang-kuangnya 40 orang dengan menqiyaskan pada firma Allah pada
surat al anfal ayat 64. Ada juga yang berpendapat selain itu
berdasarkan kesaksian khusus pada hal-hal tertentu, namun tidak ada ada
bukti yang menunjukkan adanya syarat dalam jumlah ini dalam
kemutawatiran hadits.
Pembagian Hadits Mutawatir
2. Pembagian hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir ada 2 yaitu :
a. Mutawatir Lafdzi
Hadist Mutawatil Lafdzi adalah;
ما تواتر لفظه
Hadist
mutawatir lafdhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang persis
sama. Dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama
pula, juga dipandang sebagai hadist mutawatir lafdhi, hadist mutawatir
dengan susunan sedikit berbeda, arena sebagian digunakan kata-kata
muradifnya (kata-kata yang berbeda tetapi jelas sama akna atau
maksudnya). Sehingga garis besar dan perincian makna hadist itu tetap
sama.
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
“Rasulullah
SAW berkata, “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.”
Adapun silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :
Menurut
Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang
sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin
menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat
b. Mutawatir Ma’nawi
ما تواتر معناه دون لفطه
Yaitu
hadits yang isi serta kandungannya diriwayatkan secara mutawatiakan
tetapi redaksinya tidak. Sehingga redaksinya bisa berbeda-beda.
Contoh hadits mutawatir maknawi adalah :
ما رفع صلى الله عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطيه في شيئ من دعائه الا في الاستسقاء
“Rasulullah
SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam
doa salat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak
putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim)
Hadis yang semakna
dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30
buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang
ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
كان يرفع يديه حذو منكبي
“Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”
c. Hadist Mutawatir ‘amali
Hadist
mutawatir ‘amali adalah hadist mutawatir yang menyangkut perbuatan
Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang
banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh
orang banyak pada generasi-generasi berikutnya.
Segala macam amal
ibadah yang dipraktekkan secara sama oleh umat Islam atau disepakati
oleh para ulama, termasuk dalam kelompok hadist mutawatir ‘amali.
Seperti hadist mutawatir maknawi, jumlah hadist mutawatir ‘amali cukup
banyak. Diantaranya, shalat janazah, shalat ‘ied, dan kadar zakat harta.
3. Hukum Hadits Mutawatir
Hadits
mutawatir mengandung ilmu dlarury yang harus diyakini yang mengharuskan
kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati sehingga para
rawinya tidak perlu lagi mengkaji dan menyelidiki. Seperti pengetahuan
kita akan adanya Makkah Al-Mukarramah, Madinah Al-Munawarah, Jakarta,
New York, dan lainnya; tanpa membutuhkan penelitian dan pengkajian. Maka
hadits mutawatir adalah qath’I tidak perlu adanya penelitian dan
penyelidikan tentang keadaan para perawinya .
Taraf kepastian bahwa
hadist mutawatir itu sungguh-sungguh berasal dari Rasulullah SAW, adalah
penuh dengan kata lain kepastiannya itu mencapai seratus persen.
Oleh
karena itu, kedudukan hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam
tinggi sekali. Menolak hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama
halnya dengan menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah.
Kedudukan hadist mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi
dari kedudukan hadist ahad.
4. Buku-Buku Tentang Hadits Mutawatir
sebagian ulama telah mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam sebuah buku tersendiri. Diantara buku-buku tersebut adalah :
a. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fil-Akhbaar Al-Mutawattirah, karya As-Suyuthi, berurutan berdasarkan bab.
b. Qathful Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas.
c. Al-La’ali’ Al-Mutanatsirah fil-Ahaadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqy.
d. Nadhmul Mutanatsirah minal-Hadiits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kittani.
B. HADITS AHAD
1. Pengertian
Suatu
hadits yang tidak memenuh syarat-syarat Hadits mutawatr disebut hadits
ahad. Ulama’ Muhadditsin mendefinisikan sebagai berikut:
هو ما لا ينتهي الى التواتر
“Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir”
Hadits
Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau sedikit orang
yang tidak mencapai derajat mutawatir. Keterikatan manusia terhadap
substansi hadits ini sangat dipengaruhi oleh kualitas periwayatannya dan
kualitas kesinambungan sanadnya.
2. Pembagian Hadist Ahad
a. Hadist masyhur (hadist mustafidah)
Masyhur
menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer.
Mustafidah menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar.
Jadi menurut bahasa hadist masyhur dan hadist mustafidah sama-sama
berarti hadist yang sudah tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan
dalam pengertian bahasa para ulama juga memandang hadist masyhur dan
hadist mustafidah sama dalam pengartian istilah ilmu hadist yaitu:
ما رواه الثلاثة فأكثر ولم يصل درجة التواتر
"Hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan belum mencapai derajat hadist mutawatir.”
Sedangkan batasan tersebut, jumlah rawi hadist masyhur (hadist
mustafidah) pada setiap tingkatan tidak kurang dari tiga orang, dan bila
lebih dari tiga orang, maka jumlah itu belum mencapai jumlah rawi
hadist mutawatir.
Contoh hadist masyhur (mustafidah) adalah hadist berikut ini:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده
“Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin tidak mengganggu oleh
lidah dan tangannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) “
Hadist
di atas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke
tingkat imam-imam yang membukukan hadist (dalam hal ini adalah Bukhari,
Muslim, dan Turmudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi
dalam setiap tingkatan.
b. Hadist ‘aziz
‘Aziz menurut bahasa,
berarti: yang mulia atau yang kuat dan juga berarti jarang. Hadist ‘aziz
menurut bahasa berarti hadist yang mulia atau hadist yang kuat atau
hadist yang jarang, karena memang hadist ‘aziz itu jarang adanya.
Para ulama memberikan batasan sebagai berikut:
ما رواه اثنان ولو كانا في طبقة واحدة ثم رواه بعد ذلكجماعة
أ”Hadist
‘aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua
rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh
banyak rawi”.
Berdasarkan batasan di atas, dapat dipahami bahwa bila
suatu hadist pada tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang dan
setelah itu diriwayatkan oleh lebih dari dua rawi maka hadist itu tetap
saja dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan
karena itu termasuk hadist ‘aziz.
Contoh hadist ‘aziz adalah hadist berikut ini:
نحن الاخرون السابقون يوم القيامة
“Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling
terdahulu di hari qiamat.” (Hadist Riwayat Hudzaifah dan Abu Hurairah)
Hudzaifah
dan abu hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadist tersebut adalah
dua orang sahabat Nabi, walaupun pada tingkat selanjutnya hadist itu
diriwayatkan oleh lebih dari dua orang rawi, namun hadist itu tetap saja
dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan
karena itu termasuk hadist ‘aziz.
c. Hadist gharib
1. Definisi
Gharib,
menurut bahasa berarti jauh, terpisah, atau menyendiri dari yang lain.
Hadist gharib menurut bahasa berarti hadist yang terpisah atau
menyendiri dari yang lain.
Para ulama memberikan batasan sebagai berikut:
ما انفرد برواتيه شخص في اي موضع وقع التفرد به من السند
"Hadist gharib adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan manapun dalam sanad.”
Berdasarkan
batasan tersebut, maka bila suatu hadist hanya diriwayatkan oleh
seorang sahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan
oleh banyak rawi, hadist tersebut tetap dipandang sebagai hadist gharib.
Contoh hadist gharib itu antara lain adalah hadist berikut:
Yang
artinya: “ Dari Umar bin Khattab, katanya: Aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda: “Amal itu hanya (dinilai) menurut niat, dan setiap orang
hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya.” (Hadist Riwayat Bukhari,
Muslim dan lain-lain) “
Kendati hadist ini diriwayatkan oleh banyak
imam hadist, termasuk Bukhari dan Muslim, namun hadist tersebut pada
tingkatan pertama hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi, yaitu
Umar bin Khattab, dan pada tingkatan kedua juga diriwayatkan oleh hanya
satu orang tabi’in, yaitu ‘Alqamah.
Dengan demikian hadist itu dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh satu orang dan termasuk hadist gharib.
2. Klasifikasi
Ditinjau dari segi bentuk peyendirian rawi, maka hadits gharib terbagi kepada du macam:
a. Gharib Muthlaq
Apabila
peyendirian rawi dalam meriwayatkan hadits itu mengenai personalianya,
maka hadits yang diriwaytkan disebut gharib muthlaq. Penyendirian rawi
hadits gahrib mutlq harus berpangkal pada ashsus sanad, yakni tabi’iy,
bukan sahhabat. Sebab yang menjadi tujuan memperbincangkan penyendirian
rawi dalam hadits gharib di sini adlah unuk menetapkan apakah ia masih
dterima periwayatannya atau ditolak sama sekali. Sedanglkan kalau yag
menyndiri tu seorng sahabat, sudah tidak perlu diperbincangkanlag, karea
sudah diakui oleh umum bahwa sahabat-sahabat itu adalah adil semuanya.
b. Gharib Nisby
apbila enyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu
seorang rawi, maka hadits yang diriwayaknnya disebut dengan hadits
gahrib nisby. Sifat atau keadaan tersebut mempunyai bebarapa
kemungkinan:
a. Sifat keadalan dan kedlabitan (ketsiqahan) rawi
b. Tentang kota atau tempat tnggal tertentu.tentang merwayatkannya dari rawi tertentu.
