Rabu

menemukan sejarah

Secara terminologis, kata ‘sejarah’ diambil dari bahasa Arab, ‘syajaratun’ yang berarti pohon.
Secara istilah saja, kata ini memberikan gambaran sebuah pertumbuhan peradaban manusia dengan perlambang ‘pohon’. Yang tumbuh bermula dari biji yang kecil menjadi pohon yang lebat rindang dan berkesinambungan.
Oleh karena itu, untuk dapat menangkap pelajaran dari pesan-pesan sejarah di dalamnya, memerlukan kemampuan menangkap yang tersirat sebagai ibarat atau ibrah di dalamnya. Seperti yang tersurat dalam Q.S. 12: 111, “laqad kana fi qashasihim ‘ibratun li ulil albab”. Sesungguhnya dalam sejarah itu terdapat pesan-pesan sejarah yang penuh perlambang, bagi orang-orang yang memahaminya.
Sementara, pengertian sejarah bagi sementara orang hanyalah dianggap sebagai pelajaran hafalan tentang peristiwa yang pernah terjadi, dan tidak akan pernah terulang kembali. Sebagai suatu peristiwa yang telah selesai, yang berhenti sampai saat dan di tempat itu saja. Hingga tak heran kemudian sering kita mendengar orang berpesan, “Yang sudah berlalu biarlah berlalu, lupakan saja biar menjadi sejarah.”
Barangkali sukarnya  memahami arti “sejarah” di kalangan ummat Islam, juga disebabkan tidak digunakannya istilah ini di kalangan ummat Islam sendiri. Salah satunya, karena di pesantren atau pun madrasah yang digunakan justru istilah “tarikh”. Padahal dalam Al-Qur’an peristiwa sejarah ini lebih dikaitkan dengan masalah pemaknaan “syajarah”.
Al-Baqarah: 23, “wa la taqraba hadzihi syajarah.”
Al-A’raf: 10, “wa la taqraba hadzihi syajarah.”
Al-A’raf: 22, “alam anhakuma ‘an tilkumasy syajarah.”
Ibrahim: 24, “masalan kalimatan thayibatan kasyajaratin thayyibah.”
Ibrahim: 26, “wa mansyalatu kalimatin khabisyatin kasyajaratin khabisyah.”
Al-Isra: 60, “syajaratul mal’unah.”
Thaha: 120, “ya adamu hal adulluka ‘ala syajaratil khuldi.”
Al-Mu’minun: 20, “wa syajaratan takhruju min thurisaina.”
An-Nur: 35, “min syajaratin mubarakah.”
Al-Qashash: 30, “fi buq’atil mubarakati minasy syajarati ayya Musa.”
Maka sesungguhnya, dari petunjuk Al Qur’an di atas, pengertian “syajarah” berkaitan erat dengan “perubahan”. Perubahan yang bermakna “gerak” menuju ke bumi untuk menerima dan menjalankan fungsi sebagai “khalifah” (Q.S. 2: 35 dan Q.S. 7: 19, 22).
Juga merupakan sebuah penggambaran keberhasilan yang dicapai Nabi Musa yang diibaratkan sebagai pohon yang tinggi dan tumbuh di tempat yang tinggi (Q.S. 28: 30). Sebaliknya, Al-Qur’an juga memberikan gambaran kegagalan Nabi Yunus yang dilukiskan sebagai ‘pohon labu’ yang rendah dan lemah (Q.S. 37: 146).
Sementara bagi yang mencoba menciptakan sejarah dengan menjauhkan dirinya dari petunjuk Allah, hasilnya hanyalah akan menumbuhkan sebatang ‘pohon pahit’ (Q.S. 37: 62, 64 dan Q.S. 44: 43.). Namun ketika petunjuk Allah digunkan sebagai pedopan, ia diibaratkan sebagai ‘pelita kaca yang bercahaya seperti mutiara’ dan dinyalakan dengan bahan bakar min syajaratin mubarakah (Q.S. 24: 35)
Begitulah pembahasan pentingnya belajar membaca sejarah yang diambil dari dalil Al-Qur’an. Sebuah pelajaran berharga yang  kudapatkan dari sebuah buku yang pernah kubaca 16 tahun lalu. Buku lama berjudul “Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di Indonesia” karya Ahmad Mansyur Suryanegera.  Buku yang kemudian membuatku mengenal sosok seorang sejarawan yang konsen dengan sejarah Islam di Indonesia yang cenderung dilupakan dari ingatan.
