Hakikat Qawaid Fiqhiyah. Sejak dahulu sampai saat ini tidak
ada ulama yang mengingkari akan penting peranan qawaid
fiqhiyah dalam kajian ilmu syariah. Para ulama menghimpun sejumlah persoalan
fiqh yang ditempatkan pada suatu qawaid
fiqhiyah. Apabila ada masalah fiqh yang dapat dijangkau oleh suatu kaidah fiqh,
masalah fiqh itu ditempatkan di bawah kaidah fiqh tersebut. Melalui qawaid
fiqhiyah atau kaidah fiqh yang bersifat umum memberikan peluang bagi orang yang
melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh dengan lebih mudah dan
tidak memakan waktu relatif lama.
Qawaid fiqhiyah (kaidah-kaidah
fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas
syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan
ada yang belum mengerti
sama sekali apa itu qawaid fiqhiyah. Oleh karena itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang
kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, perbedaan, hubungan, tujuan, dan dasar-dasar
pengambilannya.
Pembahasan
A.
Pengertian Qawaid Fiqhiyah
Untuk
memudahkan pemahaman tentang qawaid fiqhiyah, di bawah ini dikemukakan
pengertian atau definisi qawaid fiqhiyah sebagai berikut:
Dalam pengertian ini ada dua terminologi yang perlu kami jelaskan terlebih dahulu, yaitu qawaid dan
fiqhiyah. Kata qawaid merupakan bentuk jama'
dari kata qaidah, dalam istilah bahasa
Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam
tinjauan terminologi kaidah mempuyai beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I
menyatakan bahwa kaidah adalah: "Hukum yang bersifat universal (kulli)
yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'i yang banyak".[1]
Sedangkan bagi mayoritas ulama ushul
mendefinisikan kaidah dengan: "hukum yang biasa berlaku yang
bersesuaian dengan sebagian besar bagian-bagiannya". Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata al-fiqh yang
diberi tambahan ya' nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau
membangsakan. Secara etimologi makna fiqih lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh para sahabat,
makna tersebut diambil dari Firman Allah SWT surah at-Taubah: 122: "untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama". Dan berdasarkan Sabda Nabi Muhammad SAW, "barangsiapa yang dikehendaki
baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama". (HR. Bukhari/ Muslim)[2]
Sedangkan secara
terminologi fiqh berarti, menurut al-Jurjani al-Hanafi: ”ilmu yang menerangkan
hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsily
dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan".
Menurut ibnu khaldun dalam muqaddimah al-mubtada wal khabar: "Ilmu yang dengannya diketahui
segala hukum Allah yang berhubungan dengan segala perbuatan Mukallaf,
(diistinbathkan) dari al-Qur'an dan as-Sunnah dan dari dalil-dalil yang
ditegaskan berdasarkan syara', bila dikeluarkan hukum-hukum dengan jalan
ijtihad dari dalil-dalil maka terjadilah apa yng dinamakan fiqh".[3]
Dari uraian
pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang dimaksud
dengan qawaid fiqhiyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Tajjudin
as-Subki: "Suatu perkara kulli yang
bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak yang dari padanya diketahui
hukum-hukum juziyat itu".
Atau dengan
kata lain: "hukum-hukum yang berkaitan
dengan asas hukum yang di bangun oleh syari' serta tujuan-tujuan yang dimaksud
dalam pensyariatannya".[4]
Prof. DR.
TM. Hasbi Ash-Shieddieqy berpendapat bahwa: “Dikehendaki dengan kaidah fiqh
ialah kaidah-kaidah hukum yang bersifat kulliyah yang dipetik dari dalil-dalil
kulli dan dari maksud-maksud syara’ dalam meletakkan mukallaf di bawah bebanan
taklif dan dari memahamkan rahasia-rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya”.[5]
B.
Perbedaan Qawaid Fiqhiyah dengan
Dhawabith Fiqhiyah
Secara umum cakupan dhabith fiqhiyah
lebih sempit dari cakupan qawaidh fiqhiyah dan pembahasan
qawaid fiqhiyah tidak dikhususkan pada satu bab
tertentu, lain halnya dengan dhabith fiqhiyah. Al Allamah Ibnu Nujaim juga
membedakan antara qawaid dan dhawabith bahwa, qawaid menghimpun/mengumpulkan beberapa furu’ (cabang/bagian) dari beberapa bab, sedangkan
dhabith hanya mengumpulkan dari satu bab, dan inilah yang disebut dengan asal.[6]
Senada
dengan Al Allamah Ibnu Nujaim, Imam
Suyuthi rahimahullah pun
berpendapat demikian dalam “Asybah
wa Nadhair fi An Nahwi”, bahwa qawaid
mengumpulkan beberapa cabang dari beberapa bab yang berbeda, sedangkan dhabith
mengumpulkan bagian dari satu bab saja. Tidak berbeda dari kedua ulama tersebut Abu Baqa
juga berpendapat Dhabith mengumpulkan bagian dari
satu bab.[7]
C.
Perbedaan Qawaid Fiqhiyah dengan
Ushul Fiqh beserta Kaidah Ushuliyyahnya
Dalam kajian keislaman, fiqh
merupakan suatu disiplin ilmu tersendiri, sebagaimana ushul fiqh yang merupakan
disiplin ilmu tersendiri. Kedua displin ilmu ini mempunyai kaidah-kaidah
tersendiri yang satu sama lain berbeda.[8]
Menurut Ali al-Nadawi, Imam Syihab
al-Din al-Qarafi merupakan ulama yang pertama kali membedakan antara kaidah
ushuliyyah dan kaidah fiqhiyah. Al-Qarafi menegaskan bahwa
syariah yang agung diberikan Allah kemuliaan dan ketinggian melalui ushul dan
furu’. Adapun ushul dari syariah tersebut ada dua macam. Pertama, ushul fiqh.
Ushul fiqh memuat kaidah-kaidah istinbath hukum yang diambil dari lafal-lafal
berbahasa Arab. Diantara yang dirumuskan dari lafal bahasa Arab itu kaidah
tentang nasakh, tarjih, kehendak lafal amar untuk wajib dan kehendak lafal nahi
untuk menunjukkan haram, dan sighat khusus untuk maksud umum. Kedua, al-qawaid
fiqhiyyah yang bersifat kulli (umum). Jumlah kaidah tersebut cukup banyak dan
lapangannya luas yang mengandung rahasia-rahasia dan hikmah syariat. Setiap
kaidah diambil dari furu’ yang terdapat dalam syariah yang tidak terbatas
jumlahnya. Hal itu tidak disebutkan dalam kajian ushul fiqh, meskipun secara
umum mempunyai isyarat yang sama, tetapi berbeda secara perinciannya.[9]
Dalam penilaian Ibn Taimiyyah, ada
perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid fiqhiyah. Qawaid
ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil
umum. Sementara qawaid fiqhiyah merupakan kaidah-kaidah yang membahas tentang
hukum yang bersifat umum. Jadi, qawaid ushuliyah membicarakan tentang
dalil-dalil yang bersifat umum, sedangkan qawaid fiqhiyah membicarakan tentang
hukum-hukum yang bersifat umum.
Perbedaan al-qawaid fiqhiyah dan kaidah ushul fiqh secara lebih rinci dan jelas dapat diamati dalam uraian di bawah ini:[10]
Perbedaan al-qawaid fiqhiyah dan kaidah ushul fiqh secara lebih rinci dan jelas dapat diamati dalam uraian di bawah ini:[10]
1.
Qawaid ushuliyyah adalah kaidah-kaidah bersifat kulli (umum)
yang dapat diterapkan pada semua bagian-bagian dan objeknya. Sementara qawaid
fiqhiyah adalah himpunan hukum-hukum yang biasanya dapat diterapkan pada
mayoritas bagian-bagiannya. Namun, kadangkala ada pengecualian dari kebiasaan
yang berlaku umum tersebut.
2.
Qawaid ushuliyyah atau ushul fiqh merupakan metode untuk
mengistinbathkan hukum secara benar dan terhindar dari kesalahan. Kedudukannya
persis sama dengan ilmu nahwu yang berfungsi melahirkan pembicaraan dan tulisan
yang benar. Qawaid ushuliyyah sebagai metode melahirkan hukum dari dalil-dalil
terperinci sehingga objek kajiannya selalu berkisar tentang dalil dan hukum.
Misalnya, setiap amar atau perintah menunjukkan wajib dan setiap larangan menunjukkan
untuk hukum haram. Sementara qawaid fiqhiyah adalah ketentuan (hukum) yang
bersifat kulli (umum) atau kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian
masalah fiqh. Objek kajian qawaid fiqhiyah selalu menyangkut perbuatan
mukallaf.
3.
Qawaid ushuliyyah sebagai pintu untuk mengistinbathkan hukum
syara’ yang bersifat amaliyah. Sementara qawaid
fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum fiqh yang serupa dengan ada
satu illat (sifat) untuk menghimpunnya secara bersamaan. Tujuan adanya qawaid
fiqhiyah untuk menghimpun dan memudahkan memahami fiqh.
4.
Qawaid ushuliyah ada sebelum ada furu’ (fiqh). Sebab, qawaid
ushuliyyah digunakan ahli fiqh untuk melahirkan hukum (furu’). Sedangkan qawaid
fiqhiyah muncul dan ada setelah ada furu’ (fiqh). Sebab, qawaid fiqhiyah
berasal dari kumpulan sejumlah masalah fiqh yang serupa, ada hubungan dan sama
substansinya.
5.
Dari satu sisi qawaid fiqhiyah memiliki persamaan dengan
qawaid ushuliyyah. Namun, dari sisi lain ada perbedaan antara keduanya. Adapun
segi persamaannya, keduanya sama-sama memiliki bagian-bagian yang berada di
bawahnya. Sementara perbedaannya, qawaid ushuliyyah adalah himpunan sejumlah
persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan
hukum. Sedangkan qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang
meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata.
D.
Hubungan Ushul Fiqh, Ilmu Fiqh, dan
Qawaid Fiqhiyah
Hubungan, Fiqh, Ushul Fiqh, Kaidah Fiqh. Antara Fiqh dan
Syari'ah dalam satu sisi, namun masing-masing memiliki cakupan yang
lebih luas dari yang lainnya dalam sisi yang lain, hubungan seperti ini dalam ilmu
mantiq disebut umumun khususun min wajhin yakni: Fiqh
identik dengan Syari'ah dalam hasil-hasil ijtihad mujtahid yang benar.
Sementara pada sisi yang lain Fiqh lebih luas, karena pembahasannya mencakup
hasil-hasil ijtihad mujtahid yang salah, sementara Syari'ah lebih luas dari
Fiqh karena bukan hanya mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah
amaliah saja, tetapi juga aqidah, akhlak dan kisah-kisah umat terdahulu.
Syariah sangat lengkap, tidak hanya berisikan dalil-dalil furu', tetapi
mencakup kaidah-kaidah umum dan prinsip-prinsip dasar dari hukum syara,
seperti: Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhyah.[11]
Syari’ah lebih universal dari Fiqh. Syari’ah
wajib dilaksanakn oleh seluruh umat manusia sehingga kita wajib
mendakwahkannya, sementara fiqh seorang Imam tidak demikian adanya. Syariah
seluruhnya pasti benar, berbeda dengan fiqh. Syari'ah kekal
abdi, sementara fiqh seorang Imam sangat mungkin berubah. Ilmu fiqih
adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah
mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari
dalil-dalil yang jelas (tafshili). Produk ilmu fiqh adalah “fiqh”, Produk kaidah-kaidah istinbath hukum
dari sumber-sumber hukum Islam yang dipelajari dalam ilmu ushul fiqh.[12]
Jika
kaidah-kaidah ushuliyah dicetuskan oleh ulama ushul, maka kaidah-kaidah
fiqhiyah dicetuskan oleh ulama fiqh, namun penggunaan masing-masing kaidah
tersebut selalu berkaitan, tidak dapat berdiri sendiri, mengingat kaidah
ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya sedang kaidah
fiqhiyah merupakan petunjuk pelaksana dari kaidah ushuliyah tersebut, sehingga
kadang-kadang terjadi tumpang tindih mana yang disebut sebagai kaidah fiqhiyah,
yang jelas keduanya merupakan patokan dalam mengistinbathkan oleh
mengijtihadkan suatu hukum.[13]
E.
Pentingnya Qawaid Fiqhiyah
Kaidah
fiqh dikatakan penting dilihat
dari dua sudut :
1.
Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh
Islam untuk memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan
mendalami beberapa nashsh, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu
persoalan.[14]
2.
Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup
beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh
dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan
yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.[15]
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya bertkata
bahwa hash-nash tasyrik telah mensyariatkan hokum terhadap berbagai macam
undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar
telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan
qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang
undang-undang.[16]
Karena cakupan dari lapangan fiqh
begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang
berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok.
Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah
dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan
masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.[17]
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin
ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai
suatu jalan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta
bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya
menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada
kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil
ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan
berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah
dipahami oleh pengikutnya.[18]
F.
Tujuan Mempelajari Qawaid Fiqhiyah
Tujuan
mempelajari qawaid fiqhiyah itu adalah untuk mendapatkan manfaat dari ilmu
qawaid fiqhiyah itu sendiri, manfaat qawaid fiqhiyah ialah:[19]
1.
Dengan mempelajari kaidah-kidah fiqh
kita akan mengetahui
prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh
dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
2.
Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh
akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.
3.
Dengan mempelajari kaidah fiqh akan
lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda,
untuk keadaan dan adat yang berbeda.
4.
Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan
teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang
sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara
yang tidak langsung.
5.
Mempermudah dalam menguasai materi hukum.
6.
Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan
yang banyak diperdebatkan.
7. Mendidik orang yang berbakat fiqh
dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami
permasalahan-permasalahan baru.
8. Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta
meringkasnya dalam satu topik.
G.
Dasar-Dasar Pengambilan Qawaid
Fiqhiyah
Yang dimaksud dengan dasar pengembalian dalam uraian
ini ialah dasar-dasar perumusan kaidah fiqhiyah, meliputi dasar formil dan
materiilnya. Dasar formil maksudnya apakah yang dijadikan dasar ulama dalam
merumuskan kaidah fiqhiyah itu, jelasnya nash-nash manakah yang menjadi
pegangan ulama sebagai sumber motivasi penyusunan kaidah fiqhiyah. Adapun dasar
materiil maksudnya darimana materi kaidah fiqhiyah itu dirumuskan. Untuk lebih
lanjutnya mari kita lihat dalam dua uraian tersebut.[20]
1. Dasar formil
Hukum-hukum furu’ yang ada dalam untaian satu kaidah
yang memuat satu masalah tertentu, ditetapkan atas dasar nash, baik dari alquran
maupun sunnah. Seperti dari Firman Allah pada surat al Bayyinah:
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#r߉ç6÷èu‹Ï9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJ‹É)ãƒur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãƒur no4qx.¨“9$# 4 y7Ï9ºsŒur ß`ƒÏŠ ÏpyJÍhŠs)ø9$# ÇÎÈ [21]
Artinya:
Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.[22]
Dan dalam hadis Nabi Muhammad SAW:[23]
انما
الأ عما ل با لنيات
“Sesungguhnya segala perbuatan
itu tergantung pada niatnya”.
Diistimbatkan hukum melakukan niat untuk setiap
perbuatan ibadah. Karena persoalan niat juga mempunyai arti penting dalam
soal-soal lain, maka dirumuskannya kaidah fiqhiyah:[24]
الامور
بمقا صد ها
“Setiap
perkara tergantung kepada maksud mengerjakannya”
Jadi perumusan kaidah fiqhiyah itu berdasarkan pada
Alquran dan Sunnah dalam rangka untuk mempermudah pelaksanaan istinbath dan
ijtihad.
2. Dasar materiil
Adapun dasar materiil atau tegasnya bahan-bahan yang
dijadikan rumusan kata-kata kaidah itu, adakalanya nash hadis, seperti kaidah
yang berbunyi:[25]
الضرر
يزال
“Kemadlaratan
itu harus dihilangkan”
Kaidah ini berasal dari hadis Nabi Muhammad SAW:[26]
لا
ضرر ولا ضرار (رواه ابن ما جه
“Tidak
boleh membuat mudlarat diri sendiri dan tidak boleh memudlaratkankan orang
lain”.
Kaidah yang berasal dari hadis tersebut berlaku untuk
semua lapangan hukum, baik mu’amalah, ibadah, munakahat maupun jinayat.
Disamping kaidah fiqhiyah yang dirumuskan dari lafadh hadis, seperti tersebut
di atas, maka dapat dipastikan bahwa kaidah fiqhiyah itu hasil perumusan ulama
yang kebanyakan sukar ditetapkan siapa perumusnya.[27]
Penutup
Dari penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa qawaid
fiqhiyah ialah hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar
bagian-bagiannya. Perbedaan qawaid fiqhiyah dengan dhawabit fiqhiyah ialah cakupan
dhabith fiqhiyah lebih sempit dari cakupan qawaidh
fiqhiyah dan pembahasan qawaid fiqhiyah tidak dikhususkan pada satu bab tertentu, lain
halnya dengan dhabith fiqhiyah.
Perbedaan qawaid fiqhiyah dengan ushul fiqh ialah , qawaid ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang
meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum.
Sedangkan qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang meliputi
hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata. Penggunaan masing-masing kaidah
tersebut selalu berkaitan, tidak dapat berdiri sendiri, mengingat kaidah
ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya sedang kaidah
fiqhiyah merupakan petunjuk pelaksana dari kaidah ushuliyah tersebut.
Pentingnya qawaid
fiqhiyah karna kaidah fiqh ini merupakan media bagi peminat fiqh Islam dalam
menguasai Maqashid Syariah, dan juga merupakan cakupan persoalan yang sudah
maupun belum terjadi. Tujuan mempelajari kaidah fiqh itu untuk mempermudah
dalam mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan sebagainya. Dasar pengambilan qawaid
fiqhiyah terbagi pada dua yakni: dasar formil dan dasar materiil.