Disamping
pembagan hadts gharib sebahaman di atas, kalua penyendrian itu ditinjau
dar segi letaknya, d matakah atau di sanad, aka ia terbagi lagi menjadi
tiga bagian, yakni;
1. gharib pada matan dan sanad
2. Gharib pada sanadnya saja
3. gharib pada sebagian matannya.
3. Istilah-istilah muhadditsin yang bersangkutan dengan Hadits gharib
Gharib
dan Fard adalah dua istilah yang muradlif. Kedua istlah itu dalm segi
penggunaannya dibedakan. Pada umumnya istilah gharib diterapkan untuk
hadits fard nisby (Gharib nisby). Sedangkan fard diterapkan untuk fard
muthlaq (gharib mutlaq). Dari seg kata kerjanya para muhadditsin tidak
menhgadakan perbedaan satu sama lain. Misal
تفرد به فلان sama dengan اغرب به فلان
Istilah-istlah yang sering dipakai untuk memberi cirri hadits gharb antara lan;
ISTILAH KETERANGAN
هذا حديث غريب - Hadits ini diterapkan untuk hadits fard nisby
- Menurut al Baghawi: istilah ini diterapkan untuk hadits syad.
غريب
من هذا الوجه - Istilah spesfik at turmudzi ini dimaksudkan untuk
memberi nilai suatu hadits yang gharib seluruh sanadnya, sedang matannya
shahih.
غريب مشهور - Hadits yanh gharib pada awalnya, kemudan menjadi masyhur pada akhirnya.
تفر به او اغرب بهفلان - Hadits gharib yang tidak mempunyai muttabi’ atau syahid
تفرد به اهل بصرة - Hadits gharib yang dinisbatkn kepad para perawi dari bashrah
لم
يروه ثقة الا فلان - Hadits gharib yang dinisbatkan kepada rawi-rawi
yang tsiqah hanya seorang saja yang meriwayatkan, sedang jika
dinisbatkan kepada rawi-rawi selainnya, adalah dla’if.
لم يروه عن
فلان الا فلان - Hadits gharib yang dinisbatkan kepada rawi trtentu,
sedangkan raw yang lain tidak ada yang meriwayatkannya.
غريب الحديث -
Matan hadits yang sukan difahamkan maksudnya, karena sebagian lafadznya
ada yang musykil dan tidak popular dalam penggunaannya.
له متابعة - Hadist gharib yang mempunyai muttabi*
له مثله - Hadits gharib yang mempunyai syahid** billafdzi (sesuai makna dan redaksinya)
له نحوه - Hadits gharib yang mepunyai syahid bil ma’na
له شواهد Hadist gharib yang mempunyai beberapa syahid.
Keterangan:
* Muttabi’ adalah hadits yang mengikuti perwayatan rawi lan sejak gurunya yang terdekat atau guruny guru 9yang terdekat itu)
**
syahd adalah suatu hadits yang matannya mencocok matan hadits lain.
Syahid asa dua: Syahid billafdzi (ma’na dan redaksi sama) dan Syahid bil
ma’na (ma’na sama tapi redaksi berbeda)
4. Cara-cara untuk menetapkan keghariban hadits
Untuk
menetapkan suatu hadts tu gharib, hendaklah diperksa lebih dahulu pada
kitab-kitab hadit, semisal kitab Jami’ atau Musnad, apakah
hadisttersebut apakah hadist tersebut mempunyai sanad lain selain sanad
yang dicari kegharibannya itu, atau tidak. Kalau ada maka hilanglag
sifta gharibnya.
Cara untuk melakukan pemeriksaan terhadp hadits yang
diperkrakan gharib dengan maksud apakah hdist tersebut mempunyai
muttabi’ atau syahid, disebut I’tibar.
Muttabi’ adalah hadits yang mengikuti perwayatan rawi lan sejak gurunya yang terdekat atau guruny guru (yang terdekat itu)
Syahid
adalah suatu hadits yang matannya mencocok matan hadits lain. Syahid
asa dua: Syahid billafdzi (ma’na dan redaksi sama) dan Syahid bil ma’na
(ma’na sama tapi redaksi berbeda)
3. Kedudukan Hadist Ahad
Bila
hadist mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah
SAW, maka tidak demikian hadist ahad. Hadist ahad tidak pasti berasal
dari Rasulullah SAW, tetapi diduga (zhanni dan mazhnun) berasal dari
beliau. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadist ahad mungkin
benar berasal dari Rasulullah SAW, dan mungkin pula tidak benar berasal
dari beliau.
Karena hadist ahad itu tidak pasti (hgairu qath’i atau
ghairu maqthu’), tetapi diduga (zhanni atau mazhnun) berasal dari
Rasulullah SAW, maka kedudukan hadist ahad, sebagai sumber ajaran Islam,
berada dibawah kedudukan hadist mutawatir. Dengan kata lain berarti
bahwa bila suatu hadist, yang termasuk kelompok hadist ahad,
bertentangan isinya dengan hadist mutawatir, maka hadist tersebut harus
ditolak.
C. PERBEDAAN HADIST AHAD DENGAN HADIST MUTAWATIR
1. Dari segi jumlah rawi
Hadist
mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang jumlahnya begitu banyak pada
setiap tingkatan, sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil (tidak
mungkin) mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan hadist ahad
diriwayatkan oleh rawi atau dalam jumlah yang menurut adat kebiasaan
masih memungkinkan dia atau mereka sepakat untuk berdusta.
2. Dari segi pengetahuan yang dihasilkan
Hadist
mutawatir menghasilkan ilmu qath’i (pengetahuan yang pasti) atau ilmu
dharuri (pengetahuan yang mendesak untuk diyakini) bahwa hadist itu
sungguh-sungguh dari Rasulullah, sehingga dapat dipastikan kebenarannya.
Sedangkan hadist ahad menghasilkan ilmu zhanni (pengetahuan yang
bersifat dugaan) bahwa hadist itu berasal dari Rasulullah SAW, sehingga
kebenarannya masih berupa dugaan pula.
3. Dari segi kedudukan
Hadist
mutawatir sebagai sumber ajaran Islam memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dari hadist ahad. Sedangkan kedudukan hadist ahad sebagai sumber
ajaran Islam berada dibawah kedudukan hadist mutawatir.
4. Dari segi kebenaran keterangan matan
Dapat
ditegaskan bahwa keterangan matan hadist mutawatir mustahil
bertentangan dengan keterangan ayat dalam al-Qur’an. Sedangkan
keterangan matan hadist ahad mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan
dengan keterangan ayat al-Qur’an.
SKEMA 1- KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN KUANTITAS SANAD
BAB V
KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN KUALITAS SANAD
Kualitas
hadist adalah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar palsunya
hadist itu berasal dari Rasulullah SAW. Penentuan kualitas hadist
tergantung pada tiga hal yaitu: jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan
matan. Klasifikasi hadist ditinjau dari aspek kualitas hadist, terbagi
kedalam tiga tingkatan:
1. Hadist Sahih
2. Hadist Hasan
3. Hadist Dha’if ( Dibahas pada silabus selanjutnya )
A. Hadist Sahih
1. Definisi hadist sahih
Menurut
bahasa, sahih berarti sehat (kebalikan dari saqim), bersih dari cacat,
sah, atau benar, atuu berarti haq kebalikan ari bathil.
. Sedangkan batasan tentang hadist sahih yang diberikan oleh ulama yaitu:
ما نقله عدل نام الضبط متصل السند غير معلل ولا ساذ.
“Hadits
yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan,
sanadnya bersambung-sambung, tidak berillat dan tdak janggal”.
2. Syarat –Syarat Hadits Shahih
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh hadist sahih adalah sebagai berikut:
a. Sambung sanadnya
Bahwa setiap perawi memang menerima hadist secara langsung dari perawi seatasnya sejak permulaan sanad sampai penghabisannya.
b. Perawinya harus adil
Setiap perawinya haruslah memiliki sifat sebagai orang Islam, baligh, berakal, tidak fasiq, dan tidak cacat muru’ahnya.
c. Perawinya harus cermat
Setiap perawi haruslah sempurna kecermatannya, baik dia cermat ingatannya atau cermat kitabnya.
d. Tidak syadz
Hadisnya
tidaklah merupakan hadist yang syadz. Syadz artinya tidak cocoknya
seorang perawi terpercaya terhadap seorang perawi yang lebih terpercaya
darinya.
e. Tidak terkena Illat
Hadistnya tidak terkena illat,
sedangkan illat itu sendiri adalah sebuah sebab yang sulit dan
tersembunyi yang dapat merusak kesahihan hadist, padahal kenyataan
lahirnya adalah selamat darinya.
