Selasa

Definisi Hadits

A. Secara Lughowi (Harfiyah)  Hadits adalah ism masdar, yang fi’il madhi dan mudhori’nya, hadatsa – yahdutsu. Maknanya ada 4 : a.       Af’al (Perbuatan)
Dalam hadits arbain dikatakan :
عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ  رَدٌّ.   [رواه البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ] 
Dari Ummul Mu’minin; Ummu Abdillah; Aisyah radhiallahuanha dia berkata : Rasulullah J bersabda : Siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya, maka dia tertolak. (Riwayat Bukhori dan Muslim), dalam riwayat Muslim disebutkan: siapa yang melakukan suatu perbuatan (ibadah) yang bukan urusan (agama) kami, maka dia tertolak).

Ahdasa diambil dari kata hadits, mengikuti wazan af’ala, yang artinya ’amila ’amalan la minar rasul (mengada-adakan atau melakukan perbuatan lain yang tidak ada dizaman rasul). Jadi hadits disini bermakna perbuatan, dan kalau berubah menjadi ahdasa, maka maknanya berbuat-buat atau mengadakan perbuatan.

b. Akhbar/aqwal (Cerita atau perkataan atau kabar)
Dalam sejarah dikenal istilah haditsul ifki, (cerita bohong), berkenaan dengan tuduhan keji terhadap ibunda Aisyah r.a.
Dan didalam alquran, terdapat 220 kata, hadits serta pecahannya. Yang berarti cerita atau menceritakan. Contoh dalam surat Ad Duha ayat sebelas, Allah berfirma, “Dan terhadap nikmat Robbmu maka hendaklah engkau menceritakannya”. 
Dalam penukilan hadits pun, terutama di shohihnya Imam Muslim rahimahullah; dikenal istilah akhbarona dan haddatsana. akhbarona (telah mengkabarkan  kepada kami) sedangan ahdasana (telah menceritakan kepada kami).

Di dalam tata cara Talaqqi (mentransfer, menerima) hadits, para ulama hadits membedakan antara lafazh yang ditransfer langsung dari Syaikh (Guru) dan yang dibacakan kepada syaikh. Bila Syaikh menceritakan tentang hadits, baik dari hafalannya atau pun dari kitab (tulisan)-nya dan membacakan kepada para murid sementara mereka menyalin hadits-hadits yang dibicarakan Syaikh tersebut; maka ini dinamakan dengan as-Samaa’ yang sering diungkapkan dengan kalimat “Yuhadditsuni” atau “Haddatsani.”
Bila seorang penuntut ilmu mentransfer hadits tersebut di majlis seperti ini, maka ia harus menggunakan bentuk plural (jamak), yaitu “Haddatsanaa” karena berarti ia mentrasfer hadits itu bersama peserta yang lainnya. Dan jika ia mentransfernya secara pribadi (sendirian) dari Syaikh langsung, maka ia mengungkapkannya dengan “Hadtsani” yakni secara sendirian.
Adapun bila hadits tersebut dibacakan kepada Syaikh (dengan metode Qiraa`ah), seperti misalnya, Imam Malik menyerahkan kitabnya “al-Muwaththa`” kepada salah seorang muridnya, lalu ia (si murid) membaca dan beliau mendengar; jika si murid ini salah, maka ia menjawab dan meluruskan kesalahannya, bila tidak ada yang salah, ia terus mendengar. Metode ini dinamai oleh para ulama hadits dengan metode “al-‘Ardh” (pemaparan) dan “Qiraa`ah ‘Ala asy-Syaikh” (membaca kepada Syaikh).
Mereka (para ulama hadits) mengungkap dengan lafazh seperti ini secara lebih detail manakala seseorang ingin menceritakan (meriwayatkan) hadits, maka ia harus mengungkapkan dengan “Akhbarani” bukan dengan “Haddatsani” . Maksudnya bahwa ia menerima (Mentransfer) hadits tersebut bukan dari lafazh Syaikh secara langsung tetapi melalui murid yang membacakannya kepada Syaikh tersebut.  
Inilah sebabnya kenapa mereka membedakan antara penggunaan lafazh “Haddatsana” dan lafazh “Akhbarana.” Tapi secara pokok, artinya sama, mendapatkan kabar/cerita. Pendek kata, secara esensial kata hadits juga berarti juga akbar (kabar).
C. Jadid (baru) Dalam aqidah menurut imam mazhab Asyar’iyah, dikenal ada 20 sifat wajib Allah, ada 20 sifat muhal (mustahil) Allah dan ada satu sifat jaiz. Dan yang kang kedua dari sifat wajib Allah setelah wujud adalah Qidam. Lawannya qidam adalah hadits. Qidam artinya dahulu, sedangkan hadits artinya baru atau ada permulaan. (4) Jadi hadits disini artinya adalah baru, atau ada permulaan. Didalam ilmu fiqh pun dikenal dengan istilah hadats ashghor dan hadats akbar, hadts disini juga bermakna tajdid (memperbaharui/membikin baru lagi). D. Qorib (dekat)
Dalam bahasa arab, ada kalimah antum haditsun minni bil islam, kamu terasa dekat dengan saya karena islam. Jadi hadits disini, artinya dekat perasaan/hati.
2. Hadits Secara Ishtilahi (definisi) 
Hadits (الحديث) adalah segala perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan persetujuan (taqrir) dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama (4) serta sifat dari rasulullah lahiriyah maupun bathiniyah (5)
Hadits-hadits Nabi s.a.w. itu dinamakan dengan “Al Hadits” ialah karena ada persesuaian dengan arti dari segi bahasanya yang memberi makna “baharu” lawan kepada “Al Qadim”. Seolah-olahnya apa yang disandarkan kepada Nabi s.a.w. yang dikenali dengan Al Hadits itu adalah sesuatu yang lain daripada Al Quran yang qadim – demikian kata Syeikhul Islam Hafidz Ibnu Hajar.
Sementara Allamah Syabir Ahmad Utsmani berpendapat bahwa hadits- hadits Rasulullah s.a.w. itu sebenarnya merupakan pernyataan Nabi s.a.w. akan nikmat Allah s.w.t. yang paling besar yaitu Islam seperti yang terdapat dalam firman Allah s.w.t. bermaksud : “Pada hari ini aku sempurnakan  untuk kamu agamamu, aku lengkapkan kepadamu nikmatku dan aku redhai Islam sebagai agama untukmu”. (Surah Al Maaidah : 3)