Yang karena buku itu pula, aku menjadi terpantik untuk menuliskan ulang tentang sejarah keruntuhan Kesultanan Demak dalam novel Penangsang. Dan Prof Ahmad Mansyur Suryanegara, pakar sejarah dari Universitas Pajajaran yang telah membukukan penemuan sejarahnya dalam 2 jilid tebal berjudul  “Api Sejarah” itu pun mendukung niatanku.
Bahkan kemudian memberikan komentar dalam novel keduaku, “Peristiwa sejarah seperti Penangsang perlu dikaji ulang oleh banyak pencinta sejarah karena di dalamnya terdapat pelajaran dan contoh-contoh yang bisa membuat pembaca kuat hatinya. Penangsang, perjalanan sejarahnya telah banyak ditulis setiap penulis dengan berbagai versi. Novel ini juga merupakan salah satu versi penulisan yang memperkaya tentang perjalanan sejarah Penangsang.”
Maka aku menjadi yakin sekarang, bahwa dengan belajar sejarah kita menjadi bisa berkaca, untuk tidak salah arah dan salah langkah. Dan dengan menuliskan Penangsang, aku kembali mengeja kisah yang kadang terlupakan, yang tidak tersurat, namun tersirat dalam “syajaratun”.  Sekaligus juga usaha untuk terus ‘menemukan’ tafsir ulang sejarah.

Keutamaan dzikir dalam hati

Dzikir terbagi ke dalam dua macam: Dziikir hati dan dzikir lisan. Masing-masing keduanya mempunyai pijakan dalil dari Al-Quran dan Sunnah. Berdzikir dengan lisan bisa dilakukan dengan melafalkan huruf perhuruf secara lantang (bersuara). Karenanya,d zikir jenis ini tidak mudah untuk dipraktekkan dalam setiap saat. Sebab pada saat melakukan jual beli di pasar dan yang sejenisnya sama sekali akan mengganggu seorang yang sedang berdzikir. Dengan demikian, otomatis lisannya akan berhenti berdzikir.
Berbeda halnya dengan dzikir hati, yaitu berdzikir dengan mengkonsentrasikan diri pada suatu makna (di dalam hati) yang tidak tersusun dari rangkaian huruf dan suara. Karenanya, seorang yang sedang berdzikir jenis ini tidak akan terganggu oleh apa pun juga.
Berdzikirlah mengingat Allah dengan hatimu tanpa bersuara
Tanpa diketahui oleh orang lain dan tanpa ada lafal dan ucapan yang dikeluarkan
Dzkir jenis ini adalah cara berdzikir yang paling utama
Jenis dzikir ini banyak diamalkan oleh para tokoh
Oleh karena itulah, para pembesar Tarekat Naqsyabandiyyah lebih memilih dzikir hati. Juga karena hati merrupakan tempat pengawasan Allah, tempat bersemayamnya iman, tempat bersumbernya rahasia, dan tempat bertenggernya cahaya. Hati yang baik akan mengakibatkan jasad seluruhnya menjadi baik. Begitu juga hati yang buruk akan berdampak menjadikan jasad menjadi buruk. Ini seperti yang telah dipaparkan oleh Rasulullah Saw..