Dari kelima syarat itu, apabila
salah satu syarat tidak terpenuhi atau rusak, maka hadist dalam keadaan
demikian tidak dapat disebut sebagai hadist sahih
Contoh hadist sahih, yang artinya :
“Telah
bercerita kepada kami Abdullah bin Yusuf, yang berkata telah
mengkabarkan kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin
Jabir bin Muth’im, dari bapaknya, yang berkata, “Aku mendengar
Rasulullah saw membaca surat At-Thur di waktu shalat maghrib” (HR.
Bukhari, No 731)
Hadist ini dikatakan sahih karena:
1. Sanadnya sambung, sebab perawinya mendengar langsung dari gurunya.
2.
Perawinya adil dan cermat, sebab disebutkan Abdullah bin Yusuf adalah
seorang terpercaya dan cermat, Malik bin Anas adalah imam yang hafidz,
Ibnu Syihab az-Zuhri adalah ahli fiqh hafidz, Muhammad bin Jubair adalah
orang terpercaya, dan Jubair bin Muth’im adalah seorang sahabat.
3. Hadistnya tidak terkena satu illat pun.
3. Pembagian hadist sahih
Hadist sahih dapat dibagi kepada dua bagian yaitu:
1. Hadist sahih li dzatih
Adalah hadist yang memenuhi secara lengkap syarat-syarat hadist sahih.
2. Hadist sahih li ghairih
Hadits Shahih l-gharihi adalah:
ما
كان رواته متأخرا عن درجة الحافط الضابط مع كونه مشهورابالصدق حتى يكون
حديثه حسنا ثم وجد فيه من طريق اخر مساولطريقه او ارخح ما يجبر ذلك القصور
الواقع فيه.
“hadits yang keadaan perawinya kurang hafidz dan dlabith
tetapi mereka masih terkenal otang yang jujur, hingga karenanya derajat
hasan, lalu didapat padanya dari jalan lain yang serupa atau lebih kuat,
hal-hal yang dapat menutupi kekurangan yang menimpanya itu”.
Jadi
hadits shahih li ghairihi adalah hadist dibawah tingkatan sahih yang
menjadi hadist sahih karena diperkuat oleh hadist-hadist yang lain.
Contoh
hadits ini dalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ubay bi al
abbas bn Sahal dari ayahnya (‘bbas) dari neneknya (Sahal), beliau
berkata:
“Konon rasulullah mempunyai seekor kuda, ditaruh di kandang kami yang diberi nama Al Luhaif.”
Ubay
bin Al Abbas oleh Ahmad, Ibnu Ma’in dan An Nas’I dianggap rawi yang
kurang bak hafalannya. Oleh karena itu hadits tersebut bererajat Hasan
li dzatihi. Tetapi oleh karena hadits ubay tersebut mempunyai
muttabi’(hadits yang sanadnya menguatkan sanad lan dari hadits yang
sama). Muttabi’ tersebut diriwayatkan oleh ‘Abdul Muhaimin, maka naiklah
derajat hadits tersebut dari hadits hasan li dzatih menjadi shahih Ii
gharih.
Ada beberapa macam sahihi li ghairih, menurut ketetepan ahl ilmu hadits anatara lain:
1. Hadits hasan lidzatih dikuatkan dengan jalan lain yang sama derajatnya.
2. hadis hasan lidzatih dbantu dengan beberapa sanad walaupun sanadnya berderajat rendah.
3.
Hadits hasan lidzatih atu hadits lemah yang isisnya setuju dengan salah
satu ayat al ur’an atau cocok dengan salah satu dari pokok-pokok agama.
4. hadits yang tidak begitu kuat, tetapi diterima bak oleh ulama.
Selain perincian tersebut, ada pula penentuan urutan tingkatan hadist sahih, adalah hadist yang diriwayatkan oleh:
1. Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
2. Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari sendiri
3. Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim sendiri
4. Hadits shah yang diriwayatkan memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim.
5. Hadits shah yang diriwayatkan memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari sedang beliau sendri tidak mentakhrijnya
6. Hadits shah yang diriwayatkan memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Muslim sedang beliau sendri tidak mentakhrijnya
7.
Hadits shah yang tidak menurut salah satu syarat darikedua mam bukhari
dan muslim. Tetapi hadits yang ditakhrij tersebut dishahihkan oleh
imam-imam hadts yang kenamaan.
4. Kedudukan hadist sahih
Hadist
sahih sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi kedudukannya dari hadist
hasan dan dho’if, tetapi berada dibawah kedudukan hadist mutawatir.
Semua
ulama sepakat menerima hadist sahih sebagai sumber ajaran Islam atau
hujjah, dalam bidang hukum dan moral. Tetapi, sebagian ulama menolak
kehujjahan hadist sahih dalam bidang aqidah, sebagian lagi dapat
menerima, tetapi tidak mengkafirkan mereka yang menolak.
5. Istilah pengarang hadits yang diterapkan pada hadits shahih
ISTILAH KETERANGAN
وفيه
اصح الأسانيد - Hadits yang mempunyai rentetan sanad yang lebih shahih.
Martabat hadits ini sangat tinggi. Karenanya harus diutamakan daripada
yang lain.
وفي اسناده مقال - Sand hadts ini perlu diseldiki lebih
lanjut, disebabakan di antara sanadnya terdapat orang yang diperdebatkan
tentang keadaan dan kelakuannya.
هذا حديث صحيح الاسناد او اسناده صحيح - Hadits in shahih sanadnya. Namun belum tentu shahih matannya.
هذا حديث صحيح - Hadits ini muuttasil sanadnya, serta melengakapi segala syarat hadits shahih.
متفق
عليه او على صحته - Hadts ini disepakati keshahihan sanadnya oleh Imam
Bukhori dan Imam Muslim. Sehingga keduanya meriwayatkan hadits ini
meskipun dengan gaya bahasa yang berbeda.
صحيح على شرطي البخاري و
مسلم - Para perawi dari hadits ini terdapat dalam kitab sahih Bukhor
atau Muslim, kendati keduanya tidak meriwayatkan hadits tersebut.
حسن صحيح - Ibnu Shalah : Hadits ini mempunyai dua sanad, Hasan dan shahih
-
Pendapat lan mengatakan bahwa diantara dua kalimat tersebut terdapat
kalmat penghubung berupa “Aw” (atau) yang dibuang. Dengan demikian
hadits ni hanya mempunyai stu sanad saja, tetapi para ulama’ berlainan
dalam menilainya. Sebagan menilai dengan hasan sebaian yang lan menilai
dengan shahih. Jadi dlam hadits in terdapat taraddud (perlawanan)
tentang nilainya, sehingga menimbulkan keraguan. Dengan demkian hadits
ini lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan hadits shahih.
-
Pendpat lan mengatakan apabila hadits ini bukan hadits fard (gharib),
maka berarti hadits itu mempunyai dua sanad, yaitu yang satu shahih yang
lain hasan. Jika demikian maka hadits ini lebih tinggi derajatnya
daripada hadits shahih.
هذا حديث جيد - Menurut ibnu shalah dan Al
Bulqiny istilah ini sama dengan istilah hadza haditsun shahihun. Ibnu
Hajar menyangkal bahwa tidaklah tepat apabila hadits shahih itu muradlif
dengan hadits jayyid, kecual kalau hadits semula hasan lidzthi,
kemudian naik enjadi shahih lighairihi. Dengan demikan hadits yang
disifati dengan jayyid itu lebh rendah darpada hadits shahhhadits shahih
itu sendiri.
هذا حديث ثابت او مجود - Pengarang ktab at tadrib
menjelskan bahwa istilah ini dapat diterapkan penggunaannya pada hadits
ahahiah dan hasan
B. Hadist Hasan
1. Definisi hadist hasan
Hadist
hasan, menurut bahasa berarti hadist yang baik. Para ulama menjelaskan
bahwa hadist hasan tidak mengandung illat dan tidak mengandung
kejanggalan. Kekurangan hadist hasan dari hadist sahih adalah pada
keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua
syarat hadist sahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).
Jumhurul muhaddisn mendefnisikan sebagaimana berikut:
ما نقله عدل قليل الضبط متصل السند عير معلل ولا شاذ
“Hadits
yang diriwayatkan oleh seorang yang adil (tetapi) tidak begitu kokoh
ingatannya, bersambung sanadnya dan tidak terdapat illat serta
kejanggalan pada matannya”
Menurut At-Turmudzy ; “hadits yang pada
sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh dusta, tidak terdapat
kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu
jurusan (diriwayatkan pula melalui sanad yang lain yang sederajat).” Ada
pula difinisi yang jadi pegangan umum oleh jumhur ulama hadits, kni ;
“Hadits yang dinukilkan oleh seorang adil, tapi tak begitu kokoh
ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta
kejanggalan pada matannya.” Jadi perbedaan antara hadis shahih dan
hadits hasan ini terletak pada syarat kedlabitan rawi. pada hadits hasan
kedlabitannya lebih rendah (tidak begitu kuat ingatannya) jika
dibandingkan hadits shahih.