Dalam hubungan dengan al-Qur’an , maka as-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, penjelas atas ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi as-Sunnah dalam hubungan dengan al-Qur’an itu adalah sebagai berikut:
a. Bayan Tafsiri, yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum mujmal dan musytarak. Seperti hadits: “Shallukama ra’aitumuni ushalli” (shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran dari ayat al-Qur’an yang umum, yaitu: “Aqimush-shalah” (kerjakan shalat). Demikian pula dengan hadits: “khudzu ‘annimanasikakum” (ambilah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsiran ayat al-Qur’an “Waatimmulhajja” (dan sempurnakan hajimu).
Termasuk bayan tafisiri adalah:
- ayat-ayat Al Quran yang tersebut secara mujmal, diperincikan oleh Hadits, contoh Hukum-hukum di dalam Al Quran yang disebut secara umum dengan tidak menyebutkan kaifiat, sebab-sebab, syarat-syarat dan lainnya semuanya diperjelaskan oleh hadits, eperti dalil halal haram dalam makanan, dalam masalah ibadah sholat dll.
- Ayat-ayat yang mutlaq kemudian dimuqayyadkan oleh hadits sesuai dengan tempat dan keadaan yang menghendakinya. Seperti ayat tentang muamalah, munakahat, siyasiyah, dll-
- Ayat-ayat yang musykil diterangkan oleh hadits, contoh ayat-ayat yang terkait dengan masalah aqidah, ayat yang memiliki makna khusus, dll.
 b. Bayan Taqriri, yaitu as-Sunnah yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur’an, seperti hadits yang berbunyi: “Shaumul liru’yatihi wafthiruliru’yatihi” (berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat al-Qur’an dalamsurat al-Baqarah:185.
Termasuk bayan taqirir adalah hadits yang menyatakan hukum-hukum, saluran dan saranan bagi sesuatu perkara sesuai dengan masa atau situasi dan kondisi bagi berlakunya perkara-perkara itu berlandaskan prinsip dan objektif Al Quran.  Dan Hadits-hadits menarik kaedah prinsipal daripada keterangan-keterangan Al Quran yang boleh dijadikan sebagai panduan untuk mengqiaskan persoalan-persoalan yang baru timbul.
 c. Bayan Taudhihi, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat al-Qu r’an, seperti pernyataan Nabi: “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati” adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat al-Qur’an dalam surat at-Taubah:34 yang berbunyi sebagai berikut: “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak yang kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang sangat pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
Termasuk dalam bayan taudhihi, adalah Hadits-hadits menceritakan sebab-sebab, hikmat dan maslahat-maslahat di sebalik ketentuan hukum dalam Al Quran yang boleh dijadikan kaedah dan prinsip dalam menentukan hukum-hukum yang tidak tersebut di dalamnya.. Nabi s.a.w. mengambil hikmat ilahi daripada bimbingan, panduan dan misi Al Quran, kemudian menjelaskannya kedalam kehidupan amali manusia.

*****nama Hadis dan penciptanya
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad,[26] al-Bukhāriy,[27] Muslim,[28] dan Ibnu Mājah.[29] Untuk menelusurinya lebih lanjut, seseorang yang sedang melakukan kegiatan takhrīj, dapat menggunakan kitab Al-Jāmi‘ al-Shagīr fī Ahādīts al-Basyīr al-Nadzīr karya al-Suyūthiy, sebagaimana kitab yang ada pada A. Hassan. Hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut:

Hadis no. 3092:

الإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. (م 3) عن عمر (صحـ)

Hadis no. 3093:

الإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَالْمِيْزَانِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. (هب) عن عمر (صحـ)

Pada akhir matan Hadis no. 3092 terdapat symbol (م 3) عن عمر (صحـ) maksudnya, Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim,[30] Abū Dāwud,[31] al-Nasā’iy,[32] dan al-Turmudziy,[33] dari ‘Umar ibn al-Khaththāb, dengan kualitas shahīh. Demikian pula pada akhir matan Hadis no. 3093 terdapat symbol (هب) عن عمر (صحـ) maksudnya, Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bayhaqiy dalam kitabnya, Syu‘ab al-Īmān,[34] dari ‘Umar ibn al-Khaththāb, dengan kualitas shahīh pula. Demikian menurut al-Suyūthiy.[35]

Setelah Hadis-Hadis tersebut diketahui sumber kitabnya, maka seseorang yang sedang memeriksa Hadis ini harus terus menelusuri dan mengumpulkan seluruh sanad dan matan-nya masing-masing dari kitab-kitab para Pendaftar Hadis tersebut untuk kemudian dibuatkan gambaran sanad-nya.

b. Gambaran Sanad

Setelah mengadakan kegiatan takhrīj al-hadīts maka langkah selanjutnya adalah pemeriksaan terhadap sanad yaitu dengan melakukan kegiatan al-i‘tibār[36] terlebih dahulu atau dalam istilah A. Hassan dinamai “gambaran sanad”.[37] Hal ini dilakukan agar supaya orang yang memeriksa Hadis dapat mengetahui ada atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus syāhid atau mutābi‘.

