Kitab SULAM MUNAUROK adalah karya syeikh Abdurrahman Al Akhdlori, yang sering di kaji oleh kalangan santri di berbagai pondok pesantren, khususnya pesantren salafiyyah (tradisional), sebagai pelajaran tingkatan pemula dalam mengkaji kitab- kitab mantik yang lebih rumit.
Kitab ini sangatlah penting untuk dikaji bagi para pemula yang memiliki keinginan untuk memperdalam ilmu mantik, selain itu kitab sulam munaurok ini telah bersih dari percampuran kesesatan filsafat.
Bahkan menurut imam ghozali ilmu mantik adalah mi'yarul ulum, beliau juga mengatakan:
من لا معرفة بالمنطق لا يوثق فى علمه
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah swt yang telah melahirkan buah pemikiran kepada para cendekiawan. Dan telah melahirkan tabir-tabir mendung kebodohan dari langit-langit akal mereka. Sehingga tampaklah bagi mereka matahari-matahari pengetahuan dan mereka dapat melihat pengantin-pengantin dalam pingitan dengan jelas. (Dapat memahami masalah-masalah yang rumit menjadi jelas).
Kami
memuji kepada Allah swt karena telah melimpahkan kenikmatan kepada kami
berupa iman dan islam. Dan telah mengistimewakan kepada kami dengan
sebaik-baik utusan dan lebih utama-utamanya nabi yang meraih martabat
paling tinggi. Dialah nabi besar Muhammad saw selaku tuan pemimpin
bangsa arab, tepatnya keturunan bani Hasyiem yang terpilih.
Shalawat
dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita nabi
agung Muhammad saw selama akal masih menyelam di tengah-tengah samudera
ilmu. Dan semoga terlimpahkan pula kepada segenap keluarga beserta
sahabat-sahabatnya yang laksana bintang dalam memberikan petunjuk.
Waba’du,
Ilmu logika bagi hati laksana ilmu nahwu bagi lisan. Maka dapat menjaga
fikiran dari kesesatan dan dapat membuka tabir-tabir kefahaman yang
sulit. Oleh karenanya, ambillah dasar-dasarnya sebagai kaidah untuk
mengumpulkan beberapa faidah dari fan-fan ilmu logika.
Saya beri nama kitab ini dengan Sullamul Munauraqi. Semoga dengan kitab ini kita dapat naik ke jenjang yang lebih tinggi.
Hanya
kepada Allah saya mengharap semoga buah karya ini menjadi amal yang
murni hanya untuk Dzat-Nya Yang Maha Dermawan dan Maha Sempurna. Dan
semoga kitab ini bermanfaat untuk para pelajar pemula ilmu logika serta
dapat menunjukkan mereka ke jenjang berikutnya.
Takrif atau definisi itu ada tiga bagian antara laian;
1. Takrif Had.
2. Takrif Rasmie.
3. Takrif Lafdzie.
Takrif had itu ada dua;
1.Had tam;
yaitu takrif yang memakai fashal (فَصل) dan jenis dekat (جنس قريب). Seperti mendefinisikan الإنسان dengan الحيوان الناطق (Hewan yang dapat berfikir
2. Had naqis;
yaitu takrif yang memakai fashal (فَصل) saja atau fashal dengan jenis jauh (جنس بعيد). Seperti mendefinisikan الإنسان dengan الجسم الناطق (Jisim yang dapat berfikir).
Takrif rasmie juga ada dua,
1. Rasmie Tam
yaitu takrif yang memakai khoshoh (خاصة) dan jenis dekat (جنس قريب). Seperti mendefinisikan الإنسان dengan الحيوان الضاحك (Hewan yang dapat tertawa).
2. Rasmi Naqis
yaitu takrif yang menggunakan khoshoh (خاصة) saja, atau khoshoh dengan jenis jauh (بعيد جنس). Seperti mendefinisikan الإنسان dengan الجسم الضاحك (Jisim yang dapat tertawa).
Adapun
takrif lafdzi, adalah takrif dengan mengganti sebuah lafad dengan lafad
lain yang searti dan lebih masyhur. Contoh, mendefinisikan اَلْبُرُّ (gandum) dengan اَلْقَمْحُ (gandum). Hanya saja lafad اَلْقَمْحُ lebih terkenal daripada lafad اَلْبُرُّ .
Takrif-takrif di atas itu harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
1. Muttarid (umum)
yakni takrif tersebut harus mengumpulkan contoh-contohnya mu’arraf (yang didefinisikan /ditakrifi).
2. Mun’akis
yakni takrif tersebut harus mencegah masuknya contoh-contoh selain mu’arraf. Seperti الإنسان ditakrifi dengan الحيوان الناطق (Hewan yang dapat berfikir). Takrif ini tidak memasukkan selain manusia.
3. Dlahir
yakni takrif tersebut tidak menjauhkan pada artinya mu’arraf. Maka tidak boleh mendefinisikan اَلْحِنْطَةُ (gandum) dengan اَلْقُمْحُ (gandum). Sebab lafad اَلْقُمْحُ lebih asing maknanya daripada lafad اَلْحِنْطَةُ.
4. Tidak sepadan
yakni takrif tersebut tidak sama dengan mu’arraf. Maka tidak boleh mendefinisikan اَلزَّوْجُ (bilangan genap) dengan مَا لَيْسَ بِفَرْدٍ (bilangan yang tidak ganjil).
5. Tidak Majaz
Yakni
takrif tersebut bukan kata kiasan yang tidak disertai dengan tanda.
Apabila ada tandanya maka boleh membuat takrif/definisi dengan kata
kiasan. Contoh, mendefinisikan بَلِيْدٌ (orang bodoh) dengan حِمَارٌ يَكْتُبُ (himar yang dapat menulis). Apabila tidak ada tandanya maka tidak boleh. Oleh karena itu, tidak boleh di ucapkan بَلِيْدٌ ialah حِمَارٌ .
6. Tidak musytarak
yakni lafad tersebut tidak menggunakan lafad-lafad yang mempunyai banyak arti. Maka tidak boleh diucapkan, اَلشَّمْسُ adalah اَلْعَيْنُ. Kecuali bila lafad yang musytarak tersebut disertai dengan tanda. Seperti mendefinisikan اَلشَّمْسُ dengan اَلْعَيْنُ اَلْمُضِيْئَةُ (Matahari adalah cahaya yang menerangi).
7. Tidak
memakai lafad yang tidak dapat diketahui kecuali dengan mengetahui
sesuatu yang didefinisikan terlebih dahulu. Seperti contoh pada syarat
nomor empat.
اَنْ تَدْخُلَ الأَحْكَامُ فِى الْحُدُوْدِ * وَعِنْـدَهُم منْ جُمْلَةِ الْمَرْدُوْدِ
وَجَائِزٌ فى الرَّسْـمِ فَادْرِمَا رَأَوْا * وَلاَ يَجُوْزُ فِى الْحُدُوْدِ ذِكْرُ اَوْ
Menurut ahli logika, tidak boleh menyebutkan hukumnya mu’arraf (yang didefinisikan) di dalam takrif had.
Seperti, اَلْفَاعِلُ هُوَ اْلإِسْمُ الْمَرْفُوْعُ (Fa’il,
adalah isim yang dibaca rafak), padahal hukumnya fa’il itu dibaca
rafak. Karena hal ini dapat menimbulkan daur atau perputaran. Tidak
diperkenankan pula menyebut أَوْ yang bermakna syak (ragu-ragu) di dalam takrif had. Sedangkan أَوْ yang bermakna taqsiem (pembagian) atau bermakna syak tapi bukan pada takrif had maka diperbolehkan. Contoh pertama, اَلْبَلِيْدُ هُوَ الَّذِى لاَيَفْهَمُ اَوْ لاَيَسْتَقِيْمُ
(Orang bodoh adalah orang yang tidak dapat memahami atau tidak dapat istiqomah).
Contoh kedua, اَلنَّظَرُ هُوَ الْفِكْرُ الْمُؤَدّى اِلَى الْعِلْمِ اَوْ غَلَبَةِ الظَّنِّ
(Angan-angan adalah fikiran yang dapat mendatangkan keyakinan atau praduga yang kuat).
Contoh ketiga, اَلإِنْسَانُ هُوَ الْحَيَوَانُ الضَّاحِكُ اَوْ قَابِلٌ لِلْعِلْمِ
(Manusia adalah hewan yang dapat tertawa atau dapat menerima pengetahuan
Terjadi
kontradiksi atau pertentangan di antara para ulama mengenahi boleh
tidaknya mempelajari ilmu logika. (Ada tiga pendapat). Menurut Imam Ibnu
Sholah dan Imam Abu Zakariya Yahya An-Nawawie, itu hukumnya haram.
Sedangkan menurut sebagian kaum termasuk Imam Ghazali, itu seyogyanya
harus diketahui. Persepsi yang masyhur dan yang benar itu boleh bagi
orang-orang yang sempurna akalnya yang selalu membiasakan diri
mempelajari Al-Qur’an dan Hadits menuju kebenaran.
Memahami mufrad dinamakan tasawwur. Dan memahami nisbat dinamakan tasdieq. Contoh, زَيْدٌ قَائِمٌ (Zaed berdiri). Memahami arti Zaed saja dinamakan tasawwur. Dan mengetahui nisbatnya berdiri pada Zaed disebut tasdieq. Dahulukan yang pertama dalam susunannya karena ia harus didahulukan di dalam wataknya.
Ilmu nadlarie adalah ilmu yang memerlukan angan-angan terlebih dahulu. Lawannya, adalah ilmu dlaruri.
Sarana untuk mengetahui tasawwur disebut qaul syarih atau kata penafsir. Dan saran untuk mengetahui tasdieq disebut hujjah atau dalil.
Macam-Macam Arti Makna Susunan
Penunjukan sebuah lafad pada arti yang semestinya disebut dalalah mutabaqah. Contoh, penunjukan lafad اَلإِنْسَانُ (manusia) pada حَيَوَانٌ نَاطِقٌ (Hewan yang dapat berfikir).
Penunjukan sebuah lafad pada sebagian arti tadi disebut dalalah tadlamun. Contoh, penunjukan lafad الإنسان pada حيوانٌ saja, atau نَاطِقٌ saja.
Penunjukan sebuah lafad pada arti lain yang menetapi makna arti tadi disebut dalalah iltizam. Contoh, penunjukan lafad الإنسان pada اَلضَّاحِكُ (yang bisa tertawa).
Fasal
Pembahasan tentang lafad
Lafad itu ada dua :
1. Musta’mal (berfungsi).
2. Muhmal (tidak berfungsi).
Lafad yang musta’mal ada dua :
1. Murakkab (tersusun). Contoh, زَيْدٌ قَائِمٌ (Zaed berdiri).
2. Mufrad (tidak tersusun). Contoh, قَامَ (berdiri).
Yang
dimaksud lafad murakkab, adalah setiap susunan kata yang bagiannya
menunjukkan sebagian maknanya sebagaimana contoh di atas. Sedangkan yang
dimaksud mufrad, adalah setiap perkara yang bagiannya tidak menunjukkan
sebagian maknanya. Dalam contoh قَامَ (berdiri), itu قَافْ -nya tidak berarti menunjukkan arti “ber”.
Murakkab ada dua, seperti yang akan diterangkan nanti pada bab اَلْمُعَرِّفَاتْ (beberapa definisi).
Sedangkan mufrad juga ada dua;
1. Mufrad kulliy .
2. Mufrad juz-iyy.
Mufrad kulliy adalah kalimat yang menunjukkan banyak arti, seperti lafad أَسَدٌ (Harimau).
Sedangkan mufrad juz-iyy adalah kalimat yang tidak menunjukkan banyak arti, seperti lafad عَمْرٌو (nama seseorang). Mufrad kulliy jika termasuk zat disebut kulliy zati. Dan jika tidak termasuk zat disebut kulliy ‘aradli.
Yang
dimaksud dengan kata-kata “termasuk zat“, adalah bahwa mufrad kulliy
tersebut adalah sebagian dari makna yang ditunjukkan oleh sebuah lafad.
Contoh, اَلنَّاطِقُ danاَلْحَيَوَانُ jika dinisbatkan pada lafad الإنسان .
Adapun contohnya kulliy ‘aradli, itu seperti lafad اَلْمَاشِى (orang yang dapat berjalan) dan الضَّاحِكُ (orang yang dapat tertawa) dinisbatkan pada lafad الإنسان.
Apabila mufrad kulliy ibarat dari bentuk mufrad kulliy itu sendiri maka disebut kulliy zati. Contoh, الإنسان.
Mufrad kulliy zati ada dua;
1. Khusus untuk hakikat, seperti lafad اَلنَّاطِقُ dinisabatkan pada الإنسان . Mufrad ini disebut mufrad kulliy fashal. (كُلِّيٌّ فَصَلْ)
2. Disekutukan antara hakikat dan yang lain. Contoh, اَلَحَيَوَانٌ dinisbatkan pada lafad الإنسان. Mufrad ini disebut mufrad kulliy jenis. (كُلِّى جِنْسِ) .
Mufrad kulliy ‘aradli ada dua;
1. Khusus untuk hakikat seperti lafad الضّاحك dinisbatkan pada lafad الإنسان . Mufrad ini disebut mufrad ‘aradli khoshoh. ( عرضى خاصة)
2. Disekutukan antara hakekat dan yang lain. Contoh, اَلْمَاشِ dinisbatkan pada اَلإنْسَانُ. Mufrad ini disebut mufrad ‘aradli ‘aam. (عَامٌ عَرَضِى).
Adapun mufrad kulliyy yang merupakan ibarat dari hakikat itu sendiri, itu disebut نوع . Contoh, الإنسان sebab lafad ini merupakan ibarat dari kumpulan kata-kata الحيوان الناطق .
Dasar-dasar tasdieq atau ratifikasi adalah kadliyah atau premis dan hukum-hukumnya. Sedangkan yang dimaksud dengan premis atau yang lebih dikenal dengan istilah kalam khabar, adalah perkataan yang mungkin benar dan mungkin tidak benar dipandang dari bentuk perkataan itu sendiri.
Kemudian kadliyah itu ada dua;
1. Khamliyah ( حَمْلِيَةْ ).
2. Syartiyah ( شَرْطِيَّةْ ).
Kadliyah khamliyah itu ada empat;
1. Syakhsyiyyah شَخْسِيَّة
yaitu apabila موْضُوْعٌ (obyek)-nya berupa mufrad juz-ie. Contoh, زَيْدٌ كَاتِبٌ (Zaed seorang juru tulis).
2. Muhmalah مُهْمَلَةْ
yaitu apabila obyeknya berupa mufrad kulliy yang tidak dimasuki سُوْرْ (rumus yang menunjukkan kwantitas perindividu obyek, baik keseluruhan atau sebagian) seperti contoh, اَلإِنْسَانُ حَيَوَانٌ
3. Kulliyyah كُلِّيَّةْ
yaitu apabila obyeknya berupa mufrad kulliy yang dimasuki سُورْ كُلِّى (rumus kulliy). Seperti contoh, كُلُّ اِنْسَانٍ حَيَوَانٌ (Setiap manusia adalah hewan).
4. Juz-iyyah جُزْئِيَّةْ
apabila obyeknya berupa mufrad kulliy yang dimasuki سُوْرْ جُزْئِى (rumus juz’ie). Seperti contoh, بَعْضُ اْلإِنْسَانِ حَيَوَانٌ (Sebagian manusia adalah hewan)
Masing-masing
dari keempat premis di atas, itu adakalanya positif dan ada kalanya
negatif. Yang positif itu seperti contoh-contoh di atas. Dan yang
negatif itu seperti contoh sebagai berikut;
زَيْدٌ لَيْسَ بِكَاتِبٍ (Zaed bukan juru tulis).
اَلإِنْسَانُ لَيْسَ بِحَجَرٍ (Manusia itu bukan batu).
وَلاَ شَيْئَ مِنَ اْلإِنْسَانِ بِحَجَرٍ (Tidak ada seorang manusiapun yang berupa batu).
Dan seperti,
بَعْضُ اْلإِنْسَانِ لَيْسَ بِحَجَرٍ (Sebagian manusia itu bukan batu).
Walhasil, kadliyyah atau premis itu ada delapan.
Adapun سُورْ itu ada dua :
1. Kulliyyat (كُلِّيَّةْ) yaitu سُورْ yang menggunakan lafad كُلٌّ atau لاَشَيْئَ seperti contoh di atas.
2. Juziyyah (جُزْئِيَّةْ) yaitu سُورْ yang menggunakan lafad بَعْضٌ atau لَيْسَ بَعْضٌ seperti contoh di atas.
Yang dimaksud dengan مَوْضُوْعُ atau obyek di sini, adalah kata pertama dari setiap kadliyyah atau premis. Sedangkan kata yang kedua disebut مَحْمُوْلٌ atau predikat.
Faidah :
Dalam contoh قَامَ زَيْدٌ obyeknya
adalah lafad yang kedua. Lalu apakah tidak bertentangan dengan definisi
obyek di atas? Jawabnya, “Tidak”. Karena meskipun diakhirkan dalam
peletakannya namun tidak dalam wataknya.
Peringatan :
Kadliyah khamliyah adalah kadliyah yang memuat obyek dan predikat.
Telah
diterangkan bahwa kadliyyah itu ada dua, yaitu khamliyah dan syartiyah.
Yang pertama telah diterangkan di atas serta pembagian-pembagiannya.
Adapun kadliyah syartiyah adalah kadliyah yang tersusun dari dua juz
atau bagian. Di mana kedua juz tersebut disambung dengan alat syarat
atau ‘inad.
Peringatan :
Juz yang pertama dari kadliyah muttasilah dan munfasilah itu disebut مُقَدَّمْ atau kata depan. Dan juz kedua dari kadliyah tersebut dinamakan تَالِى atau kata berikut.
Kemudian kadliyah syartiyyah juga terbagi menjadi dua :
1. Syartiyyah muttasilah (شَرْطِيَّةْ مُتَّصِلَةْ)
yaitu kadliyah yang menyebabkan kedua juznya saling berkaitan.
Seperti contoh, اِنْ كَانَتِ الشَّمْسُ طَالِعَةَ فَالنَّهَارُ مَوْجُوْدٌ (Apabila matahari terbit niscaya siang tiba).
2. Syartiyyah munfasilah ) شَرْطِيَّةْ مُنْفَصِلَةْ (
yaitu kedua kadliyyah yang kedua juznya saling berlawanan.
Seperti contoh, اَلْعَدَدُ اِمَّا زَوْجُ وَاِمَّا فَرْدٌ (Bilangan itu adakalanya genap dan adakalanya ganjil).
Kemudian kadliyah syartiyah munfasilah itu terbagi menjadi tiga bagian :
1. مَانِعُ جَمْعٍ
yaitu kedua juznya tidak boleh berkumpul.
Seperti contoh, اَلْجِسْمُ اِمَّا اَبْيَضُ وَاِمَّا اَسْوَدُ (Badan itu adakalanya putih dan adakalanya hitam).
2 . ما نِعُ خُلُوٍّ
yaitu kedua juznya tidak boleh kosong.
Seperti contoh, زَيْدٌ اِمَّا فِى الْبَحْرِ وَاِمَّا اَنْ لاَ يَغْرِقَ ( Zaed itu adakalanya di lautan dan adakalanya tidak tenggelam).
3.مَانِعُهُمَا
yaitu kedua juznya tidak boleh kumpul dan tidak boleh kosong.
Contoh, اَلْعَدَدُ اِمَّا زَوْجٌ وَاِمَّا فَرْدٌ (Bilangan itu adakalanya genap dan adakalanya ganjil).
Tanakud atau
kontradiksi itu merupakan sebuah konsekwensi hukum dari beberapa
hukumnya kadliyyah atau premis. Adapun definisi tanakud, adalah
perbedaan dua kadliyyah di dalam positif dan negatifnya, di mana salah
satu di antara keduanya pasti ada yang benar.
Tanakud sendiri melihat-lihat kadliyyahnya, dalam arti :
Apabila
kadliyahnya syakhshyiyah atau muhmalah maka tanakudnya, adalah dengan
cara mengganti ijabah (positif) dan salibah (negatif)-nya. Contoh, زَيْدٌ كَاتِبٌ tanakudnya, adalah زَيْدٌ لَيْسَ بِكَاتِبٍ .
Apabila kadliyahnya dimasuki سُورْ maka tanakudnya dengan mengganti kepositifan atau kenegatifan kadliyyah tersebut atau dengan membalik سُورْ -nya.
Contoh, كُلُّ اْلإِنْسَانِ حَيَوَانٌ (Setiap manusia itu hewan). Tanakudnya, adalah بَعْضُ اْلإِنْسَانِ لَيْسَ بِحَيَوَانٍ (Sebagian manusia itu bukan hewan).
Walhasil, apabila kadliyahnya kulliyah positif (مُوْجَبَةْ كُلِّيَّةْ) maka tanakudnya, adalah juziyyah negatif (سَالِبَةْ جُزْئِيَّةْ) seperti contoh di atas. Dan apabila kadliyyahnya kulliyah negatif (سَالِبَةْ كُلِّيَّة) maka tanakudnya pasti juziyyah positif (مُوْجَبَةْ جُزْئِيَّةْ). Seperti contoh, لاَشَيْئَ مِنَ اْلإِنْسَانِ بِحَيَوَانٍ (Tidak ada seorang manusiapun itu hewan). Tanakudnya, adalah بَعْضُ اْلإِنْسَانِ حَيَوَانٌ (Sebagian manusia itu hewan)
(bersambung)
(bersambung)
Jangan Berdebat Dengan Orang Jahil
Imam Asy-Syafi’i berkata :
قلوا سكت وقد خوصمت قلت لهم * إن الجواب لباب الشر مفــتاح
والصمت عن جاهل أو أحمق شرف * وفيه أيضا لصون العرض إًصلاح“Mereka menanyakan mengapa engkau diam padahal engkau telah dihujat, maka kepada mereka aku katakan : Sesungguhnya menjawab mereka dapat membuka pintu kerusakan;
Sedangkan diam dari orang jahil nan pandir adalah kemuliaan; Dan dalam diam itu juga merupakan perbaikan untuk terpeliharanya kehormatan.