Contoh hadist hasan, yang artinya :
Dari
Abdullah bin Umar r.a. dari Nabi Saw bersabda:"Sesungguhnya Allah SWT
akan menerima taubat seorang hamba selama nafasnya belum sampai di
tenggorokan (sakratul maut)". (Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan
Tirmizi. Ia berkata: hadits ini hasan.)
Hadist ini telah dikatakan oleh Turmudzi sendiri: “ hadits ini hasan ”
2. Pembagian hadist hasan
Hadist hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Hadist hasan li dzatih
Yaitu
hadits hasan yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Atau hadits yang
ersambung-sambung sanadnya dengan orang yang adil yang kurang kuat
hafalannya dan tidak terdapat padanya sydzudz dan illat.
Di antara contoh hadits ini adalah:
لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة
Seandainya aku tidak memberatkan umatku, maka pasti aku perintahkan untuk menggosok gigi setiap waktu shalat
2. Hadist hasan li ghairih
Hadits hasan lighairih adalah;
ما
لا يخلو اسناده من ستور لم تتحقق اهليته و ليس مغفلا كثير الخطاء و لا طهر
منه سبن مفسق ويكون متن الحديثمعروفا برواية مثله او نحوه من وجه اخر.
“Hadits
yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tidak nyata keahlannya),
bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang
menjadikannya fasik dan matan hadtsnya adalah baik berdasarkan
periwayatan yang semisal dan semakna dar sesuatu segi yang lain”
Ringkasnya, hadits hasan li ghairihi ini asalnya adalah hadits dhaif
(lemah), namun karena ada ada mu’adhdhid, maka derajatnya naik sedikit
menjadi hasan li ghairihi. Andaikata tidak ada ‘Adhid, maka kedudukannya
dhaif.
Di antara contoh hadits ini adalah hadits tentang Nabi SAW membolehkan wanita menerima mahar berupa sepasang sandal:
أرضيت من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت: نعم، فأجاز
“Apakah
kamu rela menyerahkan diri dan hartamu dengan hanya sepasang sandal
ini?” Perempuan itu menjawab, “Ya.” Maka nabi SAW pun membolehkannya.
Hadits
ini asalnya dhaif (lemah), karena diriwayatkan oleh Turmuzy dari ‘Ashim
bin Ubaidillah dari Abdullah binAmr. As-Suyuti mengatakan bahwa ‘Ashim
ini dhaif lantaran lemah hafalannya. Namun karena ada jalur lain yang
lebih kuat, maka posisi hadits ini menjadi hasan li ghairihi.
3. Istilah-istilah yang diterapkan untuk hadits hasan
ISTILAH KETERANGAN
هذا
حديث حسن الاسناد - Hadist ini hanya sanadnya saja yang hasan, tidak
sampai mencakup kepda kehasanan matannya. Hadist hasan yang demij\kian
ni, lebih rendah nilainya dari pada hadits yang dinilai dengan:
هذا حديث حسن
هذا حديث حسن صحيح - Menurut ibnu shalah berarti hadts yang mempunyai dua sanad; hasan dan shahih
هذا حديث حسن غريب - Menurut atturmudzi suatu hadits yang berkumpul di dalamnya dua sifat; hasn dan gharib.
هذا حديث حسن جدا - Diartikan dengan: hadits yang maknanya sngat menarik hati.
هذا حديث صحاح
او احاديث حسان - Kedua istilah ini, khusus terdapat dalam kitab Al Mashabih karya Baghawi
- Shihah: segala hadits yang tercantum dalam kedua kitab shahih bukhari dan muslim.
- Hisan : Hadits yang tercantum dalam kitab-kitab sunan.
هذا
حديث صالح - Di dalam kitab sunan adu dawud, nilai hadts-hadits itu
terbagi kepada Hadits shahih, Musyabih (yang menyerupai), Muqarib (yang
dekat) dan Wahnun syadidun (lemah sekali). Disamping itu, masih ada
hadits yang tidak ditentukan nilainya. Hadist yang tidak ditentukan
nilainnya diberi nama dengan Hadist Shalih.
- Hadist shalih ini menurut pendapatnya dapat dijadikan hujjah apabila disokong oleh hadits lain.
- Kalau tidak ada penyokongnya, hanya dapat digunakan sebagai I’tibar saja.
هذا حديث مشبه - Hadits yang mendekati hadits hasan.
4. Kedudukan hadist hasan
Para
ulama sepakat memandang bahwa tingkatan hadist hasan berada sedikit
dibawah tingkatan hadist sahih, tetapi mereka berbeda pendapat tentang
kedudukannya sebagai sumber ajaran Islam atau sebagai hujjah. Masyarakat
ulama memperlakukan hadist hasan seperti hadist sahih. Mereka menerima
hadist hasan sebagai hujjah atau sumber ajaran Islam, baik dalam bidang
hukum, moral, maupun aqidah. Tetapi sebagian ulama menolak hadist hasan
sebagai hujjah dalam bidang hukum apalagi dalam bidang aqidah.
C. Hadits Dlaif
1. Definisi Hadits Dlaif
Difnisi Hadits Dlaif adalah : ما فقد شرطا او اكثر من شروط الصحيح او الحسن
“Hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shaih atau hadits hasan.”
Hadits
Dhaif yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari
syarat-syarat hadits Shahih atau hadits Hasan. Hadits Dhaif merupakan
hadits Mardud yaitu hadits yang tidak diterima oleh para ulama hadits
untuk dijadikan dasar hukum.
2. Penyebab Tertolak
Para muhadditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadits dari dua jurusan. Yaitu dari jurusan sanad dan jurusan matan
a. Dari jurusan sanad
Dari
jurusan ini dapat diperinc menjadi dua bagian. Yaitu terwujudnya
cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun hafalannya dan
ketidak bersambung-sambungnya sanad. Dikarenakan adanya seorang rawi
atau lebih, yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
i. Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun hafalannya.
Cacat-cacat pada keadilan dan kedlabitan rawi ada 10 macam:
1. Dusta (hadits maudlu)
2. Tertuduh dusta (hadits matruk)
3. Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafal
4. Banyak waham (prasangka) disebut hadits mu’allal
5. Menyalahi riwayat orang kepercayaan
6. Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham)
7. Penganut Bid’ah (hadits mardud)
8. Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith)
ii.
Ketidak bersambung-sambungnya sanad. Dikarenakan adanya seorang rawi
atau lebih, yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
Terdapat beberapa sebab:
1. Kalau yang digugurkan sanad pertama disebuthadits mu’allaq
2. Kalau yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal
3. Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mu’dlal
4. Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’
b. Dari jurusan Matan (isi)
Selain
karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena
kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada
matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu’ Oleh karenanya para ulama melarang
menyampaikan hadits dhaif tanpa menjelaskan sanadnya. Adapun kalau
dengan sanadnya, mereka tidak mengingkarinya
3. kalsifikasi hadits dlaif
a. Berdasarkan cacatnya perawi
1. Hadits Maudlu
Hadits
Maudlu’ adalah “Hadits yang dicipta dan dibuat oleh seseorang
(pendusta) yang ciptaannya itu di katakan sebagai kata-kata atau
perilaku Rasulullah SAW, baik hal tersebut disengaja maupun tidak”
Yang
dikatakan sebagai rawi yang berdusta kepasa Rasulullah SAW ialah mereka
yang pernah berdusta dalam membuat hadits, walaupun hanya sekali seumur
hidupnya. Hadits yang mereka riwayatkan tidak dapat diterima, walaupun
mereka telah bertobat.
Para ulama hadits menentukan beberapa ciri-ciri untuk mengetahui ke maudlu an sebuah hadits, diantarannya :
1.
adanya pengakuan si pembuat hadits maudlu itu sendiri, pernah seorang
ulama menanyakan suatu hadits kepada perawinya dan perawi tersebut
mengakui bahwa ia memang menciptakan hadits tersebut untuk suatu
keperluan.
2. Adanya indikasi yang memperkuat, misalnya seorang rawi
mengaku menerima satu hadits dari seorang tokoh, padahal ia belum
pernah bertemu dengan tokoh tersebut, atau tokoh tersebut sudah
meninggal sebelum perawi itu lahir.
3. Adanya indikasi dari sisi
tingkah laku sang perawi, misalnya diketahui bahwa ada tingkah laku
yang menyimpang dari diri sang perawi
4. Adanya pertentang makna
hadits dengan Alquran, atau dengan hadits mutawatir,
atau dengan ijma’atau dengan akal sehat.