Contoh gambaran sanad Hadis kedatangan Jibrīl bertanya tentang iman, islam, dan ihsan tersebut di atas, melalui jalan sahabat Abū Hurayrah radhiya Allāh ‘anhu

Gambaran sanad Hadis riwayat Ahmad, sebagai berikut:

1. Ahmad (haddatsanā)

2. Isma‘īl ibn Ibrāhīm (haddatsanā)

3. Abū Hayyān al-Taymiy (‘an)

4. Abū Zur‘ah, (‘an)

5. Abū Hurayrah radhiya Allāh ‘anhu, (qāla)

6. Al-Nabiy shalla Allāh ‘alayhi wa sallam

Gambaran sanad Hadis riwayat al-Bukhāriy, sebagai berikut:

1. Al-Bukhāriy (haddatsanā)

2. Musaddad (haddatsanā)

3. Isma‘īl ibn Ibrāhīm (akhbaranā)

4. Abū Hayyān al-Taymiy (‘an)

5. Abū Zur‘ah, (‘an)

6. Abū Hurayrah radhiya Allāh ‘anhu, (qāla)

7. Al-Nabiy shalla Allāh ‘alayhi wa sallam

Gambaran sanad Hadis riwayat Muslim, sebagai berikut:

1. Muslim (haddatsanā)

2. Abū Bakr ibn Abī Syaybah dan Zuhayr ibn Harb (haddatsanā)

3. Isma‘īl ibn Ibrāhīm (‘an)

4. Abū Hayyān al-Taymiy (‘an)

5. Abū Zur‘ah, (‘an)

6. Abū Hurayrah radhiya Allāh ‘anhu, (qāla)

7. Al-Nabiy shalla Allāh ‘alayhi wa sallam

Gambaran sanad Hadis riwayat al-Nasā’iy, sebagai berikut:

1. Al-Nasā’iy (akhbaranā)

2. Muhammad ibn Qudāmah ibn A‘yun al-Qurasyiy (‘an)

3. Jarīr ibn Abd al-Hamīd al-Tsaqafiy (‘an)

4. Abū Farwah ‘Urwah ibn al-Hārits al-Hamdāniy (‘an)

5. Abū Zur‘ah ibn ‘Amr, (‘an)

6. Abū Hurayrah dan Abū Dzarr al-Gifāriy radhiya Allāh ‘anhuma, (qālā)

7. Al-Nabiy shalla Allāh ‘alayhi wa sallam

Gambaran sanad Hadis riwayat Ibnu Mājah, sebagai berikut:

1. Ibnu Mājah (haddatsanā)

2. Abū Bakr ibn Abī Syaybah (haddatsanā)

3. Isma‘īl ibn Ibrāhīm (‘an)

4. Abū Hayyān al-Taymiy (‘an)

5. Abū Zur‘ah, (‘an)

6. Abū Hurayrah radhiya Allāh ‘anhu, (qāla)

7. Al-Nabiy shalla Allāh ‘alayhi wa sallam

Contoh gambaran sanad Hadis kedatangan Jibrīl bertanya tentang iman, islam, dan ihsan kepada Nabi saw. di hadapan para sahabat tersebut di atas, melalui jalan sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab radhiya Allāh ‘anhu.

Gambaran sanad Hadis riwayat Muslim, sebagai berikut:

1. Muslim (haddatsanā)

2. Zuhayr ibn Harb (haddatsanā)

3. Wakī‘ ibn al-Jarrāh (‘an)

4. Kahmas ibn al-Hasan (‘an)

5. ‘Abd Allāh ibn Buraydah (‘an)

6. Yahya ibn Ya‘mar (simā‘)

7. ‘Abd Allāh ibn ‘Umar ra. (haddatsanīy)

8. ‘Umar ibn al-Khaththāb radhiya Allāh ‘anhu, (qāla)

9. al-Nabiy shalla Allāh ‘alayhi wa sallam

Gambaran sanad Hadis riwayat Abū Dāwud, sebagai berikut:

1. Abū Dāwud (haddatsanā)

2. ‘Ubayd Allāh ibn Mu‘ādz (haddatsanā)

3. Mu‘ādz ibn Mu‘ādz ibn Nashr al-‘Anbariy (haddatsanā)

4. Kahmas ibn al-Hasan (‘an)

5. ‘Abd Allāh ibn Buraydah (‘an)

6. Yahya ibn Ya‘mar (simā‘)

7. ‘Abd Allāh ibn ‘Umar ra. (haddatsanīy)

8. ‘Umar ibn al-Khaththāb radhiya Allāh ‘anhu, (qāla)

9. al-Nabiy shalla Allāh ‘alayhi wa sallam

Gambaran sanad Hadis riwayat al-Nasā’iy, sebagai berikut:

1. Al-Nasā’iy (akhbaranā)

2. Ishāq ibn Ibrāhīm al-Hanzhaliy al-Marūziy (haddatsanā)

3. Al-Nadhr ibn Syumayl al-Nahwiy (anba’anā)

4. Kahmas ibn al-Hasan (haddatsanā)

5. ‘Abd Allāh ibn Buraydah (‘an)

6. Yahya ibn Ya‘mar (simā‘)

7. ‘Abd Allāh ibn ‘Umar radhiya Allāh ‘anhu, (haddatsanīy)

8. ‘Umar ibn al-Khaththāb radhiya Allāh ‘anhu, (qāla)

9. al-Nabiy shalla Allāh ‘alayhi wa sallam

Gambaran sanad Hadis riwayat al-Turmudziy, sebagai berikut:

1. Al-Turmudziy (haddatsanā)

2. Abū ‘Ammār al-Husayn ibn Hurayts al-Khuzā’iy (akhbaranā)

3. Wakī‘ ibn al-Jarrah (‘an)

4. Kahmas ibn al-Hasan (‘an)

5. ‘Abd Allāh ibn Buraydah (‘an)

6. Yahya ibn Ya‘mar (simā‘)

7. ‘Abd Allāh ibn ‘Umar radhiya Allāh ‘anhu, (haddatsanīy)

8. ‘Umar ibn al-Khaththāb radhiya Allāh ‘anhu, (qāla)