Karenanya, seorang hamba tidak dikatakan mukmin, jika hatinya tidak terpaut pada apa yang harus diimaninya. Begitu pula ibadah yang menjadi tujuan tidak akan sah jika tidak menyertainya dengan niat (di dalam hatinya). Para imam sepakat bahwa semua pekerjaan yang dilakukan oleh anggota tubuh tidak akan diterima kecuali dengan peranan hati. Hati sendiri dapat berperan (mampu berjalan sendiri) tanpa dituntun oleh anggota tubuh lainnya. Jika hati sudah tidak berperan lagi, maka keimanan seseorang tidak akan diterima. Ini disebabkan karena iman merupakan sikap pembenaran apa yang diimani oleh hatinya dengan tulus.
Allah Swt. berfirman, Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka (QS Al-Mujâdilah [58]: 22).
Dan firman-Nya, Mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa (QS Al-Hujurât [49]: 3).
Firman-Nya pula, Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu (QS Al-A‘râf [7]: 20).
Yakni, berdzikir di dalam hatimu. Ini berdasarkan firman Allah, Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri, “Mengapa Allah tiada menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan itu?” (QS Al-Mujâdilah [58]: 8). Allah Swt. berfirman pula, Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut (QS Al-A‘râf [7]: 55).
Dari ‘Âisyah r.a., beliau berkata bahwa Nabi Saw. pernah bersabda, “Zikir (dengan tak bersuara) lebih unggul daripada dzikir (dengan bersuara) selisih tujuh puluh kali lipat. Jika tiba saatnya hari kiamat, maka Allah akan mengembalikan semua perhitungan amal makhluk-makhluk-Nya sesuai amalnya. Para malaikat pencatat amal datang dengan membawa tulisan-tulisan mereka. Allah berkata pada mereka, ‘Lihatlah apakah ada amalan yang masih tersisa pada hamba-Ku ini?’ Para malaikat itu menjawab, ‘Kami tidak meninggalkan sedikit pun amalan yang kami ketahui kecuali kami mencatat dan menulisnya.’ Allah lalu berkata lagi (pada hamba-Nya itu), ‘Kamu mempunyuai amal kebaikan yang hanya Aku yang mengetahuinya. Aku akan membalas amal kebaikanmu itu. Kebaikanmu itu berupa zikir dengan sembunyi (tak bersuara).” (HR Al-Baihaqî).
Dalam beberapa kitab yang memuat kompilasi hadis sahih, Nabi Saw bersabda, “Allah Swt berfirman, ‘Aku ini (bertindak) sesuai dengan prasangka hamba-Ku pada-Ku. Aku selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku. Apabila ia mengingat-Ku di dalam hatinya, maka Aku pun menyebutnya sendiri. Jika dia mengingat-Ku di tengah-tengah orang banyak, maka Aku akan menyebutnya di tengah-tengah orang banyak yang lebih mulia daripada orang banyak saat ia mengingat-Ku.” (HR Al-Bukhârî dan ahli hadis lainnya).
Abû ‘Awânah dan Ibnu Hibbân meriwayatkan dalam masing-masing kitab kumpulan hadis sahih mereka, juga Al-Baihaqî sebuah hadis berikut, “Sebaik-baik zikir adalah zikir dengan samar (khafî) dan sebaik-baik rezeki adalah rezeki yang mencukupi.” Nabi Saw. juga bersabda, “Zikir yang tidak terdengar oleh malaikat pencacat amal (maksudnya zikir khafî) mengungguli atas zikir yang dapat didengar oleh mereka (zikir jahrî) sebanyak tujuh puluh kali lipat.” (HR al-Baihaqi). Menurut ulama yang mentakhrij hadis tersebut, hadis itu dinilai sebagai hadis hasan li ghairihi. Hadis-hadis lainnya yang berbicara tentang keutamaan zikir khafî masih banyak sekali.