2. Hadits Matruk
Hadits
Matruk ialah “Hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang
diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam perhaditsan.”
Yang
disebut dengan rawi yang tertuduh dusta ialah seorang rawi yang
terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, namun belum dapat
dibuktikan bahwa ia sudah pernahh berdusta dalam membuat hadits.
3. Hadits Munkar
Hadits
munkar adalah Ialah “Hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang
diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya,
atau jelas kefasikannya yang bukan karena dusta.”
Lengah, biasanya
terjadi dalam penerimaan hadits, sedangkan banyak salah biasanya terjadi
dalam hal menyampaikan hadits. Yang dimaksud dengan fasik ialah
kecurangan dalam amal bukan itikad (keyakinan / aqidahnya)
4. Hadits Muálal
Hadits Muálal ialah:
ما اطلع فيه بعد البحث والتبع على وهم وقع لرواته من وصل منقطع او ادخال حديث في حديث او نحو ذلكز
“Hadits yang setelah diadakan penelitian dan penyelidikan, tampak
adanya salah sangka dari rawinya, dengan mewashalkan (menganggap
bersambung suatu sanad) hadits yang munqathi’ (terputus) atau memasukkan
sebuah hadits pada suatu hadits yang lain, atau yang semisal dengan
itu.”
Ibnu Hajar al Asqalani menulis:
ما فيه اسباب خفية طرأت عليه فاثرت فيه
” Hadits yang terdapat sebab –sebab yang tidak nyata, yang dating kepadanya lalu menjadi cacat”
Mengetahui
hadits mualal ini sangat sulit karena hadits ini tampaknya tidak
memiliki cacat tetapi setelah diteliti lebih mendalam terdapat penyakit,
penyakit itu kadang terletak pada sanad terkadang juga pada matan
5. Hadits Mudraj
Hadits Mudraj Ialah ;
ما اُدرح في الحديث مما ليس منه على وهم يوهم انه منه
“Hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan, bahwa saduran itu termasuk hadits”
Misalnya
tercampurnya matan (kata-kata dalam hadits) yang tercampur dengan
kata-kata si perawi, ini berarti ucapan rasul SAW menjadi bertambah
redaksi yakni tersisipi atau tertambah kata-kata si periwayat hadits
tersebut.
Contoh:
من مات لا يشرك بالله شيئا دخل الجنةز ومن مات يشرك به شيئا دخل النار
Hadits
di atas, setelah diadakan penelitian dengan membandingkn riwayat yang
lain, diketahui bahwa kalimat terakhir (ومن مات يشرك به شيئا دخل النار )
adalah kata-kata ibnu mas’ud sendiri.
Mudroj dapat terjadi pada matan ataupun sanad.
6. Hadits Maqlub.
Secara bahasa berarti yang diaplingkan, yang dibalikakkan, yang ditukar, yang diubah, yang terbalik. Secara istilah:
ما وقعت المخالفة فيه بالتقديم وبالتأخير
"hadits yang terjadi padanya mukhalafah (menyalahi hadits lain) dengan cara mendahulukan dan mengakhirkan".
Maksudnya
hadits yang didalamnya baik matan atau sanad terjadi kesalahan yang
sifatnya terbalik balik, misalnya hadits muslim dari Abu Hurairah
berikut ;
"dan seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah yang
disembunyikan, hingga tangan kananya tak mengetahui apa yang telah
dibelanjakan oleh tangan kirinya."
Hadits ini memiliki kesalahan
redaksi dalam matannya ada kata yang terbalik, yakni pada kata "hingga
tangan kananya tak mengetahui apa yang telah dibelanjakan oleh tangan
kirinya." yang benar ; "hingga tangan kirinya tak mengetahui apa yang
telah dibelanjakan oleh tangan kanannya." hal ini diketahui dari hadits
hadits lain yang semakna.
Maqlub bias tejadi pada matan ataupun sanad.
7. Hadits Mudltharrib
Secara bahasa Mudltharib berasal dari mashdar idlthirab yang artinya
rusaknya sesuatu atau rusaknya keteraturan sesuatu, yang goyang atau
yang goncang. Sedangkan menurut istilah para ulama’ ilmu hadits
mendifinisikan sebagaimana berikut:
ما روي علي اوجه مجتلفة متدافعة
علي التساوي في الاختلاف بحيث لايترجح احداهما على الاخري ولم يمكن الجمع
بينهما من راو واحد بان روا مرة علي وجه واخري علي وجه مخالف له او رواه
اكثر بان يضطرب فيه راويان فاكثرز
“Hadts yang dsiriwayatkan atas
beberapa cara yang berlainan. Yang satu menolak yang lain. Sedangkan dia
sederajat dalam perbedaannnya, dalam arti tidak kuat kuat salah satunya
atas yang lain. Tidak mungkin dkumpulkan (dikompromikan) antara perawi
yang satu dengan perawi yang lain, karena sekali ia meriwayaatkan begini
dan sekali ia meriwayatkan begitu yang berlainan dari yang pertama. Atu
diriwayatkan oleh lebih dari seorang dan terjadi perbedaan-perbedaan
antara dua irang perawi itu atau lebi”.
Yaitu hadits yang terjadi padanya mukhalafah (menyalahi hadits lain) tetapi tidak dapat disimpulkan mana yang benar.
Jadi
hadits mudltharib ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
seorang rawi dengan beberapa jalan yang berbeda-beda, yang tidak mungkin
dapat dikumpulkan dan ditarjihkan. misalnya hadits berikut :
"Dari
Anas r.a. mengabarkan bahwa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar r.a.
konon sama memulai bacaan shalat dengan bacaan Alhamdulillahirabbil
alamin"
Hadits dengan makna seperti ini banyak (dengan lafadz yang
berbeda-beda). dan ini bertentangan dengan hadis yang juga bersumber
kepada Anas r.a. berikut ;
"Mereka sama mengeraskan bacaan Bismillahirrahmaanirrahiim"
Dengan demikian hadits tersebut adalah hadits mudltharrib tidak dapat dijadikan hujah oleh siapapun.
8. Hadits Muharraf
Muharraf artinya yang dipalingkan atau yang dubah. Yang dimaksud dalam ilmu hadits adalah:
ماوقعت المخالفة فيه بتغيير الشكل في كلمة مع بقاء صررة الخط
“Hadits
yang mukhalafahnya (menyalahi hadits lain)terjadi disebabkan karena
perubahan syakal kata (tanda baca ; fatah, dlomah, kasroh, dsb), dengan
masih tetapnya bentuk tulisan (huruf hijaiyahnya)”.
Misalny akalimat
basyir dibaca busyair atau kalimat nashir dibaca nushair, kasus ini
terkadang terjadi pada matan maupun sanadnya.
Contoh yang terjadi
pada matan ; hadits Jabir ra ; “Ubay (bin kaáb) telah dihujani panah
pada perang Ahzab mengenai lengannya, lantas Rasulullah mengobatinya
dengan besi hangat.”
Ghandar mentahrifkan hadits tersebut dengan Aby
(artinya ; ayahku), padahal yang benar adalah Ubay. Disini terjadi
kekeliruan mestinya fathah dibaca dlommah. Kekeliruan Ghandar Menjadi
jelas karena apabila dibaca Aby artinya yang terkena panah itu adalah
ayah Jabir, padahal ayah Jabir telah meninggal pada perang Uhud yakni
perang yang terjadi sebelum perang Ahzab.
9. Hadits Mushahaf.
Mushahaf
isim maful dari kata dasar tashif yaitu kekeliruan yang terdapat dalam
kertasa yang tertulis(shahifah). Mushahhaf menurut ukama’ hadits
adalah:
ما وقعت المخالفة فيه بتغيير النطق في الكلمة مق بقاء صورة الخط
“Hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah".
Contoh
hadits mushahaf pada matan, ialah hadits Abu Ayyub Al-Anshary ; "Nabi
SAW bersabda: siapa yang berpuasa Ramadlan kemudian diikuti dengan puasa
6 hari pada bulan syawal, maka ia seperti puasa sepanjang masa."
Perkataan
"sittan" yang artinya enam, oleh Abu Bakar As-Shauly diubah dengan
syai-an, yang berarti sedikit. dengan demikian rusaklah makna karenanya.
Mushahaf dalam hadits tersebut terjadi pada matan, kalau terjadi pada sanad disebut dengan mushahaf fis-sanad.
10. Hadits Mubham, majhul dan mastur
Hadits
Mubham adalah hadits yang di dalam matan atau sanadnya terdapat seorang
(atau rawi) yang tidak jelas identitasnya atau tidak jelas apakah ia
laki-laki atau perempuan.
Kesamaran tersebut dapat terjadi karena
beberapa sebab ; tidak disebutkan namanya, atau disebutkan sebuah nama
tetapi tidak dapat dipastikan juga jenis kelaminnya dari nama tersebut,
atau hanya disebut pertalian keluarga seperti ibnun (anak laki-laki),
ummun (ibu) dsb yang sebutan-sebutan itu belum menunjuk ke pribadi
seseorang. kesamaran ini dapat terjadi pada matan atau sanad.