9. al-Nabiy shalla Allāh ‘alayhi wa sallam

Para ulama Hadis membagi sanad kepada tiga bagian, yaitu (1) awal sanad, (2) akhir sanad, dan (3) wasath sanad, yakni pertengahan sanad. Umpamanya, al-Bukhāriy dan atau orang yang sampaikan Hadis kepadanya, seperti Musaddad, disebut awal sanad. Sedangkan Abū Hurayrah radhiya Allāh ‘anhu dan atau orang yang menerima Hadis darinya, seperti Abū Zur‘ah ibn ‘Amr, disebut akhir sanad. Adapun selain mereka, seperti Isma‘īl ibn Ibrāhīm dan Abū Hayyān al-Taymiy, disebut pertengahan sanad. Perhatikan gambaran sanad Hadis riwayat al-Bukhāriy di atas, demikian pula seterusnya dengan sanad-sanad Muslim, Abū Dāwud, dan lainnya.[38]

Adapun kata “haddatsanā” dan lain-lainnya itu merupakan lambang-lambang periwayatan. Dari lambang-lambang periwayatan inilah seseorang yang sedang memeriksa persambungan sanad Hadis dapat mengetahui cara para perawi menerima dan meriwayatkan Hadis. Umpamanya, kata haddatsanā yang artinya “ia telah menceritakan kepada kami”, menunjukkan bahwa perawi yang menggunakan lambang ini, “mendengar langsung” Hadis tersebut dari gurunya. Insya Allah, pada pembahasan thuruq al-tahammul wa al-adā’ mendatang, penulis akan menguraikannya lebih lanjut.

c. Syāhid dan Mutābi‘

A. Hassan menjelaskan pengertian syāhid yang artinya penyaksi, umpamanya, jika ada satu Hadis Nabi Muhammad shalla Allāh ‘alayhi wa sallam yang diriwayatkan oleh al-Bukhāriy, dari jalan Ibnu ‘Abbās radhiya Allāh ‘anhu, kemudian Hadis yang sama maknanya itu diriwayatkan pula melalui jalan sahabat lain, maka jalan sahabat lain inilah dinamakan syāhid. Adapun Mutābi‘ artinya yang mengikuti atau yang mengiringi, umpamanya, bila Hadis tadi, diriwayatkan dari Ibn Abbās juga, maka yang ini dinamakan mutābi‘.[39]

Jadi, syāhid itu adalah satu Hadis yang matan-nya mencocoki matan Hadis lain, dan biasanya sahabat yang meriwayatkannya pun berlainan.[40]

Contoh matan Hadis kedatangan Jibrīl bertanya tentang iman, islam, dan ihsan tersebut di atas, melalui jalan sahabat Abū Hurayrah radhiya Allāh ‘anhu. Setelah diperiksa melalui gambaran sanad, ternyata terdapat sahabat Abū Dzarr al-Gifāriy dan ‘Umar ibn al-Khaththāb radhiya Allāh ‘anhuma yang menjadi syāhid-nya, demikian seterusnya, walaupun lafazh matan-nya ada perbedaan, namun maknanya mencocoki, inilah yang disebut syāhid ma‘nan. Bila lafazhnya sama disebut syāhid lafzhan.

Adapun mutābi‘ itu adalah satu Hadis yang sanad-nya menguatkan sanad lain dari Hadis itu juga.[41]

Contoh sanad Hadis kedatangan Jibrīl bertanya tentang iman, islam, dan ihsan tersebut di atas, melalui jalan sahabat Abū Hurayrah radhiya Allāh ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Bukhāriy, ia berkata: (haddatsanā) Musaddad (haddatsanā) Isma‘īl ibn Ibrāhīm, dst. dan pada sanad Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, ia berkata: (haddatsanā) Abū Bakr ibn Abī Syaybah dan Zuhayr ibn Harb (haddatsanā) Isma‘īl ibn Ibrāhīm, dst. ternyata antara guru al-Bukhāriy, yakni Musaddad dan dua guru Muslim, yakni Abū Bakr ibn Abī Syaybah dan Zuhayr ibn Harb sama-sama menerima Hadis di atas dari Isma‘īl ibn Ibrāhīm. Guru-guru Muslim itulah yang disebut mutābi‘.



*****Berikut ini adalah para rawi hadits yang masyhur dalam 12 Thobaqot yang ada:

1. Thobaqot yang pertama : para shahabat (الصحابة).
InsyaAllah mereka sudah masyhur bagi kita, jadi tidak perlu disebutkan di sini.

2. Thobaqot yang kedua : thobaqot Kibar Tabi’in (كبار التابعين).
Sa’id bin al-Musayyib, Abu Wa’il Syaqiq bin Salamah, Masruq bin al-Ajda’, Abul ‘Aliyah, Syuraih bin al-Harits al-Qodhi, al-Ahnaf bin Qois, Muhammad bin al-Hanafiyyah (yakni Muhammad bin ‘Ali bin Abi Tholib), Abu Idris al-Khoulani, ‘Atho’ bin Yasar (bekas budak Maimunah), Shilah bin Zufar, dll.

3. Thobaqot ketiga : thobaqot pertengahan dari tabi’in (الطبقة الوسطى من التابعين).
‘Atho’ bin Abi Robah, Muhammad bin Sirin, Sa’id bin Jubair, al-Hasan al-Bashri, Sulaiman bin Yasar, Thowus bin Kaisan, ‘Amir asy-Sya’bi, ‘Urwah bin Zubair, ‘Ikrimah, ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali bin Abi Tholib (dikenal juga dengan Zainul Abidin), Mujahid, Nafi’ (bekas budak Ibnu ‘Umar), Abu Qilabah al-Jarmi, Wahb bin Munabbih, Salim bin Abdillah bin ‘Umar bin al-Khoththob, Hafshoh bintu Sirin, dll.

4. Thobaqot keempat : Tabi’in Kecil (صغار التابعين).
Maimun bin Mihron, Sulaiman bin Thorkhon At-Taimi, Qotadah bin Di’amah, Ibnu Syihab Az-Zuhri, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz (Sang Amirul Mu’minin), Amr bin Dinar, dll.