Sebagian orang yang telah mencapai tahapan makrifat mengatakan, “Berzikir dengan hati adalah pedangnya orang-orang yang meniti jalan ruhani. Dengan zikir itu, mereka bisa membunuh habis musuh-musuh mereka dan menjadi tameng dari bahaya-bahya yang merongrong mereka. Karena bahaya (musibah) yang datang pada seorang hamba lalu hatinya kaget terperanjat dan langsung mengingat Allah, maka itu akan mencegahnya dari segala sesuatu yang tidak diinginkannya.” Orang-orang yang telah makrifat ini juga berkata, “Siapa saja yang diinginkan baik oleh Allah, maka akan dibukakan penutup hatinya dan ditanamkan keyakinan di dalamnya.”
Syaikh Abû Sa‘îd Al-Kharrâz berkata, “Jika Allah ingin menjadikan seorang hamba sebagai kekasih-Nya, maka Dia akan membukakan pintu mengingat-Nya. Jika hamba tersebut sudah merasa kelezatan dalam mengingat-Nya, maka Dia akan membukakan pintu keakrakaban-Nya lalu diangkatlah hamba itu ke tempat yang serba nikmat dan senang gembira. Setelah itu, Dia akan mendudukkan hamba tersebut di atas kursi tauhid. Kemudian disingkapkan tirai yang menutupi-Nya. Hamba itu lalu dimasukkan ke suatu ruangan khusus tersendiri. Di sanalah, ia akan bisa melihat kebesaran dan keagungan-Nya. Ketika pandangannya tertuju pada kebesaran dan keagungan-Nya, maka dia sudah tidak merasa lagi sebagai makhluk. Karena saat itu ia telah menjadi masa yang fana. Lalu dia pun selalu berada dalam lindungan-Nya dan merasa terbebas dari berbagai pengakuan-pengakuan dirinya.”
Khâlid bin Ma‘dan berkata, “Seorang hamba pasti mempunyai dua mata di mukanya yang digunakan untuk melihat fenomena dunia. Selain itu, ia juga memiliki dua mata lagi yang terletak di dalam hatinya yang digunakan untuk melihat fenomena akhirat. Ketika Allah menginginkan hamba tersebut menjadi orang yang baik, maka Dia akan membukakan kedua mata hamba itu yang ada di dalam hatinya. Dengan demikian, kedua mata hatinya itu mampu melihat rahasia-rahasia kegaiban yang dijanjikan Allah. Lalu ketika Allah menginginkan hamba-Nya pada hal yang sebaliknya (bukan kebaikan), maka Allah tidak memperdulikan apa yang ada di dalam hatinya.”
Ahmad bin Hadhrawaih juga berkata, “Hati adalah wadah. Jika wadah itu penuh dengan kebajikan, maka cahaya-cahaya kebajikan (yang ada di dalamnya) akan keluar menyinari anggota-anggota tubuhnya. Jika wadah itu penuh dengan kebatilan, maka kegelapan yang ada di dalamnya akan bertambah ketika sampai pada anggota tubuhnya.”
Dzu Al-Nûn Al-Misrî berkata, “Satu jam dengan hati yang baik lebih utama daripada ibadah seluruh manusia dan jin. Jika malaikat saja tidak masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat gambar atau patung, maka bagaimana para pembawa kebajikan itu mau masuk pada seseorang yang di dalam hatinya dipenuhi dengan sesuatu selain Allah?!” Seorang agung yang telah menggapai tahapan makrifat, Abû Al-Hasan Al-Syâdzilî berkata, “Sebiji atom amalan-amalan hati sama nilainya dengan amalan-amalan lahiriyah (anggota tubuh) sebesar gunung.”