Berikut
adalah contoh hadits mubham pada matan, hadits dari Abdullah bin Amr
bin 'Ash r.a. ; "Bahwa seorang laki-laki telah bertanya kepada Rasul
SAW, katanya; perbuatan Islam yang manakah yang paling baik? Jawab Nabi ;
ialah kamu merangsum makanan dan memberi salam kepada orang yang telah
kamu kenal dan yang belum kamu kenal."
Berikut adalah contoh hadits
mubham pada sanad, hadits Abu Daud yang diterimanya dari "Hajaj
dari seorang laki-lak dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi Muhammad SAW.
sabda Rasulullah ; Orang mukmin itu adalah orang yang mulia lagi
dermawan." dalam hadits itu Hajaj tidak menerangkan nama rawi yang
memberikan hadits kepadanya. oleh karena itu sulit sekali untuk
menyelidikinya.
Jika nama seorang rawi disebutkan dengan jelas, akan
tetapi ternyata ia bukan tergolong orang yang sudah dikenal kadilannya
dan tidak ada rawi tsiqah yang meriwayatkan hadits daripadanya,selain
seorang saja, maka rawi yang demikian keadaannya disebut dengan
Majhulul'ain, dan hadits yang diriwayatkannya disebut dengan Hadits
Majhul.
Jika seorang rawi dikenal keadilannya dan kedlabithannya
atas dasar periwayatan orang-orang yang tsiqah, akan tetapi penilaian
orang-orang tersebut belum mencapai kebulatan suara, maka rawi tersebut
dinamai Majhul'lhal, dan hadits yang diriwayatkannya disebut dengan
Hadits Mastur.
11. Hadits Syadz dan Mahfudz
Yang dimaksud dengan syadz menurut muhadditsin adalah;
ما رواه المقبول مخالفا من كان ارجح منه لمزيد ضبط او كثرة عدد او غير ذالك من وجوه الترجيحات
“
Hadits yang driwayatkan oleh seorang yang maqbul(tsiqah) menyalahi
riwayat orang yang lebih rajih, lantaran mempunyai kelebihan kedlabithan
atu banyaknya sanad atau lain sebagnya, dari segi-segi pentarjihan”.
Kejanggalan (Syadz) bias terjad pada sanad ataupun matan.
Sedangkan
hadits mahfudz adalah kebalikan dari hadits syadz, yaitu: “ sauatu
hadits shahih dan hasan yang diriwayatkan oleh orang kepercyan, tetp
menylahi riwayat rawi kepercayaan lain yang kurng kuat”.
12. Hadits Mukhtalith
Hadits mukhtalith menurut muhadditsi adalah;
ما طرأ على الراوي سوء الحفظ لكبر او ضراو احتراق كتبه او عدمها
“Hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya”.
Hadits
yang diriwayatkan oleh rawi yang seperti itu tidak dapat diterima
sebagai hujah. apabila ada hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi
yang hafalannya telah buruk karena berusia lanjut atau karena adanya
sebab yang lain, maka hadits yang diriwayatkannya tersebut harus
ditolak. tetapi hadits-hadits yang diriwayatkannya sebelum keadaan yang
membuatnya jadi pelupa, tetap dapat diterima.
b. Macam-Macam hadts dlaif berdasarkan Gugurnya Rawi
1. Hadits Muallaq
Mu’allaq
adalah isim mf’ul dari allaqa yang artinya menghububgkan, menguatkan
dan menjadikan sebaga sesuatu yang tergantung atau yang digantungkan.
Sanad ini 9suatu hadits) diktakan mu’allaq dkarenakan dia hanya ittishal
(sambung) dengan bagian dan arah atas, namun terputus dari bagian
bawah. Sehingga seolah-olah dia merupakan sesuatu yang tergantung pada
atas dn lain-linnya.
Mu’allaq yang dimaksudkan dalam lmu hadits adalah;
الذي يسقط من اول سنده راو فاكثر
“Hadits yang gugur rawinya seorang atau lebh pada awal sanad”
Maksudnya
gugur yakni tidak disebutnya nama sang rawi dalam suatu periwayatan
hadits. misalnya Imam muslim meriwayatkan suatu hadits sanadnya dari A,
dari B dari C. kemudian Imam Buchori meriwayatkan hadits yang sama tapi
hanya disebut sanadnya dari A, dari B tidak disebutnya si C. nah hadits
yang dikeluarkan oleh Imam Buchory inilah yang disebut hadits Mu'allaq
karena Imam menggugurkan seorang rawi dalam sanad hadits tersebut.
Contoh hadits Muallaq adalah:
قال ابو عيسى: وقد روي عن عائشة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من صلى بعد المغرب عشرين ركعةبنى الله بيتا في الجنة
“
Berkata Abu Isa (Imam turmudzi) dan sesungguhnya telah dirwyatkan dari
Aisyah, dari Nabi saw beliau bersabda, “ barang siap shalat sesudah
maghrib, dua puluh rkat, Allah akna mendirikan baginya sebuah rumah di
surga”.
Kalau diurai gambarn sanad hadits diatasadaah sebagaimana berikut;
a. Abu Isa (imam turmudzi)
b. Aisyah
c. Rasulullah saw.
Imam
Turmudzi sebenarnya tidakpernah bertemu dan tidak sezaman dengan
aisyah. Jadi antara keduanya ada beberapa orang rawi lagi. Karen tidak
disebutkan rawi-rawunya, maka dia gugur, seolah-olah hadits itu
tergantung. Untuk itulah disebut dengan hadits Muallaq.
Ada hadits
mu'allaq yang dibuang seluruh sanadnya oleh Imam hadits, yakni apabila
seorang imam hadits secara langsung mengatakan ; "Rasulullah SAW
bersabda,...dst".
Hadits mu'allaq pada prinsipnya digolongkan
sebagai hadits dlaif disebabkan karena sanad yang di gugurkan itu tidak
dapat diketahui sifat-sifat dan keadaannya secara meyakinkan, baik
mengenai kedlabithannya maupun keadilannya, kecuali bila yang digugurkan
itu adalah seorang sahabat yang memang sudah tidak diragukan lagi
keadilannya.
Namun demikian hadits mu'allaq bisa dianggap sahih bila
sanad yang digugurkan itu disebutkan oleh hadits yang bersanad lain.
seperti hadits mu'allaq yang terdapat dalam shahih buchory sebanyak 1341
buah. dan dalam shahih muslim sebanyak 3 buah telah disebutkan sanad
yang digugurkan oleh Imam Buchory tersebut. Juga harus dihukumi shahih
apabila hadits-hadits yang digugurkan sanadnya oleh Imam Bushory
tersebut ada pada kitab-kitab hadits lain yang telah dihukumi sebagai
hadits sahih, walau harus diberi catatan sebagai hadits yang shahihnya
tidak mutlaq atau perlu diadakan penelitian lebih lanjut.
2. Hadits Mursal
Mursal merupkan isim maf’ul dari fil arsala artinya yang dilepaskan.
Seolah-olah orang yang melepaskan itu melaflzkan isnad, tetapi dia tidak
mau mengikatnya denga perawi yang terkenal.
Dalam istilah ilmu hadits hadits Mursal didefiniskan sebagai berikut:
الذي يسقط من اخر سنده من بعد التابعي
”Hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi'iy”.
Maksudnya
apabila ada tabiin yang menegaskan tentang apa yang telah dikatakan
atau diperintahkan oleh Rasul SAW tanpa menerangkan dari sahabat mana
berita itu. diperolehnya. maka hadits tersebut di sebut sebagai hadits
mursal.
Contoh hadits mursal:
عن مالك عن عبدالله بن ابي بكر بن حزم ان في الكتاب الذي كتبه رسول الله لعمر بن حزم: انلايمس القران الاطاهر
“Dari
malik, dari Abdillah ibn Abi baker ibn hazm, bahwa dalam
surat,Rasulullah Saw, menulis kepada Amr ibn Hazm (tersebut), “bahwa
tidak menyentuh al qur’an melainkan orang yang bersih”
Secara sederhana susunan sanad rawinya adalah:
a. Malik
b. Abdullah ibn Abi bakar
c. Rasulullah Saw
Abdullah
ibn Abi baker dalah seorang tabii, sedangkan seorang tabii tidak semasa
dan tidak bertemu denga nabi Muhammad Saw. Jadi seharusnya Abdullah
menerima riwayat itu dari orang lain atau sahabat. Karena ia tidak
menyebut seorang sahabat atau yang menhabrkan kepadanya itu, tetap ia
langsung kepada Rasulullah Sw, maka yang demikian dinamakan mursal.
Hadits mursal terbagi tiga ; mursal jally, mursal shahaby, dan mursal khafy.
a.