5. Thobaqot kelima : Thobaqot yang paling kecil dari tabi’in (الطبقة الصغرى من التابعين).
Ibrohim An-Nakho’i, Ayyub As-Sikhtiyani, Hisyam bin Urwah, Yahya bin Sa’id Al-Anshori, Yahya bin Abi Katsir At-Tho’i, Sulaiman bin Mihron al-A’masy, Mak-hul asy-Syami, Yunus bin ‘Ubaid, dll.

6. Thobaqot keenam : thobaqot yang sezaman dengan thobaqot ke-5 (عاصروا الخامسة).
An-Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah (al-Imam), Ja’far ash-Shodiq, Abdul Malik bin Juraij, Ibnu ‘Aun, dll.

7. Thobaqot ketujuh : thobaqot Kibar Tabi’ut Tabi’in (كبار أتباع التابعين).
Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas (Imam Darul Hijroh, penulis al-Muwaththo’), al-Laits bin Sa’ad, Abdurrohman bin ‘Amr al-Auza’i, Syu’bah bin al-Hajjaj, Ma’mar bin Rosyid, dll.

8. Thobaqot kedelapan : thobaqot Tabi’u Tabi’in Pertengahan (الوسطى من أتباع التابعين).
Abdullah bin al-Mubarok, Sufyan bin ‘Uyainah, Fudhail bin ‘Iyadh, Hammad bin Zaid, Hammad bin Salamah, Ibnu ‘Ulaiyyah, dll.

9. Thobaqot kesembilan : thobaqot yang paling kecil dari Tabi’ut Tabi’in (الصغرى من أتباع التابعين).
Abdurrahman bin Mahdi, Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (al-Imam), Waki’ bin al-Jarroh, Abdurrozzaq ash-Shon’ani (Penulis Mushonnaf Abdirrozzaq), Sulaiman bin Harb, Yahya bin Sa’id al-Qoththon, Abu Dawud ath-Thoyalisi (Penulis Musnad ath-Thoyalisi), Yazid bin Harun, dll.

10. Thobaqot kesepuluh : thobaqot tertinggi yang mengambil hadits dari Tabi’ut Taabi’in (كبار الاخذين عن تبع الاتباع).
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (Imam Ahlis Sunnah wal Jama’ah), Yahya bin Ma’in, Ishaq bin Rohawaih, Ibnu Abi Syaibah (Penulis Mushonnaf Ibni Abi Syaibah), Musaddad bin Musarhad, Sa’id bin Manshur (Penulis Sunan Sa’id bin Manshur), Ali bin al-Madini, dll.

11. Thobaqot kesebelas : thobaqot pertengahan dari rowi yang mengambil hadits dari Tabi’ut Tabi’in (الوسطى من الاخذين عن تبع الاتباع).
Muhammad bin Isma’il al-Bukhori (Penulis Shohih al-Bukhori), Abu Hatim ar-Rozi, Abu Zur’ah ar-Rozi, Abu Dawud as-Sijistani (penulis Sunan Abi Dawud), Abdullah bin Abdurrahman ad-Darimi (Penulis Sunan ad-Darimi), Muhammad bin Sa’ad bin Mani’ (Ibnu Sa’ad, Penulis ath-Thobaqot al-Kubro), dll.

12. Thobaqot keduabelas : thobaqot yang rendah dari rowi yang mengambil hadits dari Tabi’ut Tabi’in (صغار الاخذين عن تبع الاتباع).
Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi (Penulis Jami’ at-Tirmidzi), Ibnu Abid Dunya al-Baghdadi, Abdullah bin Ahmad (anak al-Imam Ahmad bin Hanbal).

****Istilah2 hadist
1. Mutawatir
Hadits yang diriwayatkan dari banyak jalan (sanad) yang lazimnya dengan jumlah dan sifatnya itu, para rawinya mustahil bersepakat untuk berdusta atau kebetulan bersama-sama berdusta. Dan perkara yang mereka bawa adalah perkara yang inderawi yakni dapat dilihat atau didengar. Hadits mutawatir memberi faidah ilmu yang harus diyakini tanpa perlu membahas benar atau salahnya terlebih dahulu.




2. Ahad
Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.

3. Shahih (sehat)
Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil (muslim, baligh, berakal, bebas dari kefasiqan yaitu melakukan dosa besar atau selalu melakukan dosa kecil, dan bebas dari sesuatu yang menjatuhkan muru’ah/kewibawaan) dan sempurna hafalannya/penjagaan kitabnya terhadap hadist itu, dari orang yang semacam itu juga dengan sanad yang bersambung, tidak memiliki ‘illah (penyakit/kelemahan) dan tidak menyelisihi yang lebih kuat. Hadits shahih hukumnya diterima dan berfungsi sebagai hujjah.

4. Hasan (baik)
Hadits yang sama dengan hadits yang shahih kecuali pada sifat rawinya di mana hafalannya/penjagaan kitabnya terhadap hadits tidak sempurna, yakni lebih rendah. Hadits hasan hukumnya diterima.

5. Dha’if (lemah)
Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hasan. Hadits dha’if hukumnya ditolak.

6. Maudhu’ (palsu)
Hadits yang didustakan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam padahal beliau tidak pernah mengatakannya, hukumnya ditolak.

7. Mursal
Yaitu seorang tabi’in menyandarkan suatu ucapan atau perbuatan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hukumnya tertolak karena ada rawi yang hilang antara tabi’in tersebut dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mungkin yang hilang itu adalah rawi yang lemah.

8. Syadz
Hadits yang sanadnya shahih atau hasan namun isinya menyelisihi riwayat yang lebih kuat dari hadits itu sendiri, hukumnya tertolak.

9. Mungkar
Hadits yang sanadnya dha’if dan isinya menyelisihi riwayat yang shahih atau hasan dari hadits itu sendiri, hukumnya juga tertolak.

10. Munqathi’
Hadits yang terputus sanadnya secara umum, artinya hilang salah satu rawinya atau lebih dalam sanad, bukan di awalnya dan bukan di akhirnya dan tidak pula hilangnya secara berurutan. Hukumnya tertolak.