Berbeda halnya dengan zikir hati, yaitu berzikir dengan mengkonsentrasikan diri pada suatu makna (di dalam hati) yang tidak tersusun dari rangkaian huruf dan suara. Karenanya, seorang yang sedang berzikir jenis ini tidak akan terganggu oleh apa pun juga. Berzikirlah mengingat Allah dengan hatimu tanpa bersuara Tanpa diketahui oleh orang lain dan tanpa ada lafal dan ucapan yang dikeluarkan Zikir jenis ini adalah cara berzikir yang paling utama Jenis zikir ini banyak diamalkan oleh pNaqsyabandiyyah lebih memilih zikir hati. Juga karena hati meripakan tempat pengawasan Allah, tempat bersemayamnya iman, tempat bersumbernya rahasia, dan tempat bertenggernya cahaya. Hati yang baik akan mengakibatkan jasad seluruhnya menjadi baik. Begitu juga hati yang buruk akan berdampak menjadikan jasad menjadi buruk. Ini seperti yang telah dipaparkan oleh Rasulullah Saw.. Karenanya, seorang hamba tidak dikatakan mukmin, jika hatinya tidak terpaut pada apa yang harus diimaninya. Begitu pula ibadah yang menjadi tujuan tidak akan sah jika tidak menyertainya dengan niat (di dalam hatinya).
Para imam sepakat bahwa semua pekerjaan yang dilakukan oleh anggota tubuh tidak akan diterima kecuali dengan peranan hati. Hati sendiri dapat berperan (mampu berjalan sendiri) tanpa dituntun oleh anggota tubuh lainnya. Jika hati sudah tidak berperan lagi, maka keimanan seseorang tidak akan diterima. Ini disebabkan karena iman merupakan sikap pembenaran apa yang diimani oleh hatinya dengan tulus. Allah Swt. berfirman, Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka (QS Al-Mujâdilah [58]: 22). Dan firman-Nya, Mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa (QS Al-Hujurât [49]: 3). Firman-Nya pula, Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu (QS Al-A‘râf [7]: 20). Yakni, berzikir di dalam hatimu. Ini berdasarkan firman Allah, Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri, “Mengapa Allah tiada menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan itu?” (QS Al-Mujâdilah [58]: 8). Allah Swt. berfirman pula, Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut (QS Al-A‘râf [7]: 55). Dari ‘Âisyah r.a., beliau berkata bahwa Nabi Saw. pernah bersabda, “Zikir (dengan tak bersuara) lebih unggul daripada zikir (dengan bersuara) selisih tujuh puluh kali lipat.
Jika tiba saatnya hari kiamat, maka Allah akan mengembalikan semua perhitungan amal makhluk-makhluk-Nya sesuai amalnya. Para malaikat pencatat amal datang dengan membawa tulisan-tulisan mereka. Allah berkata pada mereka, ‘Lihatlah apakah ada amalan yang masih tersisa pada hamba-Ku ini?’ Para malaikat itu menjawab, ‘Kami tidak meninggalkan sedikit pun amalan yang kami ketahui kecuali kami mencatat dan menulisnya.’ Allah lalu berkata lagi (pada hamba-Nya itu), ‘Kamu mempenyuai amal kebaikan yang hanya Aku yang mengetahuinya. Aku akan membalas amal kebaikanmu itu. Kebaikanmu itu berupa zikir dengan sembunyi (tak bersuara).” (HR Al-Baihaqî). Dalam beberapa kitab yang memuat kompilasi hadis sahih, Nabi Saw bersabda, “Allah Swt berfirman, ‘Aku ini (bertindak) sesuai dengan prasangka hamba-Ku pada-Ku. Aku selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku. Apabila ia mengingat-Ku di dalam hatinya, maka Aku pun menyebutnya sendiri. Jika dia mengingat-Ku di tengah-tengah orang banyak, maka Aku akan menyebutnya di tengah-tengah orang banyak yang lebih mulia daripada orang banyak saat ia mengingat-Ku.” (HR Al-Bukhârî dan ahli hadis lainnya). Abû ‘Awânah dan Ibnu Hibbân meriwayatkan dalam masing-masing kitab kumpulan hadis sahih mereka, juga Al-Baihaqî sebuah hadis berikut, “Sebaik-baik zikir adalah zikir dengan samar (khafî) dan sebaik-baik rezeki adalah rezeki yang mencukupi.”
Nabi Saw. juga bersabda, “Zikir yang tidak terdengar oleh malaikat pencacat amal (maksudnya zikir khafî) mengungguli atas zikir yang dapat didengar oleh mereka (zikir jahrî) sebanyak tujuh puluh kali lipat.” (HR al-Baihaqi). Menurut ulama yang mentakhrij hadis tersebut, hadis itu dinilai sebagai hadis hasan li ghairihi. Hadis-hadis lainnya yang berbicara tentang keutamaan zikir khafî masih banyak sekali. Sebagian orang yang telah mencapai tahapan makrifat mengatakan, “Berzikir dengan hati adalah pedangnya orang-orang yang meniti jalan ruhani. Dengan zikir itu, mereka bisa membunuh habis musuh-musuh mereka dan menjadi tameng dari bahaya-bahya yang merongrong mereka. Karena bahaya (musibah) yang datang pada seorang hamba lalu hatinya kaget terperanjat dan langsung mengingat Allah, maka itu akan mencegahnya dari segala sesuatu yang tidak diinginkannya.” Orang-orang yang telah makrifat ini juga berkata, “Siapa saja yang diinginkan baik oleh Allah, maka akan dibukakan penutup hatinya dan ditanamkan keyakinan di dalamnya.”
Syaikh Abû Sa‘îd Al-Kharrâz berkata, “Jika Allah ingin menjadikan seorang hamba sebagai kekasih-Nya, maka Dia akan membukakan pintu mengingat-Nya. Jika hamba tersebut sudah merasa kelezatan dalam mengingat-Nya, maka Dia akan membukakan pintu keakrakaban-Nya lalu diangkatlah hamba itu ke tempat yang serba nikmat dan senang gembira. Setelah itu, Dia akan mendudukkan hamba tersebut di atas kursi tauhid. Kemudian disingkapkan tirai yang menutupi-Nya. Hamba itu lalu dimasukkan ke suatu ruangan khusus tersendiri. Di sanalah, ia akan bisa melihat kebesaran dan keagungan-Nya. Ketika pandangannya tertuju pada kebesaran dan keagungan-Nya, maka dia sudah tidak merasa lagi sebagai makhluk. Karena saat itu ia telah menjadi masa yang fana. Lalu dia pun selalu berada dalam lindungan-Nya dan merasa terbebas dari berbagai pengakuan-pengakuan dirinya.” Khâlid bin Ma‘dan berkata, “Seorang hamba pasti mempunyai dua mata di mukanya yang digunakan untuk melihat fenomena dunia. Selain itu, ia juga memiliki dua mata lagi yang terletak di dalam hatinya yang digunakan untuk melihat fenomena akhirat. Ketika Allah menginginkan hamba tersebut menjadi orang yang baik, maka Dia akan membukakan kedua mata hamba itu yang ada di dalam hatinya.
Dengan demikian, kedua mata hatinya itu mampu melihat rahasia-rahasia kegaiban yang dijanjikan Allah. Lalu ketika Allah menginginkan hamba-Nya pada hal yang sebaliknya (bukan kebaikan), maka Allah tidak memperdulikan apa yang ada di dalam hatinya.” Ahmad bin Hadhrawaih juga berkata, “Hati adalah wadah. Jika wadah itu penuh dengan kebajikan, maka cahaya-cahaya kebajikan (yang ada di dalamnya) akan keluar menyinari anggota-anggota tubuhnya. Jika wadah itu penuh dengan kebatilan, maka kegelapan yang ada di dalamnya akan bertambah ketika sampai pada anggota tubuhnya.” Dzu Al-Nûn Al-Misrî berkata, “Satu jam dengan hati yang baik lebih utama daripada ibadah seluruh manusia dan jin. Jika malaikat saja tidak masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat gambar atau patung, maka bagaimana para pembawa kebajikan itu mau masuk pada seseorang yang di dalam hatinya dipenuhi dengan sesuatu selain Allah?!” Seorang agung yang telah menggapai tahapan makrifat, Abû Al-Hasan Al-Syâdzilî berkata, “Sebiji atom amalan-amalan hati sama nilainya dengan amalan-amalan lahiriyah (anggota tubuh) sebesar gunung.”