Mursal Jaly, yaitu bila pengguguran yang telah dilakukan oleh rawi
adalah jelas sekali, dapat diketahui oleh umum, bahwa orang yang
menggugurkanitu tidak hidup sezaman dengan orang yang digugurkan yang
mempunyaiberita.
b. Mursal shahaby yaitu pemberitaan sahabat yang
disandarkan kepada Rasul SAW tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan
sendiri apa yang ia beritakan, lantaran di saat Rasulullah hidup ia
masih kecil atau terakhir masuknya ke dalam Islam.
c. Mursal Khafy
ialah hadits yang diriwayatkan oleh tabiiy dimana tabiin yang
meriwayatkan hidup sezaman dengan sahabat tetapi ia tidak pernah
mendengar sebuah haditspun daripadanya.
Soal berhujah dengan hadits Mursal ini para Ulama berbeda pendapat:
a.
Mayoritas muhadditsin menyatakan bahwa hadits mursal tidk dpat
dijadikan hujjah, karena telah gugur dari sanad, perwi yang tidak
dkenal. Orang yang gugur tersebut boleh jadi tidak kepercayaan.
b. Sebagian ulama’ seper Abu hanifah, malik dan ahmad berhujjah dengan hadits Mursal
c. Ulama’ hanfiah menerim hadits ursal, apabila yang mengirsalkan orang ahli (ulama) pada abad-abad ketiga
d.
Imam syafi’I berpendapat bahwa hadits mursal boleh dijadikan hujah
dengan syaray dibantu hadts lin yang musnad, atau dibantu oleh hadits
mursal yang lain yang musnad, atau dibantu oleh hadits mursal yang lan
atau dengan qias.
Sebagian Ulama membatasi hadits mursal itu kepada
yang hanya diriwayatkan oleh tabiin besar saja, sedang yang diriwayatkan
oleh tabiin kecil disebut hadits munqati. Sebagian Ulama yang lainnya
menyamakan keduanya.
3. Hadits Mudallas
Mudallas merupakan isim
maf’ul dari tadlis. Tadlis menurut pengerian bahasa adalah menyimpan
cela atau cacatnya harta dagangan dari pembel. Sedangkan dalam ilmu
hadits didefinisikan sebagai mana berikut:
ما روي علي وجه يوهم انه لا غيب فيه
“ hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahw ahadits itu tidak ternoda”
Hadits mudallah terdapat dua macam yaitu: Mudallas isnad dan mudallas syuyukh.
a. Mudallas isnad
Yaitu
bila seorang rawi yang merwayatkan suatu hadits dari orang yang pernah
bertemu dengan dia tetapi rawi tersebut tidak pernah mendengar hadits
dari padanya. Agar rawi tersebut dianggap mendengar dari rawi yang
digugurkan, ia menggunakan lafadz menyampaikan hadits dengan ‘an fulanin
(dari fulan) atau anna fulanan yaqulu (bahwa si Polan berakata).
Contoh:
“diriwayatkan
oleh an Nu’man ibn rasyid, dari zuhri dari urwah dari aisyah,
bahwasannya rasulullah Saw tidak pernah sekali-kali memulkul seorang
perempuan, dan tidak juga seorang pelayan, melainkan jika ia berjihad di
jalan allah’.
Kalau diuraikan secara sederhana, maa sanadnay adalah;
1. An Nu’man
2. Zuhri
3. Urwah
4. Aisyah
Dengan
kajian sederhana maka sepintas lalu dan melihat susunan sanad, di atas,
aka dapat disimpulkan bahwa Zuhri mendengar riwayat di atas dari urwah,
karena memang telah biasa Zuhri merwayatkan darinya
Padahal anggapan
tersebut keliru, sebab imam Abu Hatim berkata, “Zuhri tidak pernah
mendengar hadits di atas dari urwah …’. Hal ini dapat dsimpulkan bahwa
di antara Zuhri dan urwah da seorang yang disebut oleh Zuhri.
Karenany
riwayat tersebut dia atas disebut dengan Mudallas, tetapi karena
kesamarannya terjadi pada sandaran hadits 9isnad0, maka disebut dengan
Mudallas Isnad. Ornag yang menyamarkan disebut dengan Mudallis. Perbutan
tersebut disebut dengan Tadlis.
Para ulama’ berselish pendapat
mengenai hokum berhujjah dengan hadits ini. Kebanyakan ulama’
mencelanya. Para Muhadditsin, Fuqoha’ dan ushuliyun apat menerima hadits
mudallas sebagai hujjah , bila diterangkan dengan lafadz yang
mewnunjukkan adanya ittishal, sepert sami’tu, haddatsana dan akhbarana.
b. Mudallas Syuyukh.
Yaitu
bla seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits yang didengarnya dari
seorang guru dengan menyebut nama kuniyahnya, nama keturunannya, atau
menyifati gurunya denag sifat-sifat yang tidak/belum dikenal oleh orng
banyak.Misalnya sepert kata Abu bakar bin mujahid al Muqry:
حدثنا عبد الله بن ابي عبيدالله
“Telah bercerita kedaku ‘Abulah bn abi ubaidilah”
Yang dimaksud dengan Abdullah ni adalah Abu Bakar bin abi Daud As Sijistani.
Mudallas Syuyukh dihukumi hadits dla’if, bila tadlis tersebut dimaksudkan untuk menutupi kelemahan hadits.
c. Mudallas Taswiyah
Yaitu
bila seorang rawi meriwayatkan hadits itu dari gurunya yang tsqah, yang
oleh guru tersebut diterima dari gurunya yang lemah, dan guru yang
lemah ini menerima dari guru yang tsiqh pula. Tetapi si mudallis
tersebut meriwayatkannya tanpa menyebutkan rawi-rawi yang lemah, bahkan
ia meriwayatkan dengan lafadz yang mengandung pengertian bahw rawinya
tsiqqah.
Ini dalah termasuk sejahat-jahtnay tadlis. Dan orang yang melakukan tadlis ini maka lunturlah sifat keadilannya.
4. Hadits Munqathi’
Munqathi’ merupakan isim fal dari inqitah’, lawan kata dari Ittishal, yang artinya hadits yang terputus.
Menurut ahli hadts hadits Munqathi’ adalah :
ما سقط من رواته واحد قبل الصحابي في موضع او سقط في موضعين اثنان لا حال كونما متواليين.
“
Adalah hadits yang gugur seorang perawi sebelum sahabat, di satu tempat
atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak
berturut-turut”.
Misalnya hadits berikut:
“Konon Rasulullah SAW
apabila masuk masjid memanjatkan doa ; “Dengan nama Allah, shalawat dan
salam atas Rasulullah. Ya Allah ampunilah dosa�]dosaku dan bukalahan
rahmat untukku. ”
Sanad hadits tersebut yaitu ; dari Abu Bakar Abi
Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim, dari Al -Laits, dari Abdullah bin
hHasan, dari Fathimah binti Husein, dari Fathimah Az-Zahra (putri Rasul
SAW).
Di sanad tersebut terdapat pemutusan yakni rawi sebelum
Fathimah Az-Zahra, sebab Fathimah binti Husein tidak pernah bertemu
dengan Fathimah Az-Zahra yang telah wafat sebulan setelah Rasul SAW
wafat.
Inqitha’ ada kalanya:
1. dengan jelas sekali, bahwa si raw
yang meriwayatkan hadits dapatdiketahui tidak sezaman dengan guru yang
memberikan hadits padanya atau ia hidup sezaman enga gurunya tetapi
tidak mendapt ijzah (periznan) untuk meriwayatkan haditsnya.
2. Dengan samara-samar, yang hany dapat diketahui oleh orang yang punya keahlian saja.
3. Dketahuinya dari jurusan lain, dengan adanya kelebihan seorang rawi atau lebh dalam hadits riwayat orang lan.
Hadits Munqathi’ tidak dapat digunakan sebagai Hujah.
5. Hadits Mu’dlal
Mu’dlal merupakan isim maf’ul dari a’dlala. Yang artinya memayahkan, atau memberatkan, atau tempat melemahkan
Mu’dlal menurut imu hadits adalah;
ما سقط من رواته اثنان او اكثر على التوالي سواء سقط الصحابي والتابعي او التابغعي وتابعهاو اثنان قبلها.
“Hadits
yang gugur rawinyrawinya, dua orang tau lebih, berturut-turut, bak
sahabat bersama tabi’iy, tabi’iy bersama tabi’it tabin, maupun dua orang
sebelum shahaby”.