11. Sanad
Rangkaian para rawi yang berakhir dengan matan.

12. Matan
Ucapan rawi atau redaksi hadits yang terak dalam sanad.

13. Rawi
Orang yang meriwayatkan atau membawakan hadits.

14. Atsar
Suatu ucapan atau perbuatan yang disandarkan kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni kepada para shahabat dan tabi’in.

15. Marfu’
Suatu ucapan atau perbuatan atau persetujuan yang disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

16. Mauquf
Suatu ucapan atau perbuatan yang disandarkan kepada shahabat.

17. Jayyid (bagus)
Suatu istilah lain untuk shahih.

18. Muhaddits
Orang yang menyibukkan diri dengan ilmu hadits secara riwayat dan dirayat (fiqih hadits), serta banyak mengetahui para rawi dan keadaan mereka.

19. Al-Hafidz
Orang yang kedudukannya lebih tinggi dari muhaddits, di mana ia lebih banyak mengetahui rawi di setiap tingkatan sanad.

20. Majhul
(Rawi yang) tidak dikenal, artinya tidak ada yang menganggapnya cacat sebagaimana tidak ada yang men-ta’dil-nya, dan yang meriwayatkan darinya cenderung sedikit. Bila yang meriwayatkan darinya hanya satu orang maka disebut majhul al-’ain, dan bila lebih dari satu maka disebut majhul al-hal. Hukum haditsnya termasuk hadits yang lemah.

21. Tsiqah
(Rawi yang) terpercaya, artinya terpercaya kejujurannya dan keadilannya serta kuat hafalan dan penjagaannya terhadap hadits.

22. Jarh
Cacat, dan majruh artinya tercacat.

23. Ta’dil
Dinilai adil.

24. Muttafaqun ‘alaih
Maksudnya hadits yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka.

25. Mu’allaq/ta’liq
Hadits yang terputus sanadnya dari bawah, satu rawi atau lebih

Minggu

Hakikat Qawaid Fiqhiyah

Hakikat Qawaid Fiqhiyah. Sejak dahulu sampai saat ini tidak ada ulama yang mengingkari akan penting peranan qawaid fiqhiyah dalam kajian ilmu syariah. Para ulama menghimpun sejumlah persoalan fiqh yang ditempatkan pada suatu qawaid fiqhiyah. Apabila ada masalah fiqh yang dapat dijangkau oleh suatu kaidah fiqh, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah kaidah fiqh tersebut. Melalui qawaid fiqhiyah atau kaidah fiqh yang bersifat umum memberikan peluang bagi orang yang melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh dengan lebih mudah dan tidak memakan waktu relatif lama. 
Qawaid fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan
ada yang belum mengerti sama sekali apa itu qawaid fiqhiyah. Oleh karena itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, perbedaan, hubungan, tujuan, dan dasar-dasar pengambilannya.
Pembahasan
A.      Pengertian Qawaid Fiqhiyah
Untuk memudahkan pemahaman tentang qawaid fiqhiyah, di bawah ini dikemukakan pengertian atau definisi qawaid fiqhiyah sebagai berikut:
Dalam pengertian ini ada dua terminologi yang perlu kami jelaskan terlebih dahulu, yaitu qawaid dan fiqhiyah. Kata qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan terminologi kaidah mempuyai beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I menyatakan bahwa kaidah adalah: "Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'i  yang banyak".[1]
Sedangkan bagi mayoritas ulama ushul mendefinisikan kaidah dengan: "hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagian-bagiannya". Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata al-fiqh yang diberi tambahan ya' nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqih lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari Firman Allah SWT surah at-Taubah: 122: "untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama". Dan berdasarkan Sabda Nabi Muhammad SAW, "barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama". (HR. Bukhari/ Muslim)[2]
Sedangkan secara terminologi fiqh berarti, menurut al-Jurjani al-Hanafi: ”ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan". Menurut ibnu khaldun dalam muqaddimah al-mubtada wal khabar: "Ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan segala perbuatan Mukallaf, (diistinbathkan) dari al-Qur'an dan as-Sunnah dan dari dalil-dalil yang ditegaskan berdasarkan syara', bila dikeluarkan hukum-hukum dengan jalan ijtihad dari dalil-dalil maka terjadilah apa yng dinamakan fiqh".[3]
Dari uraian pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang dimaksud dengan qawaid fiqhiyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki: "Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu". Atau dengan kata lain: "hukum-hukum yang berkaitan dengan asas hukum yang di bangun oleh syari' serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya".[4]
Prof. DR. TM. Hasbi Ash-Shieddieqy berpendapat bahwa: “Dikehendaki dengan kaidah fiqh ialah kaidah-kaidah hukum yang bersifat kulliyah yang dipetik dari dalil-dalil kulli dan dari maksud-maksud syara’ dalam meletakkan mukallaf di bawah bebanan taklif dan dari memahamkan rahasia-rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya”.[5]
B.       Perbedaan Qawaid Fiqhiyah dengan Dhawabith Fiqhiyah
Secara umum cakupan dhabith fiqhiyah lebih sempit dari cakupan qawaidh fiqhiyah dan pembahasan qawaid fiqhiyah tidak dikhususkan pada satu bab tertentu, lain halnya dengan dhabith fiqhiyah. Al Allamah Ibnu Nujaim juga membedakan antara qawaid dan dhawabith bahwa, qawaid menghimpun/mengumpulkan beberapa furu’ (cabang/bagian) dari beberapa bab, sedangkan dhabith hanya mengumpulkan dari satu bab, dan inilah yang disebut dengan asal.[6]
Senada dengan Al Allamah Ibnu Nujaim, Imam Suyuthi rahimahullah pun berpendapat demikian dalam “Asybah wa Nadhair fi An Nahwi”, bahwa qawaid mengumpulkan beberapa cabang dari beberapa bab yang berbeda, sedangkan dhabith mengumpulkan bagian dari satu bab saja. Tidak berbeda dari kedua ulama tersebut Abu Baqa juga berpendapat Dhabith mengumpulkan bagian dari satu bab.[7]
C.      Perbedaan Qawaid Fiqhiyah dengan Ushul Fiqh beserta Kaidah Ushuliyyahnya
Dalam kajian keislaman, fiqh merupakan suatu disiplin ilmu tersendiri, sebagaimana ushul fiqh yang merupakan disiplin ilmu tersendiri. Kedua displin ilmu ini mempunyai kaidah-kaidah tersendiri yang satu sama lain berbeda.[8]
Menurut Ali al-Nadawi, Imam Syihab al-Din al-Qarafi merupakan ulama yang pertama kali membedakan antara kaidah ushuliyyah dan kaidah fiqhiyah. Al-Qarafi menegaskan bahwa syariah yang agung diberikan Allah kemuliaan dan ketinggian melalui ushul dan furu’. Adapun ushul dari syariah tersebut ada dua macam. Pertama, ushul fiqh. Ushul fiqh memuat kaidah-kaidah istinbath hukum yang diambil dari lafal-lafal berbahasa Arab. Diantara yang dirumuskan dari lafal bahasa Arab itu kaidah tentang nasakh, tarjih, kehendak lafal amar untuk wajib dan kehendak lafal nahi untuk menunjukkan haram, dan sighat khusus untuk maksud umum. Kedua, al-qawaid fiqhiyyah yang bersifat kulli (umum). Jumlah kaidah tersebut cukup banyak dan lapangannya luas yang mengandung rahasia-rahasia dan hikmah syariat. Setiap kaidah diambil dari furu’ yang terdapat dalam syariah yang tidak terbatas jumlahnya. Hal itu tidak disebutkan dalam kajian ushul fiqh, meskipun secara umum mempunyai isyarat yang sama, tetapi berbeda secara perinciannya.[9]
Dalam penilaian Ibn Taimiyyah, ada perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid fiqhiyah. Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil umum. Sementara qawaid fiqhiyah merupakan kaidah-kaidah yang membahas tentang hukum yang bersifat umum. Jadi, qawaid ushuliyah membicarakan tentang dalil-dalil yang bersifat umum, sedangkan qawaid fiqhiyah membicarakan tentang hukum-hukum yang bersifat umum.
Perbedaan al-qawaid fiqhiyah dan kaidah ushul fiqh secara lebih rinci dan jelas dapat diamati dalam uraian di bawah ini
:[10]
1.    Qawaid ushuliyyah adalah kaidah-kaidah bersifat kulli (umum) yang dapat diterapkan pada semua bagian-bagian dan objeknya. Sementara qawaid fiqhiyah adalah himpunan hukum-hukum yang biasanya dapat diterapkan pada mayoritas bagian-bagiannya. Namun, kadangkala ada pengecualian dari kebiasaan yang berlaku umum tersebut.
2.    Qawaid ushuliyyah atau ushul fiqh merupakan metode untuk mengistinbathkan hukum secara benar dan terhindar dari kesalahan. Kedudukannya persis sama dengan ilmu nahwu yang berfungsi melahirkan pembicaraan dan tulisan yang benar. Qawaid ushuliyyah sebagai metode melahirkan hukum dari dalil-dalil terperinci sehingga objek kajiannya selalu berkisar tentang dalil dan hukum. Misalnya, setiap amar atau perintah menunjukkan wajib dan setiap larangan menunjukkan untuk hukum haram. Sementara qawaid fiqhiyah adalah ketentuan (hukum) yang bersifat kulli (umum) atau kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian masalah fiqh. Objek kajian qawaid fiqhiyah selalu menyangkut perbuatan mukallaf.
3.    Qawaid ushuliyyah sebagai pintu untuk mengistinbathkan hukum syara’ yang bersifat amaliyah. Sementara qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum fiqh yang serupa dengan ada satu illat (sifat) untuk menghimpunnya secara bersamaan. Tujuan adanya qawaid fiqhiyah untuk menghimpun dan memudahkan memahami fiqh.
4.    Qawaid ushuliyah ada sebelum ada furu’ (fiqh). Sebab, qawaid ushuliyyah digunakan ahli fiqh untuk melahirkan hukum (furu’). Sedangkan qawaid fiqhiyah muncul dan ada setelah ada furu’ (fiqh). Sebab, qawaid fiqhiyah berasal dari kumpulan sejumlah masalah fiqh yang serupa, ada hubungan dan sama substansinya.
5.    Dari satu sisi qawaid fiqhiyah memiliki persamaan dengan qawaid ushuliyyah. Namun, dari sisi lain ada perbedaan antara keduanya. Adapun segi persamaannya, keduanya sama-sama memiliki bagian-bagian yang berada di bawahnya. Sementara perbedaannya, qawaid ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum. Sedangkan qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata.
D.      Hubungan Ushul Fiqh, Ilmu Fiqh, dan Qawaid Fiqhiyah
Hubungan, Fiqh, Ushul Fiqh, Kaidah Fiqh. Antara Fiqh dan Syari'ah dalam satu sisi, namun masing-masing memiliki cakupan yang lebih luas dari yang lainnya dalam sisi yang lain, hubungan seperti ini dalam ilmu mantiq disebut umumun khususun min wajhin yakni: Fiqh identik dengan Syari'ah dalam hasil-hasil ijtihad mujtahid yang benar. Sementara pada sisi yang lain Fiqh lebih luas, karena pembahasannya mencakup hasil-hasil ijtihad mujtahid yang salah, sementara Syari'ah lebih luas dari Fiqh karena bukan hanya mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah amaliah saja, tetapi juga aqidah, akhlak dan kisah-kisah umat terdahulu. Syariah sangat lengkap, tidak hanya berisikan dalil-dalil furu', tetapi mencakup kaidah-kaidah umum dan prinsip-prinsip dasar dari hukum syara, seperti: Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhyah.[11]
Syari’ah lebih universal dari Fiqh. Syari’ah wajib dilaksanakn oleh seluruh umat manusia sehingga kita wajib mendakwahkannya, sementara fiqh seorang Imam tidak demikian adanya. Syariah seluruhnya pasti benar, berbeda dengan fiqh. Syari'ah kekal abdi, sementara fiqh seorang Imam sangat mungkin berubah. Ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili). Produk ilmu fiqh adalah “fiqh”, Produk kaidah-kaidah istinbath hukum dari sumber-sumber hukum Islam yang dipelajari dalam ilmu ushul fiqh.[12]
Jika kaidah-kaidah ushuliyah dicetuskan oleh ulama ushul, maka kaidah-kaidah fiqhiyah dicetuskan oleh ulama fiqh, namun penggunaan masing-masing kaidah tersebut selalu berkaitan, tidak dapat berdiri sendiri, mengingat kaidah ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya sedang kaidah fiqhiyah merupakan petunjuk pelaksana dari kaidah ushuliyah tersebut, sehingga kadang-kadang terjadi tumpang tindih mana yang disebut sebagai kaidah fiqhiyah, yang jelas keduanya merupakan patokan dalam mengistinbathkan oleh mengijtihadkan suatu hukum.[13]
E.       Pentingnya Qawaid Fiqhiyah
Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
1.    Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nashsh, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan.[14]
2.    Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat  dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.[15]
Abdul Wahab Khallaf  dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik telah mensyariatkan hokum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang.[16]
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.[17]
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.[18]
F.       Tujuan Mempelajari Qawaid Fiqhiyah
Tujuan mempelajari qawaid fiqhiyah itu adalah untuk mendapatkan manfaat dari ilmu qawaid fiqhiyah itu sendiri, manfaat qawaid fiqhiyah ialah:[19]
1.    Dengan mempelajari kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
2.    Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.
3.    Dengan mempelajari kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berbeda.
4.    Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung.
5.    Mempermudah dalam menguasai materi hukum.
6.    Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan.
7.    Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan baru.
8.    Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik.
G.      Dasar-Dasar Pengambilan Qawaid Fiqhiyah
Yang dimaksud dengan dasar pengembalian dalam uraian ini ialah dasar-dasar perumusan kaidah fiqhiyah, meliputi dasar formil dan materiilnya. Dasar formil maksudnya apakah yang dijadikan dasar ulama dalam merumuskan kaidah fiqhiyah itu, jelasnya nash-nash manakah yang menjadi pegangan ulama sebagai sumber motivasi penyusunan kaidah fiqhiyah. Adapun dasar materiil maksudnya darimana materi kaidah fiqhiyah itu dirumuskan. Untuk lebih lanjutnya mari kita lihat dalam dua uraian tersebut.[20]
1.    Dasar formil
Hukum-hukum furu’ yang ada dalam untaian satu kaidah yang memuat satu masalah tertentu, ditetapkan atas dasar nash, baik dari alquran maupun sunnah. Seperti dari Firman Allah pada surat al Bayyinah:
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãƒur no4qx.¨9$# 4 y7Ï9ºsŒur ß`ƒÏŠ ÏpyJÍhŠs)ø9$# ÇÎÈ [21]
Artinya:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.[22]
Dan dalam hadis Nabi Muhammad SAW:[23]
انما الأ عما ل با لنيات
“Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya”.
Diistimbatkan hukum melakukan niat untuk setiap perbuatan ibadah. Karena persoalan niat juga mempunyai arti penting dalam soal-soal lain, maka dirumuskannya kaidah fiqhiyah:[24]
الامور بمقا صد ها
“Setiap perkara tergantung kepada maksud mengerjakannya”
Jadi perumusan kaidah fiqhiyah itu berdasarkan pada Alquran dan Sunnah dalam rangka untuk mempermudah pelaksanaan istinbath dan ijtihad.
2.    Dasar materiil
Adapun dasar materiil atau tegasnya bahan-bahan yang dijadikan rumusan kata-kata kaidah itu, adakalanya nash hadis, seperti kaidah yang berbunyi:[25]
الضرر يزال
“Kemadlaratan itu harus dihilangkan”
Kaidah ini berasal dari hadis Nabi  Muhammad SAW:[26]
لا ضرر ولا ضرار   (رواه ابن ما جه
“Tidak boleh membuat mudlarat diri sendiri dan tidak boleh memudlaratkankan orang lain”.
Kaidah yang berasal dari hadis tersebut berlaku untuk semua lapangan hukum, baik mu’amalah, ibadah, munakahat maupun jinayat. Disamping kaidah fiqhiyah yang dirumuskan dari lafadh hadis, seperti tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa kaidah fiqhiyah itu hasil perumusan ulama yang kebanyakan sukar ditetapkan siapa perumusnya.[27]
Penutup
Dari penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa qawaid fiqhiyah ialah hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagian-bagiannya. Perbedaan qawaid fiqhiyah dengan dhawabit fiqhiyah ialah cakupan dhabith fiqhiyah lebih sempit dari cakupan qawaidh fiqhiyah dan pembahasan qawaid fiqhiyah tidak dikhususkan pada satu bab tertentu, lain halnya dengan dhabith fiqhiyah.
Perbedaan qawaid fiqhiyah dengan ushul fiqh ialah , qawaid ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum. Sedangkan qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata. Penggunaan masing-masing kaidah tersebut selalu berkaitan, tidak dapat berdiri sendiri, mengingat kaidah ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya sedang kaidah fiqhiyah merupakan petunjuk pelaksana dari kaidah ushuliyah tersebut.
Pentingnya qawaid fiqhiyah karna kaidah fiqh ini merupakan media bagi peminat fiqh Islam dalam menguasai Maqashid Syariah, dan juga merupakan cakupan persoalan yang sudah maupun belum terjadi. Tujuan mempelajari kaidah fiqh itu untuk mempermudah dalam mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan sebagainya. Dasar pengambilan qawaid fiqhiyah terbagi pada dua yakni: dasar formil dan dasar materiil.