KLASIFIKASI HADITS BERDASARKAN KUALITAS SANAD
BAB VI
PEMBAGIAN HADITS
MENURUT SANDARANNYA
Hadits
menurut sandarannya terbagi menjadi dua, yaitu maqbul (diterima) dan
mardud (ditolak). Dan berdasarkan pembagian ini terbagi lagi menjadi
empat macam, yaitu :
1. Hadits Qudsi
2. Hadits Marfu’
3. Hadits Mauquf
4. Hadits Maqthu’
1. HADIS QUDSI
a. Pengertian Hadis Qudsi
Secara terminologi hadis qudsi adalah :
هومانقل اليناعن النبي صل الله عليه وسلم مع اسناده اياه الى ربه عزوجل
Yaitu hadis yang diriwayatkan kepada kita dari Nabi SAW yang disandarkan oleh beliau kepada Allah SWT.
Atau :
كل حديث يضيف فيه الرسول صل الله عليه وسلم قولا الى الله عزوجل.
Setiap hadis yang disandarkan Rasulullah SAW perkataannya kepada Allah Azza wa Jalla
Definisi
tersebut menjelaskan bahwa hadis Qudsi itu adalah perkataan yang
bersumber dari Rasulullah SAW, namun disandarkan beliau kepada Allah
SWT. Akan tetapi, meskipun itu perkataan atau firman Allah, hadis Qudsi
bukanlah al-Quran.
b. Perbedaan antara Hadis Qudsiy dan al-Quran
Antara al-Quran dan Hadis Qudsiy terdapat beberapa perbedaan, yaitu :
1.
Al-Quran lafaz dan maknanya berasal dari Allah SWT. Sedangkan hadis
Qudsi maknanya berasal dari Allah SWT, sementara lafaznya dari
Rasulullah SAW
2. Al-Quran hukum membacanya adalah ibadah, sedangkan hadis Qudsi membacanya tidak dihukumi ibadah
3.
Periwayatan dan keberadaan al-Quran disyaratkan harus mutawatir,
sementra hadis Qudsi periwayatannya tidak disyaratkan mutawatir
4.
Al-Quran adalah mukjizat dan terpelihara dari terjadinya perubahan dan
pertukaran serta tidak boleh diriwayatkan secara makna. Sedangkan hadis
Qudsi bukanlah mukjizat, dan lafaz serta susunan kalimatnya bisa saja
berubah, karena dimungkinkan untuk diriwayatkan secara makna
5. Al-Quran dibaca di dalam shalat sedangkan hadis qudsi tidak
c. Perbedaan antara Hadis Qudsi dengan Hadis Nabawi
Berdasarkan pengertian dan criteria yang dimilki hadis Qudsi, terdapat perbedaan antara hadis Qudsi dan hadis Nabawi, yaitu :
Bahwa
Hadis Qudsi, nisbah atau pebangsaannya adalah kepada Allah SWT, dan
Rasulullah berfungsi sebagai yang menceritakan atau meriwayatkannya dari
Allah SWT. Oleh karena itu, dihubungkanlah hadis tersebut dengan
al-Quds (maka dinamai Hadis Qudsi), atau dengan al-Ila (maka dinamai
Hadis Ilahi)
Sedangkan Hadis Nabawi, nisbah atau pebangsaannya adalah kepada Nabi SAW dan sekaligus peiwayatannya adalah dari beliau.
عن
أبي ذ ررضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم فيما روي عن الله تبا رك
وتعا لى انه قال : ياعبادي اني حرمت الظلم على نفسي و جعلته بينكم محرما
فلا تظالموا.
“Dari Abi Dzar r.a, dari Nabi SAW menurut apa yang
diriwaytkan beliau dari Allah SWT, bahwasanya Dia berfirman ," wahai
hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharapkan berbuat aniyaya atas diri-Ku dan
Aku jadikan kezaliman itu diantar kamu sebagai perbuatan yang haram,
maka oleh karena itu jangan lah kamu saling berbuat aniaya”.
d. Lafadz-lafadz hadis Qudsi
Di dalam meriwayatkan hadis Qudsi, ada dua lafaz yang digunakan, yaitu :
قال رسول الله صلي الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عز وجل.
Bersabda Rasulullah SAW menurut apa yang diriwayatkan beliau dari Allah SWT
قال الله تعالي , فيما رواه عنه رسول الله صلي الله عليه وسلم .
Berfirman Allah SWT menurut yang diriwayatkan dari padaNya oleh Rasulullah SAW.
2. HADIS MARFU'
a. Pengertian Hadis Marfu'
Hadis Marfu' adalah :
مااضيف الى النبي صلى الله عليه وسلم من قول او فعل اوتقريرأوصفة.
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perkataan , perbuatan, taqrir (ketetapan) atau sifat.
Dari
definisi di atas dapat difahami bahwa segala sesuatu yang disandarkan
kepada Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat
beliau disebut dengan hadis Marfu'. Orang yang menyandarkan itu boleh
jadi Sahabat, atau selain sahabat. Dengan demikian, sanad dari hadis
Marfu' ini bisa Muthasil, bisa pula Munqathi, Mursal, atau Mu'dhal dan
Mu'allaq.
b. Hukum Hadis Marfu'
Hukum hadis Marfu' tergantung pada
kwalitas dan bersambung atau tidaknya sanad, sehingga dengan demikian
memungkinkan suatu hadis Marfu' itu berstatus shahi, hasan, atau dhaif.
3. HADIS MAUQUF
a. Pengertian Hadis Mauquf
Beberapa ulama hadis memberikan terminology hadis Mauquf sebagai berikut :
هوما رواه عن الصحابي من قول له أو فعل أو تقرير , متصلا كان أو منقطعا.
Yaitu
segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat dalam bentuk perkataan,
perbuatan, atau taqrir beliau, baik sanadnya muttashil atau munqathi.
ما أضيف الى الصحا بي من قول أو فعل أو تقو ير.
Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat berupa perkataan, perbuatan, atupun taqrir beliau.
Dari
beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu yang
diriwayatkan atau dihubungkan kepada seorang sahabat atau sejumlah
sahabat baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, disebut hadis mauquf,
dan sanad hadis mauquf tersebut boleh jadi muttashil atau munqathi.
Contoh hadis mauquf :
قول البخاري : قال علي بن أبي طا لب رضي الله عنه : حدثوا الناس بما يعر فون, أ تريدون ان يكذب الله ورسوله.
Bukhari
berkata, "Ali r.a berkata, bicaralah dengan manusia tentang apa yang
diketahui/difahaminya, apakah kamu ingin bahwa Allah dan Rasul-Nya
didustai."
قول البخاري : وأم أنُِِِ عَباس وهوميمم.
Bukhari berkata, "dan Ibnu Abas telah menjadi imam dalam shlat sedangkan dia bertayamum."
Para
Fuqoha Khurasan menamai hadis mauquf dengan atsar, dan hadis marfu
dengan khabar. Namun para ahli hadis menamai keduanya dengan atsar.
Karena atsar pada dasarnya berarti riwayat atau sesuatu yang
diriwayatkan.
b. Hadis Mauquf yang berstatus Marfu'
Diantara hadis
mauquf terdapat hadis yang lafadz dan bentuknya mauquf, namun setelah
dicermati hakikatnya bermakna marfu', yaitu berhubungan dengan Rasul
SAW. Hadis yang demikian dinamai oleh para ulama hadisdengan al-Mauquf
lafdzhan al-Marfu' ma'nan,yaitu secara lafaz berstatus mauquf, namun
secar mkana bersifat marfu'
c. Hukum hadis Mauquf
Apabila suatu
hadis mauquf berstatus hukum marfu sebagaimana yang dijelaskan diatas,
dan berkwalitas shahih atau hasan, maka ststus hukumnyapun sama dengan
hadis marfu itu.
Akan tetapi jika tidak berstatus marfu, maka para ulama hadis berbeda pendapat tentang kehujahannya.
4. HADIS MAQTHU'
a. Pengertian Hadis Mqthu'
secara terminology hadis maqthu' adalah :
وهو الموقوف التابعي قولا له أوفعلا.
Yaitu sesuatau yang terhenti (sampai)pada Tabii baik perkataan maupun perbuatan tabi'i tersebut.
ماأضيف الى التابعي أو من دونه من قول أوفعل .
Sesuatu yang disandarkan kepada tabi'i atau generasi yang datang sesudahnya berupa perkataan atau perbuatan.
Hadis
Maqthu tidak sama dengan munqhati, karena maqthu adalah sifat dari
matan, yaitu berupa perkataan Tabi'in atau Tabi at-Tabi'in, sementar
munqathi adalah sifat dari sanad, yaitu terjadinya keterputusan sanad.
b. Contoh Hadis Maqthu'
قول الحسن البصري في الصلاة خلف المبتدع : صل وعليه بد عته.
Perkataan Hasan Bashri mengenai shalat di belakang ahli bid'ah" Shlatlah dan dia akan menanggung dosa atas perbuatan bid'ahnya"
c. Status Hukum Hadis Maqthu'
Hadis
Maqthu' tidak dapat dijadiakan sebagai hujjah atau dalil untuk
menetapkan suatu hukum, karena status dari perkataan Tabi'in sama dengan
perkataan Ulama lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar